Disusun oleh :
Muhammad Qamaruddin
BAB I
PENDAHULUAN
1
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 113.
2
Ibid, hlm. 114.
3
Ibid, hlm. 196.
2
BAB II
PEMBAHASAN
yang sebentar, tetapi dengan itu tidak serta merta mereka dapat dikatakan adil. Imam
al-Waqidi berpendapat bahwa sahabat adalah setiap orang yang melihat Rasul dalam
keadaan baligh, Islam dan sudah mampu memahami urusan agama. Namun
pengertian ini dikritik oleh Al-Iroqi yang mengatakan bahwa batasan baligh akan
menghilangkan kesahabatan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Hasan dan
Husain yang telah ditetapkan sebagai sahabat dan banyak meriwatkan hadits dari
Rasululah.9
Said bin Musayyab berpendapat bahwa sahabat adalah orang-orang yang
hidup bersama Rasul selama satu atau dua tahun dan pernah ikut berperang
bersamanya satu atau dua kali. Pendapat ini tidak disetujui oleh mayoritas ulama,
karena akan berimbas pada sahabat yang tidak pernah ikut berperang. Padahal Jarir
bin Abdullah adalah sahabat yang belum pernah ikut berperang bersama Rasul.10
Menurut Ibnu Hajar, definisi paling shahih adalah yang diberikan jumhur
muhadditsin, yaitu sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi dalam
keadaan dia beriman dan meninggal dalam keadaan Islam. Orang yang bertemu
dengan nabi tapi belum memeluk Islam, maka ia tidak dipandang sebagai sahabat.
Orang yang semasa dengan Nabi dan beriman kepadanya, tetapi tidak memjumpainya,
seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib
Khuwailid bin Khalid al-Khadzali juga tidak disebut sahabat.11
8
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ihtiar Baru Van Hoeve,
1997), cet.4, hlm. 197.
9
Muh. Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Haditsi ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirud: Dar al-Fikr,
2006), hlm. 375.
10
Ibid, hlm. 256.
11
Ibid, hlm. 257.
4
terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid
seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa
hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek
ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda
dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini
perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak
diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun
bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang
berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
4. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-
Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama
mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.12
12
Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar,DR. Al-wadhih Fi Ushul Fiqh, (Dar-Al-Nafais,
2001) Hal. 134-135
13
Ibid
5
Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar mereka
menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu
pendapat para sahabat wajib diterima.
Alasan yang kedua adalah hadis Rasul:
عن النبي صلـَى هللا عليه و سلـَم قال خيركم قرني ث َم الذين يلونهم ث َم الذين يلونهم
yang artinya:
“Dari Nabi SAW, beliau bersabda: Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada)
masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat
kemungkinan bahwa pendapat mereka itu berasal dari Rasullullah. Di samping
14
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, cet. 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 182.
6
itu, karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang
lama, hal itu memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam
memahami ruh syariat dan tujuan-tujuan pensyariatan hukum syara’ (maqashid
syariah). Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-Qiyas,
maka sangat mungkin ada landasan hadis yang mereka gunakan saat itu.15
ار
ِ صَ فَا ْعتَبِرُوا يَا أُولِي األ ْب
Artinya:
“. . . Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai pandangan”.
(QS. al-Hasyr: 2)
Maksud ayat tersebut, menurut mereka memerintahkan orang-orang yang
memiliki nalar untuk berijtihad menggunakan nalar, dan hal itu sekaligus
melarang orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi untuk bertaklid,
apalagi jika qaulu shahabi tersebut bertentangan dengan al-Qiyas. Dalam pada
itu, al-Qiyas dipandang sebagai dalil keempat setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan
al-Ijma. Oleh karena itu, tidak boleh mengikuti qaulu shahabi yang bertentangan
dengan al-qiyas, karena kedudukan al-qiyas lebih tinggi dari qaulu shahabi.
Beberapa alasan lain yang menyatakan qaulu shabi tidak dapat dijadikan hujjah:
a. Ijma telah terjadi di kalangan sahabat, bahwa di antara sesame sahabat
boleh berbeda pendapat. Oleh karena itu, pendapat mereka bukan
merupakan hujjah. Pendapat ini kurang mengena, karena objek persoalan
adalah, apakah qaulu shahabi menjadi hujjah bagi generasi setelah
mereka? Bukan di antara sesama sahabat.
15
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 228.
16
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, hlm. 182. Dalam sebagian kitab Ushul Fiqh, memang
ada ulama yang beranggapan bahwa Imam Syafi’i dalam qaul jadid tidak mau mengambil pendapat
sahabat. Yang benar ialah ucapan Imam Syafi’i dalam kitab ar-Risalah dan al-Umm yang diriwayatkan
oleh ar-Rabi’ ibn Sulaiman bahwa dalam qaul jadid secara pasti Imam Syafi’i mengambil pendapat-
pendapat para sahabat yang telah disepakati. Jika pendapat-pendapat mereka masih diperselisihkan, dia
mengambil pendapat sahabat yang paling mendekati pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Lihat Muhammad
Abu Zahrah, [terj] Saefullah Ma’shum, dkk, ushul fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), hlm. 333.
7
3. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat
dari Imam Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi
hujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat
sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat at-
Taubah ayat 100:
عن النبي صلـَى هللا عليه و سلـَم قال خيركم قرني ث َم الذين يلونهم
“Dari Nabi SAW, beliau bersabda: sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada)
masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.19
Rasulullah. Para Ulama juga sepakat , qaulu shahabi menjadi rujukan hukum
berkaitan dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat
(ijma shahabi), baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma sharih),
maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat
yang berbeda dengan pendapat yang berkembang (ijma sukuti).22
1. Imam Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak
terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang
diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada
keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat, dan apabila sahabat ikhtilaf,
maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia kehendaki. Dalam
hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum
dari al-Qur’an dan hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat.
Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan.
Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
2. Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-
Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat,
sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih
terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang
teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia
menjawab: “Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, sunah,
ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm
berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan
sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari
mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali
(mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak
menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat
kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai
dilalah”
22
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 226
10
23
Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990),
hlm. 122.
11
Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa
didasarkan pada atsar.
Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau
menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka.
Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis
mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau
mengqiyaskannya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
12
Qaul Shahabi adalah pendapat para sahabat tentang kasus hukum yang
belum ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Setelah Rasulullah wafat maka
tampillah untuk memberi fatwa kepada ummat Islam dan membentuk hukum untuk
mereka, kelompok dari sahabat yang telah mengenal fiqih dan ilmu, dan merekalah
yang lama mempergauli Rasulullah dan telah memahami al-Qur’an serta hukum-
hukumnya. Qaulu Shahabi adalah pendapat-pendapat sahabat dalam masalah-
masalah ijtihad. Dengan kata lain qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat
tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama, baik berupa fatwa maupun
ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadits.
Tidak semua qaulu Shahabi yang diperselisihkan keabsahannya sebagai
hujjah di antara para ulama. Tetapi qaulu Shahabi yang diperselisihkan adalah berupa
perkataan sahabat tentang suatu permasalahan ijtihad yang tidak tersebar di kalangan
para sahabat yang lainnya dan tidak ada nash sharih yang menjelaskan permasalahan
tersebut.
Tidak semua ulama sepakat untuk mengambil dan mengikkuti mazhab sahabat
sebagi hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan
oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil
madzhab Sahabat sebagi hujjah dalam istimbath hukum, terutama Imam mazhab yang
empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).
DAFTAR PUSTAKA
13