Anda di halaman 1dari 14

“QAULU SHAHABI”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh


Dosen Pengampu : Dr. H. M. Tamyiz Mukharram, MA

Disusun oleh :
Muhammad Qamaruddin

PROGRAM PASCA SARJANA


FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2014
1

BAB I
PENDAHULUAN

Kebanyakan di dalam buku-buku ushul fiqh, baik klasik ataupun kontemporer,


terdapat ungkapan yang mengatakan “Sumber hukum Islam yang disepakati oleh
seluruh ulama ada empat, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.
Didalam pernyataan ini terkandung makna bahwa bahwa kata sumber hukum, sebagai
terjemahan dari kata mashadir al-ahkam, sedikit rancu pengertiannya dengan kata
dalil hukum, sebagai terjemahan dari kata adillah al-ahkam. Padahal antara sumber
hukum Islam (Mashadir al-Ahkam) dan dalil hukum Islam (adillah al-ahkam)
mempunyai pengertian yang berbeda.1
Sumber hukum Islam adalah dasar utama dan asli yang melahirkan hukum
Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan dalil hukum Islam adalah cara-cara
yang ditempuh melalui ijtihad untuk menemukan hukum Islam itu sendiri. 2 Cara itu
dapat berupa istihsan, mashlahah al-mursalah, istishab, qaulu shahabi, dan lain-lain.
Adapun Ijma dan Qiyas, sebenarnya bukan sumber hukum tetapi hanya dalil hukum
yang masuk kategori telah disepakati oleh seluruh ulama bersama al-Qur’an dan as-
Sunnah.
Terkait dalil-dalil yang tidak disepakati bersama oleh para ulama, At-Thufi
menjelaskan ada Sembilan belas dalil yang masuk dalam kategori ini. Jika ditelaah
lebih jauh, maka masih terdapat dua puluh enam dalil syara’ yang juga dikemukakan
sebagian ulama. Dengan demikian, jika semua dalil syara’ diperinci lebih jauh maka
jumlah sejumlah empat puluh lima macam.3
Pada kesempatan ini, penulis akan menjelaskan sedikit tentang Qaulu Shahabi
(Fatwa Shahabi, Mazhab Shahabi) yang juga dimasukkan ke dalam dalil yang belum
disepakati atau yang masih diperselisihkan oleh para ulama. Dalam makalah ini akan
disajikan beberapa permasalahan, yaitu pengertian qaulu shahabi, macam-macam
qaulu shahabi, kehujjahan qaulu shahabi, pendapat ulama tentang qaulu shahabi,
contoh-contoh qaulu shahabi, dan kesimpulan.

1
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 113.
2
Ibid, hlm. 114.
3
Ibid, hlm. 196.
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN QAULU SHAHABI


Dalam beberapa literatur kitab ushul fiqh, ada perbedaan penyebutan untuk
qaulu shahabi. Ada yang memakai fatwa shahabi, ada juga yang memakai mazhab
shahabi, namun esensi penjelasannya adalah sama. Meskipun begitu, Abd. Rahman
Dahlan dalam bukunya berpendapat bahwa istilah qaulu shahabi dan mazhab sahabi
tidak persis sama.4 Pada intinya, beliau berpendapat bahwa qaulu shahabi merupakan
pendapat perorangan, yang antara satu pendapat sahabat dengan pendapat sahabat
lainnya dapat berbeda. Sedangkan mazhab shahabi merupakan pendapat bersama.
Maka dalam hal ini, sebenarnya mazhab shahabi lebih tempat disebut dengan istilah
ijma shahabi.5 Dalam tulisan ini, penulis akan memakai istilah qaulu shahabi sesuai
dengan maksud dan tujuan penulis dalam menjelaskan tema di atas.
Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar
tersebut adalah “perkataan”. “Shahabi” artinya adalah sahabat atau teman. Tetapi
yang dimaksudkan disini adalah sahabat Nabi atau yang pernah bertemu dengan Nabi
dan mati dalam islam. Jadi yang di maksud dengan “” disini adalah pendapat, atau
fatwa para shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya
secara tegas didalam al-quran dan sunnah.
Qaul shahabi dalam ilmu ushul fiqh adalah:

ُ‫لُه‬ ْ‫َّحا بِى بِا ْنفِ َرا ِد ِه قَو‬


َ ‫فَت ََوى الص‬
“fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar (pendapat) pribadinya.”6

Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung


menerima risalahnya, dan mendengarkan langsung penjelasan syariat dari beliau
sendiri Jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan
hujjah sesudah dalil-dalil nash.7 Definisi yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad Ibn
Hanbal “Sahabat adalah orang yang pernah hidup bersama nabi, sehari atau sebulan
atau sesaat atau hanya melihatnya.”8 Pendapat ini kurang mengena, karena banyak
orang-orang yang bertemu dengan Rasulullah (termasuk orang Badui) dengan waktu
4
Ibid, hlm. 225.
5
Ibid, hlm. 225.
6
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 163.
7
Moh. Abu Zahrah, Ushul Fiqih,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2010),cet.13, hal.328.
3

yang sebentar, tetapi dengan itu tidak serta merta mereka dapat dikatakan adil. Imam
al-Waqidi berpendapat bahwa sahabat adalah setiap orang yang melihat Rasul dalam
keadaan baligh, Islam dan sudah mampu memahami urusan agama. Namun
pengertian ini dikritik oleh Al-Iroqi yang mengatakan bahwa batasan baligh akan
menghilangkan kesahabatan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Hasan dan
Husain yang telah ditetapkan sebagai sahabat dan banyak meriwatkan hadits dari
Rasululah.9
Said bin Musayyab berpendapat bahwa sahabat adalah orang-orang yang
hidup bersama Rasul selama satu atau dua tahun dan pernah ikut berperang
bersamanya satu atau dua kali. Pendapat ini tidak disetujui oleh mayoritas ulama,
karena akan berimbas pada sahabat yang tidak pernah ikut berperang. Padahal Jarir
bin Abdullah adalah sahabat yang belum pernah ikut berperang bersama Rasul.10
Menurut Ibnu Hajar, definisi paling shahih adalah yang diberikan jumhur
muhadditsin, yaitu sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi dalam
keadaan dia beriman dan meninggal dalam keadaan Islam. Orang yang bertemu
dengan nabi tapi belum memeluk Islam, maka ia tidak dipandang sebagai sahabat.
Orang yang semasa dengan Nabi dan beriman kepadanya, tetapi tidak memjumpainya,
seperti Najasi, atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib
Khuwailid bin Khalid al-Khadzali juga tidak disebut sahabat.11

B. MACAM-MACAM QAULU SHAHABI


Para ulama membagi qaulu shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:
1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal
ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah.
Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan
sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun
perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-
Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang
tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang

8
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ihtiar Baru Van Hoeve,
1997), cet.4, hlm. 197.
9
Muh. Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Haditsi ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirud: Dar al-Fikr,
2006), hlm. 375.
10
Ibid, hlm. 256.
11
Ibid, hlm. 257.
4

terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid
seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa
hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek
ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda
dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini
perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak
diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun
bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang
berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
4. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-
Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama
mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.12

Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar menambahkan


beberapa poin mengenai macam-macam qaul as-shahabi ini13, di antaranya:
1. Perkataan Khulafa Ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para
ulama sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam
sebuah hadits, “Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan Sunnah para Khulafa
Ar-Rasyidin setelahku…”
2. Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh
sahabat yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa
perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama
lainnya dari kalangan Ushuliyyin dan fuqaha mengharuskan untuk mengambil
perkataan satu sahabat.

Setelah dijelaskan di atas bahwa perkataan sahabat memiliki beberapa macam


variasi, semua ulama sepakat bahwa perkataan sahabat yang diperselisihkan
keabsahannya sebagai hujjah adalah:

12
Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar,DR. Al-wadhih Fi Ushul Fiqh, (Dar-Al-Nafais,
2001) Hal. 134-135
13
Ibid
5

1. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapat dan ijtihadnya sendiri


2. Perkataan sahabat terhadap permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad
3. Perkataan sahabat yang tidak tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan
tidak ada sahabat yang mengingkari pendapat tersebut.
4. Perkataan sahabat terhadap suatu permasalahan yang tidak ada nash yang sharih
baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
5. Perkataan sahabat yang sampai kepada generasi sesudahnya, seperti tabi’in dan
berlanjut hingga ke zaman sekarang.

C. KEHUJJAHAN QAULU SHAHABI


Ulama ushul memiliki tiga pendapat, yaitu:14
1. Satu pendapat mengatakan bahwa qaulu shahabi dapat menjadi hujjah. Pendapat
ini berasal dari Imam Maliki, Abu bakar ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu
Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab qadimnya, termasuk juga
Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat.
Alasan pendapat ini adalah firman Allah SWT:

ِ ‫اس تَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬


ِ ^‫ُوف َوتَ ْنهَ^^وْ نَ ع َِن ْال ُم ْن َك‬
َ‫^ر َوتُ ْؤ ِمنُ^^ون‬ ِ َّ‫ت لِلن‬ْ ‫ُك ْنتُ ْم خَ ي َْر أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َج‬
ِ َ‫ب لَ َكانَ خَ ْيرًا لَهُ ْم ِم ْنهُ ُم ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َوأَ ْكثَ ُرهُ ُم ْالف‬
َ‫اسقُون‬ ِ ‫بِاهَّلل ِ َولَوْ آَ َمنَ أَ ْه ُل ْال ِكتَا‬
yang artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar”.(QS. Ali-Imran: 110)

Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar mereka
menganjurkan ma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu
pendapat para sahabat wajib diterima.
Alasan yang kedua adalah hadis Rasul:

‫عن النبي صلـَى هللا عليه و سلـَم قال خيركم قرني ث َم الذين يلونهم ث َم الذين يلونهم‬
yang artinya:
“Dari Nabi SAW, beliau bersabda: Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada)
masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat
kemungkinan bahwa pendapat mereka itu berasal dari Rasullullah. Di samping
14
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, cet. 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 182.
6

itu, karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang
lama, hal itu memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam
memahami ruh syariat dan tujuan-tujuan pensyariatan hukum syara’ (maqashid
syariah). Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-Qiyas,
maka sangat mungkin ada landasan hadis yang mereka gunakan saat itu.15

2. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabat (qaulussshahabi) secara


mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur
Asya’iyah dan Mu’tazilah, dan Abu Hasan al-Kharha dari golongan Hanafiyah.16
Alasan mereka antara lain adalah firman Allah:

‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫فَا ْعتَبِرُوا يَا أُولِي األ ْب‬
Artinya:
“. . . Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai pandangan”.
(QS. al-Hasyr: 2)
Maksud ayat tersebut, menurut mereka memerintahkan orang-orang yang
memiliki nalar untuk berijtihad menggunakan nalar, dan hal itu sekaligus
melarang orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi untuk bertaklid,
apalagi jika qaulu shahabi tersebut bertentangan dengan al-Qiyas. Dalam pada
itu, al-Qiyas dipandang sebagai dalil keempat setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan
al-Ijma. Oleh karena itu, tidak boleh mengikuti qaulu shahabi yang bertentangan
dengan al-qiyas, karena kedudukan al-qiyas lebih tinggi dari qaulu shahabi.
Beberapa alasan lain yang menyatakan qaulu shabi tidak dapat dijadikan hujjah:
a. Ijma telah terjadi di kalangan sahabat, bahwa di antara sesame sahabat
boleh berbeda pendapat. Oleh karena itu, pendapat mereka bukan
merupakan hujjah. Pendapat ini kurang mengena, karena objek persoalan
adalah, apakah qaulu shahabi menjadi hujjah bagi generasi setelah
mereka? Bukan di antara sesama sahabat.

15
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 228.
16
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, hlm. 182. Dalam sebagian kitab Ushul Fiqh, memang
ada ulama yang beranggapan bahwa Imam Syafi’i dalam qaul jadid tidak mau mengambil pendapat
sahabat. Yang benar ialah ucapan Imam Syafi’i dalam kitab ar-Risalah dan al-Umm yang diriwayatkan
oleh ar-Rabi’ ibn Sulaiman bahwa dalam qaul jadid secara pasti Imam Syafi’i mengambil pendapat-
pendapat para sahabat yang telah disepakati. Jika pendapat-pendapat mereka masih diperselisihkan, dia
mengambil pendapat sahabat yang paling mendekati pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Lihat Muhammad
Abu Zahrah, [terj] Saefullah Ma’shum, dkk, ushul fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), hlm. 333.
7

b. Dari segi alasan logika, sahabat termasuk golongan mujtahid juga.


Sedangkan pendapat mujtahid mempunyai peluang untuk salah dan lupa.
Oleh karena itu, mujtahid dari generasi tabi’in dan sesudahnya tidak wajib
mengikuti qaulu shahabi.
c. Fakta sejarah menunjukkan beberapa sahabat mengakui hasil ijtihad
tabi’in yang berbeda dengan hasil ijtihad mereka. Hal ini tentu tidak akan
terjadi, jika memang qaulu shahabi merupakan hujjah.17

3. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat
dari Imam Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi
hujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat
sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat at-
Taubah ayat 100:

ُ ‫ض^ َي هَّللا‬ ٍ ^‫ار َوالَّ ِذينَ اتَّبَ ُع^^وهُ ْم بِإِحْ َس‬


ِ ‫ان َر‬ ِ َ‫َوالسَّابِقُونَ األ َّولُونَ ِمنَ ْال ُمه‬
َ ‫اج ِرينَ َواأل ْن‬
ِ ^‫ص‬
‫َع ْنهُ ْم َو َرضُوا َع ْنه‬
Artinya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka” (QS. at-Taubah: 100)
Dalam ayat ini menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat karena
merekalah yang pertama kali masuk Islam.18
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain
yang berbunyi:

‫عن النبي صلـَى هللا عليه و سلـَم قال خيركم قرني ث َم الذين يلونهم‬
“Dari Nabi SAW, beliau bersabda: sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada)
masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.19

Kemudian Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in berkata


bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari enam bentuk:20
17
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 229.
18
Khairul, Ushul, hlm. 184-185.
19
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 227.
20
Muhammad Abu Zahrah, Ushul, hlm. 331-332. Lihat juga A. Jazuli, Ushul Fiqh
(Metodologi Hukum Islam) (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm212-213
8

1. Fatwa tersebut mereka dengar langsung dari Rasulullah SAW


2. Fatwa tersebut mereka dengar dari sahabat yang mendengarkan fatwa dari
Rasulullah SAW
3. Fatwa tersebut mereka fahami dari ayat-ayat suci al-Qur’an yang tidak jelas
4. Fatwa tersebut telah mereka sepakati, akan tetapi hanya disampaikan oleh
seorang mufti.
5. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun
tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-
maksudnya. Kelima hal inilah hujjah yang wajib diikuti
6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata
pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah.

Mengenai pendapat shahabat terhadap orang-orang sesudah shahabat dapat


diperincikan sebagai berikut :
1. Pendapat shahabat dalam hal yang tidak ditanggapi oleh akal fikiran. Pendapat
semacam ini menjadi hujjah terhadap kaum muslimin, karena yang dikatakannya
tidak boleh tidak berasal dari nabi.
2. Pendapat shahabat yang tidak disalahi oleh shahabat lain. Pendapat semacam ini
menjadi hujjah bagi kaum muslimin, karena pendapat tersebut merupakan ijma’
shahabat.
3. Pendapat shahabat itu hasil ijtihadnya sendiri, sedangkan diantara shahabat ada
yang tidak sepakat dengan pendapat itu. Pendapat shahabat seperti inilah yang
diperselisihkan kehujjahannya dikalangan ulama.

D. PENDAPAT ULAMA TENTANG QAULU SHAHABI


Secara keseluruhan, para imam dari keempat madzhab mengikuti qaulu
shahabi,dan tidak menghindarinya.21 Para Imam mazhab yang empat sepakat
menjadikan qaul al-Shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan
merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam masalah-masalah yang bukan merupakan
wilayah ijtihad, qaul al-Shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-
tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari
21
Abu Zahrah, Ushul, hlm. 332.
9

Rasulullah. Para Ulama juga sepakat , qaulu shahabi menjadi rujukan hukum
berkaitan dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat
(ijma shahabi), baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma sharih),
maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat
yang berbeda dengan pendapat yang berkembang (ijma sukuti).22
1. Imam Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak
terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang
diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada
keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat, dan apabila sahabat ikhtilaf,
maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia kehendaki. Dalam
hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum
dari al-Qur’an dan hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat.
Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan.
Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
2. Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-
Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat,
sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih
terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang
teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia
menjawab: “Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, sunah,
ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm
berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan
sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari
mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali
(mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak
menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat
kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai
dilalah”

22
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm. 226
10

Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-


tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Alquran dan Sunnah, kemudian pendapat
yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang
diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Alquran dan
Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena
pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
3. Imam Malik bin Anas
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali
hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat.23
Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas :
a. Al-Qur’an
b. Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
c. Ijma’
d. Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
e. Qiyas
f. Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari
maslahat)
g. Perkataan Sahabat.
Bila dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam
Malik mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih sedikit
menggunakan porsi dengan ra’yu (Qiyas). Kitab Kitab Mazhab Maliki, Kitab Hadits,
Al Muwatta’, Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar
yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas
yang ringan), Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin
Mas’ud).
4. Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath.
Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah,
qaul shahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al
dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas.
Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.

23
Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990),
hlm. 122.
11

Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa
didasarkan pada atsar.
Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau
menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka.
Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis
mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau
mengqiyaskannya.

E. CONTOH QAULU SHAHABI


1. Fatwa aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah
2 (dua) tahun melalui ungkapannya “Anak tidak berada didalam perut ibinya lebih
dari dua tahun.
2. Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3
(tiga) hari
3. Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa
‘idah harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut
untuk

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
12

Qaul Shahabi adalah pendapat para sahabat tentang kasus hukum yang
belum ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Setelah Rasulullah wafat maka
tampillah untuk memberi fatwa kepada ummat Islam dan membentuk hukum untuk
mereka, kelompok dari sahabat yang telah mengenal fiqih dan ilmu, dan merekalah
yang lama mempergauli Rasulullah dan telah memahami al-Qur’an serta hukum-
hukumnya. Qaulu Shahabi adalah pendapat-pendapat sahabat dalam masalah-
masalah ijtihad. Dengan kata lain qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat
tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama, baik berupa fatwa maupun
ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadits.
Tidak semua qaulu Shahabi yang diperselisihkan keabsahannya sebagai
hujjah di antara para ulama. Tetapi qaulu Shahabi yang diperselisihkan adalah berupa
perkataan sahabat tentang suatu permasalahan ijtihad yang tidak tersebar di kalangan
para sahabat yang lainnya dan tidak ada nash sharih yang menjelaskan permasalahan
tersebut.
Tidak semua ulama sepakat untuk mengambil dan mengikkuti mazhab sahabat
sebagi hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan
oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil
madzhab Sahabat sebagi hujjah dalam istimbath hukum, terutama Imam mazhab yang
empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).

DAFTAR PUSTAKA
13

Al-Asyqar, Muhammad Sulaiman Abdullah. 2001. Al-wadhih Fi Ushul Fiqh. Dar-Al-


Nafais.
Al-Khatib, Muh. Ajjaj. 2006. Ushul al-Haditsi ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirud:
Dar al-Fikr.
Dahlan, Abd. Rahman Dahlan, 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ihtiar Baru Van
Hoeve.
Djalil, A. Basiq Djalil. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Jazuli, A. 2000. Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam). Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Syukur, Asywadie. 1990. Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih. Surabaya: Bina
Ilmu.
Umam, Khairul, dkk 2000. Ushul Fiqih I. Bandung: Pustaka Setia.
Zahrah, Moh. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta:Pustaka Firdaus.

Anda mungkin juga menyukai