Anda di halaman 1dari 73

Clinical Case Study

Vaksinasi pada Anak Kurang Dari 2 Tahun

Disusun Oleh:
Ivan Pratama Gartika 1815092
Elisabeth Duwi Putri Sinaga 1815132
Daiva Giovanni Sanjaya 1815150
Jemira Inerta Lukito 1915096
Maria Astri Hermapranatasari 1915128
Priska Christina Kromo 1815120
Samuel 1915144
Pavita Callista Angie Prabowo 1815114

Pembimbing:
dr. Desman Situmorang, Sp.A

BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
RS IMMANUEL BANDUNG
2020

1
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN..................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................4
2.1 Definisi Imunisasi dan Vaksinasi..........................................................4
2.2 Dasar Imunologi Vaksin........................................................................4
2.3 Jenis-Jenis Imunisasi.............................................................................5
2.4 Imunisasi Yang Diberikan Pada Anak Usia Dibawah Dua Tahun.....7
2.5 Cara Penyuntikan Vaksin....................................................................44
2.6 Penyimpanan Vaksin............................................................................47

KESIMPULAN....................................................................................................58
3.1 Kesimpulan.................................................................................................58

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, imunisasi


merupakan salah satu upaya prioritas Kementerian Kesehatan untuk mencegah
terjadinya penyakit menular yang dilakukan sebagai salah satu bentuk nyata
komitmen pemerintah untuk menurunkan angka kematian pada anak. Berdasarkan
data profil kesehatan Indonesia tahun 2017, cakupan imunisasi dasar lengkap pada
bayi di Indonesia adalah 90,8%, sedangkan cakupan imunisasi lanjutan pada anak
di bawah usia dua tahun untuk DPT-HB-HiB adalah 59,9% dan Campak/MR
62,2%.1
Seperti kita ketahui, bahwa di masyarakat masih ada pemahaman yang berbeda
mengenai imunisasi, sehingga masih banyak bayi dan balita yang tidak
mendapatkan pelayanan imunisasi. Alasan yang disampaikan orang tua mengenai
hal tersebut, antara lain karena anaknya takut panas, sering sakit, sehingga
keluarga tidak mengizinkan. Oleh sebab itu, perlu diketahui efek samping vaksin
dan cara penanganannya.2
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah semua kejadian sakit dan
kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi. Dapat terjadi
kesalahan prosedur imunisasi meliputi kesalahan dalam penyiapan, penanganan,
penyimpanan, dan cara pemberian vaksin. Sebagai contoh, penyuntikkan tidak
steril, suntikkan pada lokasi yang salah, transportasi dan penyimpanan vaksin
yang tidak sesuai standar operasional prosedur, serta mengabaikan kontraindikasi.
Semestinya kesalahan ini dapat dicegah agar manfaat program imunisasi terhadap
masyarakat dapat dirasakan. Oleh sebab itu, menemukan dan melakukan koreksi
segera terhadap kesalahan prosedur imunisasi ini sangatlah penting.2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Imunisasi dan Vaksinasi


Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Imunisasi adalah suatu
upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.1 Vaksinasi adalah
pemberian vaksin ke dalam tubuh untuk menghasilkan imunitas terhadap penyakit
tertentu.1 Imunisasi dibagi menjadi imunisasi aktif (vaksinasi) dan imunisasi pasif
(pemberian antibodi). Imunisasi aktif menstimulasi sistem imun untuk
membentuk antibodi dan respon imun seluler yang melawan agen penginfeksi,
sedangkan imunisasi pasif menyediakan proteksi sementara melalui pemberian
antibodi yang diproduksi secara eksogen maupun transmisi transplasenta dari ibu
ke janin. Vaksinasi merupakan proses imunisasi aktif.44

2.2 Dasar Imunologi Vaksin


Sistem kekebalan adalah suatu sistem yang rumit dari interaksi sel yang tujuan
utamanya adalah mengenali adanya antigen. Antigen dapat berupa virus atau
bakteri yang hidup atau yang sudah diinaktifkan. Jenis kekebalan terbagi menjadi
kekebalan aktif dan kekebalan pasif.1

4
Gambar 2.1 Jenis Kekebalan Tubuh
Sumber : Buku Ajar Imunisasi
Sistem kekebalan tubuh juga dibagi atas kekebalan tubuh bawaan (innate
immunity) dan kekebalan tubuh yang didapat (Adaptive immunity). Kekebalan
tubuh yang didapat adalah kekebalan yang terjadi setelah paparan terhadap
antigen, baik itu patogen maupun vaksinasi.1,3

Gambar 2.2 Adaptive Immunity


Sumber : Fowler S., Roush R., Wise J. Adaptive Immunity. 2013.

5
2.3 Jenis-Jenis Imunisasi
2.3.1 Imunisasi Wajib
Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk
seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang
bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu. Imunisasi
wajib terdiri atas imunisasi rutin, imunisasi tambahan, dan imunisasi khusus.4
A. Imunisasi Rutin
Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan
secara terus-menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi
dasar dan imunisasi lanjutan.4

a. Imunisasi Dasar
Jenis vaksin pada imunisasi dasar :
 Vaksin BCG
 Vaksin DPT-HB-HIB
 Vaksin Hepatitis B
 Vaksin Polio Oral (OPV)
 Vaksin Inactive Polio Vaccine (IPV)
 Vaksin Campak

b. Imunisasi Lanjut
Imunisasi lanjutan merupakan imunisasi ulangan untuk
mempertahankan tingkat kekebalan atau untuk memperpanjang masa
perlindungan. Imunisasi lanjutan diberikan kepada anak usia bawah
tiga tahun (Batita), anak usia sekolah dasar, dan wanita usia subur.
Jenis Vaksin pada imunisasi lanjut :
 Vaksin DT
 Vaksin Td
 Vaksin TT

B. Imunisasi Tambahan

6
Imunisasi tambahan diberikan kepada kelompok umur tertentu yang
paling berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode
waktu tertentu. Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan adalah
Backlog fighting, Crash program, PIN (Pekan Imunisasi Nasional), Sub-
PIN, Catch up Campaign campak dan Imunisasi dalam Penanganan KLB
(Outbreak Response Immunization/ORI).

C. Imunisasi Khusus
Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan
untuk melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi
tertentu. Situasi tertentu antara lain persiapan keberangkatan calon jemaah
haji/umrah, persiapan perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu
dan kondisi kejadian luar biasa. Jenis imunisasi khusus, antara lain terdiri
atas Imunisasi Meningitis Meningokokus, Imunisasi Demam Kuning, dan
Imunisasi Anti-Rabies.

2.3.2 Imunisasi Pilihan


Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang
sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari
penyakit menular tertentu, yaitu vaksin MMR, Hib, Tifoid, Varisela, Hepatitis A,
Influenza, Pneumokokus, Rotavirus, Japanese Ensephalitis, dan HPV.

Gambar 2.3 Skema Jenis Imunisasi Berdasarkan Sifat Penyelenggaraan

7
2.4 Imunisasi Yang Diberikan Pada Anak Usia Dibawah Dua Tahun
Jenis-jenis imunisasi yang diberikan pada anak usia dibawah dua tahun, yaitu
Hepatitis B, Polio, BCG, DTP, Hib, PCV, Rotavirus, Influenza, Campak, MMR,
Varisela, dan Japanese encephalitis.4

2.4.1 Hepatitis B untuk Virus Hepatitis B


 Definisi :
Inflamasi parenkim hepar yang disebabkan oleh infeksi Virus Hepatitis
B.5

 Etiologi :
Virus Hepatitis B (HBV).5

 Cara penularan5:
a. Secara horizontal :
 Dari darah dan produknya
 Suntikan yang digunakan berulang kali
 Transfusi darah
 Melalui hubungan seksual
b. Secara vertical :
 Dari ibu ke bayi selama proses persalinan

 Gejala :
 Fase akut
Infeksi VHB memiliki manifestasi klinik yang berbeda-beda
bergantung pada usia pasien saat terinfeksi, status imun, dan derajat
penyakit. Fase inkubasi yang terjadi selama 6 – 24 minggu, gejala
yang timbul pada pasien dapat merasa tidak baik atau dengan mungkin
mual, muntah, diare, anoreksia, dan sakit kepala. Pasien dapat menjadi
kekuningan, demam ringan, dan hilangnya nafsu makan. Terkadang
infeksi VHB tanpa gejala kekuningan dan gejala yang nyata yang

8
dapat diidentifikasi dengan deteksi biokimia atau serologi virus
spesifik pada darah penderita .5
 Fase kronik
Biasanya masih dapat dikompensasi oleh imunitas, atau dapat
berupa inaktif sehingga tidak menimbulkan gejala. Pada saat keadaan
replikasi, mungkin akan ditemukan gejala seperti kelelahan, anoreksia,
mual, nyeri kuadran atas ringan atau rasa tidak nyaman, jika ada
penyakit progresif, dapat timbul gejala berupa dekompensasi hati,
ensefalopati hepatik, gangguan pola tidur, gangguan mental, koma,
asites, perdarahan GIT, koagulopati.5
 Komplikasi
Penyakit ini dapat menjadi kronis dan menyebabkan penyakit cirrhosis
hepatis dan hepato cellular carsinoma.5

 Pencegahan
Pencegahan hepatitis B dapat dicegah dengan pemberian vaksin HB.
Vaksin HB pertama (monovalent) paling baik diberikan dalam waktu 12
jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K, minimal
30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monovalent adalah
0, 1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin
HB dan immunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas berbeda.
Apabila diberikan HB dikombinasikan dengan DTPw (Difteri, Tetanus,
Pertusis whole cells) maka jadwal pemberian pada usia 2, 3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB dikombinasikan dengan DTPa (Difteri,
Tetanus, Pertusis aselular), maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6
bulan. Vaksin HB monovalent pada usia 1 bulan tidak perlu diberikan
apabila anak mendapat vaksin DTP-Hib kombinasi dengan HB. Vaksin
HB diberikan dengan dosis sebanyak 0,5 mL secara intramuscular. 6-8
Imunisasi hepatitis B idealnya diberikan sedini mungkin (<12 jam)
setelah lahir. Pemberian ke-2 dianjurkan pada jarak 4 minggu dari
imunisasi pertama. Jarak imunisasi ke-3 dengan ke-2 minimal 2 bulan

9
dan terbaik setelah 5 bulan. Apabila anak belum pernah mendapat
imunisasi hepatitis B pada masa bayi, ia bisa mendapat serial imunisasi
kapan saja saat berkunjung.9-12

Gambar 2.4 Jadwal Imunisasi Hepatitis Rekomendasi Ikatan Dokter Anak


Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin


 Efek samping : Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan
pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi
bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.
 Cara penanganan :
o Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak
(ASI).
o Jika demam, kenakan pakaian yang tipis.
o Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.
o Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam
(maksimal 6 kali dalam 24 jam).
o Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.13

2.4.2 Polio untuk Poliomielitis


 Definisi

10
Poliomielitis merupakan suatu penyakit kelumpuhan syaraf yang
bersifat akut yang disebabkan karena virus RNA golongan Enterovirus,
Famili Picornaviridae, satu subgroup dengan virus Coxsackie dan
Echovirus.14

 Etiologi
Tiga jenis virus polio yaitu strain 1 (Brunhilde), strain 2 Lansing
dan strain 3 Leon. Strain 1 adalah yang paling paralitogenik dan sering
menimbulkan wabah sedangkan strain 2 yang paling jinak.14

 Cara penularan
Manusia adalah satu satunya inang dari virus polio. Penularan
tersering terjadi secara infeksi droplet dari orofaring/saliva (jarang) atau
tinja penderita yang infeksius. Faktor yang mempengaruhi penularlan
adalah sanitasi dan higiene lingkungan yang buruk. Virus polio ini dapat
hidup sampai berbulan–bulan pada suhu kamar tahan terhadap alkohol
70%, ether dan mati dengan chlorine, formaldehide dan jika terpapar
suhu di atas 50°C dan sinar ultra violet.14

 Gejala
Masa inkubasi Poliomielitis berkisar antara 3 -6 hari dan kelumpuhan
akan terjadi dalam waktu 7-21 hari.14
Manifestasi klinis paparan virus polio pada manusia ada 4 bentuk
yaitu14:
1. Inapparent infection tanpa gejala klinik yang banyak terjadi
(72%).
2. Minor Illness (abortif Poliomielitis) dengan gejala panas yang
tidak terlalu tinggi, perasaan lemas, tidak ada nafsu makan dan
sakit pada tenggorokan, gangguan gastrointestinal, dan nyeri

11
kepala ringan. Pemeriksaan fisik dalam batas normal,
pemeriksaan CSS normal dan sembuh dalam waktu 24-72 jam.
3. Non paralitik Poliomielitis (meningitis aseptik), ditandai
dengan adanya demam tinggi 39,5 °C, sakit kepala, nyeri pada
ototr, hiperestesi dan parestesi, tidak ada nafsu makan, mual,
muantah, konstipasi atau diare dapat timbul. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan kaku kuduk, brudzinki dan kernig positif,
perubahan refleks permukaan dan refleks dalam dimana refkes
tersebut mulai menurun. Hasil lumbal pungsi didapatkan
adanya kenaikan sel, pada permulaan PMN (polimorfonuklear)
kemudian berubah menjadi mononuklear, protein normal atau
sedikit meningkat dan kadar glukosa normal.
4. Paralitik Poliomielitis, dimulai dengan gejala seperti non
paralytik Poliomielitis ditambah dengan diketemukannya
kelumpuhan pada satu atau dua ekstremitas dan hilangnya
refleks superfisial atau refleks tendon dalam (tipe spinal). Pada
major illness, gejala klinis dimulai dengan demam, kelemahan
yang terjadi dalam beberapa jam, nyeri kepala dan muntah.
Dalam waktu 24 jam terlihat kekakuan pada leher dan
punggung. Penderita terlihat mengantuk, iritabel, dan
kecemasan. Onset terjadinya paralisis tiba tiba dan berlangsung
dalam beberapa jam dapat melibatkan lebih dari satu
ektremitas. Pada kasus yang ringan biasanya kelumpuhan
bersifat asimetris dan anggota gerak bagian bawah lebih sering
terkena dibanding anggota gerak bagian atas namun pada kasus
yang berat dapat terjadi kuadriplegi dan kelumpuhan yang
bersifat bulber akibat kerusakan pada batang otak sehingga
terjadi insufisiensi pernafasan, V,IX,X,XI dan kemudian VII
(tipe bulber), dan tipe bulbo spinal manifestasi klinisnya
gabungan kelumpuhan tipe spinal dan bulber. Manifestasi klinis
paralisis terbagi dua yaitu spinal dan bulbar. Pada poliomielitis

12
spinal, kelemahan bagian proksimal lebih berat dari distal, lebih
sering mengenai fleksor, asimetris dan pada kasus yang ringan
hanya mengenai beberapa motor unit. Paralisis ekstremitas
bawah lebih sering dari pada ekstremitas atas dan otot tubuh
paling jarang terkena. Otot mengalami kelumpuhan flaksid,
refleks tendon menghilang, dan atropi terjadi 5-7 hari setelah
lumpuh. Derajat kerusakan medula spinalis dapat dibedakan
dari gejala klinis. Gejala klinis poliomielitis bulbar berupa
gangguan menelan dan fonasi, paralisis otot fasialis unilateral
atau bilateral, dan terkadang kelumpuhan otot lidah. Bentuk
yang paling berat adalah polio- ensefalitis. Kasus kelumpuhan
tipe ensefalitis (jarang) ditemukan adanya disorientasi, iritabel,
mengantuk dan ditemukan kelumpuhan tipe perifer dan syaraf
kranialis yang terjadi bersamaan.
5. Post polio sindrom adalah bentuk manifestasi lambat (15-40
tahun) setelah infeksi virus polio dengan gejala klinik polio
paralitik yang akut. Gejala yang timbul adalah nyeri otot,
paralisis rekuren atau timbul paralisis baru.

 Komplikasi
Dapat menyebabkan kematian jika otot pernafasan terinfeksi dan jika
tidak segera ditangani.14

 Pencegahan
Pencegahan terhadap polio yaitu dengan pemberian vaksin polio.
Vaksin polio OPV-0 (Oral Polio Vaccine) segera diberikan apabila bayi
lahir di rumah. Apabila lahir disarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat
bayi dipulangkan. Selanjutnya untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio
booster diberikan OPV atau IPV (Inactive Polio Vaccine). Paling sedikit
harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian
OPV-3. OPV diberikan secara oral sebanyak 4 kali (dosis) pemberian

13
dengan 1 dosis (2 tetes) dengan interval satu atau dua bulan. IPV
diberikan dengan dosis 0,5 mL secara intramuscular pada interval satu
atau dua bulan. 4,6-8
Pada anak yang terlambat diberikan imunisasi polio, jangan
mengulang pemberiannya dari awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi sesuai

jadwal, tidak peduli berapa pun interval keterlambatan dari pemberian


sebelumnya.9-12

Gambar 2.5 Jadwal Imunisasi Polio Rekomendasi Ikatan Dokter Anak


Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin

 Efek samping : Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi


polio oral. Setelah mendapat vaksin polio oral bayi boleh makan
minum seperti biasa. Apabila muntah dalam 30 menit segera
diberi dosis ulang.13
 Cara penanganan : Orangtua tidak perlu melakukan tindakan apa
pun.13

 Vaccine-associated paralytic polio (VAPP)


Pada VAPP setelah pemberian OPV, virus polio vaksin akan
bereplikasi di faring dan usus halus selama 4-6 minggu, sehingga
penerima vaksin dapat membentuk kekebalan humoral dan kekebalan
mukosa. Dalam proses replikasi, virus polio strain sabin dapat bermutasi
ke arah varian yang lebih stabil secara genetik dan kadang-kadang berubah
ke arah varian neurovirulen yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan
menyebabkan kelumpuhan. VAPP terkait dengan dosis tunggal OPV yang

14
diberikan pada seorang anak, dapat juga kerena kontak dekat dengan
penyebaran fecal oral.
Kejadian VAPP bervariasi antar negara. Di negara dengan pendapatan
rendah, mayoritas kasus VAPP (63%) terjadi pada individu yang telah
mendapat >3 dosis OPV. Di negara berpenghasilan sedang dan tinggi,
sebagian besar kasus VAPP terjadi setelah mendapat OPV dosis pertama
atau pada kontak yang tidak mendapat imunisasi. Risiko terjadinya VAPP
di negara yang menggunakan OPV adalah 3,8 kasus per 1 juta kelahiran
(rentang 2,9-4,7). dan prediksi beban kasus adalah 399 kasus (rentang 306-
490), dengan angka kejadian adalah satu di antara 2.7 juta dosis yang
diberikan.13

 Vaccine derived poliovirus (VDPV)

VDPV yaitu virus polio yang materi genetiknya telah mengalami


replikasi atau mengalami transmisi berkepanjangan. VDPV dikategorikan
sebagai (1) circulating VDPVs (cVDPVs) bila terdapat bukti transmisi
virus polio dari orang ke orang dalam komunitas; (2) immunodeficiency-
associated VDPV (iVDPV) merupakan virus yang disolasi dari orang yang
menderita penyakit imunodefisiensi primer seperti primary B-cell
immunodeficiencies; (3) ambiguous VDPV (aVDPV), yang diisolasi dari
orang yang tidak diketahui menderita imunodefisiensi atau dari kotoran
yang sumbernya tidak diketahui. Di antara ketiga kategori VDPV, cVDPV
adalah jenis yang mempunyai dampak terbesar terhadap kesehatan
masyarakat. VDPV dapat menimbulkan transmisi endemik dan epidemik
serta mengancam keberhasilan program eradikasi polio. 13

2.4.2 BCG untuk Tuberkulosis


 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar menyerang
paru namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.15

15
 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis.15

 Cara penularan
Inhalasi droplet : dapat melalu batuk atau bersin dari orang yang
terinfeksi bakteri penyebab.15

 Gejala
o Gejala awal : lemah badan, penurunan berat badan, demam,
keringan pada malam hari.
o Gejala selanjutnya : batuk kronis, nyeru dada, hemoptoe.15

 Komplikasi
Pulmoner : hemoptoe massif, cor pulmonale, fibrosis, lung/pleura
kalsifikas, PPOK, bronkiektasi.15

 Pencegahan
Pencegahan penyakit tuberculosis yaitu dengan pemberian vaksin
BCG (Bacillus Calmette Guerin). Pemberian vaksin BCG dianjurkan
sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan pada usia
3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Vaksin
BCG diberikan dengan dosis 0,05 mL secara intrakutan di daerah lengan
kanan atas.4,6-8
Apabila anak belum pernah mendapat imunisiasi BCG, pemberian
imunisasi paling lambat sampai usia anak <6 tahun dan perlu dilakukan
uji tuberkulin terlebih dahulu.9-12

16
Gambar 2.6 Jadwal Imunisasi BCG Rekomendasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017
 Efek samping vaksin
 Efek samping : 2–6 minggu setelah imunisasi BCG daerah bekas
suntikan timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan
dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2–4 bulan, kemudian
menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut
dengan diameter 2–10 mm.13
 Cara penanganan :13
o Apabila ulkus mengeluarkan cairan perlu dikompres
dengan cairan antiseptik.
o Apabila cairan bertambah banyak atau koreng semakin
membesar anjurkan orangtua membawa bayi ke ke tenaga
kesehatan.

2.4.3 DTP untuk Difteri, Tetanus, Pertusis


2.4.3.1 Difteri
 Definisi
Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah
dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif
Corynebacterium diptheriae strain toksin.16

 Etilogi
Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri basil gram positif
anaerob. Produksi toksin terjadi hanya jika bakteri terinfeksi (mengalami
lisogenisasi) oleh virus spesifik (bakteriofage) yang membawa informasi
genetik untuk toksin (gen tox). Hanya strain toksigenik yang dapat

17
menyebabkan penyakit berat. Masa inkubasi bakteri ini biasanya 2-5 hari
(1-10 hari). 16
C.diphteriae dapat diklasifikasikan menjadi beberapa biotipe, yaitu
intermedius, gravis, mitis, dan belfanti. Semua biotipe ini telah ditemukan
dalam bentuk toksigenik.16

 Cara penularan
Penularan melalui kontak dengan karier atau individu terinfeksi.
Bakteri ditularkan melalui kontak droplet seperti batuk, bersin, ataupun
kontak langsung seperti saat berbicara. Manusia merupakan karier
asimptomatik dan berperan sebagai reservoir C. diphteriae. Transmisi
melalui kontak dengan lesi kulit individu terinfeksi jarang terjadi.16

 Gejala
Infeksi difteri dapat melibatkan berbagai lokasi membran mukosa.
Untuk kepentingan klinis, difteri dapat diklasifikasikan menurut lokasi
anatomis penyakit, yaitu :
1. Difteri Hidung : Awitan difteri hidung sulit dibedakan dari
common cold, biasanya ditandai oleh sekret hidung
mukopurulen (mukus dan pus) yang dapat disertai bercak
darah. Pseudomembran putih biasanya terbentuk di septum
nasi. Penyakit ini biasanya ringan karena absorpsi sistemik
toksin di lokasi ini buruk dan dapat diterminasi dengan cepat
oleh terapi anti- toksin difteri dan antibiotik.16
2. Difteri Tonsil dan Faring : Lokasi paling sering infeksi difteri
adalah faring dan tonsil. Infeksi di lokasi ini biasanya
berhubungan dengan absorpsi sistemik sejumlah besar toksin.
Gejala awal berupa malaise, nyeri tenggorokan, anoreksia,
dan demam low-grade (<101°F). Dalam 2-3 hari, terbentuk
membran putih-kebiruan dan meluas dengan ukuran
bervariasi. Pseudomembran berwarna hijau-keabuan atau

18
hitam jika telah terjadi perdarahan. Mukosa sekitar
pseudomembran tampak eritema.Pseudomembran yang luas
dapat berakibat obstruksi saluran napas. Pasien dengan
penyakit berat dapat mengalami edema di area submandibular
dan leher bagian anterior sepanjang area limfadenopati,
sehingga menunjukkan gambaran ”bullneck”. Jika toksin yang
diserap tubuh cukup banyak, pasien sangat lemah, pucat,
takikardi, stupor, koma, dan bahkan meninggal dalam 6-10
hari.16
3. Difteri Laring : Dapat terjadi akibat penyebaran dari faring
atau infeksi langsung. Gejala meliputi demam, suara serak,
dan batuk rejan. Pseudomembran dapat menyebabkan
obstruksi saluran napas, koma, dan kematian.16
4. Difteri Kulit : Infeksi kulit cukup banyak terjadi di daerah
tropis dan mungkin berhubungan dengan tingginya imunitas
alami di populasi. Infeksi kulit dapat bermanifestasi sebagai
ruam berskuama atau ulkus dengan tepi tegas disertai
membran. Pada umumnya, organisme yang diisolasi dari
kasus di Amerika Serikat merupakan strain non-toksigenik.
Derajat lesi kulit yang disebabkan strain toksigenik lebih
ringan dibandingkan di lokasi lain di tubuh.16
5. Difteri Tempat Lain
C. diphtheriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus
di tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata
(konjungtivitis purulen dan ulseratif) dan traktus genitalis
(vulvovaginitis purulen dan ulseratif). Tanda klinis terdapat
ulserasi; membran dan perdarahan submukosa membantu
membedakan difteria dari penyebab bakteri lain atau virus.
Difteria mata dengan lesi konjungtiva berupa kemerahan,
edema, dan membran pada konjungtiva palpebra. Di telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.16

19
 Pencegahan
Pencegahan penyakit difteri yaitu dengan pemberian vaksin DTP.
Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat
diberikan
vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila
diberikan vaksip DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.. Untuk vaksin DTPw dan DTPa
diberikan secara intramuscular atau subkutan dalam dengan dosis 0,5 mL.
Saat ini pemberian vaksin DTP dikombinasikan dengan HB dan Hib yang
dikenal dengan Pentabio® (DTPw-HB-Hib). Pentabio® diberikan secara
intramuscular atau subkutan dalam dengan dosis sebesar 0,5 mL.4,6-8

Gambar 2.7 Jadwal Imunisasi DTP Rekomendasi Ikatan Dokter Anak


Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin


 Efek samping : Gejala-gejala seperti lemas dan kemerahan pada
lokasi suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang
gejala demam.13
 Cara penanganan :13
o Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum anak
lebih banyak.
o Jika demam, kenakan pakaian yang tipis
o Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.

20
o Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4
jam (maksimal 6 kali dalam 24 jam)
o Anak boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.

2.4.3.2 Tetanus
 Definisi
Tetanus merupakan suatu penyakit syaraf yang mempunyai manifestasi
paralisis spastis akut yang disebabkan oleh toksin tetanus, suatu
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.17

 Etiologi
Clostridium tetani: bakteri gram posistif yang motil, membentuk spora,
anaerob, yang hidup pada tanah dan saluran cerna berbagai hewan dan
manusia.17

 Cara penularan
Kebanyakan kasus tetanus pada anak berhubungan dengan luka pasca
trauma, ulserasi kulit yang bersifat kronik, abses gigi, luka bakar, otitis
media supuratif kronis dan pasca pembedahan daerah adomen yang
terkontaminasi dengan bakteri anaerob Clostridium tetani. Pada neonatus
dihubungkan dengan pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak
steril dan ibu yang tidak mendapat imunisasi tetanus toksoid.17

 Gejala
o Gejala awal : kaku otot pada rahang, disertai kaku pada leher,
kesulitan menelan, kaku otot perut, berkeringat dan demam.
o Pada bayi terdapat gejala berhenti menetek (sucking) antara 3
sampai dengan 28 hari setelah lahir.
o Gejala berikutnya : krjang yang hebat dan tubuh menjadi kaku.17

21
 Komplikasi
o Fraktur akibat kejang
o Pneumonia
o Infeksi lain yang dapat menyebabkan kematian17

 Pencegahan
Pencegahan penyakit tetanus yaitu dengan pemberian vaksin DTP.
Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat
diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain.
Apabila diberikan vaksip DTPa maka interval mengikuti rekomendasi
vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.. Untuk vaksin DTPw dan
DTPa diberikan secara intramuscular atau subkutan dalam dengan dosis
0,5 mL. Saat ini pemberian vaksin DTP dikombinasikan dengan HB dan
Hib yang dikenal dengan Pentabio® (DTPw-HB-Hib). Pentabio®
diberikan secara intramuscular atau subkutan dalam dengan dosis sebesar

0,5 mL.4,6-8

Gambar 2.8 Jadwal Imunisasi DTP Rekomendasi Ikatan Dokter Anak


Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin


 Efek samping : Gejala-gejala seperti lemas dan kemerahan pada
lokasi suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang
gejala demam.13

22
 Cara penanganan :13
o Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum anak
lebih banyak.
o Jika demam, kenakan pakaian yang tipis
o Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.
o Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4
jam (maksimal 6 kali dalam 24 jam)
o Anak boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.

2.4.3.3 Pertussis
 Definisi
Pertusis, penyakit pernapasan yang dikenal sebagai batuk rejan, adalah
penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh jenis bakteri yang
disebut Bordetella pertussis. Bakteri ini menempel pada silia (ekstensi
kecil, seperti rambut) yang melapisi bagian dari sistem pernapasan bagian
atas. Bakteri melepaskan racun (racun), yang merusak silia dan
menyebabkan saluran udara membengkak.18

 Etiologi
Bordetella pertussis18

 Cara penularan
Pertusis adalah penyakit yang sangat menular yang hanya ditemukan
pada manusia. Pertusis menyebar dari orang ke orang. Orang dengan
pertusis biasanya menularkan penyakit kepada orang lain dengan batuk
atau bersin atau ketika menghabiskan banyak waktu di dekat satu sama
lain di mana Anda berbagi ruang bernapas. Banyak bayi yang menderita
pertusis terinfeksi oleh saudara kandung yang lebih tua, orang tua, atau
pengasuh yang bahkan mungkin tidak tahu mereka menderita penyakit
ini.18

23
 Gejala
Pertusis (batuk rejan) dapat menyebabkan penyakit serius pada bayi,
anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Gejala pertusis biasanya
berkembang dalam 5 hingga 10 hari setelah Anda terpapar. Kadang-
kadang gejala pertusis tidak berkembang selama 3 minggu.18
Gejala awal dapat berlangsung selama 1 hingga 2 minggu dan biasanya
meliputi:
 Demam ringan (umumnya minimal sepanjang perjalanan
penyakit)
 Pilek
 Batuk ringan dan sesekali
 Apnea - jeda pernapasan (pada bayi)18
Gejala lanjut
 Batuk cepat diikuti oleh suara “whoop” bernada tinggi
 Muntah (muntah) selama atau setelah batuk
 Kelelahan (sangat lelah) setelah batuk18
Batuk pada umumnya menjadi lebih umum dan buruk ketika penyakit
berlanjut, dan dapat terjadi lebih sering di malam hari. Batuk bisa
berlangsung hingga 10 minggu atau lebih. Di Cina, pertusis dikenal
sebagai "batuk 100 hari”.18

 Komplikasi
Pneumonia18

 Pencegahan
Pencegahan penyakit pertussis yaitu dengan pemberian vaksin DTP.
Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat
diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain.
Apabila diberikan vaksip DTPa maka interval mengikuti rekomendasi
vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.. Untuk vaksin DTPw dan

24
DTPa diberikan secara intramuscular atau subkutan dalam dengan dosis
0,5 mL. Saat ini pemberian vaksin DTP dikombinasikan dengan HB dan
Hib yang dikenal dengan Pentabio® (DTPw-HB-Hib). Pentabio®
diberikan secara intramuscular atau subkutan dalam dengan dosis sebesar
0,5 mL.4,6-8
Apabila imunisasi DTP terlambat diberikan, berapapun interval
keterlambatannya, jangan mengulang dari awal, tetapi lanjutkan imunisasi

sesuai jadwal. Bila anak berlum pernah diimunisasi dasar pada usia <12
bulan, lakukan imunisasi sesuai imunisasi dasar baik jumlah maupun
intervalnya. Bila pemberian DTP ke-4 sebelum ulang tahun ke-4,
pemberian ke-5 paling cepat diberikan 6 bulan sesudahnya. Bila
pemberian ke-4 setelah umur 4 tahun, pemberian ke-5 tidak diperlukan
lagi.9-12

Gambar 2.9 Jadwal Imunisasi DTP Rekomendasi Ikatan Dokter Anak


Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin


 Efek samping : Gejala-gejala seperti lemas dan kemerahan pada
lokasi suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang
gejala demam.13
 Cara penanganan :13
o Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum anak
lebih banyak.
o Jika demam, kenakan pakaian yang tipis
o Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.

25
o Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4
jam (maksimal 6 kali dalam 24 jam)
o Anak boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.

2.4.5 Meningitis
 Definisi
Kumpulan dari sindrom klinis yang disebabkan karena peradangan atau
inflamasi pada selaput/ lapisan pembungkus otak (meninges) termasuk
duramater, arachnoid, piamater dan medulla spinalis.19

 Etiologi
Penyebab tersering disebabkan oleh infeksi bakteri Haemophilus
influenzae tipe b. Laporan dari Asia menunjukkan bahwa Hib merupakan
penyebab terpenting meningitis. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Hib
ditemukan pada 33% di antara kasus meningitis. Pada penelitian lanjutan
didapatkan bahwa Hib merupakan 38% di antara penyebab meningitis
pada bayi dan anak berumur kurang dari 5 tahun. 16 Kapsul polisakarida
tipe B dari bakteri ini mengandung polyribitol ribose phosphate (PRP)
yang diketahui sebagai faktor virulensi utama.20

 Cara Penularan
Ditularkan melalui droplet orang yang terinfeksi.

 Gejala Klinis
Gejala meningitis yang dapat timbul seperti:
 Demam
 Kaku kuduk
 Penurunan kesadaran
 Nyeri kepala20

26
 Komplikasi
Komplikasi akut yang umumnya terjadi pada meningitis bakteri dapat
berupa syok, gagal napas, apnoe, perubahan status mental/koma,
peningkatan TIK, kejang, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC),
efusi subdural, abses subdural, abses intraserebral dan bahkan kematian.20

 Pencegahan
Pencegahan meningitis yaitu dengan pemberian vaksin HiB. Saat ini
pemberian vaksin HiB dikombinasikan dengan HB dan DTP yang dikenal
dengan Pentabio® (DTPw-HB-Hib). Pentabio® diberikan secara
intramuscular atau subkutan dalam dengan dosis sebesar 0,5 mL. 4,36-38
Pada anak yang terlambat/belum mendapat imunisasi Hib, imunisasi
dapat diberikan sampai usia anak 5 tahun.9-12

Gambar 2.10 Jadwal Imunisasi HiB Rekomendasi Ikatan Dokter Anak


Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin


 Efek samping : Kemerahan, rasa panas, bengkak pada lokasi
suntikan dan demam13
 Cara penanganan : Perhatikan apakah terjadi demam tinggi, serta
alergi berat dengan tibulnya gatal, sulit bernafas, bengkak jika
iya segera bawa ke rumah sakit terdekat.13

27
2.4.6 Pneumonia
 Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang terjadi pada parenkim paru yang
meliputi alveolus dan jaringan interstisial. Inflamasi tersebut dapat
disebabkan oleh infeksi dan non infeksi. Secara klinis pneumonia
didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Sedangkan peradangan
paru yang disebabkan oleh non mikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.21

 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,
yaitu bakteri, virus, mikobakterium, dan jamur. Penyebab tersering
pneumonia akibat bakterial pada semua kelompok umur adalah infeksi
Streptococcus pneumonia.21

 Cara Penularan
Ditularkan melalui droplet orang yang terinfeksi Streptococcus
pneumonia.21

 Gejala Klinis
Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare.
Gejala gangguan respirasi: batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, merintih (grunting), dan sianosis.21

 Komplikasi
Proses inflamasi pada pneumonia bakterialis menyebabkan
pengumpulan cairan di rongga pleura yang berdekatan sehingga dapat

28
menyebabkan efusi parapneumonia dan bila purulen dapat menyebabkan
empyema.22

 Pencegahan
Pencegahan pneumonia yaitu dengan pemberian vaksin PCV. Vaksin
PCV diberikan pada usia 7-12 bulan. PCV diberikan 2 kali dengan
interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali.
Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan
setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup
satu kali. Untuk bayi, imunisasi terdiri dari empat dosis sediaan 0,5 mL.
Dosis pertama diberikan pada usia 2 bulan. Interval pemberian yang
direkomendasikan adalah 4-8 minggu. Dosis keempat harus diberikan
pada usia 12-15 bulan dan sekurang-kurangnya 2 bulan setelah dosis
ketiga.4,6-8
Pada anak yang terlambat/belum mendapat imunicasi PCV, imunisasi
bisa diberikan sesuai dengan usia anak pada saat itu. Imunisasi PCV dapat
diberikan sampai usia anak <6 tahun.9-12

Gambar 2.11 Jadwal Imunisasi PCV Rekomendasi Ikatan Dokter Anak


Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin


 Efek samping : rasa sakit dan kemerahan di tempat suntikan,
kehilangan nafsu makan dan pusing.13
 Cara penanganan : Bila diduga ada alergi reaksi berat segera
bawa ke dokter.13

29
2.4.7 Diare
 Definisi
Diare adalah perubahan konsistensi tinja yang terjadi tiba-tiba akibat
kandungan air di dalam tinja melebihi normal (10ml/kg/hari) dengan
peningkatan frekuensi defekasi lebih dari 3 kali dalam 24 jam dan
berlangsung kurang dari 14 hari. Berdasarkan definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa diare adalah buang air besar dengan bertambahnya
frekuensi yang lebih dari biasanya 3 kali sehari atau lebih dengan
konsistensi cair.23

 Etiologi
Diare merupakan masalah kesehatan terutama pada balita baik di tingkat
global, regional maupun nasional. Salah satu penyebab diare tersering
pada anak adalah rotavirus. Rotavirus merupakan penyebab utama diare
dengan dehidrasi berat pada anak dibawah 5 tahun di seluruh dunia.
Rotavirus menginfeksi saluran pencernaan manusia melalui makanan dan
minuman yang telah tercemar oleh organisme tersebut (food water borne
disease).24

 Cara Penularan
Rotavirus adalah virus RNA yang tergolong dalam famili Retroviridae.
Penularan rotavirus terjadi melalui faecal-oral. Penderita diare rotavirus
dapat mengekskresi virus dalam jumlah besar, yang dapat menyebar
melalui tangan yang terkontaminasi. Rotavirus merupakan virus yang
tahan terhadap berbagai lingkungan, sehingga dapat ditularkan melalui
berbagai benda yang terkontaminasi, air, maupun makanan. Pada iklim
tropis, rotavirus pada tinja dapat bertahan hidup sampai 2 bulan. Para
peneliti juga menduga bahwa rotavirus dapat ditularkan melalui udara,
karena virus ini juga terdeteksi di sekresi saluran nafas pada anak yang
menderita infeksi rotavirus.24

30
 Gejala Klinis
Rotavirus akan menginfeksi dan merusak sel-sel yang membatasi usus
halus dan menyebabkan diare cair akut dengan masa inkubasi 24-72 jam.
Gejala yang timbul bervariasi dari ringan sampai berat, didahului oleh
muntah -muntah yang diikuti 4-8 hari diare hebat yang dapat
menyebabkan dehidrasi berat dan berujung pada kematian. Sebuah studi
pada 103 anak positif rotavirus menunjukkan bahwa gejala klinis dari
infeksi rotavirus meliputi diare cair akut (79,6%), demam (81,5%), mual
atau muntah (80,6%).24,25

 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat timbul diantaranya:
o Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak
dari pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian
pada diare.23
o Gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis)
Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja.
Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor
tertimbun dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena
adanya anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam
meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi
oliguria atau anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan
ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.23
o Gangguan gizi
Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini
disebabkan oleh makanan sering dihentikan oleh orang tua karena
takut diare atau muntah yang bertambah hebat, walaupun susu
diteruskan sering diberikan dengan pengeluaran dan susu yang
encer ini diberikan terlalu lama, makanan yang diberikan sering

31
tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya
hiperperistaltik.23

 Pencegahan
Pencegahan untuk diare yang disebabkan rotavirus dapat diberikan
vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalent diberikan 2 kali, dosis
pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis pertama tidak diberikan pada
usia 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan internal 4-10
minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu. vaksin rotavirus
hanya diberikan melalui per oral. Satu paket terdiri dari dua dosis. Dosis
pertama dapat diberikan sejak bayi berumur 6 minggu, dosis selanjutnya
berjarak setidaknya 4 minggu setelah dosis pertama. Sebaiknya dosis
vaksin diberikan secara lengkap sebelum bayi berusia 16 minggu, atau
paling lama sudah lengkap pada saat bayi berusia 24 minggu.4,6-8
Batas akhir pemberian vaksin rotavirus adalah pada usia 32 minggu.
Apabila bayi belum diimunisasi pada usia lebih dari 6–8 bulan, maka tidak
perlu diberikan karena belum ada studi keamanannya.9-12

Gambar 2.12 Jadwal Imunisasi Rotavirus Rekomendasi Ikatan Dokter Anak


Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin

32
 Efek samping : Efek samping yang timbul ringan dan biasa
hilang dengan sendirinya seperti gelisah, rewel, diare, muntah.13
 Cara penanganan : Jika bayi menangis keras, diare dan muntah
sering diperkirakan terjadi intususepsi yang segera dibawa ke
dokter.13

2.4.8 Influenza
 Definisi
Influenza (flu) adalah penyakit pernapasan menular yang disebabkan
oleh virus influenza yang dapat menyebabkan penyakit ringan sampai
penyakit berat.26

 Etiologi
Penyebab influenza adalah virus RNA yang termasuk dalam keluarga
Orthomyxoviridae yang dapat menyerang burung, mamalia termasuk
manusia. Virus ditularkan melalui air liur terinfeksi yang keluar pada saat
penderita batuk, bersin atau melalui kontak langsung dengan sekresi
(ludah, air liur, ingus) penderita. Ada dua jenis virus influenza yang utama
menyerang manusia yaitu virus A dan virus B.27

 Cara Penularan
Influenza musiman menyebar dengan mudah Saat seseorang yang
terinfeksi batuk, tetesan yang terinfeksi masuk ke udara dan orang lain
bisa tertular. Mekanisme ini dikenal sebagai air borne transmission. Virus
juga dapat menyebar oleh tangan yang terinfeksi virus. Untuk mencegah
penularan, orang harus menutup mulut dan hidung mereka dengan tisu
ketika batuk, dan mencuci tangan mereka secara teratur.27

 Gejala Klinis

33
Gejala influenza biasanya diawali dengan demam tiba-tiba, batuk
(biasanya kering), sakit kepala, nyeri otot, lemas, kelelahan dan hidung
berair. Pada anak dengan influenza B dapat menjadi lebih parah dengan
terjadinya diare serta nyeri abdomen. Kebanyakan orang dapat sembuh
dari gejala-gejala ini dalam waktu kurang lebih satu minggu tanpa
membutuhkan perawatan medis yang serius. Waktu inkubasi yaitu dari
saat mulai terpapar virus sampai munculnya gejala kurang lebih dua hari.
Pada masa inkubasi virus tubuh belum merasakan gejala apapun. Setelah
masa inkubasi gejala-gejala mulai dirasakan dan berlangsung terus-
menerus kurang lebih selama satu minggu. Hal ini akan memicu kerja dari
sistem imun tubuh yang kemudian setelah kurang lebih satu minggu tubuh
akan mengalami pemulihan hingga akhirnya benar-benar sembuh dari
influenza.26

 Komplikasi
Prognosis pada umumnya baik, penyakit yang tanpa komplikasi
berlangsung 1-7 hari. Kematian terbanyak oleh karena infeksi bakteri
sekunder. Bila panas menetap lebih dari 4 hari dan terjadi leukositosis,
biasanya didapatkan infeksi bakteri sekunder.26

 Pencegahan
Pencegahan influenza yaitu dengan pemberian vaksin influenza. Vaksin
influenza diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun.
Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak usia
kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal 4 minggu.
Dosis untuk anak 6-36 bulan yaitu sebanyak 0,25 mL dan usia ≥36 bulan
sebanyak 0,5 mL secara intramuskular. Saat ini tersedia vaksin influenza
inaktif trivalent (2 serotipe influenza A dan 1 serotipe influenza B) dan
quadrivalen (2 serotipe influenza A dan 2 serotipe influenza B).4,6-8
Pada anak yang terlambat/belum mendapat imunisasi influenza,
imunisasi dapat dilengkapi sampai usia anak 18 tahun.9-12

34
Gambar 2.13 Jadwal Imunisasi Influenza Rekomendasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin


 Efek samping : Suara serak, merah sakt bengkak pada tempat
suntikan, mata kemerahan, demam, sakit kepala, nyeri otot.13
 Cara penanganan : Bila dirasa serius dan emergensi segera bawa
ke rumah sakit terdekat.13

2.4.9 Campak
 Definisi
Campak merupakan penyakit infeksi virus akut serius yang sangat
menular. Campak disebabkan oleh Paramyxovirus dan ditularkan terutama
melalui udara (airborne). Attack rate penularannya lebih dari 90% dari
individu yang terinfeksi sejak 4 hari sebelum sampai 4 jam setelah
munculnya ruam. Masa inkubasi penyakit ini terjadi pada 7-18 hari.28

 Etiologi
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus
genus Morbillivirus, famili Paramyxoviridae. Virus ini dari famili yang
sama dengan virus gondongan (mumps), virus parain-uenza, virus human
metapneumovirus, dan RSV (Respiratory Syncytial Virus).29
Virus campak berukuran 100-250 nm dan mengandung inti untai RNA
tunggal yang diselubungi dengan lapisan pelindung lipid. Virus campak
memiliki 6 struktur protein utama. Protein H (Hemagglutinin) berperan
penting dalam perlekatan virus ke sel penderita. Protein F (Fusion)
meningkatkan penyebaran virus dari sel ke sel. Protein M (Matrix) di
permukaan dalam lapisan pelindung virus berperan penting dalam
penyatuan virus. Di bagian dalam virus terdapat protein L (Large), NP

35
(Nucleoprotein), dan P (Polymerase phosphoprotein). Protein L dan P
berperan dalam aktivitas polimerase RNA virus, sedangkan protein NP
berperan sebagai struktur protein nucleocapsid. Karena virus campak
dikelilingi lapisan pelindung lipid, maka mudah diinaktivasi oleh cairan
yang melarutkan lipid seperti eter dan kloroform. Selain itu, virus juga
dapat diinaktivasi dengan suhu panas (>370 C), suhu dingin. Virus ini
jangka hidupnya pendek (short survival time), yaitu kurang dari 2 jam.29

 Cara Penularan
Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang berasal
dari penderita. Virus campak masuk melalui saluran pernapasan dan
melekat di sel-sel epitel saluran napas.29

 Gejala Klinis
Gejala campak ditandai dengan:30
1. Demam dengan suhu badan biasanya >38°C selama 3 hari atau
lebih dan akan berakhir setelah 4-7 hari. Demam tinggi terjadi
setelah 10-12 hari setelah tertular. Terdapat pula batuk, pilek,
mata merah atau mata berair (3C: cough, coryza,
conjunctivitis).
2. Tanda khas (patognomonis) ditemukan Koplik's spot atau
bercak putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam.
3. Gejala pada tubuh berbentuk ruam makulopapular. Ruam
muncul pada muka dan leher, dimulai dari belakang telinga,
kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Ruam bertahan selama 3
hari atau lebih pada kisaran hari ke-4 sampai ke-7 demam.
Ruam muncul saat demam mencapai puncaknya. Ruam
berakhir dalam 5 sampai 6 hari, dan menjadi berwarna seperti
tembaga atau kehitaman.

 Komplikasi

36
Komplikasi umumnya terjadi pada anak risiko tinggi, yaitu:31
 Usia muda, terutama di bawah 1 tahun
 Malnutrisi (marasmus atau kwasiorkor)
 Pemukiman padat penduduk yang lingkungannya kotor
 Anak dengan gangguan imunitas, contohnya pada anak
terinfeksi HIV, malnutrisi, atau keganasan
 Anak dengan defisiensi vitamin

Komplikasi dapat terjadi pada berbagai organ tubuh, antara lain:31


 Saluran pernapasan: bronkopneumonia, laringotrakeobronkitis
(croup)
 Saluran pencernaan: diare yang dapat diikuti dengan dehidrasi
 Telinga: otitis media
 Susunan saraf pusat:
o Ensefalitis akut: timbul pada 0,01 – 0,1% kasus
campak. Gejala berupa demam, nyeri kepala, letargi,
dan perubahan status mental yang biasanya muncul
antara hari ke-2 sampai hari ke-6 setelah munculnya
ruam. Umumnya self-limited (dapat sembuh sendiri),
tetapi pada sekitar 15% kasus terjadi perburukan yang
cepat dalam 24 jam. Gejala sisa dapat berupa
kehilangan pendengaran, gangguan perkembangan,
kelumpuhan, dan kejang berulang.
o Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE): suatu
proses degeneratif susunan saraf pusat yang
disebabkan infeksi persisten virus campak, timbul
beberapa tahun setelah infeksi (umumnya 7 tahun).
Penderita mengalami perubahan tingkah laku, retardasi
mental, kejang mioklonik, dan gangguan motorik.
 Mata: keratitis

37
 Sistemik: septikemia karena infeksi bakteri sekunder

 Pencegahan
Penyakit campak dapat dicegah dengan pemberian vaksin campak.
Vaksin campak diberikan pada usia 9 bulan dan dosis ulangan (second
opportunity pada crash program campak) pada usia 6-59 bulan serta saat
SD kelas 1-6. Terkadang, terdapat program PIN (Pekan Imunisasi
Nasional) campak yang bertujuan sebagai penguatan (strengthening).
Vaksin campak dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara
subkutan, pada umur 9 bulan.4,6-8
Pada anak yang terlambat/belum mendapat imunisasi campak, maka
bila saat itu anak berusia 9–12 bulan, berikan kapan pun saat bertemu. Bila
anak berusia >1 tahun, berikan MMR. Imunisasi campak dapat dilengkapi
sampai usia anak 18 tahun.9-12

Gambar 2.14 Jadwal Imunisasi Campak Rekomendasi Ikatan Dokter Anak


Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin


 Efek samping : : Hingga 15% pasien dapat mengalami demam
ringan dan kemerahan selama 3 hari yang dapat terjadi 8–12 hari
setelah vaksinasi.13
 Cara penanganan :13
o Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum lebih
banyak (ASI atau sari buah).
o Jika demam kenakan pakaian yang tipis.

38
o Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin.
o Jika demam berikan paracetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4
jam (maksimal 6 kali dalam 24 jam).
o Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
o Jika reaksi tersebut berat dan menetap bawa bayi ke
dokter.

2.4.10 Mumps
 Definisi
Gondong (mumps) adalah infeksi akut yang ditandai dengan demam,
pembengkakan kelenjar parotis bilateral atau unilateral serta nyeri tekan,
dan seringnya terjadi meningoensefalitis dan orkitis.32

 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus gondong yang termasuk famili
Paramyxoviridae dan genus Rubulavirus. Ini adalah virus RNA pleomorfik
berantai tunggal yang dienkapsulasi dalam amplop lipoprotein yang
memiliki 7 protein struktural. Virus gondong ada sebagai serotipe tunggal
hingga 12 genotipe yang dikenal, dan manusia adalah satu-satunya inang
alami.32

 Cara Penularan
Virus gondong disebarkan dari orang ke orang melalui tetesan
pernapasan. Virus muncul dalam air liur mulai dari 7 hari sebelum hingga
7 hari setelah onset pembengkakan kelenjar parotis.

 Gambaran Klinis

39
Masa inkubasi berkisar antara 12 hingga 25 hari tetapi biasanya 16-18
hari. Infeksi virus gondong dapat mengakibatkan gejala klinis mulai dari
tanpa gejala atau gejala tidak spesifik hingga penyakit khas yang terkait
dengan parotitis dengan atau tanpa komplikasi yang melibatkan beberapa
sistem tubuh. Pasien biasanya datang dengan gejala prodromal yang
berlangsung 1-2 hari yang terdiri dari demam, sakit kepala, muntah, dan
sakit. Parotitis terjadi dan mungkin unilateral pada awalnya tetapi menjadi
bilateral pada sekitar 70% kasus. Kelenjar parotid lunak, dan parotitis
dapat didahului atau disertai dengan nyeri telinga di sisi ipsilateral.
Menelan makanan asam atau cairan dapat meningkatkan rasa sakit di
daerah parotis. Puncak pembengkakan parotis dalam waktu sekitar 3 hari
dan kemudian secara bertahap mereda selama 7 hari. Demam dan gejala
sistemik lainnya sembuh dalam 3-5 hari. Ruam morbiliformis jarang
terlihat. Kelenjar saliva submandibular mungkin juga terlibat atau
mungkin membesar tanpa pembengkakan parotis. Edema di atas sternum
akibat obstruksi limfatik juga dapat terjadi.32

 Komplikasi
Komplikasi paling umum dari gondong adalah meningitis, dengan atau
tanpa ensefalitis, dan keterlibatan gonad (orkitis, ooforitis). Komplikasi
yang tidak biasa termasuk konjungtivitis, neuritis optik, pneumonia,
nefritis, pankreatitis, mastitis, dan trombositopenia. Komplikasi dapat
terjadi tanpa adanya parotitis terutama pada individu yang diimunisasi, dan
tingkat komplikasi keseluruhan pada individu yang diimunisasi lebih
rendah daripada pada yang tidak diiumunisasi. 32

 Pencegahan
Penyakit Mumps dapat dicegah dengan pemberian vaksin MMR
(Mumps-Meastles-Rubella) / MR (Measles-Rubella). Apabila sudah
mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR
diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia

40
12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka dapat diberikan vaksin
MMR/MR. Vaksin MMR diberikan dengan dosis 0,5 mL, secara subkutan.
Vaksin MMR yang beredar di pasaran ialah MMRII (MSD) ® dan
Trimovax (Pasteur Merieux)® .4,6-8
Pada anak yang terlambat/belum mendapat imunisasi MMR, jika
sebelumnya telah mendapat imunisasi campak pada usia 9 bulan, maka
vaksin MMR/MR diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan).
Apabila pada usia 12 bulan belum mendapat vaksinasi campak, maka
dapat diberikan vaksin MMR/MR. Imunisasi MMR dapat dilengkapi
sampai usia anak 18 tahun.9-12

Gambar 2.15 Jadwal Imunisasi MMR/MR Rekomendasi Ikatan Dokter


Anak Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin


 Efek samping : Demam, ruam di kulit yang ringan,
pembengkakan di kelenjar pipi atau leher.13
 Cara penanganan : Jika dirasa timbul demam sangat tinggi atau
alergi berat segera hubungi dokter.13

2.4.11 Rubela
 Definisi
Rubela (German measles) merupakan suatu penyakit virus yang umum
pada anak dan dewasa muda, yang ditandai oleh suatu masa prodromal
yang pendek, pembesaran kelenjar getah bening servikal, suboksipital dan
postaurikular, disertai erupsi yang berlangsung 2 - 3 hari. Pada anak yang

41
lebih besar dan orang dewasa sekali-sekali terdapat infeksi berat disertai
kelainan sendi dan purpura.33

 Etiologi
Penyakit rubela disebabkan oleh virus rubela, yang merupakan anggota
famili Togaviridae dan merupakan satu-satunya spesies dari genus
Rubivirus. Genom single-stranded RNA, icosahedral nucleocapsid,
berenvelop. Hospes alami adalah manusia. Virus ini sensitif terhadap
panas, sinar ultraviolet, dan pH ekstrem tetapi relatif stabil pada suhu
dingin.34,35

 Cara Penularan
Rubela menyebar ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin
(airborne route). Rubela juga dapat menyebar jika seorang wanita
terinfeksi pada saat hamil sehingga dapat menularkan kepada bayi yang
sedang berkembang. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan serius. 31 Pintu
masuk dari virus rubella adalah epitel pernapasan nasofaring. Virus
ditularkan melalui partikel aerosol dari sekresi saluran pernapasan individu
yang terinfeksi. Virus menempel dan menyerang epitel pernapasan.
Kemudian menyebar secara hematogen (viremia primer) ke limfatik
regional dan jauh dan bereplikasi dalam sistem retikuloendotelial.
Kemudian diikuti oleh viremia sekunder yang terjadi 6-20 hari setelah
infeksi. Viremia memuncak tepat sebelum timbulnya ruam dan
menghilang segera sesudahnya (7 hari sebelum timbul ruam sampai 7-10
hari setelah timbul ruam).36

 Gambaran Klinis
Setelah masa inkubasi 14-21 hari, gejala prodromal yang terdiri dari
demam ringan, sakit tenggorokan, mata merah dengan atau tanpa nyeri
mata, sakit kepala, malaise, anoreksia, dan limfadenopati dimulai. Timbul
pembesaran pada kelenjar getah bening suboksipital, postauricular, dan

42
anterior serviks paling menonjol. Pada anak-anak, manifestasi pertama
rubella biasanya ruam, yang bervariasi dan tidak khas. Dimulai pada wajah
dan leher sebagai makula kecil berwarna merah muda dan tidak beraturan
yang menyatu, dan menyebar secara sentrifugal yang melibatkan batang
tubuh dan ekstremitas, di mana ia cenderung muncul sebagai makula
diskrit.
Pada saat timbulnya ruam, pemeriksaan orofaring dapat ditemukan lesi
kecil berwarna merah (bintik Forchheimer) atau perdarahan petekie pada
palatum molle. Ruam memudar mulai dari wajah dan meluas ke seluruh
tubuh. Durasi ruam umumnya 3 hari, dan biasanya sembuh tanpa
deskuamasi. Infeksi subklinis sering terjadi, dan 25–40% anak mungkin
tidak mengalami ruam. Remaja dan orang dewasa cenderung lebih
bergejala dan memiliki manifestasi sistemik, 70% wanita menunjukkan
artralgia dan arthritis.35

 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah35:
 Trombositopenia postinfectious terjadi pada sekitar 1 dari 3.000
kasus rubella dan lebih sering terjadi pada anak-anak dan
perempuan.
 Artritis setelah rubella lebih sering terjadi pada orang dewasa,
terutama wanita. Ini dimulai dalam 1 minggu dari permulaan
exanthem dan secara klasik melibatkan persendian kecil tangan.
Artritis dapat sembuh dalam beberapa minggu tanpa gejala sisa.
 Ensefalitis adalah komplikasi paling serius dari rubela
postnatal. Ensefalitis postinfectious jarang terjadi, terjadi pada
1 dari 5.000 kasus rubella. Ini muncul dalam 7 hari setelah
timbulnya ruam, terdiri dari sakit kepala, kejang, kebingungan,
koma, tanda-tanda neurologis fokal, dan ataksia. Demam dapat
kambuh dengan timbulnya gejala neurologis.

43
 Progressive rubella panencephalitis (PRP) adalah komplikasi
yang sangat jarang terjadi pada rubella atau CRS.
 Sindrom neurologis lain yang jarang dilaporkan dengan rubella
termasuk sindrom Guillain-Barré dan neuritis perifer.
Miokarditis adalah komplikasi yang jarang terjadi.

 Pencegahan
Penyakit rubella dapat dicegah dengan pemberian vaksin MMR
(Mumps-Meastles-Rubella) / MR (Measles-Rubella). Apabila sudah
mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin
MMR/MR diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan).
Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
dapat diberikan vaksin MMR/MR. Vaksin MMR diberikan dengan
dosis 0,5 mL, secara subkutan. Vaksin MMR yang beredar di pasaran
ialah MMRII (MSD)® dan Trimovax (Pasteur Merieux)® .4,6-8
Pada anak yang terlambat/belum mendapat imunisasi MMR, jika
sebelumnya telah mendapat imunisasi campak pada usia 9 bulan, maka
vaksin MMR/MR diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6
bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapat vaksinasi campak,
maka dapat diberikan vaksin MMR/MR. Imunisasi MMR dapat
dilengkapi sampai usia anak 18 tahun.9-12

Gambar 2.16 Jadwal Imunisasi MMR/MR Rekomendasi Ikatan Dokter


Anak Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin

44
 Efek samping : Demam, ruam di kulit yang ringan,
pembengkakan di kelenjar pipi atau leher.13
 Cara penanganan : Jika dirasa timbul demam sangat tinggi atau
alergi berat segera hubungi dokter.13

2.4.12 Varisela
 Definisi
Infeksi akut primer oleh virus Varisela-zoster yang menyerang kulit
dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf,
terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Masa inkubasi 14-21 hari.30

 Etiologi
Penyebab varisela adalah virus varisela-zoster (VVZ). Penamaan
tersebut memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini menyebabkan
penyakit varisela, sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes zoster. VVZ
merupakan anggota famili herpes virus. Virion VVZ berbentuk bulat,
berdiameter 15—200 nm, DNA terletak diantara nukleokapsid, dan
dikelilingi oleh selaput membran luar dengan sedikitnya terdapat tiga
tonjolan glikoprotein mayor.37

 Cara Penularan
Varisela menyerang terutama anak-anak (90%) tetapi juga dapat
menyerang orang dewasa (2%), sisanya menyerang kelompok tertentu.
Transmisi penyakit ini secara aerogen. Masa penularannya lebih kurang 7
hari dihitung dari timbulnya gejala kulit. 37

 Gambaran Klinis
Masa inkubasi penyakit ini berlangsung 14 sampai 21 hari. Gejala
klinis dimulai dengan gejala prodromal, yakni demam yang tidak terlalu

45
tinggi (Ketinggian suhu biasanya 37,8-38,9 ° C (100-102 ° F) tetapi
mungkin setinggi 41,1 ° C (106 ° F); demam dan gejala sistemik lainnya
biasanya sembuh dalam 2-4 hari setelah timbulnya ruam) 31, malaise dan
nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul
eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel.
Bentuk vesikel ini khas mirip tetesan embun (tear drops) di atas dasar
yang eritematosa. Vesikel akan berubah menjadi keruh menyerupai pustul
dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul
lagi vesikel-vesikel baru sehingga pada satu saat tampak gambaran
polimorfi. Penyebaran terutama di daerah badan, kemudian menyebar
secara sentrifugal ke wajah dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput
lendir mata, mulut, dan saluran napas bagian atas. Jika terdapat infeksi
sekunder terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional. Penyakit ini
biasanya disertai rasa gatal.37

 Komplikasi
Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang timbul dan lebih sering
pada orang dewasa berupa ensefalitis, pneumonia, glomerulonefritis,
karditis, hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan kelainan
darah (beberapa macam purpura).37 Pneumonia, ensefalitis, hepatitis,
terutama terjadi pada pasien dengan gangguan imun.30

 Pencegahan
Imunisasi varisela dapat diberikan kapan pun saat pasien datang, karena
imunisasi ini bisa diberikan sampai dewasa. Apabila diberikan pada usia
>13 tahun maka diberikan 2 kali dengan interval 4–8 minggu.9-12

46
Gambar 2.17 Jadwal Imunisasi Varisela Rekomendasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin


 Efek samping : Bengkak dan nyeri di daerah suntikan, demam,
ruam ringan, kejang yang disebabkan demam, alergi dapat
berupa gatal, bengkak atau sulit bernafas
 Cara penanganan : Hubungi tempat pemberian vaksinasi atau
rumah sakit terdekat.13
2.4.13 Japanese Ensefalitis
 Definisi
Japanese ensefalitis (JE) adalah infeksi neurologis dengan berbagai
manifestasi. Mulai dari perubahan halus dalam perilaku hingga masalah
serius, termasuk kebutaan, ataksia, kelemahan, dan gangguan gerakan.38
Virus ini menyebabkan infeksi pada manusia dan merupakan penyakit
akut di wilayah Asia yang luas, Jepang utara, Korea, Cina, Taiwan,
Filipina, dan kepulauan Indonesia dan dari Indocina melalui anak benua
India.38

 Etiologi
Japanese ensefalitis disebabkan oleh Japanese encephalitis virus (JEV),
sebuah flavivirus, dan terkait erat dengan ensefalitis St. Louis dan
ensefalitis West Nile. Ini terjadi terutama di daerah pedesaan di Asia. JE
menyebar melalui daerah-daerah ini oleh gigitan nyamuk, paling sering
Culex tritaeniorhynchus.

 Cara Penularan
Penularan virus JE sebenarnya hanya terjadi antara nyamuk, babi, dan
atau burung rawa. Manusia bisa tertular virus JE bila tergigit oleh

47
nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang terinfeksi. Biasanya nyamuk ini
lebih aktif pada malam hari. Nyamuk golongan Culex ini banyak terdapat
di persawahan dan area irigasi. Kejadian penyakit JE pada manusia
biasanya meningkat pada musim hujan. Peningkatan penularan penyakit
ini disebabkan beberapa faktor risiko, antara lain: 1) Peningkatan populasi
nyamuk pada musim hujan; 2) Tidak adanya antibodi spesifik JE baik
yang didapat secara alamiah maupun melalui imunisasi; 3) Tinggal di
daerah endemik JE; serta 4) Perilaku yang dapat meningkatkan
kemungkinan digigit oleh nyamuk misalnya tidur tanpa menggunakan
kelambu.39

 Gambaran Klinis
Sebagian besar orang yang terinfeksi virus JE tidak bergejala atau
gejala tidak spesifik menyerupai flu. Tanda dan gejala penyakit radang
otak biasanya muncul antara 4-14 hari setelah gigitan nyamuk (masa
inkubasi) dengan gejala utama berupa demam tinggi yang mendadak,
perubahan status mental, gejala gastrointestinal, sakit kepala, disertai
perubahan gradual gangguan bicara dan berjalan. Pada anak, gejala awal
biasanya berupa demam, anak tampak rewel, muntah, diare, dan kejang.39
Setelah masa inkubasi 4-14 hari, kasus biasanya berkembang melalui
empat tahap berikut: Tahap prodromal (2-3 hari), tahap akut (3-4 hari),
tahap subakut (7-10 hari), dan pemulihan atau konvalesen ( 4-7 minggu).
Onsetnya dapat ditandai dengan timbulnya demam, sakit kepala, gejala
pernapasan, anoreksia, mual, nyeri perut, muntah, dan perubahan sensorik
secara tiba-tiba, termasuk episode psikotik. Kejang dapat terlihat pada 10-
24% anak-anak dengan JE.39
Tremor seperti parkinson dan kekakuan roda gigi (cogwheel rigidity)
terlihat lebih jarang. Ciri khasnya adalah tanda-tanda sistem saraf pusat
yang berubah dengan cepat (mis., Hiperrefleksia diikuti oleh hiporefleksia
atau respons plantar yang berubah). Status sensorik pasien dapat bervariasi
dari kebingungan hingga disorientasi dan delirium hingga mengantuk,

48
berkembang menjadi koma. Pada kasus fatal biasanya berkembang dengan
cepat menjadi koma, dan pasien meninggal dalam 10 hari.38

 Komplikasi
JE dapat menyebabkan komplikasi seumur hidup, seperti ketulian,
emosi yang tidak terkendali, dan kelemahan pada satu sisi tubuh. Infeksi
bakteri (misalnya, pneumonia, infeksi saluran kemih) yang terkait dengan
perawatan suportif pasien dengan virus Japanese ensefalitis adalah
komplikasi yang paling umum. Pada daerah tropis di mana virus Japanese
ensefalitis endemik juga berisiko terinfeksi penyakit tropis lainnya
(misalnya, malaria, demam tifoid, infeksi parasit lainnya).40

 Pencegahan
Japanese Encephalitis dapat dicegah dengan vaksin Japanese
Encephatlitis (JE). Vaksin Japanese Encephalitis diberikan mulai usia 12
bulan pada daerah endemis atau turis yang akan bepergian ke daerah
endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan
booster 1-2 tahun berikutnya. Dosis inactivated virus vaccine JE pada usia
2 bulan sampai <3 tahun yaitu sebesar 0,25 mL secara intramuscular,
diberikan pada hari ke-0 dan hari 28, kemudian dapat dilanjutkan booster
pada 1-2 tahun kemudian. Dosis live-attenuated vaccine JE untuk usia 9
bulan sampai dengan 17 tahun diberikan dengan dosis tunggal 0,5 mL
secara subkutan di deltoid. Dapat dilanjutkan dengan pemberian booster 1-
2 tahun kemudian.7,8
Imunisasi Japanese enchepalitis dapat dilengkapi sampai usia 18
tahun.9-12

Gambar 2.18 Jadwal Imunisasi Japanese Encephalitis Rekomendasi Ikatan


Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 20171

49
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

 Efek samping vaksin


 Efek samping : nyeri, kemerahan, bengkak pada luka bekas
suntikan, demam
 Cara penanganan : Efek samping yang timbul cenderung ringan
dan sembuh dengan sendirinya.13

Gamb
ar 2.19 Jadwal Imunisasi Anak Usia 0-18 Tahun Rekomendasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 20171
Sumber: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-
2017

2.5 Cara Penyuntikan Vaksin


Vaksin dapat diberikan secara oral ataupun melalui jarum suntik. Terdapat
3 cara penyuntikan vaksin yaitu, intramuskular (IM), subkutan (SC), dan
intradermal.

50
Gambar 2.5 Posisi Jarum Pada Penyuntikan Vaksin
Sumber : Doyle G, McCutcheon J. Clinical Procedures for Safer Patient
Care. British Columbia Institute of Technology. 2015. p 368.
Berbagai cara penyuntikan :12
a. Sebelum melakulan prosedur penyuntikan, hal–hal yang harus
dilakukan :
1. Menyiapkan alat–alat yang dibutuhkan.
2. Memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada ibu bayi
mengenai prosedur yang akan dilakukan.
3. Mencuci tangan menggunakan sabun dibawah air mengalir.
4. Menggunakan sarung tangan.
5. Meminta ibu untuk mengatur posisi bayi. Bayi dipangku
ibunya disisi sebelah kiri. Tangan kanan bayi melingkar ke
badan ibu, dan tangan kiri ibu merangkul bayi, menyangga
kepala, bahu, dan memegang sisi luar tangan kiri bayi.
Tangan kanan ibu memegang kaki bayi dengan kuat.

51
Gambar 2.6 Posisi Bayi Saat Akan Dilakukan Penyuntikan
Sumber : Departement of Health, Australian Government.
Administration of Vaccines. 2019 [Dikunjungi June 24 2020]. Dapat
diakses di : https://immunisationhandbook.health.gov.au/vaccination-
procedures/administration-of-vaccines

b. Penyuntikan vaksin secara intramuscular (IM)


1. Membuka kotak wadah vaksin, periksa label jenis vaksin
dan tanggal kadaluarsa.
2. Membuka tutup metal pada vaksin dengan menggunakan
pengait.
3. Menghisap vaksin dari vial dengan menggunakan spuit
sebanyak yang diperlukan.
4. Menentukan lokasi penyuntikan, yaitu di paha anterolateral
atau lengan kanan (pada batita).
5. Ambil kapas DTT, lakukan pembersihan pada lokasi
penyuntikan. Usapkan dari dalam ke luar dengan gerakan
melingkar kurang lebih sampai 5 cm. Tunggu hingga kering.
6. Pegang paha bayi dengan ibu jari dan jari telunjuk,
suntikkan jarum dengan sudut 90o. Suntikkan pelan–pelan
untuk mengurangi rasa sakit.
7. Menarik jarum suntik dengan cepat setelah semua vaksin
masuk dan tekan bekas suntikan dengan kapas DTT.

52
8. Buang jarum suntik yang sudah digunakan ke dalam wadah
alat suntik bekas yang telah tersedia (safety box) tanpa
ditutup kembali (no recapping).

Gambar 2.7 Penempatan Jarum Pada Penyuntikan Intramuskular


Sumber : Immunization Action Coalition. How to Administer
Intramuscular and Subcutaneus Vaccine Injections. 2020 [Dikunjungi
2020 June 24]. Dapat diakses di : www.immunize.org/catg.d/p2020.pdf

Gambar 2.8 Area Penyuntikan Intramuskular


Sumber : Immunization Action Coalition. How to Administer
Intramuscular and Subcutaneus Vaccine Injections. 2020 [Dikunjungi
2020 June 24]. Dapat diakses di :www.immunize.org/catg.d/p2020.pdf

53
Gambar 2.9 Area Penyuntikan Intramuskular
Sumber : Departement of Health, Australian Government.
Administration of Vaccines. 2019 [Dikunjungi June 24 2020]. Dapat
diakses di : https://immunisationhandbook.health.gov.au/vaccination-
procedures/administration-of-vaccines

Gambar 2.10 Area Penyuntikan Intramuskular


Sumber : Immunization Action Coalition. How to Administer
Intramuscular and Subcutaneus Vaccine Injections. 2020
[Dikunjungi 2020 June 24]. Dapat diakses
di :www.immunize.org/catg.d/p2020.pdf

c. Penyuntikan vaksin secara subkutan (SC)

54
1. Membuka kotak wadah vaksin, periksa label jenis vaksin
dan tanggal kadaluarsa.
2. Membuka tutup metal pada vaksin dengan menggunakan
pengait.
3. Menghisap vaksin dari vial dengan menggunakan spuit
sebanyak yang diperlukan.
4. Menentukan bagian yang akan diinjeksi, yaitu musculus
deltoideus (1/3 bagian lateral lengan kiri atas).
5. Membersihkan daerah yang akan di injeksi dengan kapas
DTT dari tengah ke luar, secara melingkar sekitar 5 cm.
Tunggu hingga kering.
6. Mengangkat kulit daerah suntikan dengan ibu jari dan
telunjuk.
7. Menusukkan jarum ke dalam kulit dengan sudut 45o.
8. Melakukan aspirasi kemudian suktikkan perlahan.
9. Menarik jarum suntik dengan cepat setelah semua vaksin
masuk dan tekan bekas suntikan dengan kapas DTT.

Gambar 2.11 Penempatan Jarum Pada Penyuntikan Subkutan


Sumber : Immunization Action Coalition. How to Administer
Intramuscular and Subcutaneus Vaccine Injections. 2020 [Dikunjungi
2020 June 24]. Dapat diakses di : www.immunize.org/catg.d/p2020.pdf

55
Gambar 2.12 Area Penyuntikan Subkutan
Sumber : Immunization Action Coalition. How to Administer
Intramuscular and Subcutaneus Vaccine Injections. 2020 [Dikunjungi
2020 June 24]. Dapat diakses di :www.immunize.org/catg.d/p2020.pdf

Gambar 2.13 Area Penyuntikan Subkutan


Sumber : Immunization Action Coalition. How to Administer
Intramuscular and Subcutaneus Vaccine Injections. 2020 [Dikunjungi
2020 June 24]. Dapat diakses di :www.immunize.org/catg.d/p2020.pdf

d. Penyuntikan vaksin secara intradermal

56
1. Membuka kotak wadah vaksin, periksa label jenis vaksin
dan tanggal kadaluarsa,
2. Membuka tutup metal pada vaksin dengan menggunakan
pengait.
3. Menghisap vaksin dari vial dengan menggunakan spuit
sebanyak yang diperlukan.
4. Menentukan bagian yang akan diinjeksi, yaitu lengan kanan
atas.
5. Membersihkan area penyuntikan dengan kapas DTT.
6. Memegang lengan bayi dengan tangan kiri dan tangan kanan
memegang spuit dengan lubang jarum menghadap ke depan.
7. Memegang lengan sehingga permukaan kulit mendatar
dengan menggunakan ibu jari kiri dan jari telunjuk, letakkan
spuit dan jarum dengan posisi hampir datar dengan kulit
bayi.
8. Memasukkan ujung jarum dibawah permukaan kulit, cukup
masukkan bevel (lubang ujung jarum).
9. Suntikkan vaksin dan pastikan semua vaksin sudah masuk
ke dalam kulit. Lihat apakah muncul gelembung.
10. Menarik jarum suntik apabila vaksin sudah habis.

Gambar 2.14 Penempatan Jarum Pada Penyuntikan Intradermal


Sumber : http://helid.digicollection.org/en/d/Js2979e/9.2.html

57
Gambar 2.15 Area Penyuntikan Intradermal
Sumber : http://helid.digicollection.org/en/d/Js2979e/9.2.html

Gambar 2.16 Penyuntikan Intradermal


Sumber : Novosanis. Injection into the dermal skin layer. [Dikunjungi
June 24 2020]. Dapat diakses di : https://novosanis.com/intradermal-
injection#:~:text=Subcutaneous%20injections%20are%20administered
%20in,is%20the%20upper%20skin%20layer)

e. Setelah melakukan prosedur penyuntikan vaksin, hal–hal yang


harus dilakukan :
1. Bereskan semua peralatan yang sudah digunakan.
2. Bersihkan sarung tangan dalam larutan klorin atau lepaskan
secara terbalik, masukkan ke dalam ember berisi larutan
klorin.
3. Mencuci tangan setelah melakukan tindakan.
4. Menjelaskan reaksi yang timbul setelah penyuntikan dan
cara mengatasi reaksi tersebut.

58
Dokumentasikan dan beritahukan hasil kepada ibu bayi dan kunjungan ulang.

2.6 Penyimpanan Vaksin


2.6.1 Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihata
dengan cara menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang
dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu
obat. Penyimpanan dilakukan untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi
sejak diterima sampai digunakan, sehingga vaksin harus disimpan pada
suhu yang telat ditetapkan.41
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi, Vaksin polio disimpan pada suhu -15°C
sampai dengan -25°C pada freezer. Sedangkan vaksin lainnya disimpan
pada suhu 2°C sampai dengan 8°C pada cold room atau lemari es.41

2.6.2 Cold Chain


Cold chain merupakan sistem penyimpanan dan pendistribusian vaksin
pada suhu yang direkomendasikan dari proses pembuatan hingga
penggunaan vaksin supaya komponen vaksin tidak rusak pada suhu yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah. Keberhasilan dalam pencegahan penyakit
dengan vaksinasi dipengaruhi oleh cara penyimpanan vaksin yang tepat.
Karena penyimpanan vaksin yang salah dapat mengurangi potensi vaksin
tersebut.41,42
Vaksin merupakan produk biologis yang sensitif. Beberapa vaksin
peka terhadap suhu dingin, panas, maupun cahaya. Gambar dibawah ini
menunjukkan penyimpanan vaksin yang direkomendasikan di setiap
tingkatan cold chain.41
Vaksin yang sensitif terhadap panas dikelompokkan ke dalam enam
kategori (A-F). Vaksin yang paling peka terhadap panas berada di grup A,
dan yang tidak terlalu peka terhadap panas berada di grup F.42

59
Vaksin yang sensitif terhadap pembekuan serta harus dijaga dari suhu
dibawah 0C, yaitu cholera, hexavalent, pentavalent, hepatitis B, HiB,
HPV, IPV, influenza, pneumococcal, rotavirus, tetatus, Dt, Td.42
Vaksin yang memiliki sensitifitas terhadap cahaya dan potensi dari
vaksin tersebut dapat berkurang ketika terpapar oleh cahaya. Beberapa
vaksin yang sensitive terhadap cahaya, yaitu BCG, measles, measles-
rubella, measles-mumps-rubella. Vaksin-vaksin ini biasanya memiliki vial
gelap yang mencegahnya kerusakan karena paparan cahaya.42

Gambar 1. Vaksin yang Sensitif Terhadap Panas


WHO. The Vaccine Cold Chian. 2015. [Cited : June, 15th 2020] Avaiable from
https://www.who.int/immunization/documents/IIP2015_Module2.pdf?ua=1

2.6.3 Penyimpanan dan Pemeliharaan


Untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai
didistribusikan ketingkat berikutnya (atau digunakan), vaksin harus selalu
disimpan pada suhu yang telah ditetapkan, yaitu:41

 Provinsi
o Vaksin Polio Tetes disimpan pada suhu -15°C s.d. -25°C
pada freeze room atau freezer
o Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada cold
room atau vaccine refrigerator
 Kabupaten/Kota
o Vaksin Polio Tetes disimpan pada suhu -15°C s.d. -25°C
pada freezer

60
o Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada cold
room atau vaccine refrigerator.
 Puskesmas
o Semua vaksin disimpan pada suhu 2°C s.d. 8°C pada
vaccine refrigerator
o Khusus vaksin Hepatitis B, pada bidan desa disimpan pada
suhu ruangan, terlindung dari sinar matahari langsung.

Gambar 2. Penyimpanan Vaksin


Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 tahun
2017 tentang penyelenggaraan imunisasi; 2017

Beberapa ketentuan yang harus selalu diperhatikan dalam pemakaian


vaksin secara berurutan adalah paparan vaksin terhadap panas, masa
kadaluwarsa vaksin, waktu pendistribusian/penerimaan serta ketentuan
pemakaian sisa vaksin.41
1. Keterpaparan Vaksin Trehadap Panas
Vaksin Vial Monitor (VVM) merupakan alat pemantau paparan
suhu panas. Fungsi VVM ini untuk memantau suhu vaksin selama
dalam perjalanan maupun dalam penyimpanan. VVM ditempelkan
pada setiap vial vaksin yang berupa lingkaran dengan bentuk segi
empat pada bagian dalamnya dengan diameter sekitar 0,7cm.
VVM memiliki karakteristik berbeda dan spesifik untuk tiap jenis
vaksin.1

61
Vaksin yang telah terpapar panas lama dapat dinyatakan dengan
perubahan kondisi VVM, sehingga vaksin tersebut harus
digunakan terlebih dahulu meskipun masa kadaluwarsanya masih
lebih panjang.41,43

Gambar 3. Indikasi VVM Pada Vaksin


Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 tahun
2017 tentang penyelenggaraan imunisasi; 2017

2. Masa Kadaluwarsa Vaksin


Dilihat dari VVM vaksin tersebut. Bila kondisi VVM sama,
maka gunakan vaksin yang masa kadaluwarsanya lebih pendek
terlebih dahulu (First Expired First Out/EEFO).43

3. Waktu Penerimaan Vaksin (First In First Out/FIFO)


Vaksin yang diterima terlebih dulu sebaiknya digunakan
terlebih dahulu, hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa vaksin
yang diterima terlebih dahulu memiliki jangka waktu pemakaian
yang lebih pendek.43

4. Pemakaian Vaksin Sisa

62
Vaksin sisa pelayanan statis (puskesmas, rumah sakit, atau
praktik swasta) dapat digunakan lagi pada hari berikutnya,
sedangkan vaksin sisa pelayanan dinamis (posyandu, sekolah)
tidak boleh digunakan pada pelayanan berikutnya dan harus
dibuang. Beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu sisa
vaksin harus disimpan pada suhu 2 s.d. 8C, VVM dalam kondisi
A atau B, belum kadaluwarsa, tidak terendam air selama
penyimpanan, belum melampaui masa pemakaian.43

Gambar 4. Masa Pemakaian Vaksin Sisa


Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12
tahun 2017 tentang penyelenggaraan imunisasi; 2017

5. Monitoring Vaksin dan Logistik


Setiap akhir bulan atasan langsung pengelola vaksin melakukan
monitoring administrasi dan fisik vaksin serta logistik lainnya.
Hasil monitoring dicatat pada kartu stok dan dilaporkan secara
berjenjang bersamaan dengan laporan cakupan Imunisasi.43

63
Gambar 5. Distribusi Logistik Imunisasi
Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12
tahun 2017 tentang penyelenggaraan imunisasi; 2017

Berdasarkan gambar diatas, kebutuhan vaksin pada tingkat nasional


mencakup seluruh sasaran imunisasi program selama satu tahun.
Persediaan vaksin provinsi adalah 2 bulan kebutuhan ditambah 1 bulan
cadangan, kabupaten/kota 1 bulan kebutuhan ditambah 1 bulan cadangan,
Puskesmas 1 bulan kebutuhan ditambah dengan 1 minggu cadangan.41
Vaksin merupakan bahan biologis yang mudah rusak sehingga harus
disimpan pada suhu tertentu (pada suhu 2 s/d 8C untuk vaksin sensitif
beku atau pada suhu -15 s/d -25C untuk vaksin yang sensitif panas).
Sesuai dengan tingkat distribusi, maka sarana cold chain yang dibutuhkan
adalah:41

64
 Provinsi : Coldroom, freeze room, Vaccine
Refrigerator, dan freezer
 Kabupaten/ Kota : Coldroom, Vaccine Refrigerator, dan
freezer
 Puskesmas : Vaccine Refrigerator

2.6.4 Sarana Penyimpanan


2.6.4.1 Kamar Dingin dan Kamar Beku
a. Kamar dingin (Cold Room) merupakan tempat penyimpanan vaksin
dengan kapasitas mulai 5.000 liter (5m3) sampai dengan 100.000 liter
(10m3). Suhu bagian dalamnnya mempunyai kisaran antara 2C s/d
8C. Ruangan ini digunakan untuk menyimpan vaksin program
imunisasi yang harus disimpan pada suhu tersebut.41
b. Kamar beku (Freeze Room) merupakan tempat penyimpanan vaksin
dengan kapasitas mulai 5.000 liter (5m3) sampai dengan 100.000 liter
(10m3). Suhu bagian dalamnnya mempunyai kisaran antara -15C s/d
-25C. Fungsi utama ruangan ini adalah untuk menyimpan vaksin
polio.41
c. Kamar dingin dan kamar beku umumnya terdapat di tingkat provinsi,
dimana harus menampung vaksin dengan jumlah besar dan dalam
jangka waktu yang cukup lama.41

2.6.4.2 Vaccine Refrigetaror dan Freezer


Vaccine Refrigerator merupakan tempat penyimpanan vaksin BCG, Td,
DT, Hepatitis B, Campak, IPV, dan DPT-HB-HiB, pada suhu 2C s/d 8C.
Selain itu difungsikan juga untuk membuat kotak dingin cair (cool pack).41
Freezer digunakan untuk menyimpan vaksin polio pada suhu 15C s/d
-25C atau membuat kotak es beku (cold pack).41

65
Bagian paling penting dari vaccine refrigerator/freezer adalah
thermostart. Thermostat berfungsi untuk mengatur suhu bagian dalam
pada vaccine refrigerator/freezer.41
Bentuk pintu vaccine refrigerator/ freezer :41-43
- Bentuk buka dari depan (front opening)
Banyak digunakan dalam rumah tangga atau pertokoan,
seperti: untuk meyimpan makanan minuman, buah-buahan
yang sifat penyimpanannya sangat terbatas. Bentuk ini tidak
dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.
- Bentuk buka keatas (topopening)
Biasanya digunakan untuk menyimpan bahan makanan, ice
cream, daging serta Vaccine Refrigerator untuk penyimpanan
vaksin. Salah satu bentuk Vaccine Refrigerator top opening
adalah ILR (Ice Lined Refrigerator) yaitu lemari es buka atas
yang dimodifikasi khusus menjadi Vaccine Refrigerator dengan

suhu bagian dalam +2°C s/d +8oC, hal ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan akan volume penyimpanan vaksin pada
Vaccine Refrigerator. Modifikasi dilakukan dengan meletakkan
kotak dingin cair (cool pack) pada sekeliling bagian dalam
freezer sebagai penahan dingin dan diberi pembatas berupa
aluminium atau multiplex atau acrylic plastic.

66
Gambar 7. Kelebihan dan Kekurangan Vaccine Refrigerator Berdasarkan Letak Pintu1
Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 tahun
2017 tentang penyelenggaraan imunisasi; 2017

2.6.4.3 Alat Pembawa Vaksin


 Cold box adalah suatu alat untuk menyimpan sementara dan
membawa vaksin. Pada umumnya memiliki volume kotor 40 liter
dan 70 liter. Kotak dingin (cold box) ada 2 macam yaitu terbuat dari
plastik atau kardus dengan insulasi poliuretan.41
 Vaccine carrier adalah alat untuk mengirim/membawa vaksin dari
puskesmas ke posyandu atau tempat pelayanan Imunisasi lainnya
yang dapat mempertahankan suhu 2°C s/d 8°C.41

Gambar 8. Cold Box dan Vaccine Carrier

67
2.6.4.4 Alat untuk Mempertahankan Suhu
 Kotak dingin beku (cold pack) adalah wadah plastic berbentuk segi
empat yang diisi dengan air yang dibekukan dalam freezer dengan
suhu -15°C s/d -25°C selama minimal 24 jam.41
 Kotak dingin cair (cool pack) adalah wadah plastik berbentuk segi
empat yang diisi dengan air kemudian didinginkan dalam Vaccine
Refrigerator dengan suhu -3°C s.d +2°C selama minimal 12 jam
(dekat evaporator).41

Gambar 9. Cold pack dan Cool Pack

68
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Imunisasi pada anak usia <2 tahun adalah salah satu bentuk nyata untuk
menurunkan angka kematian pada anak. Imunisasi merupakan suatu upaya untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Imunisasi dibagi menjadi imunisasi
wajib dan pilihan. Imunisasi wajib terdiri dari imuniasai rutin, tambahan dan
khusus. Imunisasi dasar yang merupakan bagian dari imunisasi rutin dapat
dilakukan untuk menghindarkan anak dari berbagai macam penyakit. Imunisasi
dilakukan berdasarkan jadwal dan dosis yang telah ditentukan oleh rekomendasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2017.

69
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia


2017. Dikunjungi 22 Juni 2020. Dapat diakses di
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-2017.pdf
2. WHO. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. 2020. Dikunjungi 17 Juni 2020.
Dapat diakses di https://in.vaccine-safety-training.org/immunization-error-
related-reaction.html
3. Fowler S., Roush R., Wise J. Adaptive Immunity. 2013. Dapat diakses di:
https://openstax.org/books/concepts-biology/pages/17-3-adaptive-immunity
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Buku Ajar Imunisasi.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan; Hal. 19-29
5. Pyrsopoulos, N. T. Hepatitis B. Medscape (2018). Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/177632-overview#a1. (Accessed: 15th
June 2020)
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI.
2017;2(1).
7. Gunardi, Hartono dkk. 2017. Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia ( IDAI ) Tahun 2017. 18(5)
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2015. Melengkapi dan Mengejar
Imunisasi https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/melengkapi-
mengejar-imunisasi-bagian-i. diakses tanggal 16 Juni 2020
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Melengkapi/Mengejar Imunisasi (Bagian II)
[Internet]. 2015 [Dikunjungi 2020 June 16]. Dapat diakses di
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/melengkapi-mengejar-
imunisasi-bagian-ii
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Melengkapi/Mengejar Imunisasi (Bagian III)
[Internet]. 2015 [Dikunjungi 2020 June 16]. Dapat diakses di
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/melengkapi-mengejar-
imunisasi-bagian-iii

70
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal Imunisasi 2017 [Internet]. 2017
[Dikunjungi 2020 June 15]. Dapat diakses di
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-2017
12. Hadianti D, Mulyati E, et al. Buku Ajar Imunisasi. Jakarta: Pusdiknakes.
2014. p. 78–96.
13. Center of Disease Control and Prevention. [Cited : June, 16 th 2020] Available
from https://www.cdc.gov/vaccines/hcp/vis/index.html
14. Kishner, S. Acute Poliomyelitis. Medscape (2019). Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/306440-clinical. (Accessed: 16th June
2020)
15. Hercheline, T. E. Tuberculosis (TB). Medscape (2020). Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/230802-overview#a1. (Accessed: 16th
June 2020)
16. Ricky Saunders, I. K. S. Diagnosis dan Tatalaksana Difteri. (SMF Ilmu
Kesehatan Anaka RSUD Wangaya Denpasar, 2019).
17. Ismoedijanto. Tetanus. Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis,
Soedarmo. (Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002).
18. Pertussis. Centers for Disease Control and Prevention. (2017). Available at:
https://www.cdc.gov/pertussis/index.html. (Accessed: 16th June 2020)
19. Hasbun, R. Meningitis. Medscape (2019). Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/232915-overview. (Accessed: 16th
June 2020)
20. Depkes RI. Buku Saku Imunisasi. Kementerian Kesehatan RI (2018).
21. Kliegman, R. & Joseph, S. G. Pneumonia-Nelson Textbook of Pediatrics Edisi
21. (Philadelphia: Elsevier Inc, 2019).
22. Santoso, B. B. Sekilas Vaksin Pneumokokus. Ikatan Dokter Anak Indonesia
(2017).
23. Tanto, Liwang, Hanifati, P. Kapita selekta kedokteran edisi IV jilid I. (Media
Aesculapius, 2014).
24. Thrissawan, S., Puntawee, P., Orapun Eunsuwan, A., Theamboonlers, V. &

71
Chongsrisawat, Y. P. Incidence and clinical manifestations of rotavirus
infection among children with acute diarrhea admitted at Buri Ram Hospital,
Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Heal. 37, 1125-1131. (2006).
25. Maryunani & Puspita. Asuhan kegawat daruratan maternal dan neonatal.
(Buku Trans Info Media, 2013).
26. Abelson, B. Flu Shots, Antibiotics, & Your Immune System. (2009).
Available at: http://www.drabelson.com/PDF/Flu.pdf. (Accessed: 16th June
2020)
27. Flu Symptoms & Severity. Centers for Disease Control and Prevention
(2011). Available at: http://www.cdc.gov/flu/. (Accessed: 16th June 2020)
28. Alam, A. & Iriani, Y. Apakah Infeksi Campak? Ikatan Dokter Anak Indonesia
(2019). Available at: https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-
anak/apakah-infeksi-campak. (Accessed: 16th June 2020)
29. Halim, R. G. Campak pada Anak. cdk J. 43, 186–189 (2016).
30. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Permenkes No. 5 Tahun 2014 tentang
Panduan Praktik Klinis Dokter di FASYANKES Primer. (2014).
31. James Cherry, Gail Demmler-Harrison, Sheldon Kaplan, William Steinbach,
P. H. Measles virus-Feigin and Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious
Diseases 7th Edition. (Philadelphia: Elsevier Inc, 2014).
32. Kliegman, R. & Joseph, S. G. Mumps-Nelson Textbook of Pediatrics Edisi 21.
(Philadelphia: Elsevier Inc, 2019).
33. James Cherry, Gail Demmler-Harrison, Sheldon Kaplan, William Steinbach,
P. H. Rubella virus-Feigin and Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious
Diseases 7th Edition. (Phiadelphia: Saunders Elsevie, 2014).
34. Rubella (German Measles, Three-Day Measles). Centers for Disease Control
and Prevention (2017). Available at:
https://www.cdc.gov/rubella/about/transmission.html. (Accessed: 16th June
2020)
35. Kliegman, R. & Joseph, S. G. Varicella-Nelson Textbook of Pediatrics Edisi
21. (Philadelphia: Elsevier Inc, 2019).
36. Ezike, E. Pediatric Rubella. Medscape (2017). Available at:

72
https://emedicine.medscape.com/article/968523-overview. (Accessed: 16th
June 2020)
37. Sri Luwinah, Kusmarinah Bramono, W. I. Varisela-Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018).
38. Kliegman, R. & Joseph, S. G. Japanese Encephalitis-Nelson Textbook of
Pediatrics Edisi 21. (Philadelphia: Elsevier Inc, 2019).
39. Prasetyo, D. Mengenal Japanese Encephalitis. Ikatan Dokter Anak Indonesia
(2018). Available at: https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/japanese-
encephalitis. (Accessed: 16th June 2020)
40. Climaco, A. B. Japanese Encephalitis Clinical Presentation. Medscape (2019).
Available at: https://emedicine.medscape.com/article/233802-clinical#b2.
(Accessed: 16th June 2020)
41. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 12 tahun 2017 tentang penyelenggaraan imunisasi; 2017
42. WHO. The Vaccine Cold Chain. 2015. [Cited : June, 15th 2020] Avaiable from
https://www.who.int/immunization/documents/IIP2015_Module2.pdf?ua=1
43. Nur, Dian et al. Buku Ajar Imunisasi. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan; 2015
44. Febriana Sari, Mathilda A. Kelengkapan Imunisasi. (Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2009)

73

Anda mungkin juga menyukai