Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Epilepsi simptomatik merupakan bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi


struktural pada otak, salah satunya adalah infeksi sistem saraf pusat.1,2 Epilepsi
simptomatik pada HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan kejang yang
disebabkan infeksi HIV pada sistem saraf pusat. Pasien HIV berisiko lebih tinggi
untuk mengalami epilepsi karena kerentanan sistem saraf pusat terhadap penyakit
terkait HIV dan disfungsi kekebalan tubuh.3 Guideline spesifik yang membahas
mengenai tatalaksana epilepsi pada HIV masih terbatas pada pemilihan jenis obat anti
epilepsi dan kapan memulai pemberian obat tersebut.4 Oleh karena itu penulis
membahas laporan kasus mengenai laki-laki, 41 tahun mengenai diagnosis dan
tatalaksana epilepsi simptomatik pada HIV.

LAPORAN KASUS
Laki-laki 41 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 15
Februari 2020 pukul 21.00 WIB.

Keluhan Utama: Kejang berulang

Riwayat Penyakit Sekarang


 Kejang berulang sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Kejang terjadi saat
pasien bangun. Kejang diawali dengan pasien merasa pusing lalu diikuti mata
dan kepala menoleh ke arah kanan. Kaku pada lengan dan tungkai kanan selama
± 15 detik diikuti kelojotan lengan dan tungkai kanan selama 2 menit. Saat
kejang pasien sadar. Setelah kejang pasien tetap sadar. Setelah kejang pasien
tampak mengantuk. Kejang berhenti dengan sendirinya. Kejang berulang dengan
pola yang sama sebanyak 5 kali. Jarak antara kejang 3 jam.
 Lemah anggota gerak tidak ada
 Nyeri kepala tidak ada
 Mulut mencong dan bicara pelo tidak ada.
 Muntah menyemprot tidak ada

1
 Gangguan penglihatan tidak ada.
 Pandangan ganda tidak ada.
 Perubahan perilaku tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien dikenal dengan penyakit infeksi HIV sejak tahun 2018. Kontrol berobat
tidak teratur. Pasien minum obat sesuai dengan resep dokter.namun sudah 6 bulan
pasien tidak minum obat secara rutin
 Keluhan disertai demam sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit, demam hilang
timbul, demam hilang dengan obat penurun panas. Batuk sejak 6 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak nafas tidak ada.
 Pasien minum obat anti tuberkulosa secara tuntas tahun 2018. Penyakit
tuberkulosa pasien telah dinyatakan sembuh oleh dokter.
 Riwayat trauma kepala tidak ada.
 Riwayat infeksi telinga, sinus, gigi tidak ada.
 Riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung dan stroke tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien sudah menikah, memiliki 1 orang istri yang juga menderita HIV.

Riwayat Pekerjaan, Sosio Ekonomi, dan Kebiasaan


Pasien bekerja sebagai karyawan swasta dengan aktifitas fisik ringan sampai sedang.
Pasien tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyakitnya. Riwayat seks
bebas tidak diketahui. Riwayat pemakaian narkoba suntik dan tatoo dan konsumsi
minuman beralkohol tidak diketahui.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis Kooperatif, GCS: E4M6V5: 15

2
Tekanan darah : 130/80 mmHg, kanan sama dengan kiri
Frekuensi nadi : 88 x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,7oC
Status Internus:,
Leher : JVP 5-0 cmH2O, bising karotis (-) kiri dan kanan
Paru : Gerakan paru simetris kiri dan kanan, suara nafas bronkovesikuler,
ronkhi (+/+), wheezing (-/-).
Jantung : Iktus kordis tidak terlihat, teraba 1 jari medial LMCS RIC V, batas
jantung normal, HR: regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Supel, Bising usus (+) dalam batas normal, pembesaran hepar dan
lien tidak ada
Status Neurologi:
Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk (-), Brudzinski I & II (-), Kernig (-)
Tanda peningkatan tekanan intrakranial: (-)
Pemeriksaan saraf kranialis:
 NI : Fungsi penciuman baik
 N II : Visus OD 20/20,OS 20/20, buta warna(-), lapangan pandang
baik. Funduskopi : papil batas tegas,warna kuning jingga
Aa:Vv= 2:3, cupping (-), AV crossing (-). Kesan : dalam
batas normal
 N III, IV, VI : pupil isokor, Ø 3mm/3mm, refleks cahaya (+)/(+), ptosis(-),
diplopia (-), Reflek Konvergensi (+), Gerak bola mata bebas
ke segala arah, posisi bola mata ortho.
 NV : Sensibilitas N VI, N V2, N V3 dalam batas normal, reflek
kornea (+/+), kekuatan otot temporal dan masseter baik
 N VII : Plika nasolabialis simetris, kerutan dahi simetris kanan dan
kiri. Kesan: dalam batas normal
 N VIII : Fungsi pendengaran baik
 N IX, X : Uvula ditengah, arkus faring simetris, reflek muntah(+)

3
 N XI : Pergerakan bahu simetris kanan dan kiri, pergerakan otot-otot
leher baik
 N XII : Deviasi lidah tidak ada, fasikulasi tidak ada, atrofi tidak ada,
artikulasi baik, disatria tidak ada

Motorik: Dekstra Sinistra


Ekstremitas superior 555 555
Eutonus, Eutrofi Eutonus,Eutrofi

Ekstremitas Inferior 555 555


Eutonis,Eutrofi Eutonis,Eutrofi

Sensorik : Eksteroseptif dan proprioseptif normal


Otonom : Neurogenik Bladder (-)
Reflek fisiologis : Kanan Kiri
 Biseps ++ ++
 Triseps ++ ++
 KPR ++ ++
 APR ++ ++

Reflek patologis :
 Hoffman tromner - -
 Babinski - -
 Gordon - -
 Schaefer - -
 Oppenheim - -
 Chaddock - -
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium IGD (dilakukan pada tanggal 15/02/2020)
Hb : 13,7 g/dL Natrium : 138 mmol/L

4
Leukosit : 27.890/mm3 Kalium : 5.2 mmol/L
Trombosit : 98.000/mm3 Chlorida : 107 mmol/L
Ht : 45 % GDR : 195 mg/dL
Ur : 66 mg/dL Cr : 0,9 mg/dL
SGOT : 523 U/L
SGPT : 125 U/L
Anti HCV : Reaktif
Anti HbSAg : Non reaktif
Kesan : - Leukositosis
- Disfungsi Hepar
EKG: irama regular, QRS rate88x/mnt, ST change (-),T inverted (-) , SV1 + RV5
<35mm. Kesan : dalam batas normal

Gambar 1: Rontgen Thorak PA (tanggal 15/02/2020)


Corakan bronkovesikuler meningkat, infiltrate ada di kedua lapangan paru, CTR<
55% Kesan : Bronkopneumonia

5
Gambar 2: Brain CT scan tanpa kontras( 15Februari 2020 )
Tidak Tampak lesi hipodens maupun hiperdense di daerah korteks. Differensiasi
white and grey matter tidak mengabur. Sulcus dan gyrus prominen. Midline shift
tidak ada.. Ventrikel 3, 4 dan lateral tidak tampak melebar. Pons, CPA, dan
cerebellum dalam batas normal.
Kesan: Dalam batas normal
Diagnosis Kerja
Diagnosis Klinis : Acute Symptomatic seizure
Diagnosis Topik : Korteks serebri hemisfer kiri
Diagnosis Etiologi : Suspek ensefalitis toksoplasma
Diagnosis Sekunder :- Disfungsi hepar
- HIV
- Community acquired pneumonia

6
Penatalaksanaan:
Umum:
 IVFD NaCl 1 kolf/8 jam
 Diet MB 1700 kkal
Khusus :
 Levetiracetam 2 x 500 mg (PO)
 Parasetamol 3 x 750 mg (PO)
 Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)
 N-asetil sistein 3 x 200 mg (PO)
Rencana Pemeriksaan:
Ulang pemeriksaan darah rutin, faal hepar
Pemeriksaan laboratorium CD4, IgG Toxoplasma
EEG
Pada tanggal 16/2/2020, Hari rawatan ke 2 pasien dengan kondisi:

S: Pasien sadar, kontak adekuat, kejang tidak ada, lemah anggota gerak tidak ada
Demam tidak ada, batuk (+), sesak nafas tidak ada
O: KU = Sakit sedang Kes = CMC SO2: 99%
TD = 120/70 mmHg Nd = 70
Nf =18 T = 36,8 C
Status Neurologis : GCS = E4M5V6 = 15
Pupil Isokor, diameter 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+. Reflek Kornea +/+,
Gerak Bola mata bebas kesegala arah
Plika nasolabialis simetris
Motorik : Ekstremitas Superior : 555/ 555
Ekstremitas Inferior : 555/ 555
Hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 16/02/2020 :
- Leukosit : 19.370 Kesan : leukositosis
- SGOT : 194 SGPT : 105 Kesan: Disfungsi hepar
- CD4 : 97,3 sel/UL, Nilai rujukan: 404-1.612 sel/UL
Kesan: CD4 menurun

7
- IgG toxoplasma: 555 (reaktif), Nilai rujukan: ≤1.00 (Non reaktif), ≥ 1-
< 3 (indetreminate), ≥ 3 (Reaktif), Kesan: IgG Reaktif
A: - Acute Symptomatic seizure
- Ensefalitis Toksoplasma
- Disfungsi hepar
- HIV
- Community acquired pneumonia
P: - Awasi Kejang
- Konsul penyakit dalam: dari hasil konsul pasien mendapatkan terapi
tambahan dari bagian penyakit dalam evafiren 2 x 1 capsul, duviral 2 x 1
capsul, asam folat 1x 5 mg tablet, pirimetamin 1 x 200 mg (loading dose)
dilanjutkan 3 x 25 mg tablet, dan Clindamisin 4x 600 mg tablet, curcuma
3 x 1 tablet
- Pemeriksaan EEG: Hasil EEG

Gambar 3: tanda panah merah menunjukkan gelombang tajam (sharp),


independen, intermiten, frekuensi jarang.
Kesan: Sugestif ke arah diagnosis focal seizure disorder.

8
Gambar 4: tanda panah merah menunjukkan EEG abnormal gelombang
paku (spike) predominan di temporal kiri . Kesan: Sugestif ke arah
diagnosis focal seizure disorder

Pada tanggal 17/2/2020, Hari rawatan ke 2 pasien dengan kondisi:

S : pasien kejang, frekuensi sebanyak 7 kali, mata melirik ke kanan, lengan dan
tungkai kanan kelojotan, durasi ± 2 menit, saat kejang pasien sadar, dan setelah
kejang pasien tetap sadar.
O: KU = Sakit sedang Kes = CMC
TD = 120/70 mmHg Nd = 72
Nf =18 T =36,5 C
SN : GCS= E4M5V6 =15
Pupil Isokor, diameter 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+, Reflek Kornea +/+,
Gerak Bola mata bebas kesegala arah
Plika nasolabialis simetris
Motorik : Ekstremitas Superior : 555/ 555

9
Ekstremitas Inferior : 555/ 555
Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 17/02/2020
Leukosit: 12.000 Kesan: Leukositosis
SGOT: 62 SGPT: 69 Kesan: Fungsi hepar perbaikan
A: - Epilepsi Simptomatik e.c ensefalitis toksoplasma
- Disfungsi hepar
- HIV
- Community acquired pneumonia
P: Diazepam saat kejang
ulang pemeriksaan darah rutin dan faal hepar
Pada tanggal 18/2/2020, Hari rawatan ke 4 pasien dengan kondisi:

S : pasien kejang frekuensi 10 kali, kejang berupa mata melirik kekanan, lengan dan
tungkai kanan kelojotan, durasi kejang 1 - 2 menit detik, saat kejang pasien sadar,
dan setelah kejang pasien tetap sadar.
O: KU = Sakit sedang Kes = CMC
TD = 120/70 mmHg Nd = 72x/i
Nf = 18 T = 36,8 C
SN : GCS = E4M5V6 =15
Pupil Isokor, diameter 3 mm/ 3 mm, Reflek Cahaya +/+. Reflek Kornea +/+,
Gerak Bola mata bebas kesegala arah
Plika nasolabialis simetris
Motorik : Ekstremitas Superior : 555/ 555
Ekstremitas Inferior : 555/ 555
Hasil pemeriksaan Laboratorium:
Leukosit: 8.120
SGOT: 23 SGPT : 36
A: - Epilepsi Simptomatik e.c ensefalitis toksoplasma
- HIV
- Community acquired pneumonia
P: Pasien mendapatkan terapi tambahan fenobarbital 3 x 80 mg(IV)

10
Pada tanggal 19/2/2020, Hari rawatan ke 6 pasien dengan kondisi:

S: Pasien sadar, kontak adekuat, kejang tidak ada, lemah anggota gerak tidak ada
O: KU = Sakit sedang Kes = CMC
TD = 120/80 mmHg Nd = 70x/i
Nf = 18 T = 36,8 C
SN : GCS = E4M5V6 =15
Pupil Isokor, diameter 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+. Reflek Kornea +/+,
Gerak Bola mata bebas kesegala arah
Plika nasolabialis simetris
Motorik : Ekstremitas Superior : 555/ 555
Ekstremitas Inferior : 555/ 555
A: - Epilepsi Simptomatik e.c ensefalitis toksoplasma
- HIV
- Community acquired pneumonia
P: Awasi kejang
Pada tanggal 21/2/2020, Hari rawatan ke 8 pasien dengan kondisi:

S: Pasien sadar, kontak adekuat, kejang tidak ada, lemah anggota gerak tidak ada
O: KU = Sakit sedang Kes = CMC
TD = 120/70 mmHg Nd = 70
Nf = 18 T = 36,8 C
SN : GCS = E4M5V6 = 15
Pupil isokor, diameter 3 mm / 3 mm, Reflek Cahaya +/+. Reflek Kornea +/+,
Gerak Bola mata bebas kesegala arah
Plika nasolabialis simetris
Motorik : Ekstremitas Superior : 555/ 555
Ekstremitas Inferior : 555/ 555
A: - Epilepsi Simptomatik e.c ensefalitis toksoplasma
- HIV

11
- Community acquired pneumonia
P: Rencana Pulang
Obat pulang: evafiren 2 x 1 capsul, duviral 2 x 1 capsul, asam folat 1x 5 mg
tablet, pirimetamin 3 x 25 mg tablet, dan Clindamisin 4 x 600 mg tablet,
curcuma 3 x 1 tablet, levetiracetam 2 x 500 mg, fenobarbital 3 x 30 mg.
Kontrol Poli Saraf RSUP M. Djamil. Rencana MRI dengan kontras dari
poliklinik.

Diskusi
Epilepsi simptomatik pada HIV merupakan kejangakibat adanya lesi
struktural di otak yang disebabkan infeksi virus HIV atau komplikasi HIV pada
sistem saraf pusat seperti toksoplasmosis serebri, meningitis TB dan meningitis
kriptokokus.1,2,4 Epilepsi fokal merupakan bentuk bangkitan yang terjadi disebabkan
adanya fokus epileptik di otak. Bentuk bangkitan dapat berupa gejala motorik,
sensorik (kesemutan, baal, sensorik spesial (halusinasi visual, halusinasi auditorik),
emosi (rasa takut, marah), autonom ( kulit pucat, merinding, rasa mual).2,5
Penyebab epilepsi fokal pada HIV dapat disebabkan oleh infeksi yang
terdiri atas toksoplasmosis serebri sekitar 15 sampai 40% kasus, meningitis TB 10-
16% dan meningitis kriptokokus 10-15%.2,4 Gejala klinis toksoplasmosis serebri yang
timbul pada penderita HIV/AIDS dapat berupa nyeri kepala, defisit neurologis fokal
berupa kelemahan satu sisi tubuh dan gangguan bicara yang disertai panas ataupun
tanpa panas, sedangkan gejala lain yang juga sering didapatkan berupa gangguan
mental, kejang, gangguan saraf kranialis, gangguan gerakan dan gejala neuropsikiatri,
seperti paranoid, psikosis, demensia, cemas dan agitasi. Gejala klinis pada meningitis
kriptokokus adalah gejala infeksi berupa demam, nyeri kepala, dan adanya tanda
peningkatan tekanan intra kranial, tanda klinis yang dapat ditemukan meningismus,
papil edema, paresis saraf kranial dan kejang. Gejala meningitis TB berupa demam,
nyeri kepala, kaku kuduk. Tanda klinis yang dapat ditemukan meningismus, papil
edema, paresis saraf kranial dan kejang.6,7,8,9
Penegakkan diagnosis pasien ini didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan

12
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa pasien ini mengalami kejang fokal
pertama( tgl 11 Februari 2020) dan berulang dengan jarak 2 hari. Pasien sudah
dikenal menderita Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)`sejak tahun 2018.
Kejang fokal berulang pada pasien ini sudah dapat dikategorikan sebagai suatu
epilepsi simptomatik pada HIV. Hal ini sesuai dengan kriteria ILAE 2014 yang
menyatakan epilepsi merupakan suatu penyakit otak yang ditandai dengan
terdapatnya minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan reflek
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.10,11
Pada Pemeriksaan fisik dan neurologis tidak didapatkan kelainan.
Pemeriksaan penunjang pada epilepsi terdiri atas EEG, lumbal punksi, CT scan, MRI,
SPECT dan PET. EEG memperlihatkan fokus epileptogenik sedangkan CT scan
memperlihatkan struktur otak. EEG memiliki sensitivitas epilepsi yang relatif rendah,
berkisar antara 25–56% sedangkanspesifisitas lebih baik berkisar antar 78-98%.CT
scan memiliki beberapa keuntungan, biaya murah, mudah di akses, efisien dan mudah
digunakan, memiliki sensitivitasnya 25-30% dan spesifisitasnya 68-70% .12,13,14
. Single photon emission computerized thomography (SPECT) merupakan
metode pencitraan obat nuklir yang mengevaluasi kuantitatif dan kualitatif fokus
epilepsi. SPECT memiliki sensitivitas 86% dan spesifisitas 75%. Pada MRI memiliki
sensitivitas 81,2%, spesifisitas 68,2%. Untuk Positron emission tomography (PET)
memiliki sensitivitas 97% dan spesifisitas 46 %. Pada pasien ini, dilakukan
pemeriksaan EEG dan CT scan.12,13,14,15
Hasil EEG menunjukkan adanya gelombang paku (spike) predominan di
temporal kiri dan gelombang tajam (sharp) , independen, intermiten, frekuensi jarang.
Gambaran tersebut sugestif ke arah focal seizure disorder. Gelombang paku dan
gelombang yang tajam yang tampak dari hasil EEG merupakan salah satu bentuk
gelombang epileptiform yang menandakan adanya fokus patologi pada otak meskipun
tidak tampak lesi struktural. Lesi otak fokal yang terjadi pada pasien ini dapat
menjadi sumber fokus epilepsi. Pada studi kasus pasien HIV yang dilakukan EEG,
menunjukkan adanya general slowing sebanyak 38%, focal slowing sebanyak 19% ,
gelombang epileptiform 6 %.11,12

13
Tujuan terapi epilepsi pada pasien HIV untuk mencegah kejang berulang pada
epilepsi dengan HIV. Pemilihan obat antiepilepsi (OAE) didasarkan pada
memaksimal kontrol kejang, meminimalkan efek samping obat dan untuk
menghindari interaksi obat-obat yang membahayakan dalam pengendalian HIV dan
epilepsi.4,15
Ada beberapa hasil studi yang mengamati interaksi antara obat antikejang dan
antiretroviral. Fenitoin akan menurunkan kadar lopinavir dan ritonavir (Level C).
Asam valproat meningkatkan kadar zidovudine (Level C).Valproat mungkin tidak
berefek pada efavirenz (Level C). Ritonavir/atazanavir kemungkinan menurunkan
lamotrigin (Level C). Raltegravir kemungkinan tidak berefek pada midazolam (Level
C). Pemberian bersamaan antara antiretroviral yang mengandung protease inhibitor
dan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) dengan antikejang
yang menginduksi enzim CYP450 tidak dapat digunakan secara bersamaan.16,17,18
Terapi anti kejang yang diberikan pada pasien adalah levetiracetam 2 x 500
mg (PO). Pilihan terapi OAE dan Anti Retroviral (ARV) berdasarkan rekomendasi
ILAE adalah levetiracetam, pregabalin dan lacosamide dan gabapentin. Pregabalin,
lacosimide, gabapentin dan levetiracetam adalah antikonvulsan yang masih baru
yang direkomendasikan karena efek sampingnya lebih minimal. Antikonvulsan lain
seperti karbamazepin, fenitoin dan fenobarbital efektif sebagai terapi epilepsi fokal
tetapi memiliki efek samping sebagai induser dari substrat sistem sitokrom p450
terutama saat dikombinasikan dengan HAART (highly active antiretroviral
therapy).17,18 Pada pasien ini juga diberikan terapi antikejang berupa phenobarbital 3
x 80mg. Hal ini disebabkan kejang berulang pada pasien ini tidak dapat berhenti
dengan pemberian terapi levetiracetam.17,18

Lama pemberian obat anti epilepsi (OAE) pada pasien dengan HIV-AIDS
selama 3 – 6 bulan setelah kejang pertama, tetapi dapat dilanjutkan apabila terjadi
kejang berulang. OAE yang dipilih memiliki interaksi minimal dengan HAART
yaitu levetiracetam.4,17,18

14
Gambar 5 . Algoritma tatalaksana kejang pada HIV – AIDS4

KESIMPULAN
1. Adanya riwayat penyakit infeksi HIV pada pasien ini merupakan faktor resiko
untuk terjadinya epilepsi pada HIV.
2. Obat anti epilepsi (Pregabalin, lacosimide, gabapentin dan levetiracetam) dapat
digunakan untuk penatalaksanaan epilepsi pada HIV dimana memiliki kontrol
terhadap kejang yang lebih baik dengan efek samping yang lebih minimal

SARAN
- Diperlukan pemeriksaan neuroimaging tambahan dalam mendiagnosis
epilepsi dengan HIV.

DAFTAR PUSTAKA

15
1. Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victor’s Principles of Neurology Tenth
Edition. Mc Graw Hill Medical. 2014: 335-36
2. Shorvon S, Renzo G, Mark C, Shamden D. Epilepsy and Epileptic Seizures.
Oxford Textbooks in Clinical Neurology. 2013: 61-70
3. Imran D, Abdullah M, Devi AS. Neuro-AIDS. Dalam Sugianto P, dkk. Modul
Neuroinfeksi. Jakarta : Kelompok Studi Neuroinfeksi Perhimpunan Dokter Saraf
Indonesia. 2019. 321-23
4. Siddiqi O, Birbeck G. Safe treatment of Seizures in the Setting of HIV – AIDS.
Current Treatment Options in Neurology. 2013; 15:529–543
5. Octaviana F, Budikayanti A, Wiratman W, Indrawati LH, Syeban zakiah.
Bangkitan dan Epilepsi. Dalam Aninditha T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2019; 80-85
6. Sugianto P. Infeksi Toxoplasmosis pada Sistem Saraf Pusat. Dalam Sudewi A,
Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi pada Sistem Saraf Pusat. Airlangga University
Press. 2011 ; 91 – 102
7. Kellinghaus C, Engbring, Kovac, F. Boesebeck ,M. Fischera , K. Anneken, et al.
Frequency of seizures and epilepsy in neurological HIV infected patients. Elsevier.
2008 ;17 : 27-33
8. Zaporozan L, Patricia H , Jennifer A W, Colm B,Janice R, Colin PD. Seizures in
HIV. Epilepsy & Behavior Case Reports. 2018; 10: 38-43
9. Kim HK, Chin BS. Clinical Features of Seizures in Patients with Human
Immunodeficiency Virus Infection. J Korean Med Sci. 2015; 30:694-99
10. Einsten A, York N. Complications of HIV infection: A systems-Based Approach.
American Family Physician. 2011
11. Kustiowati E, Kurnia Mirawati D, Husna M, Gunadharma S, Catur Bintoro A,
Suryawati H, et al. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 6th ed. Airlangga University
Press; 2019
12. Roy T, Alak P. Neuroimaging In Epilepsy. Ann Indian Acad Neurol. 2011; 14: 78-
80

16
13. Smith S J. EEG InThe Diagnosis,Clasification, and Managementof Patients With
Epilepsy. J Neurol Neurosurgery Psychiatry. 2005: 7
14. Spanala VM,Susan SS, Maria C, John M, John S, George Z. Sensitivity and
Specificity of Quantitative Difference SPECT Analysis in Seizure Localization. J
of Nuclear Medicine. 2020; 40(5): 730-36
15. Cuthil FM, Colin AE. Sensitivity and specificity of procedures for the differential
diagnosis of epileptic and non epileptic seizures: A systematic review. Elsevier.
2005; 14: 293-303
16. Satishchandra P, Sanjib S. Seizures in HIV-seropositive individuals: NIMHANS
experience and review. Epilepsia. 2008; 49:33–41
17. Kirmani BF and Mungall-Robinson D. Role of Anticonvulsants in the
management of AIDS Related Seizures. Frontiers in Neurology. 2014; 5:1-4
18. Birbeck GL. Antiepileptic Drug Selection for people with HIV/AIDS: Evidence
Based Guidlines from the ILAE and AAN. Epilepsia. 2012; 53 : 207-214

17

Anda mungkin juga menyukai