Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ulkus diabetikum merupakan infeksi, ulserasi atau kerusakan jaringan dalam

terkait dengan kelainan neurologis dan berbagai penyakit arteri perifer di

tungkai bawah pada pasien dengan diabetes melitus (Katsilambros, 2010).

Diabetes melitus adalah sekelompok kelainan metabolik yang diakibatkan

oleh adanya kenaikan kadar glukosa dalam tubuh atau yang dikenal dengan

istilah hiperglikemi. Penderita hiperglikemia pada penderita DM dapat

disebabkan oleh sekresi hormon insulin, kerja insulin, atau oleh keduanya

(Dosen Keperawatan Medikal Bedah Indonesia, 2017).

International Diabetes Federation (2015) menyebutkan bahwa diabetes

adalah salah satu keadaan darurat kesehatan global terbesar di dunia abad ke

21. Pada tahun 2014 terdapat 387 juta orang mengidap diabetes dan akan

meningkat pada tahun 2035 menjadi 592 juta, dan pada tahun 2015

dilaporkan bahwa ada 415 juta orang dewasa berusia 20 hingga 79 tahun

dengan diabetes, dan jumlah ini meningkat menjadi 642 juta pada 2040.

Jumlah itu tidak termasuk penderita diabetes yang berusia lebih dari 80 tahun.

Diabetes menyebabkan 4,9 juta kematian pada tahun 2014, dan setiap tujuh

detik seseorang meninggal akibat diabetes. Hampir setengah dari orang-orang

di Asia Tenggara memiliki Diabetes namun tidak terdiagnosis. Di negara

Afrika 76% kematian pada usia dibawah 60 tahun disebabkan oleh diabetes

sedangkan negara Eropa memiliki prevalensi tertinggi diabetes tipe 1 pada

1
2

anak-anak. Di Timur Tengah dan Utara Afrika, 1 dari 10 orang dewasa

memiliki diabetes. Di Amerika Selatan dan Tengah, jumlah penderita diabetes

akan meningkat sebesar 60% pada tahun 2035.

Menurut data riset kesehatan dasar (2013), terjadi peningkatan prevalensi

diabetes melitus di Indonesia dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,1 persen

(2013) dan 6,9 persen (2016). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter

tertinggi dan memiliki gejala terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta

(2,5%), Sulawesi Utara (2,4%), Kalimantan Timur (2,3%), Sulawesi Tengah

(3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara

Timur (3,3%). International Diabetes Federation (2015) menyebutkan bahwa

Indonesia menempati urutan Ke-7 dari 10 negara terbesar dengan diabetes

melitus.

Kementrian kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2015) menjelaskan

bahwa diabetes dibagi menjadi dua jenis yaitu diabetes tipe 1 dan diabetes

tipe 2. Angka kejadian diabetes tipe 2 merypakan yang paling besar dari

semua kejadian diabetes melitus yatu sekitar 80 % (Kemenkes RI, 2009.

Sedangkan menurut Putri dan Isfandiari (2013) dalam penelitianya

menyebutkan bahwa angka kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 90-95%

dari semua kejadian dibetes melitus di Indonesia yang sering dialami oleh

individu usia 45 tahun.


3

Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit yang memiliki komplikasi kronis dan

dapat mempengaruhi kualitas hidup orang yang mengalami penyakit ini.

Beberapa komplikasi dapat terjadi pada individu yang mengalami diabetes

melitus. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain hipoglikemia, dislipidemia,

Cerebrovaskuler Deasease (CVD), serangan jantung, stroke, kebutaan dan

masalah mata, penyakit ginjal dan amputasi yang merupakan komplikasi yang

sering terjadi. Hal ini terjadi akibat ulkus yang tidak tertangani (American

Diabetes Association, 2014).

Soewondo (2010) dalam penelitianya menyebutkan dari 1785 responden

dengan diabetes melitus, didapatkan angka kejadian neuropati sebanyak

67,2% dan berkembang menjadi ulkus diabetikum. Donnelly dan Rudy

(2010) menjelaskan bahwa ulkus merupakan resiko seumur hidup seseorang

dengan diabetes. Sekitar 25% penderita diabetes melitus akan mengalami

ulkus diabetikum. Resiko amputasi pada penderita diabetes adalah 10 - 30

kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, dan estimasi

global menunjukkan bahwa setiap tahun satu juta orang dengan diabetes

mengalami amputasi tungkai bawah. Mayoritas amputasi tungkai (85%) yang

didahului oleh ulkus kaki, dan tingkat mortalitas setelah amputasi dilaporkan

di wilayah tersebut sekitar 15-40% pada tahun pertama dan 39-80% pada

tahun kelima. Hal ini tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Deribe,

Woldemichael dan Nemera (2014) yang mengatakan dalam penelitiannya

bahwa dari 216 responden terdapat 14,8% memiliki ulkus diabetikum.


4

Berdasarkan data rekam medis diruang Griu 4 Rumah Sakit Bhayangkara

TIK.1 Raden Said Sukanto pada bulan Agustus sampai dengan Oktober tahun

2018, didapatkan angka kejadian diabetes melitus tipe 2 sebanyak 290 kasus

dengan ulkus diabetik sebanyak 127 kasus. Penyakit diabetes mengakibatkan

kegagalan penyembuhan pada ulkus yang disebabkan oleh infeksi sebagai

akibat dari tingginya glukosa, sehingga mendorong proliferasi bakteri dan

pada penderita diabetes melitus sering dijumpai penurunan sistem imun.

Selain itu, tidak sesuainya penanganan luka pada ulkus diabetikum juga dapat

mempengaruhi proses penyembuhan luka yang terjadi (Ekaputra, 2013).

Ulkus diabetikum diklasifikasikan sebagai luka kronis yang tidak akan

sembuh dengan sendirinya dan memerlukan pengobatan aktif (Holt, 2013).

Beberapa cara dilakukan untuk menangani ulkus diabetikum agar tidak

mengarah pada amputasi. Penanganan ini dimulai dari saat pasien diabetes

melitus mengalami neuropati dan angiopati. Untuk penanganan ulkus dapat

dilakukan dengan perawatan luka (Black dan Hawks, 2014).

Perawatan luka dibagi menjadi dua macam yaitu konvensional dan modern.

Metode perawatan luka yang berkembang saat ini adalah menggunakan

prinsip moisture balance, yang disebutkan lebih efektif dibandingkan metode

konvensional. Perawatan luka menggunakan prinsip moisture balance ini

dikenal sebagai metode modern dressing. Selama ini, ada anggapan bahwa

suatu luka akan cepat sembuh jika luka tersebut telah mengering. Namun

faktanya, lingkungan luka yang kelembabannya seimbang memfasilitasi

pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen dalam matriks nonseluler yang sehat.
5

Pada luka akut, moisture balance memfasilitasi aksi faktor pertumbuhan,

cytokines, dan chemokines yang mempromosi pertumbuhan sel dan

menstabilkan matriks jaringan luka. Jadi, luka harus dijaga kelembapannya.

Lingkungan yang terlalu lembap dapat menyebabkan maserasi tepi luka,

sedangkan kondisi kurang lembap menyebabkan kematian sel, tidak terjadi

perpindahan epitel dan jaringan matriks (Kartika, 2015).

Menurut penelitian Septiyanti & Damanik (2013) bahwa pasien dengan ulkus

diabetikum yang dirawat dengan advanced wound dressing memiliki

presentase perbaikan luka yang lebih tinggi sekitar 86,67% dibandingkan

dengan pasien yang dirawat dengan conventional wound dressing. Pasien

yang dirawat dengan advanced wound dressing lama perawatan lebih pendek

sekitar 3-7 hari dibandingkan dengan menggunakan conventional dressing

yang membutuhkan lama perawatan sekitar > 7 hari. Advanced wound

dressing merupakan salah satu cara untuk mempertahankan luka dalam

keadaan lembab. Perawatan luka dengan menggunakan prinsip lembab dan

tertutup yang dikenal dengan teknik moist wound healing

Berdasarkan penelitian Nontji, Hariati, dan Arafat (2015) tentang teknik

perawatan luka modern dan konvensional terhadap kadar interleukin 1 dan

interleukin 6 pada pasien luka diabetikum dengan 32 sampel (16 di kelompok

intervensi dan 16 kelompok kontrol) didapatkan hasil uji Pooled T dengan

nilai p = 0,00 (p < 0,05), berarti ada signifikansi korelasi antara teknik rawat
6

luka modern terhadap kadar Interleukin 1 (IL-1) dan Interleukin 6 (IL-6) dari

pada teknik rawat luka konvensional.

Penelitian lain menyebutkan adanya pengaruh moist wound healing terhadap

penyembuhan luka ulkus diabetikum. Penelitian tersebut dilakukan pada 20

responden dengan luka ulkus diabetikum. Hasil penelitan menunjukkan

bahwa semua responden (100%) yang dilakukan perawatan luka dengan

metode moist wound healing mengalami regenerasi yag baik pada luka

setelah dilakukan perawatan selama tujuh hari (Wahyuni, 2016). Penelitian

lain menyebutkan bahwa dengan teknik modern dressing yaitu

mempertahankan kelembaban pada balutan luka dapat mempercepat proses

penyembuhan luka karena penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan

dapat terjadi secara alami dan pada dasarnya sel dapat hidup dilingkungan

yang lembab dan basah (Maharani, 2015). Berdasarkan uraian latar belakang

tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh metode

perawatan luka lembab (moist wound healing) terhadap proses penyembuhan

ulkus diabetikum pada pasien DM Tipe 2 di ruang Griu 4 Rumah Sakit

Bhayangkara TIK.1 Raden Said Sukanto Tahun 2019.

1.2 Rumusan Masalah

Prevalensi penyakit tidak menular seperti diabetes terus meningkat termasuk

salah satu komplikasi yang sering terjadi yaitu ulkus diabetikum dan

berdampak pada banyaknya kasus amputasi karena ulkus yang tidak

tertangani. Beberapa cara dilakukan untuk menangani ulkus diabetikum agar


7

tidak mengarah pada amputasi. Untuk penanganan ulkus dapat dilakukan

dengan perawatan luka. Metode perawatan luka yang berkembang saat ini

adalah menggunakan prinsip moisture balance, yang disebutkan lebih efektif

dibandingkan metode konvensional. Berdasarkan hal ini, maka peneliti

tertarik untuk meneliti tentang pengaruh metode perawatan luka lembab

(moist wound healing) terhadap ulkus diabetikum pada pasien DM Tipe 2 di

ruang Griu 4 Rumah Sakit Bhayangkara TIK.1 Raden Said Sukanto Tahun

2019. Maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh metode

perawatan luka lembab (moist wound healing) terhadap proses penyembuhan

ulkus diabetikum pada pasien DM Tipe 2 di ruang Griu 4 Rumah Sakit

Bhayangkara TIK.1 Raden Said Sukanto Tahun 2019.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh metode perawatan luka lembab (moist wound

healing) terhadap proses penyembuhan ulkus diabetikum pada pasien

DM Tipe 2 di ruang Griu 4 Rumah Sakit Bhayangkara TIK.1 Raden

Said Sukanto Tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Diketahuinya distribusi frekuensi derajat ulkus diabetikum pada

pasien diabetes melitus tipe 2 sebelum dilakukan perawatan luka

dengan metode perawatan luka lembab (moist wound healing).


8

1.3.2.2 Diketahuinya distribusi frekuensi derajat ulkus diabetikum pada

pasien diabetes melitus tipe 2 setelah dilakukan perawatan luka

dengan metode perawatan luka lembab (moist wound healing).

1.3.2.3 Diketahuinya pengaruh metode perawatan luka lembab (moist

wound healing) terhadap proses penyembuhan ulkus diabetikum

pada pasien DM Tipe 2 di ruang Griu 4 Rumah Sakit

Bhayangkara TIK.1 Raden Said Sukanto Tahun 2019

berdasarkan nilai p value.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mahasiswa tentang

pengaruh metode perawatan luka lembab (moist wound healing)

terhadap proses penyembuhan ulkus diabetikum pada pasien DM Tipe

2 di ruang Griu 4 Rumah Sakit Bhayangkara TIK.1 Raden Said Sukanto

Tahun 2019.

1.4.2 Bagi Pelayanan Kesehatan

Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien ulkus

diabetikum, baik diruang perawatan rumah sakit maupun klinik

perawatan luka dengan metode perawatan luka lembab (moist wound

healing)

1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Meningkatkan pengetahuan tentang ulkus diabetikum dan cara

perawatannya. Selain itu, penelitian ini diharapkan menjadi dasar bagi


9

peneliti lain yang ingin meneliti tentang perawatan ulkus diabetikum

dan pengembangan metode perawatan luka lembab (moist wound

healing) sebagai alternatif penatalaksanaan ulkus diabetikum.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit diabetes yang tidak tertangani menyebabkan banyak komplikasi. Pada

bab ini akan dibahas penelitian mengenai definisi, klasifikasi, faktor resiko,

patogenesis, dan komplikasi dari diabetes melitus. Pada komplikasi diabetes

melitus peneliti memfokuskannya pada ulkus diabetikum yang disesuaikan

dengan penelitian yang akan dilakukan serta membahas metode perawatan luka

ulkus diabetikum.

2.1 Ulkus Diabetikum

2.1.1 Definisi Ulkus Diabetikum

Ulkus diabetikum didefinisikan sebagai adanya infeksi, ulserasi

dan/atau kerusakan jaringan dalam terkait dengan kelainan neurologis

dan berbagai penyakit arteri perifer di tungkai bawah pada pasien

dengan diabetes (Katsilambros, 2010).

Ulkus diabetikum adalah salah satu komplikasi dari diabetes melitus.

ulkus ini adalah komplikasi yang cukup sering terjadi dan 25%-40%

kejadian ulkus diabetikum berakhir dengan amputasi (Black dan

Hawks, 2014; Chris tanto, 2014 dkk).

2.1.2 Etiologi Ulkus Diabetikum

Beberapa penyebab atau faktor resiko terjadinya ulkus diabetikum

adalah jenis kelamin laki-laki, diabetes lebih dari 10 tahun, nueropati

perifer, struktur kaki yang abnormal, penyakit arteri perifer, merokok,

10
11

riwayat ulkus atau amputasi dan buruknya kontrol glikemik (Chris

tanto, 2014 dkk).

2.1.3 Patofisiologi Ulkus Diabetikum

Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi kronik diabetes.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya ulkus pada kaki diabetes antara

lain faktor neuropati, biomekanika kaki yang abnormal, penyakit arteri

perifer, dan penyembuhan luka yang buruk.

Neuropati sensorik perifer berperan dalam timbulnya cedera pada kaki.

Komplikasi ini menyebabkan gangguan pada mekanisme proteksi kaki

yang normal, sehingga pasien dapat mengalami cedera pada kaki tanpa

disadari. Neuropati otonom menyebabkan terjadinya anhidrosisdan

gangguan perfusi pada kaki. Akibatnya, kulit menjadi keringdan dapat

berbentuk fisura.

Biomekanika kaki yang abnormal disebabkan oleh beberapa faktor yang

berhubungan dengan neuropati, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Gangguan propriosepsi menyebabkan distribusi berat badan

yang abnormal. Hal ini dapat berperan dalam terjadinya callus atau

ulserasi pada kaki. Perubahan struktural pada kaki dapat terjadi akibat

adanya komplikasi neuropati sensorik dan motorik. Pada pasien DM,

angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan populasi

umum. Gangguan pembuluh darah perifer menyebabkan gangguan

oksigenasi jaringan sehingga menghambat proses penyembuhan luka.


12

Infeksi memegang peranan penting dalam terjadinya ulkus diabetik.

Peranan infeksi sejajar dengan neuropati dan angiopati. Pada kaki

diabetes, infeksi terjadi dan melibatkan banyak spesies bakteri yang

akan mempersulit penatalaksanaan. Kemungkinan timbulnya infeksi

pada kaki diabetes akan meningkat akibat adanya penyakit arteri perifer

dan gangguan penyembuhan luka seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya.

2.1.4 Diagnosis Ulkus Diabetikum

Menurut Christanto dkk (2014), dalam mengevaluasi ulkus pada kaki

diabetes, perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang yang cermat. Pada anamnesis perlu ditanyakan

riwayat penyakit secara umum, terarah maupun secara khusus mengenai

luka yang diderita. Anamnesis umum meliputi lamanya menderita DM,

kontrol glikemik baik ke dokter umum maupun spesialis penyakit

dalam, penyakit penyerta, gejala komplikasi, status nutrisi, alergi,

riwayat faktor resiko, pengobatan yang sudah diterima, hingga riwayat

perawatan di rumah sakit sebelumnya. Anamnesis terarah meliputi

aktifitas sehari-hari, riwayat pajanan, pemakaian sepatu khas, kalus,

riwayat operasi kaki, pemakaian sepatu, gejala neuropati, serta adanya

klaudikasio. Secara khusus perlu ditanyakan riwayat luka pasien,

adanya bengkak, perhatian keluarga serta kelainan bentuk kaki dan

riwayat pengobatannya.
13

Pemeriksaan fisik yang bisa dilakukan adalah meliputi pemeriksaan

tanda vital untuk melihat ada tidaknya sepsis, pemeriksaan sistematik

organ untuk mencari komplikasi diabetes yang lain, dan pemeriksaan

ekstremitas serta kondisi luka lokal. Pemeriksaan vaskuler (inspeksi,

palpasi, Ankle Brachial Index (ABI)), pemeriksaan neuropati (vibrasi

dengan garpu tala 128 Hz, sensasi halus, diskriminasi, refleks,

keseimbangan, sensasi suhu, raba dan nyeri dll).

Untuk mengevaluasi ulkus dengan atau tanpa infeksi dapat

menggunakan kriteria PEDIS (Perfusion, Exent, Depth, Infection,

Sensation) yang dikutip dari International Working Group on The

Diabetic Foot berikut ini :

1. Perfusi (Perfusion)

a. Derajat 1 : tidak ada gejala maupun tanda penyakit arteri perifer

pada kaki yang terkena dikombinasi dengan arteri dorsalis pedis

dan tibialis posterior yang teraba atau ABI 0,9-1,10 atau Toe

Brachial Index (TBI) > 0,6 atau tekanan oksigen transkutan

(TcPO2) > 60 mmHg

b. Derajat 2 : Gejala atau tanda penyakit arteri perifer, namun belum

mencapai critical limb ischemia (CLI), adanya klaudikasio

intermiten, ABI <0,9 namun tekanan ankle >50 mmHg atau TBI

<0,6, namun tekanan darah sistolik ibu jari >30 mmHg atau

(TcPO2) 30-60 mmHg atau ada kelainan lain pada uji noninvasif
14

yang sesuai dengan penyakit arteri perifer tapi bukan merupakan

suati CLI.

c. Derajat 3 : Tekanan sistolik ankle <50 mmHg atau tekanan

sistolik ibu jari <30 mmHg atau TcPO2<30 mmHg

2. Ukuran Luka (Exent)

Ukuran luka dalam meter persegi

3. Kedalaman (Depth)

a. Derajat 1 : Ulkus tebal superfisial yang tidak menembus jaringan

dibawah dermis

b. Derajat 2 : Ulkus dalam, menembus lapisan di bawah dermis

hingga ke subkutan, fascia , otot atau tendon

c. Derajat 3 : Meliputi seluruh lapisan jaringan pada kaki, termasuk

tulang dan / atau sendi ( tulang terpapar, probing mencpai tulang)

4. Infeksi (Infection)

a. Derajat 1 : Tidak ada tanda-tanda atau gejala infeksi

b. Derajat 2 : Infeksi hanya melibatkan kulit dan jaringan subkutan

(tanpa keterlibatan jaringan yang terletak lebih dalam dan tanpa

disertai tanda sistemik seperti pembengkakan atau indurasi lokal,

eritema 0,5-2 cm di sekitar ulkus, nyeri lokal, hangat pada

perabaan lokal, duh purulen (sekret tebal, opak hingga putih atau

sanguinosa). Penyebab inflamasi lain seperti trauma gout, charcot

neuro-osteoartropati akut, fraktur, thrombosis, stasis vena harus

disingkirkan.
15

c. Derajat 3 : Eritema >2 cm ditambah salah satu temuan di atas,

atau adanya infeksi yang melibatkan struktur di bawah kulit dan

jaringan subkutan, misalnya abses, osteomylitis, artritis septik,

maupun fascitis. Tidak ditemukan tanda respon inflamasi

sistemik.

d. Derajat 4 : Infeksi kaki dengan tanda sindrom respon inflamasi

sistemik (SIRS), yaitu dua atau lebih keadaan seperti suhu <38

derajat celcius, frekuensi denyut >90x/menit, frekuensi

pernafasan >20x/menit, PACO2<32 mmHg, hitung leukosit

<4.000 atau >12.000 sel/mm2, 10% bentuk immatur.

5. Sensasi (Sensation)

a. Derajat 1 : tidak ada kehilangan sensasi protektif pada kaki yang

terkena

b. Derajat 2 : terdapat kehilangan sensasi protektif pada kaki yang

terkena. Dalam hal ini berarti terdapat kehilangan persepsi pada

salah satu pemeriksaan seperti tidak adanya sensasi tekanan pada

pemeriksaan monofilamen 10 g pada 2 dari 3 titik plantar pedis,

tidak adanya sensasi getar pada pemeriksaan garpu tala 128 Hz

atau vibrasi >25 V. Pemeriksan dilakukan pada regio hallux

(Chris tanto, 2014 dkk).

2.1.5 Dampak Ulkus Diabetikum

Ulkus diabetikum adalah komplikasi yang dapat terjadi bila diabetes

tidak tertangani. Terjadinya ulkus tentu akan berdampak pada pasien

baik fisik, psikis, sosial, ekonomi maupun spiritual atau yang secara
16

garis besar keadaan ini akan mempengaruhi kualitas hidup klien.

Beberapa survey dan penelitian telah dilakukan untuk mengetahui

sejauh mana dampak ulkus diabetikum.

Berdasarkan data dari International Diabetes Federation (2014)

peningkatan jumlah penderita diabetes menyebabkan sedikitnya 612

milyar dolar Amerika dalam pengeluaran kesehatan pada tahun 2014

atau 11% dari total pengeluaran untuk orang dewasa. Menurut Mazlina

(2011) konsekuensi ekonomi dari masalah ulkus diabetikum adalah

besar, baik kepada masyarakat maupun kepada pasien dan keluarga. Hal

ini dapat diukur dalam biaya langsung dikaitkan dengan pengobatan

seperti perban atau prosedur bedah, serta biaya tidak langsung seperti

kehilangan produktivitas, pelayanan sosial, perawatan rumah dan

kualitas hidup. Orang yang menderita masalah kaki diabetes mengalami

penurunan kualitas kesehatan. Pasien dengan ulkus diabetikum

mengalami pembatasan kehidupan sehari-hari sebagai akibat dari ulkus.

mereka menghadapi isolasi sosial dari mobilitas berkurang. Hal ini pun

memiliki dampak negatif pada pasien.

Penelitian tentang dampak ulkus baik terhadap aspek fisik, psikologis

serta aspek sosial telah banyak dilakukan. Green dan Jester (2010),

meneliti hubungan kulitas hidup dengan ulkus diabetikum. Menurutnya,

ada beberapa dampak yang dapat terjadi akibat adanya ulkus pada kaki.

Dampak tersebut dirasakan oleh penderita baik secara fisik, psikologi


17

dan kehidupan sosial. Dampak fisik yang dirasakan adalah mencakup

berbagai implikasi fisik ulkus diabetikum termasuk nyeri, masalah

mobilitas dan keterbatasan fungsi sehari-hari serta kesehatan umum.

2.1.6 Pengkajian pada pasien dengan ulkus diabetikum

Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik yang lengkap harus dilakukan

sebagai bagian dari evaluasi awal. Informasi yang berkaitan dengan

pasien ulkus diabetikum termasuk durasi diabetes, kualitas kontrol

glikemik, dan adanya komplikasi lain serta penyakit penyerta diabetes,

seperti penyakit ginjal stadium akhir, faktor risiko kardiovaskular dan

penyakit kardiovaskular (hipertensi, hiperlipidemia, merokok, angina,

infark miokard, stroke, dan penyakit pembuluh darah perifer). Riwayat

kesehatan kaki pasien harus termasuk dalam informasi seperti mengenai

sepatu, paparan bahan kimia, pembentukan kalus, kelainan bentuk kaki,

infeksi kaki sebelumnya atau operasi dan gejala neuropati. Faktor-

faktor khusus untuk ulkus seperti luka awal, riwayat luka berulang,

masalah penyembuhan luka sebelumnya, tes diagnostik sebelumnya,

terapi sebelumnya dan respon, dampak fungsional luka pada pasien,

serta penilaian riwayat sosial untuk menentukan potensial dampak

negatif pada kegiatan sehari hari klien. Perlu dikaji pula gaya hidup

pasien berupa pola makan klien, kebiasaan merokok, dan konsumsi

alkohol (Kirsner, 2010)

Pada pengkajian ulkus diabetikum perlu dilakukan juga skrining

laboratorium misalnya pemeriksaan jumlah sel darah lengkap dan


18

kreatinin/tes nitrogen urea sebagai bagian dari evaluasi awal untuk

pasien dengan luka kronis, karena penyembuhan luka dapat terhambat

oleh anemia dan insufisiensi ginjal. Pengujian protein, albumin, dan

tingkat prealbumin untuk menilai status gizi pasien mungkin

dibenarkan karena malnutrisi menghambat penyembuhan. Pemeriksaan

lipid perlu dilakukan karena banyak pasien ulkus diabetik beresiko

tinggi atau telah didiagnosa dengan penyakit kardiovaskular,

dislipidemia dan hipertensi. Dengan demikian, evaluasi profil lipid

pasien (kolesterol, HDL dan LDL) perlu dilakukan dan diidentifikasi

pada perubahan yang signifikan. Penilaian selanjutnya adalah skrining

neurologik. Beberapa teknik dapat digunakan untuk menilai fungsi

sensorik selama skrining untuk neuropati. Rekomendasi saat ini

didukung oleh American Diabetic Assosiation yang menganjurkan

penggunaan 10-g Semmes-Weinstein monofilamen selain dari 1 /tes

berikut seperti sensasi cocokan peniti, persepsi getaran dengan garpu

tala 128-Hz, refleks tendon pada pergelangan kaki, atau getaran

pengujian ambang persepsi (Kirsner, 2010)

Evaluasi vaskular dilakukan untuk mendukung penilaian penyakit

makrovaskuler. Pengukuran ini meliputi palpasi nadi, ankle brachial

index (ABI), dan / atau toe brachial index (TBI). Jika ada kecurigaan

klinis yang tinggi bahwa luka yang iskemik atau bagi individu yang

berisiko tinggi untuk penyakit pembuluh darah, rujukan untuk evaluasi

lapis kedua mungkin diindikasikan. Evaluasi ini dapat mencakup


19

tekanan volume nadi segmental, tekanan perfusi kulit, dan tekanan

oksigen transkutan. Pendekatan untuk evaluasi lebih agresif dapat

mencakup rujukan ke seorang ahli jantung untuk angiografi (Kirsner,

2010)

2.1.7 Instrumen Pengukuran Tingkat Keparahan Ulkus Diabetikum

Sistem klasifikasi telah dikembangkan untuk kelas tingkat keparahan

ulkus kaki diabetikum, memberikan prognosis pada penyembuhan dan

membantu dalam perumusan rencana perawatan.

2.1.7.1 The University of Texas Tools

The University of Texas Tools membuat sistem menilai

kedalaman ulkus, adanya infeksi luka, dan adanya tanda-tanda

klinis ischaemia ekstremitas bawah. Sistem ini menggunakan

matriks kelas pada sumbu horisontal dan derajat pada sumbu

vertikal (tabel 1). Dalam setiap kelas luka ada empat tahap:

tahap A adalah luka bersih yang tidak terinfeksi dan non-

iskemik, ulkus tahap B yang terinfeksi tetapi tidak iskemik,

ulkus tahap C yang iskemik tetapi tidak terinfeksi dan tahap D

ulkus terinfeksi dan iskemik.

Tabel 2.1
The University of Texas System
Grad Deskripsi Ulkus
e
A B C D
0 Luka Epitelisasi Luka Epitelisasi Luka Epitelisasi Luka Epitelisasi
dengan infeksi dengan iskemi dengan iskemi
tanpa infeksi dan infeksi
1 Ulkus superfisial Ulkus superfisial Ulkus Superfisial Ulkus Superfisial
tidak melibatkan dengan infeksi dengan iskemi dengan iskemi
tendon atau tulang tanpa infeksi dan infeksi

2 Ulkus menembus ke Ulkus menembus Ulkus menembus Ulkus menembus


tendon ke tendon dengan ke tendon dengan ke tendon dengan
20

infeksi iskemi tanpa infeksi iskemi dan infeksi


3 Ulkus menembus ke Ulkus menembus Ulkus menembus Ulkus menembus
tulang atau sendi ke tulang atau ke tulang atau sendi ke tulang atau
sendi dengan dengan iskemi sendi dengan
infeksi tanpa infeksi iskemi dan infeksi

2.1.7.2 Skala Wagner

Klasifikasi Wagner adalah instrumen yang banyak digunakan.

Instrumen ini untuk menilai ulkus kaki diabetik yang menilai

kedalaman ulkus dan adanya osteomyelitis atau gangren.

Tabel 2.2
Klasifikasi Wagner untuk Ulkus Diabetikum
Grad Deskripsi Ulserasi
e
0 Kulit utuh pada pasien yang beresiko
1 Ulkus dangkal pada jaringan subkutan yang terkena
2 Terkena tendon dan struktur dalam
3 Ulkus meluas ke jaringan dalam dan terdapat abses jaringan lunak atau
osteomyelitis
4 Ulkus pada kaki dengan gangren parsial
5 Ulkus kaki dengan jaringan gangren lebih luas
(Leigh and Tsui, 2013).

2.1.7.3 Bates-Jensen Wound Assesment Tool

Bates Jensen Wound Assesment Tool (BWAT) atau The

Pressure Sore Status Tool (PSST) adalah alat ukur luka yang

terdiri dari 13 parameter yang diukur pada skala 1 sampai 5.

Lokasi luka dikaji, dicatat dan ditandai pada diagram. Total

dihitung dengan menggunakan tiga belas parameter dan

kemudian ditempatkan pada grafik linear (Harris, 2009 dalam

Lazuardi 2015).

2.1.8 Tata Laksana Ulkus Diabetikum


21

Penatalaksanaan ulkus diabetikum secara holistik harus meliputi 6

kontrol yaitu kontrol mekanik, kontrol metabolik, kontrol vaskuler,

kontrol luka, kontrol infeksi, kontrol edukasi.

Kontrol mekanik yang dapat dilakukan pada pasien dengan ulkus

diabetikum adalah mengistirahatkan kaki, menghindari tekanan pada

daerah luka, serta menggunakan bantal pada kaki saat berbaring untuk

mencegah lecet pada luka dan menggunakan kasur dekubitus jika perlu.

Selain itu dapat dilakukan manajemen pada callus, perawatan kuku

Kontrol metabolik bertujuan untuk mengatasi infeksi dan mendukung

penyembuhan luka. pengaturan glukosa darah pasien secara adekuat,

serta pengendalian faktor komordibitas (hipertensi, dislipidemia,

gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan elektrolit,

anemia, infeksi penyerta, serta hipoalbuminemia).

Kontrol vaskuler meliputi evaluasi status vaskuler kaki, pemeriksaan

ABI, tekanan oksigen transkutan, tekanan ibu jari kaki (toe pressure)

dan angiografi. Gangguan vaskuler yang ditemukan dapat mengganggu

penyembuhan luka sehingga perlu ditata laksana secara adekuat.

Kontrol luka seperti adanya jaringan nekrotik dan pus yang ada harus

dievakuasi secara adekuat dengan nekrotomi atau debridemen. Luka

sebaiknya ditutup dengan pembalut yang basah atau lembab. Apabila


22

diperlukan, tindakan amputasi harus dipertimbangkan. Klinisi yang

menangani ulkus diabetikum harus bekerja sama dengan spesialis bedah

untuk menentukan tindakan pembedahan yang diperlukan atau tidak.

Kontrol infeksi yaitu dengan pemberian antibiotik harus dimulai secara

empiris sebelum didapatkan hasil kultur resistensi. Pada luka yang

superfisial dan tidak mencapai subkutan, dapat diberikan antibiotik

empiris yang efektif terhadap kuman gram positif. Selain itu, dapat juga

dilakukan perawatan di rumah sakit ketika biasanya pasien datang

dengan luka ulkus yang sudah meluas.

Kontrol edukasi adalah memberikan edukasi yang baik pada upaya

pencegahan dan deteksi dini pada kaki yang normal atau sudah ada

gangguan seperti neuropati tapi belum ada luka. Berikan edukasi pada

pasien tentang usaha mencegah ulserasi, memilih alas kaki yang tepat,

pemeriksaan kaki harian, menjaga kebersihan dan kelembaban kaki,

menghindari perilaku berisiko, dan anjurkan berkonsultasi dengan

tenaga kesehatan.

2.2 Konsep Dasar Luka

2.2.1 Definisi Luka

Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit Luka adalah

kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ

tubuh lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul yaitu
23

hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis,

perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri dan kematian sel

(Kozier dkk, 2011; Taylor, 2011).

2.2.2 Jenis-Jenis Luka

Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara terjadinya luka

tersebut dan dapat juga menunjukkan derajat luka (Taylor, 2011).

1. Berdasarkan tingkat kontaminasi

a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang

mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada

sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi.

Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup. Jika

diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt).

Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.

b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi),

merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi,

pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol,

kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi

luka adalah 3% - 11%.

c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka

terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan

kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari

saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut,

inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.


24

d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu

terdapatnya mikroorganisme pada luka.

2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka

a. Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu

luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan

kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis.

Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi,

blister atau lubang yang dangkal.

c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit

keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan

yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan

yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis,

dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara

klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa

merusak jaringan sekitarnya.

d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan

otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang

luas.

2.2.3 Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka dijabarkan sebagai suatu proses yang kompleks dan

dinamis yang menghasilkan pengembalian keutuhan dan fungsi

anatomis. Penyembuhan luka dianalogikan seperti membangun sebuah

rumah. Dibutuhkan persediaan bahan yang cukup untuk dapat


25

membangun sebuah rumah, yang dapat disamakan dengan nutrisi, aliran

darah dan oksigen yang cukup untuk proses penyembuhan luka. Luka

yang sembuh secara ideal adalah luka yang kembali ke struktur, fungsi,

dan penampilan anatomis yang normal. Pada manusia, sembuh idealnya

hanya dapat terjadi di jaringan epidermis, membran mukosa, dan

tulang. Ketika terjadi luka di jaringan dermis, penampilan normal tidak

dapat kembali karena jaringan parut menggantikan jaringan dermis dan

epidermis yang hilang. Di sisi lain, penyembuhan luka minimal

memiliki kontinuitas anatomis (luka telah tertutup), tapi tidak memiliki

fungsi. Pada hal ini, luka dapat terjadi kembali. Diantara kedua jenis

penyembuhan luka yang dapat diterima ditandai dengan kembalinya

fungsi, dan kontinuitas jaringan. (Black dan Hawks, 2014).

Jenis luka yang terjadi berpengaruh pada bentuk penyembuhan. Insisi

yang bersih dan terencana dapat sembuh dengan pembentukan jaringan

baru yang minimal dan sedikit mengusik respons tubuh klien.

Sebaliknya, luka bakar luas membutuhkan regenerasi jaringan secara

total, dan menstimulasi respons tubuh secara besar-besaran dari seluruh

sistem tubuh untuk kelangsungan hidup. Lokasi dari luka juga

mempengaruhi penyembuhan. Luka pada perineum mudah terinfeksi,

luka pada sendi sering terpajang oleh gerakan sehingga meningkatkan

pembentukan jaringan parut, dan luka pada daerah perifer atau pada

daerah yang kurang mendapat aliran darah sembuh secara perlahan atau

tidak sama sekali (Black dan Hawks, 2014)


26

Proses penyembuhan luka terbagi atas tiga fase yaitu inflamasi,

proliferasi dan maturasi atau remodelling.

1. Fase inflamasi

Fase inflamasi dimulai segera setelah cedera dan berlangsung selama

3 sampai 6 hari. Dua proses utama yang terjadi selama fase ini

adalah homeostatis dan fagositosis. Homeostatis (penghentian

perdarahan) akibat dari vasikontriksi pembuluh darah pada are yang

terkena, retraksi (penarikan kembali) pembuluh darah yang cedera,

deposisi fibrin (jaringan ikat), dan pembentukan bekuan darah pada

area tersebut. Fagositosis adalah proses penghancuran

mikroorganisme dan debris sel.

2. Fase Proliferasi

Fase Proliferasi adalah fase kedua dalam proses penyembuhan

terjadi pada hari ke-3 atau hari ke-4 sampai hari ke-21 setelah

cedera. Fibroblas yang bermigrasi ke luka dalam 24 jam setelah

cedera mulai mensintesis kolagen. Semakin banyak kolagen maka

semakin kuat regangan pada luka sehingga luka kemungkinan luka

terbuka semakin berkurang. Pembuluh darah kapiler akan tumbuh

melewati luka dan meningkatkan aliran darah. Fibroblas bergerak

dari aliran darah ke dalam luka dan menyimpan benang-benang

fibrin dalam luka. Saat jaringan pembuluh darah kapiler terbentuk,

jaringan akan terlihat merah cerah. Jaringan ini disebut jaringan

granulasi yang rapuh dan mudah berdarah.


27

Apabila tepi luka tidak merapat, area tersebut akan terisi oleh

jaringan granulasi. Saat jaringan granulasi matang, sel epitel yang

berasal dari bagian tepi luka akan bergerak masuk ke area jaringan

granulasi yang telah matang dan kemudian berproliferasi di atas

lapisan jaringan ikat ini untuk mengisi daerah luka. Apabila proses

epitelisasi tidak dapat menutup area luka, area luka akan tertutup

dengan plasma sel yang kering dan sel-sel mati. Area ini disebut

eskar. Pada awalnya, luka yang sembuh melalui penyembuhan

sekunder menghasilkan drainase luka bercampur darah. Setelah itu,

apabila sel epitel tidak menutup area luka, area tersebut akan tertutup

oleh jaringan abu-abu yang tebal dan mengandung benang-benang

fibrin yang akhirnya berubah menjadi jaringan parut yang kaku.

3. Fase Maturasi

Fase maturasi mulai terjadi sekitar hari ke-21 dan dapat berlangsung

selama 1 sampai 2 tahun setelah cedera luka. Kemudian fibroblas

terus mensintesis kolagen. Serat serat kolagen tersebut, yang pada

awalnya memiliki bentuk yang tidak beraturan akan berubah menjadi

struktur jaringan yang teratur. Selama proses maturasi jaringan, luka

akan mengalami pembaruan bentuk dan kontraksi. Jaringan parut

akan menjadi lebih kuat, namun area yang sedang mengalami

perbaikan tidak akan menjadi kuat seperti jaringan asalnya. Pada

beberapa individu, terutama individu yang berkulit gelap, pada area

luka akan muncul kolagen dalam jumlah yang tidak normal, kondisi
28

ini dapat menyebabkan terjadinya jaringan parut yang hipertrofik

atau keloid (Kozier, 2011).

2.2.4 Perawatan Luka

Ulkus merupakan komplikasi diabetes yang harus ditangani. Upaya

yang dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih berat diperlukan

intervensi perawatan luka yang efektif dan efisien. Isu terkini yang

berkaitan dengan manajemen perawatan luka berkaitan dengan

perubahan profil pasien, dimana pasien dengan kondisi penyakit

degeneratif dan kelainan metabolik semakin banyak ditemukan. Kondisi

tersebut biasanya sering menyertai kompleksitas suatu luka dimana

perawatan yang tepat diperlukan agar proses penyembuhan bisa tercapai

dengan optimal (Carol, 2005 dalam Kristyaningrum, 2013).

Manajemen perawatan ulkus diabetikum terdiri dari pengontrolan kadar

gula darah karena pengontrolan gula darah yang optimal membantu

untuk mencegah berkembangnya neuropati diabetes. Selain itu

pencegahan infeksi, perawatan luka, penanganan nyeri dan tidur adalah

cara yang efektif dalam manajemen perawatan luka ulkus diabetik

(Holt, 2013).

Perawatan standar untuk ulkus diabetikum idealnya diberikan oleh tim

multidisiplin dengan memastikan kontrol glikemik, perfusi memadai,

perawatan luka lokal dan debridement, Offloading kaki, pengendalian


29

infeksi oleh antibiotik yang tepat dan pengelolaan penyakit penyerta.

Mendidik pasien membantu dalam mencegah kekambuhan ulkus

mereka (Singh, Pai & Yuhhui, 2013). Prinsip-prinsip Manajemen

perawatan luka harus mencakup manajemen vascular dari iskemia dan

ada komorbiditas, pengendalian infeksi dan pengangkatan jaringan

nekrotik pelepasan tekanan plantar secara intrinsik dan ekstrinsik

(Ismail, Irawaty & Haryati, 2009).

Penggunaan dan pemilihan produk-produk perawatan luka kurang

sesuai akan menyebabkan proses inflamasi yang memanjang dan

kurangnya suplai oksigen di tempat luka. Hal-hal tersebut akan

memperpanjang waktu penyembuhan luka. Luka yang lama sembuh

disertai dengan penurunan daya tahan tubuh pasien membuat luka

semakin rentan untuk terpajan mikroorganisme yang menyebabkan

infeksi. Munculnya infeksi akan memperpanjang lama hari rawat. Hari

rawat yang lebih lama akan meningkatkan risiko pasien terkena

komplikasi penyakit lain (Morrison, 2004 dalam Sinaga 2012).

2.2.5 Perawatan Luka Moist Wound Healing

Moist wound healing adalah mempertahankan isolasi lingkungan luka

yang tetap lembab dengan menggunakan balutan penahan-kelembaban,

okslusive dan semi okslusive sehingga penyembuhan luka dan

pertumbuhan jaringan dapat secara alami, dapat mempercepat

penyembuhan 45% dan mengurangi komplikasi infeksi dan

pertumbuhan jaringan parut residual. Penanganan luka ini dapat


30

dilakukan pada venous leg ulcers, pressure ulcers, dan diabetic foot

ulcers. Teknik ini memiliki keuntungan luka cepat sembuh, kualitas

penyembuhan baik serta dapat mengurangi biaya perawatan luka

(Damayanti, Utami, dan Ose, 2018). Menurut buku panduan pelatihan

perawatan luka Wo Care (2012), manajemen perawatan luka terbagi

menjadi 3 tahapan yaitu mencuci luka, membuang jaringan nekrotik dan

memilih balutan yang tepat.

Mencuci luka merupakan hal pokok untuk meningkatkan, memperbaiki,

mempercepat penyembuhan luka dan menghindari kemungkinan

terjadinya infeksi. Tujuannya adalah membuang jaringan nekrotik,

membuang cairan luka yang berlebih dan membuang sisa balutan yang

digunakan. Pencucian luka dilakukan setiap penggantian balutan luka.

Tindakan berikutnya dalam perawatan luka adalah membuang jaringan

nekrotik pada luka. tindakan tersebut merupakan bagian dari

manajemen persiapan dasar luka dalam perawatan luka dengan metode

moist wound healing. Tahap terakhir adalah memilih balutan yang tepat

(Maryunani, 2013).

2.3 Pengaruh Metode Perawatan Luka Lembab (Moist Wound Healing)

terhadap Ulkus Diabetikum

Telah menjadi kesepakatan umum bahwa luka kronik seperti luka diabetik

memerlukan lingkungan yang lembab untuk meningkatkan proses

penyembuhan luka. Balutan yang bersifat lembab dapat memberikan


31

lingkungan yang mendukung sel untuk melakukan proses penyembuhan luka

dan mencegah kerusakan atau trauma lebih lanjut. Balutan modern lebih

dapat memberikan lingkungan lembab dibanding balutan kasa yang

cenderung cepat kering (Ismail, Irawaty & Haryati, 2009).

Selama ini, ada anggapan bahwa suatu luka akan cepat sembuh jika luka

tersebut telah mengering. Namun faktanya, lingkungan luka yang

kelembabannya seimbang memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi

kolagen dalam matriks nonseluler yang sehat. Pada luka akut, moisture

balance memfasilitasi aksi faktor pertumbuhan, cytokines, dan chemokines

yang mempromosi pertumbuhan sel dan menstabilkan matriks jaringan luka.

Jadi, luka harus dijaga kelembabannya. Lingkungan yang terlalu lembap

dapat menyebabkan maserasi tepi luka, sedangkan kondisi kurang lembap

menyebabkan kematian sel, tidak terjadi perpindahan epitel dan jaringan

matriks (Kartika, 2015).

Septiyanti & Damanik (2013) menjelaskan bahwa pasien dengan ulkus

diabetikum yang dirawat dengan advanced wound dressing memiliki

presentase perbaikan luka yang lebih tinggi sekitar 86,67% dibandingkan

dengan pasien yang dirawat dengan conventional wound dressing. Serta

pasien yang dirawat dengan advanced wound dressing lama perawatan lebih

pendek sekitar 3-7 hari dibandingkan dengan menggunakan conventional

dressing membutuhkan lama perawatan sekitar > 7 hari. Advanced wound

dressing merupakan salah satu cara untuk mempertahankan luka dalam


32

keadaan lembab. Perawatan luka dengan menggunakan prinsip lembab dan

tertutup yang dikenal dengan teknik moist wound healing.

Nontji, Hariati, dan Arafat (2015) meneliti tentang teknik perawatan luka

modern dan konvensional terhadap kadar interleukin 1 dan interleukin 6 pada

pasien luka diabetikum. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimental pre-

post dengan desain kelompok kontrol yang digunakan. Intervensi yang

diberikan adalah pembalut luka modern dan kelompok kontrol dengan

pembalut luka konvensional, penelitian ini dilakukan di Makassar dengan 32

sampel (16 di kelompok intervensi dan 16 kelompok kontrol). Hasil uji

Pooled T menunjukkan bahwa p = 0,00 (p < 0,05), berarti ada signifi kansi

korelasi antara teknik rawat luka modern terhadap kadar Interleukin 1 (IL-1)

dan Interleukin 6 (IL-6) dari pada teknik rawat luka konvensional. Penelitian

ini menunjukkan bahwa proses penyembuhan luka dipengaruhi faktor

pertumbuhan dan sitokin (IL-1 dan IL-6), hal ini akan dirangsang oleh

pembalutan luka, teknik pembalutan luka modern (Kalsium alginat) dapat

menyerap luka drainase, non oklusive, non adhesif, dan debridement autolitik.

Penelitian lain menyebutkan adanya pengaruh moist wound healing terhadap

penyembuhan luka ulkus diabetikum. Penelitian tersebut dilakukan pada 20

responden dengan luka ulkus diabetikum. Hasil penelitan menunjukkan

bahwa semua responden (100%) yang dilakukan perawatan luka dengan

metode moist wound healing mengalami regenerasi yag baik pada luka

setelah dilakukan perawatan selama tujuh hari (Wahyuni, 2016). Penelitian

lain menyebutkan bahwa dengan teknik modern dressing yaitu


33

mempertahankan kelembaban pada balutan luka dapat mempercepat proses

penyembuhan luka karena penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan

dapat terjadi secara alami dan pada dasarnya sel dapat hidup dilingkungan

yang lembab dan basah (Maharani, 2015).

2.4 Kerangka Teori


Gambar 2.1 Kerangka Teori

Faktor DM Tipe 2
usia, Obesitas , gaya hidup

Retensi insulin,
insulin tidak efektif

Kadar glukosa tidak


seimbang

Diabetes Melitus Tipe 2

Neuropatik Hipoglikemia,
Komplikasi Kronis Komplikasi akut DKA dan HHNS

Penyakit Vaskuler Penyakit Retinopati


makrovaskular mikrovaskular
Nefropati
Motorik Otonom Sensorik Mempengaruhi
sirkulasi

Deviasi Kordinasi dan Produksi Penurunan Penurunan kadar


Postural Keringat rangsangan terhadap oksigen
Menurun dan tekanan, penurunan
Deformitas kaki, stress Perubahan sensasi nyeri
Kematian jaringan
dan Shear Pressures Regulasi
Aliran Darah
Kalus Perawatan Luka Moist Wound
Ulkus Diabetikum Healing

Instrumen Pengukuran Luka : Bates


Jensen Wound Assesment Tool
34

(Modifikasi dari Smeltzer and Bare, 2013; Brunner & Suddart, 2010; Black dan hawks:
Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2011;Christianto, 2014).
BAB 3
KERANGKA KONSEP DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.2 Kerangka Konsep


Kerangka konsep menggambarkan hubungan variabel yang akan diteliti, yaitu
variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen merupakan
variabel bebas, yang berubah dan diduga mempengaruhi variabel dependen.
Variabel dependen merupakan variabel yang nilainya akan berubah dengan
adanya perubahan dari variabel independen (Sastroasmoro & Ismael, 2011).

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh metode perawatan


luka lembab (moist wound healing) terhadap proses penyembuhan ulkus
diabetikum pada pasien DM Tipe 2. Variabel dependen atau terikat dalam
penelitian ini adalah perawatan luka lembab (moist wound healing) dan
variabel independen atau bebas pada peneilitian ini adalah proses
penyembuhan ulkus diabetikum pada pasien DM Tipe 2. Berdasarkan hal
tersebut, maka kerangka konsep yang akan dilakukan peneliti adalah sebagai
berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Perawatan Luka Lembab Proses Penyembuhan Ulkus


(moist wound healing) Diabetikum Pada Pasien
DM Tipe 2

Keterangan :
: Diteliti
: Mempengaruhi

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

35
36

3.2 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah batasan variabel yang dimaksud, atau tentang apa
yang diukur oleh variabel yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2012).
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No Nama Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel
1. Perawatan Perawatan luka Alat Melakukan 1. Sebelum Nominal
Luka modern perawatan perawatan intervensi
Lembab menggunakan luka luka perawatan luka
(moist prinsip menjaga lembab moist
wound woun healing
kelembaban
healing) 2. Setelah intervensi
balutan dilakukan
perawatan luka
metode moist
wound healing

2. Proses Proses yang Observasi Melakukan Dinyatakan Interval


penyembuh kompleks dan melalui 13 obeservasi dalam Skor 13-65
an Ulkus dinamis yang parameter menggunakan
Diabetikum menghasilkan penilaian luka alat ukur
dengan Bates-Jensen
Pada Pasien pengembalian
menggunakan Wound
DM Tipe 2 keutuhan kulit skala Likert Assesment
dan fungsi Tool
anatomis kulit

3.3 Hipotesis Penelitian


Peneliti mengajukan hipotesis untuk penelitian ini yaitu:
1. Tidak ada pengaruh metode perawatan luka lembab (moist wound

healing) terhadap proses penyembuhan ulkus diabetikum pada pasien

DM Tipe 2 di ruang Griu 4 Rumah Sakit Polri Kramat Jati Tahun 2019.

2. Ada pengaruh metode perawatan luka lembab (moist wound healing)

terhadap proses penyembuhan ulkus diabetikum pada pasien DM Tipe 2

di ruang Griu 4 Rumah Sakit Polri Kramat Jati Tahun 2019.


BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

Setelah membahas teori terkait penelitian, kerangka konsep, menentukan tujuan,

hipotesis penelitian, selanjutnya penelitian ini menguraikan metodologi penelitian

yang terdiri dari desain penelitian, tempat penelitian, waktu penelitian, etika

penelitian, alat pengumpulan data, pengumpulan data dan analisa data.

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah One-Group

Pretest-Posttest Design yaitu sebuah penelitian metode penelitian eksperimen

nondesign yang pada sampel penelitian dilakukan pretest terlebih dahulu

sebelum perlakuan dan dilakukan posttest setelah perlakuan pada sampel

untuk mencari pengaruh antara variabel independen terhadap variabel

dependen (Sugiyono, 2017). Adapun desain ini dapat digambarkan sebagai

berikut :

01X02
Keterangan :

01 : nilai prestest (sebelum dilakukan perawatan luka metode moist wound

healing)

02 : nilai posttest (setelah dilakukan perawatan luka metode moist wound

healing)

X : Intervensi (perawatan luka metode moist wound healing)

37
38

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang

meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka

penelitiannya merupakan penelitian populasi (Arikunto, 2013).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien diebetes melitus

tipe 2 yang mengalami ulkus diabetikum yang dirawat di ruang Griu 4

Rumah Sakit Bhayangkara TIK.1 Raden Said Sukanto sebanyak 127

pasien.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin

mempelajari semua yang ada pada populasi, maka peneliti dapat

mengunakan sampel yang diambil dari populasi itu (Sugiono, 2017).

Sampel pada penelitian ini adalah diebetes melitus tipe 2 yang

mengalami ulkus diabetikum yang dirawat di ruang Griu 4 Rumah

Sakit Bhayangkara TIK.1 Raden Said Sukanto.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Consecutive sampling yaitu suatu metode pemilihan sampel

yang dilakukan dengan memillih semua individu yang ditemui dan

memenuhi kriteria pemilihan sampai jumlah sampel yang diinginkan

terpenuhi (Sastroasmoro & Ismael, 2011). Besar sampel yang menjadi

objek peneliti adalah ditentukan berdasarkan ketentuan jumlah sampel


39

penelitian eksperimen sederhana yang menggunakan kelompok

eksperimen yaitu sebanyak 10-20 responden (Roscoe 1982 dalam

Sugiyono, 2017). Berdasarkan hal tersebut, peneliti menentukan bahwa

jumlah sampel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebanyak

15 responden.

4.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

4.3.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :

4.3.1.1 Responden yang didiagnosa mengalami DM Tipe 2 dengan

ulkus diabetikum

4.3.1.2 Bersedia terlibat dalam penelitian atau menjadi responden

dengan mengisi lembar persetujuan menjadi responden

4.3.2 Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah :

4.3.2.1 Responden diabetes melitus yang tidak mengalami ulkus

diabetikum

4.3.2.2 Responden yang tidak bersedia terlibat dalam penelitian

4.4 Tempat

Penelitian ini dilakukan di di ruang Griu 4 Rumah Sakit Bhayangkara TIK.1

Raden Said Sukanto karena adanya populasi yang mencukupi untuk dijadikan

sampel
40

4.5 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2018 sampai dengan

Januari 2019.

4.6 Etika Penelitian

Menurut Hidayat (2008), dalam melakukan penelitian khususnya jika yang

menjadi subjek penelitian adalah manusia, maka peneliti harus memahami

hak dasar manusia. Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya,

sehingga penelitian yang dilakukan benar – benar menjunjung tinggi

kebebasan manusia. Beberapa prinsip yang harus dipahami antara lain prinsip

manfaat, prinsip menghormati manusia dan prinsip keadilan.

Milton (1999) dalam Notoatmodjo (2012) mengatakan bahwa terdapat empat

prinsip etika penelitian yaitu :

4.6.1 Prinsip menghormati martabat dan harkat manusia (respect for

human dignity).

Dalam penelitian ini peneliti harus memperhatikan hak-hak responden

untuk mengetahui tujuan penelitian yang biasanya terdapat pada

informed concent. Ketika terjadi kesepakatan antara peneliti dan

responden dengan disetujuinya informed concent maka responden

setuju untuk bergabung dalam penelitian ini dan responden dapat

mengundurkan diri kapan saja. Peneliti juga memberikan kebebasan

kepada subjek untuk memberikan informasi atau tidak memberikan


41

informasi. Selain itu kerahasiaan identitas dan semua informasi yang

diberikan responden kepada peneliti akan dijaga dengan baik. Dalam

penelitian yang akan dilakukan peneliti tidak memaksa pasien ulkus

untuk bersedia menjadi responden karena pasien memiliki hak untuk

menolak. Sebelum menjadi responden peneliti memberikan lembar

persetujuan menjadi responden yang berisi pernyataan kesediaan

menjadi responden. Jika bersedia maka pasien menandatangani lembar

persetujuan menjadi responden tersebut sebagai bukti persetujuan.

4.6.2 Prinsip menghormati privasi dan kerahasiaan objek penelitian

(respect for privacy and confidentiality).

Setiap orang memiliki hak untuk tidak menginformasikan identitas

(Anonimity) dengan cara memberikan kode atau tanda pada lembar

kuesioner yang kode itu hanya diketahui oleh peneliti. Peneliti menjaga

kerahasiaan informasi (Confidentiality) dengan tidak menyebarluaskan

kepada orang banyak. Pada penelitian ini semua responden tidak

menuliskan nama, melainkan hanya kode yang dituliskan oleh peneliti,

sehingga privasi pasien terjaga. Selain itu pada saat dilakukan

pengkajian pada luka pasien, peneliti menjaga privasi pasien dengan

menutup ruangan menggunakan sampiran atau yang lainnya.

4.6.3 Prinsip Keadilan dan keterbukaan (respect for justice an

inclusiveness). Prinsip ini mengharuskan peneliti untuk jujur, adil dan

terbuka, hati-hati dan profesional dalam melaksanakan penelitian.

Responden berhak tahu atau mendapatkan informasi yang jelas tentang

prosedur penelitian yang dilakukan serta keuntungan yang didapatkan


42

tanpa membedakan jender, agama, suku dan sebagainya. Sebelum

melakukan penelitian, peneliti menjelaskan kepada responden yaitu

pasien ulkus diabetik tentang prosedur penelitian secara jelas serta

menjelaskan manfaat yang akan diperoleh pasien dari penelitian yang

dilakukan.

4.6.4 Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan

(balancing harms and benefits)

Peneliti melaksanakan penelitian dengan ketentuan atau prosedur yang

sudah ditetapkan. Prinsip manfaat mewajibkan peneliti agar

meminimalkan bahaya dan memaksimalkan manfaat. Penelitian harus

mampu meminimalkan rasa sakit, cidera, cemas, maupun dampak lain

yang dapat merugikan pasien. Saat melakukan penelitian, peneliti akan

sangat berhati-hati dalam melakukan observasi dan perawatan ulkus

pasien. Semaksimal mungkin menjaga kesterilan dari luka untuk

mencegah kontaminasi bakteri. Untuk mengurangi kecemasan, peneliti

akan menerangkan secara jelas tentang prosedur penelitian, sehingga

responden mengerti dan merasa nyaman dengan adanya informasi yang

diberikan. Selain itu, peneliti menjelaskan tentang manfaat yang

diharapkan dari penelitian ini.

4.5 Pengumpulan Data

4.5.1 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa

alat observasi yang mengkaji proses penyembuhan luka ulkus diabetik


43

yaitu dengan Bates-Jensen Wound Assesment tool (BWAT). Alasan

peneliti menggunakan BWAT instrumen ini adalah karena telah banyak

digunakan dan memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang dapat

diterima. Instrumen Bates-Jensen Wound Assesment tool berisi 13

kriteria penilaian yang diukur pada skala 1 sampai 5 dengan skor

terendah adalah 13 dan skor tertinggi adalah 65. Semakin tinggi skor

menunjukkan semakin tinggi derajat luka yang terjadi dan semakin

rendah skor, maka semakin rendah derajat luka yang terjadi. Lokasi

luka dikaji, dicatat dan ditandai pada diagram. Sedangkan dalam

melakukan perawatan luka ulkus, peneliti menggunakan alat perawatan

luka yang disediakan dirumah sakit menggunakan metode moist wound

healing (Miller, Thomas, Puckridge, Sandison & JI, 2009 dalam

lazuardi, 2015).

4.5.2 Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data

Validitas merupakan suatu indeks yang menunjukan kuesioner dapat

benar-benar mengukur apa yang ingin diukur (Notoatmodjo, 2012).

Sebuah kuesioner dianggap valid jika instrument itu benar-benar dapat

dijadikan alat untuk mengukur apa yang akan diukur. Peneliti pertama-

tama melakukan validitas rupa (face validity) dimana validitas yang

menunjukan apakah instrumen penelitian dari segi rupanya nampak

mengukur apa yang hendak diukur (Dharma, 2011). Selanjutnya

validitas isi (content validity) dengan meminta pendapat pakar pada

bidang yang sedang diteliti (expert judgment).


44

Instrumen Bates-Jensen Wound Assesment tool telah diuji dan valid

serta responsif untuk mengkaji luka ulkus diabetik. Hasilnya ditemukan

bahwa ada korelasi kuat (p <0,001) dengan kehandalan (menggunakan

Cohen Kappa) untuk praktisi rata-rata 0,89, yang dianggap dalam

rentang yang dapat diterima. Instrumen ini juga telah diuji

reliabilitasnya dan hasilnya instrumen ini memiliki nilai yang reliabel

sebagai isntrumen (0,91 untuk waktu 1 dan 0,92 untuk waktu 2, p<.001)

(Miller, Thomas, Puckridge, Sandison & JI, 2009 dalam lazuardi,

2015).

4.5.3 Prosedur Pengumpul Data

4.5.3.1 Pengumpulan data dilakukan Griu 4 Peneliti mengajukan surat

izin Rumah Sakit Bhayangkara TIK.1 Raden Said Sukanto

penelitian kepada Ketua Program Studi S1 Keperawatan

4.5.3.2 Setelah mendapatkan izin peneliti akan melakukan pengambilan

data dibantu oleh tenaga keperawatan di Griu 4 Rumah Sakit

Polri Kramat Jati yang bersedia bekerja sama dengan peneliti.

Peneliti selanjutnya menjelaskan tujuan dan prosedur serta cara

pengisian kuesioner dan alat obeservasi yang dimaksudkan agar

terjadi persamaan persepsi.

4.5.3.3 Kegiatan selanjutnya adalah peneliti bersama asisten peneliti

mengidentifikasi calon responden dengan melihat data rekam

medis pasien dan menyesuaikan dengan kriteria inklusi. Pada

proses ini peneliti dibantu oleh perawat yang bertugas di


45

ruangan terkait. Jika kriteria inklusi telah sesuai maka calon

responden tersebut akan dijadikan sebagai sampel.

4.5.3.4 Sebelum penelitian dilakukan, peneliti dan asisten peneliti

memperkenalkan diri kepada responden. Menjelaskan tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan prosedur penelitian.

4.5.3.5 Jika responden telah mengerti dan bersedia menjadi responden,

peneliti memberikan lembar persetujuan sebagai bukti kuat

bahwa tidak ada paksaan yang dilakukan oleh peneliti dalam

mengambil data.

4.5.3.6 Peneliti didampingi perawat mengobservasi kondisi luka dengan

menggunakan instrumen BWAT

4.5.3.7 Peneliti melakukan pencucian luka dengan menggunakan cairan

NaCl 0,9% dan melakukan perawatan luka

4.5.3.8 Peneliti melakukan pengambilan jaringan nekrotik

4.5.3.9 Setelah selesai merawat luka, peneliti menutup luka pasien

dengan kasa yang sudah dibasahi dengan NaCl 0,9% dan

menutup dengan kasa melapisinya dengan kasa kering dan di

fiksasi.

4.6 Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dapat dilakukan dengan manual maupun sistem komputer

(Notoatmodjo, 2012). Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-

langkah yan harus ditempuh diantaranya :

4.6.1 Data Entry (memasukkan data)


46

Data Entry adalah memasukkan data yang telah dikumpulkan kedalam

master tabel atau database komputer, kemudian membuat distribusi

frekuensi sederhana atau bisa juga dengan membuat tabel kontigensi.

4.6.2 Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik terhadap data

yang terdiri atas beberapa kategori. Kode ini bertujuan merekam data

secara manual. Lembaran atau kartu kode berisi nomor responden dan

nomor pertanyaan.

4.6.3 Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Pada penelitian ini, proses editing

dilakukan peneliti setelah hasil observasi dan hasil kuesioner diperoleh.

Peneliti akan mengecek kembali kelengkapan data, apakah jawaban

responden jelas, sesuai dengan pertanyaan. Jika kuesioner dan hasil

observasi observasi tidak lengkap, maka data tersebut dikeluarkan (drop

out)

4.6.4 Prosessing / Melakukan tekhnik analisa data

Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan

menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan

yang hendak dianalisis. Apabila penelitiannya deskriptif, maka akan

menggunakan statistika deskriftif, sedangkan jika analitik maka

menggunakan statistika inferensial.


47

4.7 Jenis Analisa Data

4.7.1 Analisa Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis data tergantung

dari jenis datanya. Untuk data numerik digunakan nilai mean atau rata

rata, median dan standar deviasi. Pada umumnya dalam analisis ini

hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase tiap variabel

(Notoatmodjo, 2012).

Tabel 4.1 Analisis Univariat Variabel Penelitian

No Variabel Jenis Analisa


1. Skor BWAT Sebelum perawatan luka Distribusi frekuensi
2. Skor BWAT Setelah perawatan luka Distribusi frekuensi

4.7.2 Analisa Bivariat

Apabila telah dilakukan analisa univariat, hasilnya akan diketahui

karakteristik atau distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan

dengan analisa bivariat. Analisa bivariat dilakukan terhadap dua

variabel yang diduga berkorelasi (Notoatmodjo, 2012). Jenis uji yang

akan dilakukan pada penelitian ini adalah paired simple t-test. Uji ini

menilai adanya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat

dengan menggunakan p value 0,05. Dengan demikian apabila p value

yang dihasilkan > 0,05 maka dinyatakan bahwa tidak terdapat

pengaruh antara variabel tersebut. sebaliknya hubungan antara

variabel dikatakan memiliki hubungan jika p value yang dihasilkan <

0,05.

Tabel 4.2 Analisis Bivariat Variabel Penelitian


48

No Variabel Jenis Analisa


1. Perawatan luka ulkus Proses penyembuhan Paired t sample test
diabetikum dengan luka ulkus
metode moist wound
healing
BAB 5
HASIL PENELITIAN

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dari bulan Desember 2018 - Februari
2019 di ruang Griu 4 Rumah Sakit Polri Kramat Jati Tahun 2019. Sampel pada
penelitian ini sebanyak 15 responden. Hasil penelitian disajikan sesuai dengan
tujuan khusus penelitian. Adapun hasil penelitian dapat dilihat sebagaimana
penjelasan di bawah ini.

5.1 Hasil Analisa Univariat


5.2.1 Karakteristik Responden
Gambaran umum karakteristik responden disajikan pada tabel berikut:
1. Karakteristik responden berdasarkan Skor BWAT pra intervensi
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Skor
BWAT pra intervensi di ruang Griu 4 Rumah Sakit Polri
Kramat Jati Tahun 2019 (n : 15)

Variabel Mean Median SD SE Min- 95%C1


Maks
Skor BWAT 41,00 3 11,81 3,05 2 34,4
Pra intervensi 8 2 -
, - 47,5
0 6
0 0

Berdasarkan tabel 5.2 hasil analisis didapatkan rata-rata skor BWAT


pra intervensi adalah 41,00 dengan standar deviasi 11,81. Skor BWAT
pra intervensi terendah adalah 22 dan tertinggi adalah 60,

Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini


bahwa rata-rata skor BWAT pra intervensi adalah diantara 34,4
sampai dengan 47,5.

49
50

2. Karakteristik responden berdasarkan Skor BWAT Post


Intervensi
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Skor
BWAT Post Intervensi di Griu 4 Rumah Sakit Polri Kramat Jati
Tahun 2019 (n : 15)

Variabel Mean Median SD SE Min- 95% CI


Maks
Skor 3 3 1 2 1 27,46-39,86
BWAT 3 2 1 , 8
Post
, , , 8 -
Intervensi
6 0 1 9 5
7 0 9 3

Berdasarkan tabel 5.3 hasil analisis didapatkan rata-rata skor BWAT


post intervensi adalah 33,67 dengan standar deviasi 11,19. Skor
BWAT post intervensi terendah adalah 18 dan tertinggi adalah 53.

Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini


bahwa rata-rata skor BWAT post intervensi adalah diantara 27,46
sampai dengan 39,86.
51

5.2 Analisis Bivariat


5.2.1 Pengaruh metode perawatan luka lembab (moist wound healing)
terhadap proses penyembuhan ulkus diabetikum pada pasien DM
Tipe 2 di ruang Griu 4 Rumah Sakit Polri Kramat Jati Tahun
2019
Tabel 5.4
Distribusi Rata-Rata Skor BWAT Responden Berdasarkan pengukuran Pra
dan Post Intervensi perawatan luka moist wound healing Pada Responden
di Ruang Griu 4 Rumah Sakit Polri Kramat Jati Tahun 2019 (n = 15)

Paired Samples Test


Paired Differences
95% Confidence
Std. Std. Interval of the Sig. (2-
Deviatio Error Difference t df tailed)
Mean n Mean Lower Upper
Pair 1 Pre - Post 7,33333 5,78997 1,49497 4,12695 10,53971 4,905 14 ,000

Tabel 5.4 menunjukkan nilai rata-rata selisih skor sebelum dan


sesudah tindakan perawatan luka dengan metode moist wound
52

healing. Rata rata skor BWAT adalah 7,33 dengan standar deviasi
5,78,

Adapun interval perbedaan skor dengan taraf kepercayaan 95%


diperoleh skor BWAT adalah 4,12695-10,53971. Setelah diuji dengan
paired sample t-test didapatkan nilai pvalue = <0,05 pada skor
BWAT sebelum dan sesudah intervensi yang berarti pada alpha 5%
terlihat ada perbedaan yang bermakna skor BWAT sebelum dan
sesudah dilakukan perawatan luka.
BAB 6
PEMBAHASAN

Bab ini berisi pembahasan tentang hasil penelitian yang dihubungkan dengan
tujuan penelitian. Hasil penelitian kemudian dikaitkan dengan penelitian serta
konsep atau teori yang ada pada tinjauan pustaka. Dalam pembahasan ini dibagi
menjadi dua bagian yaitu membahas terkait karakteristik responden dan
berikutnya membahas tentang pengaruh perawatan luka dengan metode moist
wound healing terhadap penyembuhan ulkus diabetikum.

6.1 Perawatan luka lembab ( moist wound healing)

Hasil analisis karakteristik responden menunjukkan, dari 15 responden

didapatkan rata-rata skor BWAT pra intervensi adalah 41,00 dengan standar

deviasi 11,81. Skor BWAT pra intervensi terendah adalah 22 dan tertinggi

adalah 60. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini

bahwa rata-rata skor BWAT pra intervensi adalah diantara 34,4 sampai

dengan 47,5.

Sedangkan berdasarkan analisis rata-rata skor BWAT post intervensi

didapatlan skor rata rata sebesar 33,67 dengan standar deviasi 11,19. Skor

BWAT post intervensi terendah adalah 18 dan tertinggi adalah 53. Dari hasil

estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata skor

BWAT post intervensi adalah diantara 27,46 sampai dengan 39,86.

Jika diperhatikan dari nilai skor BWAT sebelum intervensi dan sesudah

intervensi, terjadi penurunan skor BWAT yang menandakan adanya proses

penyembuhan luka yang terjadi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

53
54

dilakukan oleh Maharani (2015) yang meneliti tentang pengaruh teknik

modern dressing terhadap proses penyembuhan luka diabetes melitus di klinik

perawatan luka Griya Assyifa Kabupaten Jember. Hasil penelitian

menunjukkan adanya penurunan skor BWAT sebelum dan sesudah dilakukan

perawatan luka dengan metode modern dressing.

6.2 Pengaruh perawatan luka lembab (moist wound healing) terhadap proses

penyembuhan ulkus diabetikum pada pasien DM Tipe 2 di ruang Griu 4

Rumah Sakit Polri Kramat Jati Tahun 2019

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai rata-rata selisih skor sebelum

dan sesudah tindakan perawatan luka dengan metode moist wound healing.

Rata rata skor BWAT adalah 7,33 dengan standar deviasi 5,78. Adapun

interval perbedaan skor dengan taraf kepercayaan 95% diperoleh skor BWAT

adalah 4,12695-10,53971. Setelah diuji dengan paired sample t-test

didapatkan nilai pvalue = <0,05 pada skor BWAT sebelum dan sesudah

intervensi yang berarti pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang bermakna

skor BWAT sebelum dan sesudah dilakukan perawatan luka.

Hasil Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Widaryati dan

Marvinia (2013) tentang efektivitas metode perawatan luka moisture balance

terhadap penyembuhan luka pada pasien ulkus diabetikum dengan 12

responden didapatkan nilai rata-rata sebelum intervensi sebesar 28,4 dan

setelah dilakukan intervensi menjadi 19,3. Hasil analisis dengan Paired

Sampel T-Test nilai t hitung = 16,722 > t kritik = 2,201 sehingga terdapat
55

perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah perawatan luka

dengan metode moisture balance pada pasien ulkus diabetikum. Penelitian

lain menyebutkan adanya pengaruh moist wound healing terhadap

penyembuhan luka ulkus diabetikum.

Penelitian tersebut dilakukan pada 20 responden dengan luka ulkus

diabetikum. Hasil penelitan menunjukkan bahwa semua responden (100%)

yang dilakukan perawatan luka dengan metode moist wound healing

mengalami regenerasi yang baik pada luka setelah dilakukan perawatan

selama tujuh hari (Wahyuni, 2016).

Penelitian lain menyebutkan bahwa dengan teknik modern dressing yaitu

mempertahankan kelembaban pada balutan luka dapat mempercepat proses

penyembuhan luka karena penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan

dapat terjadi secara alami dan pada dasarnya sel dapat hidup dilingkungan

yang lembab dan basah. Hasil penelitian menunjukkan nilai p value 0,000

yang berarti ada pengaruh perawatan luka teknik modern dressing terhadap

penyembuhan luka (Maharani, 2015).

Secara teori Ulkus diabetikum didefinisikan sebagai adanya infeksi, ulserasi

dan/atau kerusakan jaringan dalam terkait dengan kelainan neurologis dan

berbagai penyakit arteri perifer di tungkai bawah pada pasien dengan diabetes

(Katsilambros, 2010).
56

Telah menjadi kesepakatan umum bahwa luka kronik seperti luka diabetik

memerlukan lingkungan yang lembab untuk meningkatkan proses

penyembuhan luka. Balutan yang bersifat lembab dapat memberikan

lingkungan yang mendukung sel untuk melakukan proses penyembuhan luka

dan mencegah kerusakan atau trauma lebih lanjut. Balutan modern lebih

dapat memberikan lingkungan lembab dibanding balutan kasa yang

cenderung cepat kering (Ismail, Irawaty & Haryati, 2009).

Selama ini, ada anggapan bahwa suatu luka akan cepat sembuh jika luka

tersebut telah mengering. Namun faktanya, lingkungan luka yang

kelembabannya seimbang memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi

kolagen dalam matriks nonseluler yang sehat. Pada luka akut, moisture

balance memfasilitasi aksi faktor pertumbuhan, cytokines, dan chemokines

yang mempromosi pertumbuhan sel dan menstabilkan matriks jaringan luka.

Jadi, luka harus dijaga kelembabannya. Lingkungan yang terlalu lembap

dapat menyebabkan maserasi tepi luka, sedangkan kondisi kurang lembap

menyebabkan kematian sel, tidak terjadi perpindahan epitel dan jaringan

matriks (Kartika, 2015).

Septiyanti & Damanik (2013) menjelaskan bahwa pasien dengan ulkus

diabetikum yang dirawat dengan advanced wound dressing memiliki

presentase perbaikan luka yang lebih tinggi sekitar 86,67% dibandingkan

dengan pasien yang dirawat dengan conventional wound dressing. Serta

pasien yang dirawat dengan advanced wound dressing lama perawatan lebih
57

pendek sekitar 3-7 hari dibandingkan dengan menggunakan conventional

dressing membutuhkan lama perawatan sekitar > 7 hari. Advanced wound

dressing merupakan salah satu cara untuk mempertahankan luka dalam

keadaan lembab. Perawatan luka dengan menggunakan prinsip lembab dan

tertutup yang dikenal dengan teknik moist wound healing . Nontji, Hariati,

dan Arafat (2015) meneliti tentang teknik perawatan luka modern dan

konvensional terhadap kadar interleukin 1 dan interleukin 6 pada pasien luka

diabetikum. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimental pre-post dengan

desain kelompok kontrol yang digunakan. Intervensi yang diberikan adalah

pembalut luka modern dan kelompok kontrol dengan pembalut luka

konvensional, penelitian ini dilakukan di Makassar dengan 32 sampel (16 di

kelompok intervensi dan 16 kelompok kontrol). Hasil uji Pooled T

menunjukkan bahwa p = 0,00 (p < 0,05), berarti ada signifi kansi korelasi

antara teknik rawat luka modern terhadap kadar Interleukin 1 (IL-1) dan

Interleukin 6 (IL-6) dari pada teknik rawat luka konvensional. Penelityian ini

menunjukkan bahwa proses penyembuhan luka dipengaruhi faktor

pertumbuhan dan sitokin (IL-1 dan IL-6), hal ini akan dirangsang oleh

pembalutan luka, teknik pembalutan luka modern (Kalsium alginat) dapat

menyerap luka drainase, non oklusive, non adhesif, dan debridement autolitik.
BAB 7
KESIMPULAN

7.1 Kesimpulan
7.1.1 Hasil analisis didapatkan rata-rata skor BWAT pra intervensi adalah
41,00 dengan standar deviasi 11,81. Skor BWAT pra intervensi
terendah adalah 22 dan tertinggi adalah 60
7.1.2 Hasil analisis didapatkan rata-rata skor BWAT post intervensi adalah
33,67 dengan standar deviasi 11,19. Skor BWAT post intervensi
terendah adalah 18 dan tertinggi adalah 53.
7.1.3 Ada perbedaan yang bermakna skor BWAT sebelum dan sesudah
dilakukan perawatan luka.

7.2 Saran
7.2.1 Bagi Pelayanan
Diharapkan bagi perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat
terus menerapkan metode perawatan luka moist wound healing dalam
melakukan perawatan luka ulkus diabetikum.
7.2.2 Bagi Pendidikan
Diharapkan bagi institusi pendidikan diharapkan dapat memberikan
kompetensi tentang perawatan luka pada mahasiswa sehingga pada
saat lulus, mahasiswa sudah memiliki kompetensi perawatan luka.
diharapkan juga bagi institusi pendidikan untuk mengadakan pelatihan
terkait perawatan luka terupdate bagi mahasiswa
7.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya
Diharapkan bagi peneliti dapat mengembangkan penelitian in agar
lebih berkembang dan dapat ditemukan metode perawatan luka yang
lain yang lebih efektif dalam mengatasi luka pasien khususnya ulkus
diabetikum.

58

Anda mungkin juga menyukai