Anda di halaman 1dari 27

Pembahasan

Gambaran Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah dengan Kejadian


Hipertensi

Adapun faktor risiko hipertensi yang tidak dapat diubah yang dianalisis

dalam penelitian ini ialah umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga yang

menderita hipertensi yang dinilai berhubungan dengan kejadian hipertensi pada

kelompok umur 18-45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Sitada-tada Kecamatan

Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.

Gambaran Umur dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa gambaran faktor risiko

hipertensi yang tidak dapat diubah berdasarkan umur, lebih banyak responden

berada pada rentang umur 18-30 tahun yakni sebanyak 47 orang (53,4%) daripada

responden yang berada pada rentang umur 31-45 tahun yakni sebanyak 41 orang

(46,6%). Berdasarkan hal tersebut bahwa dalam penelitian ini lebih banyak

responden yang berumur antara 18-30 tahun dibandingkan dengan responden

yang berumur antara 31-45 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 47

orang responden yang berada pada rentang umur 18-30 tahun, ada 22 orang

responden (46,8%) yang mengalami hipertensi dan 25 orang responden (53,2%)

tidak mengalami hipertensi. Kemudian dari 41 orang responden yang berada pada

rentang umur 31-45 tahun, ada 32 orang responden (78%) yang mengalami

hipertensi dan 9 orang responden (22%) tidak mengalami hipertensi.

51
52

Gambar 2. Grafik gambaran umur dengan kejadian hipertensi pada kelompok


umur 18-45 tahun

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa bahwa ada hubungan umur dengan

kejadian hipertensi pada kelompok umur 18-45 tahun di wilayah kerja Puskesmas

Sitada-tada Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara. Responden yang

berada pada rentang usia 31-45 tahun lebih banyak yang mengalami hipertensi

dibandingkan dengan responden yang berada pada rentang usia 18-30 tahun,

dalam artian bahwa semakin tua umur responden semakin berisiko untuk terkena

hipertensi.

Menurut Depkes RI (2006) umur memengaruhi terjadinya hipertensi,

dengan bertambahnya umur risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar.

Tingginya kejadian hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, yang mana hal

ini disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga jalan

aliran darah menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih

kaku, sebagai akibat adalah meningkatnya tekanan darah sistolik. Menurut WHO

(2013) tekanan darah sistolik cenderung meningkat dengan bertambahnya umur,


53

tetapi dengan laju lebih rendah daripada tekanan darah diastolikn. Peningkatan

tekanan nadi dan peningkatan tekanan darah sistolik menjadi hal yang biasa

dengan bertambahnya umur. Semakin bertambah usia maka akan semakin

meningkat tekanan darah, hal ini merupakan metabolisme alami tubuh yang

menyesuaikan dengan kemampuan tubuh yang semakin berkurang, sehingga

menyebabkan jantung memompa darah lebih cepat dan menjadikan tekanan darah

menjadi tinggi atau hipertensi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Putri (2016) yang

menjelaskan bahwa dari 96 orang responden yang diteliti, sebanyak 64 orang

responden (66,7%) yang mengalami hipertensi ialah responden yang berada pada

rentang usia diatas 30 tahun. Sejalan dengan hasil penelitian Kartikasari (2012)

yang menjelaskan bahwa ada hubungan umur dengan kejadian hipertensi,

responden yang memiliki usia diatas 30 tahun lebih berisiko 2,18 kali lebih tinggi

untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan responden yang berusia kurang dari

30 tahun. Karena umur merupakan faktor risiko hipertensi yang tidak dapat

diubah, oleh karena itu bagi responden baik itu responden yang mengalami

hipertensi maupun yang tidak mengalami hipertensi disarankan untuk mengontrol

faktor risiko hipertensi yang dapat diubah atau diminimalisir yakni dengan

menjaga berat badan tubuh tetap ideal, tidak merokok, mengurangi konsumsi

alkohol, mengurangi konsumsi makanan asin dan mengurangi konsumsi makanan

berlemak yang dapat meningkatan risiko terjadinya hipertensi.


54

Gambaran Jenis Kelamin dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa gambaran faktor risiko

hipertensi yang tidak dapat diubah menurut jenis kelamin, lebih banyak responden

berjenis kelamin perempuan yakni sebanyak 45 orang (51,1%) daripada

responden yang berjenis kelamin laki-laki yakni sebanyak 43 orang (48,9%).

Berdasarkan hal tersebut bahwa dalam penelitian ini lebih banyak responden yang

berjenis kelamin perempuan dibandingkan dengan responden yang berjenis

kelamin laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 47 orang responden

yang berjenis kelamin laki-laki, ada 34 orang responden (79,1%) yang mengalami

hipertensi dan 9 orang responden (16,6%) tidak mengalami hipertensi. Kemudian

dari 45 orang responden yang berjenis kelamin perempuan, ada 20 orang

responden (44,4%) yang mengalami hipertensi dan 25 orang responden (55,6%)

tidak mengalami hipertensi.

Gambar 3. Grafik gambaran jenis kelamin dengan kejadian hipertensi pada


kelompok umur 18-45 tahun
55

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan jenis kelamin dengan

kejadian hipertensi pada pada kelompok umur 18-45 tahun di wilayah kerja

Puskesmas Sitada-tada Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.

Responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak yang mengalami

hipertensi dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin perempuan,

dalam artian bahwa pada kelompok umur 18-45 tahun laki-laki lebih berisiko

untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan perempuan, meskipun jumlah

responden perempuan lebih banyak dalam penelitian ini namun yang memiliki

risiko lebih tinggi ialah responden yang berjenis kelamin laki-laki.

Menurut Depkes RI (2006) faktor gender berpengaruh pada terjadinya

hipertensi dimana pria lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan

dengan wanita dengan rasio sekitar 2,29 lebih tinggi untuk peningkatan tekanan

darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat

meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita, seperti kegiatan fisik

yang dilakukan pria lebih berat dibandingkan dengan wanita. Pria cenderung lebih

banyak melakukan aktivitas yang lebih banyak dan lebih berat dibandingkan

dengan wanita, aktivitas yang berat akan meningkatkan tekanan darah sehingga

terjadinya hipertensi.

Sama halnya yang seperti yang peneliti amati di lokasi penelitian, bahwa

laki-laki cenderung memiliki aktivitas atau pekerjaan yang lebih berat

dibandingkan dengan wanita terlebih apabila lelaki tersebut merupakan kepala

keluarga atau tulang punggung keluarga dalam mencari mata pencaharian untuk

penghasilan keluarga dimana sebagian besar responden yang berjenis kelamin


56

laki-laki yang peneliti teliti memiliki pekerjaan sebagai petani di ladang yang

mana pekerjaan di ladang membutuhkan banyak tenaga dan melibatkan aktivitas

fisik yang berat. Aktivitas fisik yang berat dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan tekanan darah yang kemudian menyebabkan hipertensi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Putri (2016) yang

menjelaskan bahwa dari 96 orang responden yang diteliti, sebanyak 68 orang

responden (70,8%) yang mengalami hipertensi ialah responden yang berjenis

kelamin laki-laki. Sejalan dengan hasil penelitian Kartikasari (2012) yang

menjelaskan bahwa ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian hipertensi, pada

usia produkti yakni 18-45 tahun responden yang berjenis kelain laki-laki lebih

berisiko 2,46 kali lebih tinggi untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan

responden yang berjenis kelamin perempuan. Karena jenis kelamin merupakan

faktor risiko hipertensi yang tidak dapat diubah, oleh karena itu responden baik

yang mengalami hipertensi maupun yang tidak mengalami hipertensi disarankan

untuk mengontrol faktor risiko hipertensi yang dapat diubah atau diminimalisir

yakni dengan menjaga berat badan tubuh tetap ideal, tidak merokok, mengurangi

konsumsi alkohol, mengurangi konsumsi makanan asin dan mengurangi konsumsi

makanan berlemak yang dapat meningkatan risiko terjadinya hipertensi.

Gambaran Riwayat Keluarga dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa gambaran faktor risiko

hipertensi yang tidak dapat diubah menurut riwayat keluarga yang menderita

hipertensi, lebih banyak responden yang tidak memiliki keluarga dengan riwayat

menderita hipertensi yakni sebanyak 51 orang (58%) daripada responden yang


57

memiliki riwayat keluarga menderita hipertensi yakni sebanyak 37 orang (42%).

Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa dalam penelitian ini lebih banyak

responden yang tidak memiliki riwayat keluarga yang pernah menderita hipertensi

dibandingkan dengan responden yang memiliki riwayat keluarga pernah

menderita hipertensi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 37 orang responden yang

memiliki riwayat keluarga yang menderita hipertensi, ada 30 orang responden

(81,1%) yang mengalami hipertensi dan 7 orang responden (14,3%) tidak

mengalami hipertensi. Kemudian dari 51 orang responden yang tidak memiliki

riwayat keluarga yang menderita hipertensi, ada 24 orang responden (47,1%)

yang mengalami hipertensi dan 27 orang responden (52,9%) tidak mengalami

hipertensi.

Gambar 4. Grafik gambaran riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi pada


kelompok umur 18-45 tahun
58

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan riwayat keluarga

yang menderita hipertensi dengan kejadian hipertensi pada pada kelompok umur

18-45 tahun di wilayah kerja Puskesmas Sitada-tada Kecamatan Sipoholon

Kabupaten Tapanuli Utara. Responden yang memiliki riwayat keluarga yang

menderita hipertensi lebih banyak yang mengalami hipertensi dibandingkan

dengan responden yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita hipertensi,

dalam artian bahwa responden yang memiliki riwayat keluarga yang menderita

hipertensi lebih berisiko untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan responden

yang tidak memiliki riwayat keluarga terkena hipertensi.

Menurut Depkes RI (2006) riwayat keluarga dekat yang menderita

hipertensi atau faktor keturunan juga mempertinggi risiko terkena hipertensi,

terutama hipertensi primer atau esensial. Bila kedua orang tuanya menderita

hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang

tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya.

Menurut Palmer (2015), tekanan darah seorang anak akan lebih mendekati

tekanan darah orangtuanya apabila mereka memiliki hubungan darah

dibandingkan anak adopsi. Individu dengan orang tua dengan hipertensi

mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada orang

yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan

memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang

tuanya adalah penderita hipertensi Hal ini menunjukkan bahwa gen yang

diturunkan berperan besar dalam menentukan tekanan darah.


59

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi juga mempertinggi

risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer. Seseorang akan

memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang

tuanya atau saudaranya menderita hipertensi. Hipertensi cenderung merupakan

penyakit keturunan, jika seorang dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka

sepanjang hidup kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika

kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkinan kita mendapatkan

penyakit tersebut 60%

Hasil penelitian juga menjelaskan bahwa keluarga responden yang

menderita hipertensi lebih banyak merupakan orang tua yakni sebanyak 18 orang

(48,6%), kemudian orang tua dan saudara kandung yakni sebanyak 10 orang

(27,1%) dan hanya dari saudara kandung yang mengalami hipertensi yakni hanya

sebanyak 9 orang (24,3%). Berdasarkan hal tersebut bahwa keluarga responden

yang mengalami hipertensi ialah orang tua responden yang menurunkan risiko

hipertensi kepada anaknya. Karena riwayat keluarga yang menderita hipertensi

merupakan faktor risiko hipertensi yang tidak dapat diubah, oleh karena itu

responden baik yang mengalami hipertensi maupun yang tidak mengalami

hipertensi disarankan untuk mengontrol faktor risiko hipertensi yang dapat diubah

atau diminimalisir yakni dengan menjaga berat badan tubuh tetap ideal, tidak

merokok, mengurangi konsumsi alkohol, mengurangi konsumsi makanan asin dan

mengurangi konsumsi makanan berlemak yang dapat meningkatan risiko

terjadinya hipertensi.
60

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Putri (2016) yang

menjelaskan bahwa dari 96 orang responden yang diteliti, sebanyak 42 orang

responden (43,7%) yang mengalami hipertensi ialah responden yang memiliki

riwayat keluarga yang menderita hipertensi. Hasil penelitian Ginting (2015) yang

menjelaskan bahwa responden yang memiliki riwayat keluarga yang menderita

hipertensi memiliki risiko 5,33 kali lebih besar untuk menderita hipertensi

dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat keluarga yang

menderita hipertensi.

Gambaran Faktor yang Dapat Diubah dengan Kejadian Hipertensi

Adapun faktor risiko hipertensi yang dapat diubah yang dianalisis dalam

penelitian ini ialah obesitas/kegemukan, perilaku merokok, perilaku mengonsumsi

alkohol, tingkat konsumsi makanan asin dan tingkat konsumsi makanan berlemak

yang dinilai berhubungan dengan kejadian hipertensi pada kelompok umur 18-45

tahun di wilayah kerja Puskesmas Sitada-tada Kecamatan Sipoholon Kabupaten

Tapanuli Utara.

Gambaran Kegemukan/Obesitas dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa gambaran faktor risiko

hipertensi yang dapat diubah menurut obesitas, lebih banyak responden yang tidak

mengalami obesitas yakni sebanyak 65 orang (73,9%) daripada responden yang

mengalami obesitas yakni sebanyak 23 orang (26,1%). Berdasarkan hal tersebut

dalam penelitian ini diketahui bahwa lebih banyak responden yang tidak

mengalami obesitas dibandingkan dengan responden yang mengalami obesitas.

Peneliti menentukan kategori obesitas responden berdasarkan hasil pengukuran


61

indeks masa tubuh (IMT) dengan mengukur tinggi badan dan berat badan

responden. Responden dikategorikan obesitas jika mendapatkan nilai IMT lebih

dari 25 kg/m2 dan dikategorikan tidak obesitas jika responden mendapatkan nilai

IMT kurang dari atau sama dengan 25 kg/m2 (Depkes RI, 2006). Berdasarkan

hasil pengukuran tersebut diketahui bahwa dari 88 orang responden yang diteliti

sebanyak 23 orang responden (26,1%) mengalami obesitas yakni dengan nilai

IMT lebih dari 25 kg/m2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 23 orang responden yang

obesitas, ada 21 orang responden (91,3%) yang mengalami hipertensi dan hanya 2

orang responden (8,9%) tidak mengalami hipertensi. Kemudian dari 65 orang

responden yang tidak obesitas, ada 33 orang responden (50,8%) yang mengalami

hipertensi dan 32 orang responden (49,2%) tidak mengalami hipertensi.

Gambar 5. Grafik gambaran kegemukan/obesitas dengan kejadian hipertensi pada


kelompok umur 18-45 tahun
62

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan obesitas dengan

kejadian hipertensi pada pada kelompok umur 18-45 tahun di wilayah kerja

Puskesmas Sitada-tada Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.

Responden yang obesitas lebih banyak yang mengalami hipertensi dibandingkan

dengan responden yang tidak obesitas, dalam artian bahwa responden yang

obesitas lebih berisiko mengalami hipertensi dibandingkan dengan responden

yang tidak obesitas.

Menurut Depkes RI (2006) obesitas atau kegemukan merupakan salah satu

faktor risikoterhadap timbulnya hipertensi. Obesitas merupakan ciri dari populasi

penderita hipertensi. Keadaan ini disebabkan karena pola konsumsi yang

berlebihan, banyak mengandung lemak, protein dan karbohidrat yang tidak sesuai

dengan kebutuhan tubuh. Proses metabolisme yang menurun seiring

bertambahnya usia namun tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik atau

penurunan jumlah makanan sehingga kalori yang berlebih akan diubah menjadi

lemak yang mengakibatkan kegemukan. Berat badan yang berlebih akan

meningkatkan beban jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh yang

mengakibatkan tekanan darah cenderung lebih tinggi.

Menurut Rahajeng dan Sulistiyowati (2013) berat badan dan indeks masa

tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah

sistolik. Berat badan yang berlebihan akan membuat seseorang susah bergerak

dengan bebas, jantungnya harus bekerja lebih keras untuk memompa darah agar

bisa menggerakan beban berlebihan dari tubuh. Oleh karena itu obesitas termasuk

salah satu faktor yang meningkatkan risiko hipertensi dan serangan jantung. Daya
63

pompa jantung dan sirkulasi volume jantung darah penderita obesitas dengan

hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan berat badan normal.

Prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risik untuk menderita

hipertensi pada orang orang gemuk ialah 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan

seorang yang berat badannya normal

Menurut Fauzi (2014) obesitas merupakan suatu faktor utama yang

mempengaruhi tekanan darah dan juga kejadiab hipertensi. Kurang lebih 46%

pasien dengan nilai IMT 27 adalah penderita hipertensi. Peningkatan 15% berat

badan dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 18%

dibandingkan dengan mereka yang mempunyai berat badan normal, orang yang

overweight atau obesitas dengan kelebihan berat badan sebesar 20% mempunyai

resiko delapan kali lipat lebih besar terhadap hipertensi. Sedangkan menurut

WHO (2011) kelebihan bobot dari berat badan berkaitan dengan 2-6 kali kenaikan

risiko mendapat hipertensi. Jumlah kasus hipertensi yang disebabkan oleh obesitas

diperkirakan mencapai 30-65% dimana kenaikan tekanan darah sistolik 2-3

mmHg dan tekanan darah diastolik 1-3 mmHg untuk setiap kenaikan 10 kg bobot

berat badan, dalam artian bahwa semakin bertambah berat badan maka semakin

tinggi tekanan darah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Fadhillah (2015) yang

menjelaskan bahwa dari 96 orang responden yang diteliti terdapat 27 orang yang

obesitas dan 13 orang diantaranya (48,1%) mengalami hipertensi. Hasil penelitian

Ginting (2015) menjelaskan bahwa responden yang obesitas memiliki risiko 5,22

kali lebih besar untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan responden yang
64

tidak obesitas. Oleh karena itu penting untuk menjaga indek masa tubuh ideal

untuk mengurangi risiko terkena hipertensi dengan mengonsumsi jumlah makanan

yang tidak berlebihan atau sesuai dengan kebutuhan tubuh dan meningkatkan

aktivitas fisik dengan berolahraga secara teratur.

Gambaran Perilaku Merokok dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa gambaran faktor risiko

hipertensi yang dapat diubah menurut perilaku merokok, lebih banyak responden

yang menjadi perokok pasif yakni sebanyak 41 orang (46,6%) daripada responden

yang menjadi perokok aktif yakni sebanyak 33 orang (37,5%) dan responden yang

tidak merokok yakni hanya sebanyak 14 orang (15,9%). Berdasarkan hal tersebut,

dari penelitian yang dilakukan bahwa responden dalam penelitian lebih banyak

menjadi perokok baik perokok aktif maupun perokok pasif karena ada orang

terdekat yang merokok di dekat responden.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 33 orang responden yang

menjadi perokok aktif, ada 24 orang responden (72,7%) yang mengalami

hipertensi dan hanya 9 orang responden (27,3%) tidak mengalami hipertensi.

Kemudian dari 41 orang responden yang menjadi perokok pasif, ada 28 orang

responden (68,3%) yang mengalami hipertensi dan 13 orang responden (31,7%)

tidak mengalami hipertensi, serta dari 14 orang responden yang tidak merokok,

hanya ada 2 orang responden (14,3%) yang mengalami hipertensi dan 12 orang

responden (85,7%) tidak mengalami hipertensi.


65

Gambar 6. Grafik gambaran perilaku merokok dengan kejadian hipertensi pada


kelompok umur 18-45 tahun

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan perilaku merokok

dengan kejadian hipertensi pada pada kelompok umur 18-45 tahun di wilayah

kerja Puskesmas Sitada-tada Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.

Responden yang menjadi perokok aktif dan perokok pasif lebih banyak yang

mengalami hipertensi dibandingkan dengan responden yang tidak merokok, dalam

artian bahwa responden yang menjadi perokok lebih berisiko untuk mengalami

hipertensi dibandingkan dengan responden yang bukan perokok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang menjadi perokok

aktif dalam penelitian ini sebagian besar yakni sebanyak 19 orang (57,5%)

menghisap sebanyak 6-12 batang rokok setiap harinya, kemudian sebanyak 8

orang responden (24,2%) menghisap 1-5 batang rokok setiap harinya, bahkan

sebanyak 6 orang responden (18,3%) menghisap lebih dari 12 batang rokok setiap
66

harinya. Semakin banyak batang rokok yang dihisap tentu akan meningkatkan

risiko untuk terkena hipertensi dan penyakit lainnya.

Selain perokok aktif yang menghisap asap rokok langsung dari batang

rokok, perokok pasif yang menghisap batang rokok karena berada didekat orang

yang merokok juga memiliki risiko untuk terkena hipertensi dan penyakit lain

yang disebabkan oleh kandungan bahan kimia berbahaya yang berupa nikotin dan

karbon monoksida yang terdapat dalam asap rokok. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa orang terdekat yang menjadi perokok aktif yang

menyebabkan responden menjadi perokok pasif ialah suami yakni sebanyak 18

orang (43,9%), kemudian orang tua yakni sebanyak 13 orang (31,7%), dan

saudara yakni sebanyak 10 orang (24,4%).

Menurut Depkes RI (2006) zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan

karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah

dapat merusak lapisan pembuluh darah dan mengakibatkan proses tekanan darah

mrenjadi tinggi. Merokok dapat meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan

oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung, perilaku merokok pada penderita

tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh

darah arteri yang kemudian menyebabkan kerusakan organ yang lebih parah

dalam tubuh.

Menurut Kaplan (2013) kandungan bahan kimia dalam rokok termasuk tar.

Karbon monoksida dan nikotin secara akut dapat meningkatkan tekanan darah,

terutama pada perokok aktif yang mengalami kecanduan untuk merokok. Sejalan

dengan pendapat Hayens (2012) bahwa merokok dapat meningkatkan tekanan


67

darah secara temporer, yakni tekanan darah sistolik yang naik sekitar 10 mmHg

dan tekanan darah diastolik naik sekitar 8 mmHg. Kenaikan tekanan darah itu

terjadi saat sedang merokok dan sesaat setelah merokok selesai. Tekanan darah

akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok.

Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan

menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan berada

pada level tinggi terjadi sepanjang hari.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Fadhillah (2015) yang

menjelaskan bahwa dari 96 orang responden yang diteliti terdapat 36 orang yang

menjadi perokok aktif dan 28 orang diantaranya (77,7%) mengalami hipertensi,

hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara

kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi, responden yang merokok lebih

berisiko untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan responden yang tidak

merokok. Hasil penelitian Ginting (2015) menjelaskan bahwa responden yang

menjadi perokok memiliki risiko 2,21 kali lebih besar untuk terkena hipertensi

dibandingkan dengan responden yang bukan perokok. Oleh karena itu penting

untuk menjaga kesehatan tubuh dengan mengurangi konsumsi rokok atau bahkan

untuk tidak merokok sama sekali, bahwa selain hipertensi merokok juga dapat

menyebabkan berbagai penyakit berbahaya dan mematikan lainnya, seperti yang

sudah jelas tertera dalam setiap bungkus rokok yang tertulis peringatan bahwa

merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan

kehamilan dan janin, dilengkapi dengan contoh gambar penyakit yang berbahaya

dan mematikan tersebut dalam setiap bungkus rokok.


68

Gambaran Konsumsi Alkohol dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa gambaran faktor risiko

hipertensi yang dapat diubah menurut perilaku dalam mengonsumsi minuman

beralkohol, lebih banyak responden yang mengonsumsi alkohol dalam kategori

rendah yakni sebanyak 62 orang (70,5%) daripada responden yang mengonsumsi

alkohol dalam kategori tinggi yakni sebanyak 26 orang (29,5%). Peneliti

mengukur tingkat konsumsi perilaku konsumsi alkohol dari responden

menggunakan formulir food recall 24 jam dan food frequency yang kemudian

datanya dianalisis menggunakan aplikasi nutrisurvey dengan ketentuan bahwa

tingkat konsumsi alkohol dari responden dinyatakan tinggi apabila responden

mengonsumsi alkohol lebih dari 10 gram alkohol (hasil konversi dari ml) setiap

harinya dan dinyatakan rendah jika responden mengonsumsi alkohol kurang dari

10 gram alkohol (hasil konversi dari ml). Berdasarkan hasil pengukuran tersebut

diketahui bahwa dari 88 orang responden yang diteliti, terdapat 26 orang

responden (29,5%) yang mengonsumsi alkohol dengan kategori tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 26 orang responden yang

mengonsumi alkohol dengan kategori tinggi, ada 21 orang responden (80,8%)

yang mengalami hipertensi dan hanya 5 orang responden (19,2%) tidak

mengalami hipertensi. Kemudian dari 62 orang responden yang mengonsumsi

alkohol dengan kategori rendah, ada 33 orang responden (53,2%) yang mengalami

hipertensi dan 29 orang responden (46,8%) tidak mengalami hipertensi.


69

Gambar 7. Grafik gambaran konsumsi alkohol dengan kejadian hipertensi pada


kelompok umur 18-45 tahun

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan konsumsi alkohol

dengan kejadian hipertensi pada pada kelompok umur 18-45 tahun di wilayah

kerja Puskesmas Sitada-tada Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.

Responden yang mengonsumsi alkohol dengan kategori tinggi lebih banyak yang

mengalami hipertensi dibandingkan dengan responden yang mengonsumsi

alkohol dengan kategori rendah, dalam artian bahwa responden yang

mengonsumsi alkohol dengan kategori tinggi lebih berisiko untuk mengalami

hipertensi dibandingkan dengan responden yang mengonsumsi alkohol dengan

kategori rendah.

Menurut Hayens (2012) semakin banyak mengonsumsi alkohol maka

semakin tinggi tekanan darah, sehingga peluang terkena hipertensi semakin tinggi.

Sedangkan menurut Kaplan (2012) kebiasaan konsumsi alkohol dapat merusak

fungsi saraf pusat maupun tepi, apabila saraf simpatis terganggu maka pengaturan

tekanan darah akan mengalami gangguan dan cenderung semakin meningkat


70

hingga dapat menyebabkan terjadinya hipertensi. Jika minuman yang

mengandung alkohol diminum sedikitnya dua kali per hari, tekanan darah sistolik

naik kira-kira 1,0 mmHg dan tekanan darah diastolik kira-kira 0,5 mmHg per satu

kali minum. Peminum alkohol harian ternyata mempunyai tekanan darah sistolik

dan tekanan lebih tinggi berturut-turut 6,6 mmHg dan 4,7 mmHg dibandingkan

dengan peminum alkohol sekali seminggu (WHO, 2011).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Fadhillah (2015) yang

menjelaskan bahwa dari 96 orang responden yang diteliti terdapat 25 orang yang

mengonsumsi alkohol dan 22 orang diantaranya (88%) mengalami hipertensi,

hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara

konsumsi alkohol dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian Ginting (2015)

menjelaskan bahwa responden yang mengonsumsi alkohol memiliki risiko 2,59

kali lebih besar untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan responden yang

tidak mengonsumsi alkohol. Oleh karena itu penting untuk menjaga kesehatan

tubuh dengan mengurangi konsumsi alkohol atau bahkan untuk tidak

mengonsumsi alkohol sama sekali, bahwa selain hipertensi mengonsumsi alkohol

juga dapat menyebabkan berbagai penyakit berbahaya dan mematikan lainnya,

seperti gangguan hati termasuk hepatitis dan sirosis. Selain hal tersebut, konsumsi

alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pencernaan, kadar asam urat yang

tinggi, kanker, anemia, penyakit jantung, epilepsi, gangguan pada mata, disfungsi

ereksi, osteoporosis, dan sistem kekebalan tubuh yang melemah (Alodokter,

2018).
71

Gambaran Konsumsi Makanan Asin dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa gambaran faktor risiko

hipertensi yang dapat diubah menurut perilaku dalam mengonsumsi makanan

asin, lebih banyak responden yang mengonsumsi makanan asin dalam kategori

rendah yakni sebanyak 55 orang (62,5%) daripada responden yang mengonsumsi

makanan asin dalam kategori tinggi yakni sebanyak 33 orang (37,5%). Peneliti

mengukur tingkat konsumsi makanan asin dengan menggunakan formulir food

recall 24 jam dan food frequency yang kemudian datanya dianalisis menggunakan

aplikasi nutrisurvey dengan ketentuan bahwa tingkat konsumsi makanan asin dari

responden dinyatakan tinggi apabila responden mengonsumsi natrium lebih dari 5

gram setiap harinya dan dinyatakan rendah jika responden mengonsumsi natrium

kurang dari 5 gram setiap harinya. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut

diketahui bahwa dari 88 orang responden yang diteliti, terdapat 33 orang

responden (37,5%) yang mengonsumsi makanan asin dengan kategori tinggi yakni

mengonsumsi natrium lebih dari 5 gram setiap harinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 33 orang responden yang

mengonsumi makanan asin dengan kategori tinggi, ada 29 orang responden

(87,9%) yang mengalami hipertensi dan hanya 4 orang responden (12,1%) tidak

mengalami hipertensi. Kemudian dari 55 orang responden yang mengonsumsi

makanan asin dengan kategori rendah, ada 25 orang responden (45,5%) yang

mengalami hipertensi dan 30 orang responden (46,8%) tidak mengalami

hipertensi.
72

Gambar 8. Grafik gambaran konsumsi makanan asin dengan kejadian


hipertensi pada kelompok umur 18-45 tahun

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan konsumsi makanan

asin dengan kejadian hipertensi pada pada kelompok umur 18-45 tahun di wilayah

kerja Puskesmas Sitada-tada Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.

Responden yang mengonsumsi makanan asin dengan kategori tinggi lebih banyak

yang mengalami hipertensi dibandingkan dengan responden yang mengonsumsi

makanan asin dengan kategori rendah, dalam artian bahwa responden yang

mengonsumsi makanan asin dengan kategori tinggi lebih berisiko untuk

mengalami hipertensi dibandingkan dengan responden yang mengonsumsi

makanan asin dengan kategori rendah.

Menurut Fauzi (2014) garam merupakan faktor yang sangat penting dalam

patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan penderita

dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari

menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam

antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%.

Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan

volume plasma, curah jantung dan tekanan darah yang meningkat. Menurut Susilo
73

dan Wulandari (2013), individu yang sering mengkonsumsi makanan asin

memiliki peluang 26% lebih tinggi untuk mengalami hipertensi dibandingkan

inidividu yang jarang mengonsumsi makanan asin. Pembatasan konsumsi garam

perlu dilakukan untuk mencapai tekanan darah normal.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa jenis makanan asin

yang sering dikonsumsi oleh responden ialah berupa ikan asin, telor asin, dan

asinan buah, bahkan ada responden yang menyukai atau memiliki hobi untuk

mengonsumsi makanan asin hingga menambahkan lebih banyak garam pada

makanan yang dikonsumsi, hal ini tentu menyebabkan tingkat konsumsi garam

harian melebihi nilai ambang yang ditekomendasikan yakni kurang dari 5 mg

natrium setiap harinya. Responden dengan tingkat konsumsi garam yang tinggi

mengaku bahwa makanan yang rasanya lebih asin rasanya lebih enak

dibandingkan dengan makanan yang kurang asin sehingga sering menambahkan

jumlah garam untuk makanan yang akan dikonsumsi

Menurut Fauzi (2014) garam menyebabkan penumpukan cairan dalam

tubuh, karena menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan

meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi

garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan

asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi

garam yang dianjurkan tidak lebih dari 5 gram/hari.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Fadhillah (2015) yang

menjelaskan bahwa dari 96 orang responden yang diteliti terdapat 55 orang yang

mengonsumsi garam dengan kategori tinggi dan 38 orang diantaranya (74,5%)


74

mengalami hipertensi, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada hubungan

yang bermakna antara tingkat konsumsi garam dengan kejadian hipertensi bahwa

responden yang mengonsumsi garam dalam kategori tinggi lebih berisiko

mengalami hipertensi dibandingkan dengan responden yang mengonsumsi garam

dengan kategori rendah. Hasil penelitian Ginting (2015) menjelaskan bahwa

responden yang mengonsumsi makanan asin dengan kategori tinggi memiliki

risiko 3,51 kali lebih besar untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan

responden yang mengonsumsi makanan asin dengan kategori rendah. Oleh karena

itu penting untuk menjaga kesehatan tubuh dengan mengurangi konsumsi

makanan asin, bahwa selain hipertensi, mengonsumsi makanan asin secara

berlebihan juga dapat menyebabkan berbagai penyakit berbahaya dan mematikan

lainnya seperti penyakit ginjal, serangan jantung dan stroke. Selain itu konsumsi

garam yang berlebihan juga dapat menyebabkan penurunan fungsi otak,

osteoporosis bahkan kanker pada sistem pencernaan tubun (Alodokter, 2018).

Gambaran Konsumsi Makanan Berlemak dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa gambaran faktor risiko

hipertensi yang dapat diubah menurut perilaku dalam mengonsumsi makanan

berlemak, lebih banyak responden yang mengonsumsi makanan berlemak dalam

kategori tinggi yakni sebanyak 50 orang (56,8%) daripada responden yang

mengonsumsi makanan berlemak dalam kategori rendah yakni sebanyak 38 orang

(43,2%). Peneliti mengukur tingkat konsumsi makanan berlemak dengan

menggunakan formulir food recall 24 jam dan food frequency yang kemudian

datanya dianalisis menggunakan aplikasi nutrisurvey dengan ketentuan bahwa


75

tingkat konsumsi makanan berlemak dari responden dinyatakan tinggi apabila

responden mengonsumsi lemak lebih dari 67 gram setiap harinya dan dinyatakan

rendah jika responden mengonsumsi natrium kurang dari 67 gram setiap harinya.

Berdasarkan hasil pengukuran tersebut diketahui bahwa dari 88 orang responden

yang diteliti, terdapat 50 orang responden (56,8%) yang mengonsumsi makanan

berlemak dengan kategori tinggi yakni mengonsumsi lemak lebih dari 67 gram

setiap harinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 orang responden yang

mengonsumi makanan berlemak dengan kategori tinggi, ada 38 orang responden

(76%) yang mengalami hipertensi dan hanya 12 orang responden (24%) tidak

mengalami hipertensi. Kemudian dari 38 orang responden yang mengonsumsi

makanan berlemak dengan kategori rendah, ada 16 orang responden (42,1%) yang

mengalami hipertensi dan 22 orang responden (57,9%) tidak mengalami

hipertensi.

Gambar 8. Grafik gambaran konsumsi makanan berlemak dengan kejadian


hipertensi pada kelompok umur 18-45 tahun

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan konsumsi makanan

berlemak dengan kejadian hipertensi pada pada kelompok umur 18-45 tahun di
76

wilayah kerja Puskesmas Sitada-tada Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli

Utara. Responden yang mengonsumsi makanan berlemak dengan kategori tinggi

lebih banyak yang mengalami hipertensi dibandingkan dengan responden yang

mengonsumsi makanan berlemak dengan kategori rendah, dalam artian bahwa

responden yang mengonsumsi makanan berlemak dengan kategori tinggi lebih

berisiko untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan responden yang

mengonsumsi makanan berlemak dengan kategori rendah.

Menurut Kemenkes RI (2012) seseorang yang cenderung mengkonsumsi

makanan tinggi lemak daripada makanan tinggi serat dapat menyebabkan obesitas

yang juga berdampak pada peningkatan tekanan darah dan penyakit degeneratif

(Depkes RI, 2006). Sejalan dengan pendapat Fauzi (2014) bahwa makanan yang

tinggi lemak berkontribusi dalam peningkatan timbunan lemak tubuh yang

berujung pada peningkatan berat badan dan peningkatan tekanan darah.

Peningkatan asupan kalori dari makanan yang berlemak juga berhubungan dengan

peningkatan insulin yang berperan sebagai faktor yang menyebabkan peningkatan

reabsorbsi natrium pada ginjal sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan

darah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa jenis makanan

berlemak yang sering dikonsumsi oleh responden ialah berupa daging gulai,

daging panggang, ayam gulai, ayam bakar, redang, sop buntut, gulai kambing dan

gorengan, setiap porsi dari setiap jenis makanan berlemak ini tentu menyebabkan

tingkat konsumsi lemak harian melebihi nilai ambang yang direkomendasikan

yakni kurang dari 67 gram lemak setiap harinya. Responden dengan tingkat
77

konsumsi makanan berlemak yang tinggi mengaku bahwa makanan yang

berlemak rasanya lebih enak dan lebih menggugah selera untuk dimakan, terlebih

makanan harian yang disediakan biasanya memang makanan yang berlemak, yang

tentu saja jenis makanan berlemak ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan

tekanan darah hingga menyebabkan hipertensi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Fadhillah (2015) yang

menjelaskan bahwa dari 96 orang responden yang diteliti terdapat 83 orang yang

mengonsumsi makanan berlemak dengan kategori tinggi dan 47 orang diantaranya

(56,6%) mengalami hipertensi, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi makanan berlemak dengan

kejadian hipertensi bahwa responden yang mengonsumsi makanan berlemak

dalam kategori tinggi lebih berisiko mengalami hipertensi dibandingkan dengan

responden yang mengonsumsi makanan berlemak dengan kategori rendah.

Hasil penelitian Ginting (2015) menjelaskan bahwa responden yang

mengonsumsi makanan berlemak dengan kategori tinggi memiliki risiko 2,61 kali

lebih besar untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan responden yang

mengonsumsi makanan berlemak dengan kategori rendah. Oleh karena itu penting

untuk menjaga kesehatan tubuh dengan mengurangi konsumsi makanan berlemak.

bahwa selain hipertensi mengonsumsi makanan berlemak secara berlebihan juga

dapat menyebabkan berbagai penyakit berbahaya dan mematikan lainnya seperti

gangguan pembuluh darah, serangan jantung dan stroke. Selain itu konsumsi

makanan berlemak yang berlebihan juga dapat menyebabkan peningkatan risiko

diabetes bahkan kanker pada sistem pencernaan (Alodokter, 2018).

Anda mungkin juga menyukai