Anda di halaman 1dari 5

Diklat stunting

1. Menurunkan Stunting melalui Sekolah


(https://setjen.kemdikbud.go.id/setjen/berita-menurunkan-stunting-melalui-
sekolah.html)
Sasaran: para guru
Cara Penyampaian : Ceramah Dan curah pendapat

Alasan:

Pendekatan ini merupakan upaya akselerasi pengendalian stunting melalui pendekatan


mitigasi dan prevensi. Yang dimaksud  mitigasi adalah upaya untuk memperbaiki masalah
gizi yang terjadi agar tidak bertambah buruk dan memberi dampak merugikan secara
berkelanjutan, dan prevensi adalah upaya promotif untuk mencegah terjadinya masalah gizi
sedini mungkin. Pendekatan pertama telah banyak melahirkan program-program sebagai
upaya perbaikan gizi ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.  Pendekatan prevensi melalui
pengentasan masalah gizi remaja berbasis sekolah sangat stretegis karena dapat
meningkatkan cakupan lebih dari 60% kelompok usia tersebut di Indonesia.  Sekolah juga
menjadi arena yang efektif untuk mengembangkan model pembentukan karakter bagi siswa,
yang berorientasi pada pemenuhan gizi yang optimal dan seimbang. Di sisi lain, gizi yang
berperan pada fungsi kognitif siswa, juga berperan dalam meningkatkan angka partisipasi
siswa di sekolah, dan pada akhirnya meningkatkan prestasi akademik siswa hingga
menghasilkan sumberdaya manusia Indonesia yang unggul.  Perbaikan gizi melalui program
sekolah telah terbukti juga membawa dampak perubahan di tingkat komunitas karena siswa
juga berperan menjadi agen perubahan di rumah dan di masyarakat lingkungan sekitarnya.

Program “Gizi untuk Prestasi” menggunakan pendekatan integrasi 4 komponen yang


terdiri dari kebutuhan(demand), suplai, kebijakan, dan sistem informasi. Aktivitas komponen
kebutuhan dilakukan melalui peningkatan pemahaman dan kemampuan siswa dalam
kebutuhan hidup sehat dan memilih makanan bergizi melalui pendekatan edukasi gizi yang
inovatif dan interaktif. Pada sisi suplai adalah  melalui peningkatan akses pangan bergizi dan
aman serta berkualitas melalui kantin sekolah dan kebun sekolah termasuk pengelolaan
terpadu penjaja makanan di luar sekolah. Komponen  kebijakan ditargetkan dalam bentuk
penguatan komitmen sekolah dalam mendukung program dan kebijakan kurikulum gizi di
dalam sistem pendidikan nasional. Pada sisi komponen sistem informasi dilakukan dengan
penguatan sistem monitoring praktik gizi siswa dan pelaksanaan evaluasi program berbasis
teknologi yang berkelanjutan.

Pemberdayaan masyarakat berbasis sekolah


Konsep program “Gizi untuk Prestasi” adalah pemberdayaan masyarakat, dimana
SEAMEO RECFON dan mitra melakukan pendampingan yang cukup intensif di masa awal
implementasi program, kemudian pihak sekolah dibimbing agar dapat mengambil peran
utama.  Masyarakat yang berdaya akan menjadi faktor kunci keberhasilan dan
kesinambungan suatu program.  Oleh karena itu, upaya yang harus dilakukan adalah
memberdayakan pihak sekolah (guru, kepala sekolah, komite sekolah maupun penjamah
makanan di kantin sekolah serta pedagang makanan di luar sekolah) dengan memberi bekal
pengetahuan dan keterampilan melakukan promosi gizi di sekolah serta menciptakan
lingkungan yang mendukung terwujudnya praktik gizi yang baik bagi warga sekolah. 
Komponen pemberdayaan orangtua siswa juga menjadi pendukung tercapainya siswa yang
sehat dan unggul.

Menindaklanjuti Nota Kesepahaman yang sudah disepakati sebelumnya, pada tanggal


12-13 April 2018 SEAMEO RECFON menggagas pertemuan dengan mitra di lokasi fokus
(lokus) 1) DKI Jakarta, 2) Kota Pontianak dan Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat, 3)
Kabupaten dan Kota Malang di Jawa timur, 4) Tasikmalaya, Bogor, Bandung di Jawa Barat,
dan 5) Kota Mataram dan Lombok Timur di Nusa Tenggara Barat yang bertujuan untuk
merumuskan rencana teknis pelaksanaan program “Gizi untuk Prestasi” untuk periode 2018-
2020 di lokus masing-masing.  Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan dari Politeknik
Kesehatan Jakarta II, Politeknik Kesehatan Pontianak, Politeknik Kesehatan Malang,
Politeknik Kesehatan Bandung, Poltekkes Tasikmalaya, Kampus Prodi Gizi Cirebon,
Poltekkes Mataram, Jurusan Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Departemen
Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Dinas Kesehatan
Propinsi DKI Jakarta, Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur, Dinas Pendidikan
Propinsi DKI Jakarta, dan Bappeda Sambas Propinsi Kalimantan Barat.

Hasil penelaahan curah pendapat yang disampaikan oleh para mitra terkait program
berbasis sekolah yang telah dilakukan oleh masing-masing institusi menunjukkan bahwa
kegiatan edukasi gizi ke sekolah telah dilakukan oleh semua mitra. Beberapa mitra telah juga
melakukan pendampingan atau pemantauan kantin sekolah. Namun, tidak satupun mitra
mempunyai program terkait pengembangan kebun sekolah atau menginisiasi penggunaan
kebun sekolah sebagai media edukasi gizi di sekolah. Selain itu, diungkapkan tentang
kurangnya dokumentasi dan pencatatan oleh semua mitra terkait upaya advokasi kebijakan
baik di tingkat sekolah, maupun di tingkat pemerintah daerah untuk menciptakan lingkungan
program gizi berbasis sekolah yang berkesinambungan.  Diutarakan pula oleh setiap mitra,
bahwa kegiatan program gizi di sekolah masih dilakukan secara tidak terstruktur sehingga
menyulitkan penilaian keberhasilan progam dan pemantauan dampaknya bagi perbaikan
status gizi siswa secara umum.

Pertemuan ini telah mewadahi aspirasi mitra dan menjembatani peran mitra dalam
menjalankan tridharma pendidikan dalam hal pengembangan masyarakat dengan
mempertegas kebermanfaatan sektor akademik yang dapat dirasakan langsung oleh publik. 
Pertemuan ini merangkum rencana kegiatan di bawah program “Gizi untuk Prestasi” berbasis
lokus yang memanfaatkan potensi-potensi daerah, kepakaran, kerjasama institusi lokal serta
target capaian dalam kurun waktu 3 tahun. 

Di akhir pertemuan dicapai kesepakatan mengenai pentingnya melakukan analisis


komitmen Pemerintah Daerah dan pendekatan persuasif serta menjajagi potensi kerjasama
dengan para pemangku kepentingan lainnya demi tercapainya kesinambungan program
pemberdayaaan masyarakat ini. Dari kegiatan ini teridentifikasi sejumlah total 16 SD, 52
SMP, dan74 SMA/SMK yang akan menjadi target sasaran di 5 wilayah lokus yang mulai
dilaksanakan pada tahun 2018 sampai tahun 2019.

2. Cegah Stunting dengan Mengoptimalkan Peran Posyandu


(https://parenting.orami.co.id/magazine/mencegah-stunting-harus-dimulai-dari-posyandu/)

Menurut dr Damayanti, stunting bisa dicegah jika diketahui sejak dini sebelum anak
berusia 2 tahun. Cara yang paling mudah adalah dengan memberdayakan Posyandu.
Sebagai struktur terkecil dan terdepan, Posyandu bisa menjangkau masyarakat secara
langsung. Para melalui para kader dan petugas gizi/bidan desa, Posyandu diharapkan
bisa melakukan diagnosis awal terhadap stunting.
“Di Posyandu, kader dilatih untuk melakukan pengukuran berat dan tinggi badan
dengan benar. Seperti mengukur berat badan tanpa baju dan tinggi badan dengan
posisi yang benar,” kata dr Damayanti.
Dari situ dapat diketahui besar kenaikan berat badan setiap anak. Dari berat badan itu,
kader sudah harus bisa melakukan diagnosis awal apakah anak-anak tersebut masuk ke
dalam kategori gizi baik atau justru malnutrisi. Ini bisa diketahui dengan melihat
grafik dan tabel WHO 2006.
Jika setelah diukur diketahui bahwa berat berdasarkan usia (WAZ) lebih besar dari +1
atau lebih kecil dari -2 dengan panjang berdasarkan usia (LAZ) lebih kecil dari -2,
anak sudah harus langsung dirujuk ke Puskesmas untuk pengukuran panjang badan
(PB).

Jika ditemukan anak dengan WAZ antara lebih besar sama dengan -2 dan lebih kecil
dari +1, kenaikan berat anak akan sangat menentukan tindakan yang akan diambil.
“Kalau tidak naik, langsung rujuk ke Puskesmas. Kalau ada kenaikan, dilihat lagi saat
kontrol bulan depan,” jelas dr Damayanti. Artinya, Posyandu bisa menentukan anak
mana saja yang harus dirujuk ke Puskesmas untuk segera ditangani dan dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.

“Puskesmas kemudian akan menentukan apakah anak-anak ini perlu penanganan lebih
lanjut oleh dokter umum terlatih atau dokter spesialis anak. Tapi utamanya sudah dari
Posyandu,” terang dr Damayanti.
Upaya mencegah dan mengatasi stunting membutuhkan kerja sama berbagai pihak.
Tidak hanya tenaga medis dan akademisi, tapi juga berbagai pemangku kepentingan.
Orang tua pun harus memantau tumbuh kembang anak, dengan rutin membawa anak
ke Posyandu untuk diukur TB, BB, dan lingkar kepalanya.

Banyak Kendala di Lapangan

dr. Damayanti tengah menangani kasus stunting di Pandeglang dengan


mengembangkan pencegahan dan penanggulangan stunting berporos Posyandu dan
RSUD. Aksi cegah stunting berupa deteksi dini dan tatalaksana bila ada weight
faltering.
“Dilakukan skrining stunting di Posyandu, lalu dikirim ke Puskesmas. Bila benar
stunting, dirujuk ke RSUD untuk ditangani,” ucap dr. Damayanti.
Kader Posyandu di Pandeglang dilatih untuk bisa mengukur tinggi badan (TB) dan BB
anak dengan benar. Sayangnya, meskipun kader sudah dilatih dengan baik, masih ada
hal yang menjadi masalah. Posyandu ternyata tidak memiliki alat pengukur TB,
sehingga harus dipinjamkan oleh Puskesmas. Ini salah satu kendala yang dijumpai tim
dr. Damayanti di lapangan.

Kendala berikutnya, begitu anak ditemukan stunting melalui skrining di Posyandu lalu
dirujuk ke Puskesmas, muncullah masalah pembiayaan. “Mereka tidak punya BPJS,”
sesal dr. Damayanti. Masalah ini akhirnya diselesaikan dengan dana desa.
Masalahnya tidak berhenti di sana. Di Puskesmas, anak yang dicurigai stunting
diperiksa lagi apakah betul ia mengalami stunting. Bila anak dikonfirmasi mengalami
stunting, selanjutnya akan dirujuk ke RSUD.

Lagi-lagi, terkendala BPJS. Diupayakan menggunakan SKTM, namun membutuhkan


rekening bank tertentu. Sedangkan untuk membuka rekening, keluarga perlu
menyediakan Rp 50.000. Bagi masyarakat di daerah tersebut yang tingkat ekonominya
rendah, dana sebesar itu tidaklah kecil. “Hal ini memang pada akhirnya berhasil
diselesaikan. Tapi kendala-kendala seperti ini harus dibenahi agar penanganan kasus
stunting bisa lebih baik lagi,” kata dr Damayanti.

Kepada para ibu yang mendatangi Posyandu, dr. Damayanti selalu menganjurkan
pemberian sumber pangan hewani seperti susu atau telur 1 butir per hari untuk
mencegah maupun mengatasi stunting. Dengan perbaikan nutrisi, termasuk pemberian
susu, kasus stunting di desa tersebut berhasil diturunkan. “Di awal, stunting ditemukan
sebesar 17 persen. Setelah tiga bulan, membaik jadi 9 persen,” tutup  dr. Damayanti.

3.

Anda mungkin juga menyukai