TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi ini, seorang peserta dapat:
1. Membentuk orientasi yang positif bahwa Syari'at Islam memiliki karakter yang transendental
namun tetap bercirikan logis (rasional), moralitas, realitas, dan universalitas.
2. Menumbuhkan keberanian dan percaya diri dalam menanamkan konsep tatanan Islam secara
universal dan integral pada tataran peraturan-peraturan formal maupun bidang sosial
kemasyarakatan.
POKOK-POKOK MATERI:
1. Karakteristik dan ciri-ciri syariah Islam
2. Ciri moralitas dari syari'ah Islam
3. Ciri realitas dari syari'ah Islam
4. Ciri kemanusiaan dari syari'ah Islam
5. Ciri universalitas dan keserasian dari syari'ah Islam
MARAJI'
Yusuf Qardlawi, Pengantar Study Syari'at Islam, penterj. Nabhani Idris (Jakarta, Islamuna Press,
1996)
IFTITAH
"Dia telah mewsyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kapda Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya" (Qs.4 2 : 13)
Dalam kehidupan keseharian banyak hal yang luput dari perhatian kita,
lantaran masing-masing kita telah dininabobokan oleh 'ritualitas' yangjauh banyak menyita
waktu kehidupan kita, pada saat yang sama kadang kita merasa sepi dari nuansa ruhaniah. Satu
diantara hal yang patut direnungkan adalah berkenaan dengan krisis kemanusiaan. Krisis
kemanusiaan dalam zaman apapun, terutama di era modern diakibatkan pandangan hidup yang
tidak lagi mengimani adanya yang metafisik (Yang Ghaib). Anehnya ada orang-orang yang kuat
berpegang teguh pada ajaran agama -dalam perspektif agama-agama umumnya- masih juga
banyak yang mengalami krisis yang sama: dimana mereka terjebak rutinitas ritus ibadah, namun
pada saat yang sama kehilangan maknawiyah atau nilai-nilai ruhaniah ibadah itu sendiri.
Dalam konteks ad-Dienul Islam tentu bukan agamanya yang salah atau ajaran-ajaran agamanya,
namun boleh jadi ada dua kemungkinan manusianya yang tidak paham (al-Fahmu baina an-Nas
min al-Islam asy-Syumuliyah) atau manhaj dakwah para pemuka dan da'i yang menyampaikan
ajaran itu. 'Ala kulli hal, sesungguhnya manusia sedang mehadapi krisis makna dan tujuan
hidupnya. Ini bisa dipahami lantaran dalam kehidupan manusia yang otentil (asholiyah) adalah
penting untuk tetap dan terus menjaga 'tali' yang menghubungkan kemanusiaannya dengan nilai-
nilai Illahiyah, pada saat yang sama nilai-nilai kemanusiaan universal yang dimiliki oleh setiap
orang juga harus menjadi sasaran 'sentuh' ajaran-ajaran agama. Solusi untuk menjawab persoalan
ini tidak lain adalah kita harus kembali pada pemahaman Syari'ah Islam yang sebenar-benarnya.
Sebagai upaya ikhtiariyah atas pemahaman Syari'ah Islam menjadi penting untuk memahami
Khashoisul amal Syari'ah, yaitu karakteristik 'amal Syari'ah Islam. Berikut beberapa hal
pembahasan berkenaan dengan tema tersebut di atas.
AL ISTILAHIYAH (Definisi)
Syari'ah berasal dari kata Syari'ah yang berarti "jalan-raya," dalam konteks hukum bermakna
"jalannya hukum" dengan kata lain "perundang-undangan". Istilah Syari'ah Islam berarti hidup
yang harus dilalui atau pandangan-pandangan yang harus dipatuhi oleh orang Islam. Arti
Syari'ah dijelaskan dalam firman Allah SWT
"Kemudian kami jadikan kamu di atas suatu Syari'ah (peraturan) dari urusan agama itu, maka
ikutilah syari'ah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui"
(Qs.45 : 18)
Dalam kaitan surat tersebut Syari'ah dimengerti sebagai peraturan. Syari'ah pecahan kata dari
"syara' as-syai" artinya menjelaskan dan menyatakan sesuatu, atau dari "syir'ah". Syari'ah artinya
tempat yang dihubungkan ke air yang mengalir yang tidak penah putus atau terhenti, dimana
mendatanginya (mengambilnya) tidak perlu alat.
Kata "syara'a" atau syari'ah" ini sebagai fi'il (akata kerja) dan isim (kata benda) disbutkan dalam
al-Qur'an sebanyak 5 kali diantaranya terdapat dlam Qs. Al-A'raf 163. Dalam bentuk fi'il maadhi
tersebut dalam;
"Dia telah mewsyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kapda Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya…….." (Qs.4 2 : 13)
Yang disyari'ahkan di sini berkaitan dengan Ushul ad-Dien bukan hal yang furu' (cabangnya),
yaitu berhubungan dengan akidah dan bukan amal. Sebagaimana dalam ayat tersebut syari'at
sama pada setiap risalah Allah, baik yang di bawa Nabi Ibrahim, Nuh, Musa, maupun Isa, sampai
Nabi Muhammad SAW.
Sedang menurut Mahmud Saltut syari'ah Islam itu ialah peraturan-peraturan yang diciptakan
Allah atau yang diciptakan pokok-pokoknya supaya manusia berpegang kepadanya di dalam
hubungannya dengan saudaranya sesama manusia, hubungannya dengan alam seluruhnya, dan
hubungannya dengan kehidupan. Sejalan dengan ini setidaknya ada tiga prinsip Syari'ah Islam.
Pertama, tidak memberatkan: hal ini sesuai dengan misi Islam yakni Islam sebagai rahmat lil
'alamin, termasuk bagi manusia. Sehingga Islam datang membebaskan manusia dari segala
bentuk pembelengguan dan yang memberatkan hidupnya. Sebagai contohnya adalah kewajiban
menjalankan Shalat. Berkenaan dengan prinsip pertama ini Allah berfirman.
"Allah tidak akan membebani seorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ia mendapat
pahala yang diusahakannya dan siksa dari yang dikerjakannya" (Qs. 2: 286)
"Dan jihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu
dan Dia sekali-kali tidak akan menjadikan kamu dlam agama suatu kesempitan…." (Qs. 22 : 78)
Kedua, Syari'ah Islam sangat sedikit mengadakan kewajiban secara terperinci, yakni
memerintahkan, dan melarang. Ini berkaitan dengan prinsip pertama, semakin banyak kewajiban
berarti memberi beban dan memberatkan manusia. Dalam Syari'ah Islam tidak banyak hal-hal
yang mendetail atas larangan dan perintah-Nya. justru hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan)
yang banyak terkandung dalam syari'ah Islam. Contohnya perintah dan jumlah raka'at dalam
shalat.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang
jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu….."(Qs. 5: 101)
Ketiga, syari'at Islam datang dengan prinsip gradual, berangsur-angsur dan tidak sekaligus. Ini
sesuai dengan kondisi psikologis fitrah manusia, tentu manusia menjadi bingung dan keberatan
dalam menjalaknkan syari'at Islam jika diturunkan sekaligus. Contohnya Syari'at tentang
larangan judi dan khamr Qs. 2:219, 4: 43, dan 5: 90.
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu….." (Qs. 5: 90)
Syariat Islam kadang juga disamakan dengan hukum Islam. Sesungguhnya Hukum Islam secara
harfiah berasal dari al-Hukm yang berarti "Itsbatu Syaiin 'ala Syaiin" menetapkan sesuatu atas
sesuatu. Secara ringkas berarti "ketetapan". Dalam hal ini hukum Islam berasal dari Allah
sehingga dikenal juga dengan hukum Allah. "Hukmullah" yang berarti ketetapan dari Allah dan
telah menjadi keyakinan bahwa Allahlah sang penetap hukum (hakim).
"…. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik. " (Qs. 6: 57)
Menurut sarjana Ushul Fiqhi, definisi hukum (al-Hukm) dirumuskan sebagai berikut: "Titah
Allah (atau sunnah rasul) tentang laku-perbuatan manusia mukallaf (dewasa), baik yang
diperintahkan, yang dilarang maupun yang membolehkan. Hukum berarti titah Tuhan atau sabda
Nabi baik yang mengandung perintah, larangan, atau bersifat pilihan. Demikian pula keadaan-
keadaan tentang sebab, syarat, dan halangan (mani') sesuatu pekerjaan. Dalam perspektif hukum
Syari'ah Islam dikenal dua jenis hukum yakni Hukum Taklifi yang meliputi Ahkamul
Khamsyah: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah: dan Hukum Wadh'i yakni yang bersifat
menunjukkan keadaan-keadaan tertentu yang dikwalifikasikan sebagai sebab atau syarat atau
halangan bagi berlakunya suatu hukum.
Selain Syari'at dan hukum, Syari'ah Islam juga berkaitan dengan fiqh. Menurut harfiah fiqhi
berarti pintar, cerdas, paham. Bila dijadikan kata kerja maka ia berarti memikirkan, mempelajari,
memahami. Orangnya dikenal dengan faaqih dan jamaknya adalah fuqahaa. Kemudian definisi
yang dikembangkan dalam hkukum Islam antara lain adalah hukum Islam yang disimpulkan
dengan jalan rasio berdasarkan alasan-alasan yang terperinci.
Al hasil kita dapat menyimpulkan bahwa syari'ah Islam ialah ketentuan-ketentuan hukum Tuhan
dalam al-Qur'an yang diwajibkan atas manusia untuk melaksanakannya. Sedang Fiqhi adalah
pemikiran tentang syari'ah itu untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Dengan demikian
kita pahami, sebagaimana dikatakan Yusuf Qardhawi, bahwa syari'ah apa yang disyari'ahkan
Allah berupa hukum-hukum yang ditetapkan dengan dalil Al-Qur'an dan Sunnah dan cabangnya,
baik dalil ijma' dan qiyas serta dalil-alil lainnya. Syari'ah merupakan tujuan (hadaf) dan fiqh itu
sendiri merupakan cara, bagi Syari'ah Islam: meskipun antara syari'ah dan fiqh merupakan dua
hal yang tidak terpisahkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas hukum syara', demikian lanjut Yusuf Qardhawi, ada dua macam
hukum syara': Pertama, Hukum yang ditetapkan langsung dari Allah dengan nash-nash al-Qur'an
dan Sunnah, misalnya tentang shoum (Qs. 2 : 183). Kedua, hukum yang ditetapkan oleh ijtihad
para ulama dan fuqaha dengan tetap berpedoman pada Al-Qur'an dan Sunnah: Biasanya berupa
qiyash, istislah, istihsan, istimbath, dll: Misalnya dalam surat 5 : 90 tentang larangan judi dan
minum khamr.
'Ala kulli hal, syari'at Islam merupakan ketentuan dan aturan dari Allah Sang Khaliq
Rabul'alamin untuk mengatur kehidupan ini. Karenanya sumber-sumber syari'ah Islam tidak lain
adalah al-Qur'an sebagai sumber pertama, as-Sunnah shahihah sebagai sumber kedua, sedang
sumber-sumber lainnya antara lain Qiyas, Ijma', dll. Dalam pada itu semakin jelas bahwa syari'ah
Islam juga mengatasi dan menjadi sumber ruju'kan qanun wadh'y (undang-undang buatan
manusia). Sikap seorang muslim jelas, bahwa ia dapat mengikuti qanun wadh'y selama tidak
bertentangan dan tetap meruju' pada sumber-sumber syari'ah Islam yang benar.
Demikian beberapa pengertian tentang syari'ah Islam berkaitan dengan al-Ushul ad-Adien,
hukum, fiqhi dan ad-Dien itu sendiri, serta sumber-sumbernya: sehingga jelaslah posisi syari'ah
Islamiyah. Berikut kami lanjutkan sedikit berkenaan tujuan syari'ah Islam yang dengan ini kita
akan mudah memahami karakteristik syari'ah Islam.
MAQASHID ASY-SYARI'AH (Tujuan Syari'ah Islam)
Dalam buku Madkhal Li Diraasat Li Ma'rifatil Islam, Yusuf Qrdhawi dengan sangat jelas
menggambarkan bahwa ad-Dienul Islam tidak lain untuk mengatur kehidupan manusia dan
segenap alam semesta beserta isinya menuju pada kehidupan yang lebih abadi. Ini tersirat dengan
jelas dalam pemaknaan atas istilah ad-Dienul itu sendiri, yang artinya peraturan Illahi yang
mengendalikan orang-orang yang memiliki akal sehat secara suka rela kepada kebaikan hidup di
dunia dan keberuntungan di akhirat. Seperangkat aturan itulah yang biasanya disebut dengan
Syari'at Islam. Jelasnya ad-Dienul Islam berisi sejumlah syari'ah yang dibutuhkan untuk
mengatur kehidupan manusia dan alam semesta.
Derap langkah zaman telah membuktikan bahwa ar-Risalah al-Anbiya, atau tepatnya Risalah
Islam, telah di bawa oleh para rasul Allah untuk ummatnya sesuai dengan situasi dan kondisi
umatnya, yang pada titik akhirnya disempurnakan dengan turunnya Nabi dan Rasul terakhir
Muhammad SAW. Syari'ah Islam dengan demikian merupakan syari'ah yang sempurna dan
menyempurnakan (Syumuliyah), syari'ah-syari'ah yang di bawa para Nabi dan rasul sebelum
Muhammad. Ini jelas diutarakan dalam firman Allah SWT:
"Dia telah mewsyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kapda Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya" (Qs.4 2 : 13)
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. " (Qs.3: 85)
Syari'ah Islam mempunyai tujuan yang luhur dan maksud yang mulia yang sangat diinginkan
Allah untuk diamalkan dalam kehidupan manusia. Pada saat yang sama sesungguhnya syari'ah
Islam diturunkan dalam kaitan 'illat hukum yang disyari'ahkannya yang harus dicari dan
dipelihara. Di antara tujuan syari'ah Islam antara lain:
Pertama, Menjaga kemashlahatan umat manusia, yang menyangkut tiga peringkatnya:
Dharuriyyat (yang mana manusia tidak dapat hidup tanpanya), Hajiyat (yang mana manusia
tanpanya akan mengalami kesulitan dan kesempitan), dan Tashiniyat (yang dengannya
kehidupan manusia menjadi sempurna, sejahtera, dapat berlangsung dalam cara hidup yang
paling utama serta dalam kebiasaan dan kondisi yang kokoh). Imam asy-Syathiby,
mengemukakan bahwa, tujuan Syari'at Islam tidak lebih dari tiga bagian: Dharuriyyat (tujuan
yang bersifat primer), Hajiyat (tujuan yang bersifat sekunder), dan Tashiniyat (bersifat sekedar
perlengkapan).
Kedua, memelihara kemashlahatan yang luas dan ke-syamil-an dalam pandangan syari'ah Islam.
Ini mengingat kemashlahatan dunia dan akhirat, kepentingan pribadi dan umum, materi dan
imateri, tepatnya yakni, kemashlahatan yang menjadi fondasi bagi tegaknya yang kully dan yang
juz'i. Dalam hal ini sebagai upaya atas kelemahan manusia yang utama, yakni kelemahan ilmu
dan akal serta kecenderungan atas hawa nafsu dan kecenderungannya. Jadi sesungguhnya
syari'ah Islam tidak hanya diberlakukan untuk dan berkenaan dengan kaum muslim saja tetapi ia
juga akan berdampak pada komunitas yang lebih luas, karenanya kemashlahatan yang lebih luas
juga menjadi salah satu bagian dari tujuan syari'ah Islam.
Ketiga, menolak kemafsadatan dalam rangka memelihara kemashlahatan. Menolak kemafsadatan
adalah wajib dalam rangka tegaknya kemashlahatan itu sendiri, bahkan termasuk ke dalam
pemeliharaan mashlahat. Dan di atas pondasi yang luas dan besar inilah segala perintah dan
larangan syari'ah Islam ditegakkan. Penolakkan mafsadat ini baik preventif maupun kuratif.
Bahkan sesuatu yang mafsadat harus di dahulukan untuk dicegah ketimbang memerintahkan
yang ma'ruf. Hal ini dapat dimengerti lantaran memang pada kenyataannya mencegah
kemafsadatan itu lebih sulit ketimbang menyuruh pada yang ma'ruf.
Keempat, agar interaksi manusia berlangsung berdasarkan prinsip keadilan. "Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan……" (Qs.57: 25) . Dalam hal ini syari'ah Islam berfungsi menunjukkan, membimbing,
dan memberikan pedoman prinsip-prinsip keadilan dalam Islam serta pelaksanaannya. Adanya
kekacauan dan kerusakan di muka bumi ini lebih banyak diakibatkan pola hubungan interaktif
manusia yang tidak didasarkan pada prinsip keadilan tersebut.
Kelima, agar tercipta ukhuwah di antara umat manusia, seperti terbentang rasa saling percaya,
saling tafahum dan menghilangkan penyebab pertikaian dan perselisihan. Syari'ah Islam dalam
hal ini diwujudkan dalam kejelasan antara hak-hak dan kewajiban, rukun dan syarat muamalah
dalam Islam, perintah dan larangan serta kaidah-kaidah hukum lainnya.
"Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqankepada hambaNya, agar dia menjadi
pemberi peringatan kepada seluruh alam." (Qs.25: 1)
"Tidakah mungkin al-Quran ini dibuat oleh selain Allah: akan tetapi ia membenarkan kitab-kitab
yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkanNya, tidak ada keraguan
di dalamnya dari Tuhan semesta alam."
(Qs.10 : 37)
Keenam, supaya manusia dapat berkonsentrasi -setelah merasa tentram dalam bisnis dan
kegiatan jual beli lainnya serta dalam keseluruhan interaksi dengan lainnya- untuk melaksanakan
rislah mereka di muka bumi yakni beibadah kepada Allah dan memakmurkan bumi untuk
menunaikan kekhalifahannya. Dengan demikian manusia selamat secara individu maupun sosial,
dari kerugian dunia dan akhirat
Maqashid asy-Syari'ah dalam pelaksanaannya juga penting memperhatikan hal-hal berikut: (1)
dasar pembagian kemashlahatan, (2) maksud-maksud kemasyarakatan yang sejalan dengan
syari'ah Islam, dan (3) nilai-nilai kemasyarakatan yang luhur seperti 'adalah, ukhuwah, al-
Takaful, al-Hurriyah dan al-Karimah.
Selanjutnya kesalah pahaman terhadap asumsi bahwa syari'ah Islam itu statis, jumud, bengis,
kejam dan tak berperikemanusiaan, sebagaimana yang sering dihembuskan para orientalis dan
musuh-musuh Islam, sama sekali jauh dari realitas kebenaran yang ada. Diakui bahwa
memahami makna terdalam syari'ah Islam sesungguhnya bukan pekerjaan yang mudah. Maka
menjadi penting untuk memahami karakteristik syari'ah Islam sebagai upaya menengarahi
kesulitan tersebut di atas.
Dalam konteks sejarah Islam (al-Tarihk al-Islamiyah) sebagai konsekuensi dari ar-Risalah al-
Anbiya dan fungsi Islam sebagai rahmatan lil'alamiin bahwa syari'ah Islam berkaitan erat dengan
-untuk menyempurnakan dan kesempurnaan- syari'ah-syari'ah agama sebelumnya. Dalam agama
Yahudi, ia mempunyai syari'ah yang cukup lengkap sebagaimana disebutkan dalam firmanNya:
"Dan telah Kami turunkan kepada Musa pada lauh-lauh segala sesuatu sebagai pelajaran dan
penjelasan bagi segala sesuatu: maka Kami berfirman: berpeganglah kepadanya dengan teguh
dan suruhlah kaummu berpegang kepada perintah-perintahnya dengan sebaik-baiknya, nanti Aku
akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik" (Qs.7 : 145)
Berbeda dengan agama Nasrani yang dianggap tidak rinci syari'ahnya. Ini dikarenakan agama
Nasrani berpegang pada syari'ah Musa, dalam berbagai perkara, sedang Injil sekarang
mengatakan bahwa Isa al-Masih as adalah anak Allah. Padahal Isa berkata: "Aku tidak datang
untuk merombak syari'ah atau hukum Musa as. Tetapi aku datang sebagai penyempurna."
Syari'ah ini kemudian disempurnakan lagi dengan datangnya Nabi dan Rasul terakhir
Muhammad saw, yakni Syari'ah Islamiyah.
KHASHOISUL ASY-SYARI'AH
Dasar yang sebenarnya dari keseluruhan struktur syari'ah Islamiyah adalah ta'abudi (ibadah,
religiusitas) yakni ide bahwa Allah adalah penguasa yang berdaulat penuh yang perintah,
larangan dan kehendakNya merupakan hukum atau syari'ah yang diperuntukan bagi manusia dan
alam semesta ini. Dalam pada itu manusia harus menemukan, merumuskan dan melaksanakan
kehendak tersebut yang indeks finalnya adalah al-Quran dengan Rasulullah Muhammad Nabi
dan Rasul terakhir sebagai penafsir sempurnanya.
Sementara itu al-Khashoisul 'Amal asy-Syari'ah al-Islamiyah (karakteristik amal syari'ah Islam)
muncul dari dasar-dasar wahyu illahi yang secara sistematik mampu memberi implementasi bagi
kehidupan ummat manusia sehari-hasri, baik melalui tasyri', manhaj, nidzam, ghayatul quswa
(tujuan utama) kehidupan. Karenanya Islam secara umum, demikian juga syari'ah Islam,
bukan;lah kumpulan kompromi antara Barat dan Timur, bukan pula integrasi antara ideologi-
ideologi dunia, bahkan bukan dualitas haq dan bathil. Ia adalah syari'ah asy-Syumuliyyah min ar-
Rabbul'alamiin. Karakteristik tersebut juga merupakan upaya yang diarahkan untuk mengungkap
tuduhan dan cercahan musuh-musuh Islam yaang anti Syari'ah Islam, sekaligus menepis
anggapan-anggapan yang salah terhadapnya. Selanjunya sebagaimana fungsi dan kedudukan
syari'ah Islam, berikut beberapa karakteristik syari'ah Islam.
Dengan sifat Rabbaniyah ini seorang muslim tidak ada pilihan lain kecuali ia menjawab sami'na
wa atha'na atas syari'ah Islam. Allah berfirman dalam surat al-Maidah (5) ayat 44, dan 45: dan
surat an-Nur (24) ayat 5.
"……Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan
janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.
………Barang siapa yang melepaskan ( hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."(Qs.5 : 44-45)
" Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah didalamnya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang fasik.." (Qs.5 : 47)
" Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka
sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha penyayang." (Qs.24 : 5)
Konsekuensi lain dari sifat Rabbaniyah ini adalah taqarrub ila al-Allah menjadi tuntutan bagi
muslim. Lebih dari itu seorang muslim bahkan harus bersegera untuk beriltizam (komitmen)
melaksanakan semua perintah syara' sebagai suatu ibadah.
"Maka demi tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan., kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya " (Qs.4: 56)
Qardhawi dalam Madkhal Li Diraasat Li Ma'rifatil Islam, membagi maksud Rabbaniyah menjadi
dua bagian: (1) Rabbaniyah al-Ghayah wa al-Wijhah, (Rabbaniyah dalam tujuan dan orientasi).
Maksudnya adalah Syari'at Islam menjadikan tujuan akhirnya dan sasaran jauhnya ialah
hubungan yang baik dengan Allah SWT dan memperoleh ridlo-Nya (mardhatillah).
"Hai manusia sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu,
maka pasti kamu akan menemuiNya"(Qs.84 : 6)
Sejalan dengan hal tersebut sesungguhnya Islam tidaklah memisahkan dimensi sasaran
kemanusiaan dan sosial (society and humanity) yang terangkum dalam kerangka tujuan akbar
yakni Ridlo Allah SWT, meskipun misalnya dalam syari'ah Islam terdapat doktrin Jihad dan
memerangi musuh yang tujuannya adalah menjaga martabat dan Izzah Islam itu sendiri,
mempertahankan diri dan bukan menyerang.
" Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan upaya agama itu semata-mata untuk
Allah. Jika mereka berhenti dari kekafiran, maka sesungguhnya allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan"(Qs.8 : 39)
Pengaruh dari Rabbaniyah al-Ghayah wa al-Wijhah akan membuahkan (tsamarah) sikap dan
mentalitas positif bagi kehidupan manusia. Setidaknya akan membentuk dan membuahkan:
" Langit bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah dan tak ada suatupun
melainkan bertasbih memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun" (Qs.17 : 44)
Pada hakikatnya fitrah manusia itu tidak terisi oleh ilmu, kebudayaan dan filsafat, akan tetapi
bermuatan iman kepada Allah. Fitrah manusia akan merasa kosong (hampa), lapar dan haus
hingga ia 'menemukan' -sebagai sifat asholah (aslinya)-nya Allah sebagai Rabbnya, yang dengan
ini manusia menjadi tenang karena hidayah Allah. Lalu bagaimana ia akan menemukan jati
dirinya, jika ia belum mengenal fitrahnya? Bagaimana mungkin mengenal fitrahnya jika ia
terbungkus oleh kepalsuan dan thagha (kesombongan)? Atau sibuk mengikuti hawa nafsunya,
kecenderungan pada pengkultusan, tenggelam dalam kelezatan-kelezatan rasa, terbuai oleh thulul
amal (keindahan angan-angan kosong), larut dalam tuntutan-tuntutan jasadiah (fisik) dan tanah?
(d) Terbebas dari penghambaan terhadap egoisme ananiyah dan hawa nafsu
Sifat rabbaniyah yang telah mengakar mantap dalam jiwa yang terdalam akan membebaskan
manusia dari egoisme ananiyah, nafsu syahwat, kenikmatan fisik dan dari ketertundukkan pada
duniawi. Manusia yang Rabbani keimanannya pada Allah dan tujuan akhirnya akan
memposisikan manusia, yang akan dapat mempertimbangkan antara kesukaan pribadi dan
agama, antara dorongan syahwat dan perintah Rabbnya.
“ Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui" (Qs.3 : 135)
(2) Rabbaniyah mashdar dan manhaj (sumber acuan dan konsep). Maksudnya bahwa manhaj
yang digambarkan Islam guna mencapai tujuan dan sasarannya merupakan manhaj Rabbani yang
murni, semua sumbernya adalah wahyu Allah. Islam sebagai manhaj bukanlah hasil dari
pemikiran manusia, sebagaimana yang dituduhkan para orientalis dengan istilah
Muhammadanism. Islam datang dari Allah yang menginginkannya untuk menjadi petunjuk dan
cahaya, keterangan dan kabar gembira, obat dan rahmat, untuk mewujudkan cita dan keinginan
manusia.
"Hai manusia sungguh telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad
dengan mu'jizatnya) dan telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang al-
Qur'an" (Qs.4 : 174)
" Hai manusia sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman" (Qs.10 : 57)
Konsekuensi logis dari Islam -yang Allah ciptakan ini- menjadi keharusan untuk dijadikan
rujukkan dalam kehidupan manusia. Implikasi dari adanya sifat Rabbaniyah (transendentalitas)
yakni keterjagaannya manusia dari hal-hal yang akan merusak dan merugikannya, pada saat yang
sama akan membimbing (taujih) dan mengarahkan (irsyad) manusia pada tujuan hidupnya.
Hilangnya aspek Rabbaniyah dalam sejarah telah dibuktikan oleh peradaban Barat yang
akibatnya destruktif (mafsadat) terhadap manusia itu sendiri.
Waqi'iyatul-ummat (kenyataan ummat) menunjukkan bahwa heterogenitas dan kompleksitas
manusia secara individual dan kelompok muncul akibat perbedaan terbesar dan paling
menyolokdalam menentukan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Karenannya untuk
menentukan tujuan dan sasaran tersebut diperlukan manhaj dan mashdar yang jelas, dan hanya
syari'ah Islamlah yang memilikinya. Manhaj selain Islam yang kita lihat di dunia sekarang ini
sangat kental dengan rekayasa manusianya, padahal manusia banyak kelemahannya. Sejalan
dengan hal tersebut di atas ada tiga keistimewaaan syari'ah Islam jika dibandingkan dengan
lainnya : (1) madzab buatan manusia, sedang syari'ah Islam dibuat oleh Allah,m (2) tidak
diketahui akar keillahiyahannya, sedang syari'ah Islam diketahui, dan (3) terdapat penyimpangan
atas ajarannya, sedang dalam Iskan tidak ada.
" Dan jangan kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk" (Qs.17 : 32)
" Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat" (Qs.24 : 30)
Persoalannya adalah apa yang mau kita Waqi'iyyah -kan? Tentu seluruh aspek syari'ah Islam,
lebih jelasnya berikut kami bahas secara singkat beberapa hal berkaitan dengan pertanyaan
tersebut.
Islam tidak menghendaki seseorang untuk terjebak hanya pada dan semata-mata hanya
mengerjakan ritualistik ibadah saja. Islam memperhatikan dan sangat menjaga realitas manusia
dan kondisi keluarga, sosial, dan ekonomi yang melingkupinya sebagai suatu kebutuhan yang
harus dipenuhi. Isalm paham betul akan tabi'at manusia yang sering bosan terhadap sesuatu hal.
Untuk itulah kemudian Islam memberikan variasi dalam hal ibadah. Ada ibadah badaniah,
ibadah maaliyah, ada ibadah ruhiah dan ada ibadah yang berdimensi keduanya. Islam juga
memperhatikan kondisi-kondisi yang tak terduga, sebagai bukti kelemahan manusia dan
minimnya pengetahuannya. Sehingga dalam syari'ah Islam dikenal ada rukhshoh yang juga
dicintai Allah.
"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu " (Qs.2: 185)
Islam juga menjunjung keadilan dan tidak membiarkan kedhaliman, meskipun membenarkan
adanya qishash sebagai pembelaan diri atas serangan dari luar.
"hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi
saksi yang adil dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa dan bertaqwalah
kepada Allah sesungguhnya Allah maha mengetahui isi hatimu." (Qs. 5: 8)
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksa
yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik
bagi orang-orang yang sabar. " (Qs. 16: 126)
Diantara Waqi'iyah Islam dalam akhlaq adalah bahwa akhlaq Islam menetapkan sekaligus
mengakui adanya perbedaan kemampuan nurani operasional antar manusia. Maka dalam hal
kekuatan iman seluruh manusia tidak berada dalam kadar yang sama. Demikian halnya dalam hal
iltizam dengan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sehingga ada derajat
di dalam Islam, yaitu iman dan ihsan. Guna menyempurnakan waqi'iyah Islam dapat ditegaskan
bahwa akhlaq Islam tidak mengharuskan ahli taqwa itu dapat suci dari segala noda, terpelihara
dari segala dosa seperti malaikat.
"Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka
ingat akan Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosanya dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa-dosa itu selain Allah, dan mereka tidak mengulangi perbuatan keji itu sedang mereka
mengetahui." (Qs. 3: 135)
Karena ini juga islam memperhatikan situasi dan kondisi tertentu tanpa meninggalkan moralitas
imperativ yang Allah perintahkan dan dilarang-Nya. Syari'ah Islam mengakui adanya perubahan
yang terjadi pada manusia. Dari sifat ini pula memungkinkannya beradaptasi dan survive dalam
masyarakat yang lebih luas, heterogen, dan kompleks multy-face. Di sinilah keluwesan Islam
sangat terasa. Hal yang menarik dan membedakan dengan syari'ah lainnya adalah keluwesan dan
kelestasian disamping praktis dan mudahnya Syari'ah Islam. Dalam penerapannya Syari'ah Islam
memperhatikan sunnatullah yang berjalan secara perlahan-lahan. Cara seperti ini menjadikan
Islam, di lain pihak, menyisahkan sistem perbudakan. Proses ini tentu ada maksud Illahiayah
yang pada akhirnya juga untuk kepentingan manusia juga.
d. Waqi'iyah dalam Tarbiyah Islamiyah
tarbiyah Islamiyah adalah tarbiyah yang waqi'iyah. Ia berinteraksi secara integratif dengan
manusia sesuai dengan posisinya, sebagai daging, darah, pikiran, perasaan, emosi,
kecenderungan, spiritual, dan unsur-unsur lainnya. Islam mentarbiyah kaum muslimin untuk
mencapai kehidupan yang waqi'iyah yang seimbang. Islam tidak membiarkan kaum muslimin
tenggelam dalam arus kecenderungan insaniyah, apalagi insaniyah yang rendah, hingga tidak ada
yang tersisa sedikitpun untuk Rabbnya. Hal tersebut juga sama nilainya ketika kita hanya
terjebak ghuluw (keterlaluan hanya) dalam ibadah saja, hingga tidak ada sama sekali yang tersisa
bagi jiwanya. Guna mencapai keseimbangan tersebut tarbiyah mempunyai porsi utama dalam
membentuknya.
Kendati dalam Islam tidak mengenal dosa warisan pun demikian pengiriman (wesel) pahala dari
dan untuk orang lain, namun Islam mengakui adanya pengaruh lingkungan (bi'ah) -terutama
keluarga- yang mempunyai potensi untuk mengubah manusia. Bahkan karena keluarga juga
seorang anak akan sangat terpengaruh dalam pembentukan ideologi dan corak berpikirnya.
Karenanya Islam telah berwasiat kepada orang tua untuk senantiasa memberikan taujih dan
tarbiyah bagi anak-anaknya. Ini bisa dimengerti sebab sedari anak-anak inilah yang sangat peka
terhadap penerimaan ta'allum (pelajaran), mudah terpengaruh dan terkondisi. Sebagaimana
firman Allah :
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan." (Qs.66: 6)
Proses tarbiyah ini tentu berlangsung sepanjang hayat, bahkan tarbiayh dalam makna yang
sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari aktivitas sehari-hari kita: sebagaimana hidupnya
Rasulullah merupakan tarbiyah dan sebaik-baik Qudwah-tauladan bagi seluruh manusia. Di
sinilah kita akan menemukan relevansinya tarbiyah waqi'iyah dalam syari'ah Islam: dimana
syari'ah Islam membimbing, mengarahkan, membentuk, dan menjadi pedoman dalam aktivitas
keseharian baik aktivitas lahir maupun bathin.
e. Waqi'iyah dalam Syariah/ Hukum Islamiyah
Demikian pula syari'ah Islam datang dengan waqi'iyah, tidak mengabaikan konteks yang ada
pada setiap perkara yang dihalalkan dan yang diharamkan, yang mutasyabihat maupun yang
muhkamat, yang qath'i maupun yang dzani. Ia tidak melalaikan konteks disetiap aturan dan
perundang-undangan yang diperuntukan bagi individu, keluarga, masyarakat, daulah dan
kemanusiaan, al-'alamiyah (internasional)
Islam tidak mengharamkan sesuatu yang memang betul-betul dibutuhkan oleh manusia dalam
realitas kehidupannya, misalnya lihat Qs. 7: 31-32. Sebagaimana Islam tidak membolehkan
adanya sesuatu yang membahayakannya. Syari'ah Islam juga memperhatikan kecenderungan
fitrah manusia yang suka terhadap permainan dan refreshing. Maka Syari'ah Islam memberikan
keringanan seperti membolehkan permainan dan pacuan kuda dan yang sejenisnya selama tidak
masuk dalam wilayah judi dan menghalangi dzikrullah.
Diantara waqi'iyahnya syari'ah Islam adalah bahwa syari'ah Islam sangat memperhitungkan
keadaan darurat (daruriyyah) yang sewaktu-waktu menimpa dan menekan keberadaan manusia.
Jalan ke luar dari persoalan daruriyyah adalah syari'ah Islam memberikan rukhshoh. Dalam
keadaan daruriyyah itu dapat membolehkan seseorang untuk mengerjakan yang terlarang
sekalipun. Berkaitan dengan hal ini syari'ah Islam juga sangat memahami betul ketidakberdayaan
manusia di hadapan hal-hal yang diharamkan. Karenanya syari'ah Islam menggariskan untuk
menjaga jarak, melakukan proses-proses preventif terhadap wilayah-wilayah yang akan dapat
menjerumuskan seseorang pada kenistaan, dosa, dan mafsadat bagi manusia itu sendiri. Sebagai
contoh bertolak dari pendangan yang kontekstual dalam kehidupan dan kemanusiaan, maka
disyari'ahkan poligami oleh dienul Islam dengan aturan tertentu.
Bukti-bukti waqi'iyahnya syari'ah Islam amatlah banyak, diantaranya kita dapat melihatnya dari
sisi ushul, kaidah dan pola-pola berpikirnya yang asasi. Diantara kaidah dan asas-asas waqi'iyah
syari'ah Islam adalah (1) memudahkan dan menghilangkan kesulitan, (2) memperhatikan tahapan
masa, dan (3) turun dari nilai idealita yang tinggi menuju realita yang rendah dalam situasi
daruriyah.
Dua sifat tersebut menjadi ciri khas dan keistimewaan syari'ah Islam yang tidak dimiliki oleh
syari'ah atau nidzam lainnya. Syari'ah Islam menyatukan manusia secara keseluruhann dalam
satu kesatuan yang diikat dlam ikatan-ikatan insaniyah, dan kemestian sifat 'alamiyahnya. Boleh
jadi ada nidzam yang bersifat 'alamiyah tetapi tidak bersifat insaniyah, atau sebaliknya. Bahkan
sifat insaniyah ini menjadi dasar bagi sifat ke'alamiyahan (international) syari'ah Islam. Bersifat
internasional lantaran bersifat insani. Sebagai contohnya tentang "persaudaraan sesama manusia"
dimana Islam membuang jauh-jauh faktor ras, etnis, suku, bangsa kasta dsb.
" Hai manusia sungguh Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempauan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling
bertaqwaSesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Qs.49: 13)
Dalam rangka fungsi-fungsi tersebut semua bentuk ibadah disyari'ahkan bagi manusia untuk
memenuhi kebutuhan ruhaninya. Manusia berproses menuju kemuliaan dan dalam tahap tertentu
sehingga ia pantas dimuliakan, sampai-sampai Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan
di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. " (Qs.17: 70)
Tidak hanya sampai di sini tercukupinya kebutuhan bathin atau ruhani manusia, harus diimbang
dengan tercukupinya kebutuhan badaniyah, material ataupun duniawi: karena dunia adalah
mazra'ah (ladang) bagi akhirat. Jadi tanpa memiliki dunia kita tidak akan sampai ke akhirat.
Syari'ah Islam memotivasinya dengan memerintahkan untuk bertebaran di muka bumi mencari
karunia Allah guna memakmurkan bumi. Dengan demikian syari'ah Islam memperhatikan dan
mewadahi serta memberikan jalan keluar kebutuhan manusia dengan segenap aspek-aspeknya
secara asholah (otentik). Bahkan lebih jauh dalam syari'ah Islam terdapat lima tujuan pokok
(Dharuriyyat al-khamsu) yakni memelihara dien, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kelima, Syumuliyah (Universal).
Inilah aspek karakteristik syari'ah Islam yang membedakan agama Islam dengan agama, ideologi
maupun segala pemikiran kefilsafatan dan madzab yang dikenal manusia dengan segenap
jangkauan dan makna kata "syumul". Ke-syumuliyahan-nya meliputi segala zaman, semua
kehidupan dan eksistensi (al-Wujudiyah lil Insan) manusia. Asy-Syahid Hasan al-Banna pernah
mengatakan bahwa: "….adalah suatu risalah yang panjang terbentang hingga meliputi
(mencakup) semua abad sepanjang zaman, terhampar luas hingga meliputi semua cakrawala
umat, dan begitu mendalam (mendetail) hingga memuat urusan-urusan dunia dan akhirat."
Untuk lebih jelasnya berikut kami bahas secara singkat syumuliyah syari'ah Islam dari dua aspek
yakni pertama, dari sisi fungsinya. Dari sisi fungsinya syari'ah Islam dapat kita lihat dalam
beberapa bagian berikut :
"Katakanlah hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua" (Qs.7: 158)
Ayat tersebut sekaligus membantah tuduhan para kaum orientalis bahwa Nabi Muhammad itu
pada mulanya tidak menyatakan bahwa dirinya diutus untuk seluruh manusia, namun hal itu dia
ungkapkan ketika bangsa Arab (dalam terminologi mereka untuk menyebut umat Islam)
mengalami kemenangan.
"Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yakni bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan, ………… " (Qs.2: 233)
"Kepunyaan-Nyalah yang ada di langit dan di bumi dan semua yang ada di antara keduanya dan
semua yang ada di bawah tanah (Qs. 20 : 6)
Kedua, dari sisi isi syari'ah Islam. Jika Islam merupakan serangkaian risalah yang mencakup
semua kehidupan dengan segala aspeknya, semua fase kehidupan manusia, maka kita akan
menemukan isi ajarannya pun tampil dalam bentuk yang sempurna, meliputi seluruh persoalan
kehidupan manusia. Syumuliyah isi syari'ah Islam ini berarti ia bersifat universal,
keuniversalannya ini haruslah diimbangi dengan universalisme dan syumuliyah dalam aspek
komitmen ('iltizam) kaum muslimin. Dari sisi isi (ajaran) syari'ah Islam dapat kita lihat dalam
beberapa bagian berikut:
Kesalahan yang terjadi pada kebanyakan orang di sini adalah memandang hukum (syari'ah)
secara sebagian-sebagian, misalnya hanya dari sifat juz'i-nya saja atau dari sifat kulli-nya saja,
mereka tidak melihat secara keseluruhan. Sehingga mereka berbuat dzalim terhadap syari'ah
yang sempurna ini lantaran tergesa-gesa dalam menilai, atau karena kepentingan tertentu yang
melatarbelakanginya. Kesempurnaan syari'ah Islam dan mudahnya diterapkan -yang di dalamnya
menerapkan prinsip tanaasuq dan muruunah yang diterapkan secara seimbang- membuktikan
kesempurnaan sang Pemiliknya, dan merupakan petunjuk serta rahmat bagi alam semesta.
At-Tanaasuq dan al-Muruunah ini dapat dimengerti dengan memahami faktor-faktor: (1) luasnya
wilayah ijtihad dalam syari'ah Islam, (2) adanya nash-nash syari'ah terhadap hukum yang kully,
(3) mencakupnya nash-nash atas banyak pemahaman yang beragam, dan (4) bahwa dalam
syari'ah Islam juga mencakup pemeliharaan terhadap hal-hal darurat dan kondisi tertentu.
IKHTITAM
Sedemikian lengkap dan sempurnanya Syari'ah Islam menjadikan seorang muslim sangat
memungkinkan untuk dengan mudah ta'abud ila Allah. Pemahaman yang parsial (mufaraqah)
atau hanya cenderung 'memegang' salah satunya saja -sebagaimana yang terjadi dalam aliran-
aliran di kalangan kaum muslimin- hanya akan mereduksi pemahaman kita tentang Islam, yang
pada akhirnya merugikan kita sendiri: dan barangkali inilah faktor utama kegagalan umat Islam
dalam membangun kejayaan Islam di muka bumi ini. Mungkinkah hal tersebut akan terulang?
Jawabannya sangat tergantung dari individu-individu dan jama'ah kaum muslimin, sejauhmana
membangun kembali pemahaman dan mengamalan syari'ah Islam dengan baik dan benar.
Dalam upaya ke arah pembangunan kembali pemahaman dan pengamalan syari'ah Islam secara
benar dan baik, minimal ada tiga prasyarat yang harus dilakukan oleh seorang muslim: pertama,
setidak-tidaknya mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang 'ulumul Qur'an beserta
tafsirnya, lantaran ia menjadi sumber utama dan pertama penegakkan syari'ah Islam. Kedua,
setidak-tidaknya mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang 'Ulumul Hadits dan sirah
Nabawiyah sebagai sumber keduanya. Ketiga, setidak-tidaknya mempunyai pengetahuan dan
pemahaman tentang ilmu Ushul al-Fiqh dan Fiqh itu sendiri. Boleh jadi syari'ah Islam yang
syumuliyah beserta al-Khashoisul-nya tidak akan tertangap secara syumul jika tiga hal ini
diabaikan.
Nampaknya dengan memperhatikan perkembangan dan perubahan zaman yang sangat pesat
dengan segala problematika dan pertarungan kepentingan serta ideologi yang ada di dalamnya,
syari'ah Islam akan menjadi solusi yang terbaik. Namun hal ini jika tidak diimbangi dengan
kekuatan yang ada dalam tubuh umat Islam sendiri, maka akan menjadi sangat lamban cita-cita
syari'ah Islam akan terwujud, bahkan boleh jadi hanya angan-angan. Hal ini lagi-lagi akan
terpulang pada kita (umat Islam) masing-masing. Wallahu 'alam bishawab.
MARAJI'
'Abdul Bani, Muhammad Nu'ad, al-Mu'jam al-Mufarasy al-Fazhil al-qur'an al-Karim: Juz 2,
Kairo: Majma' Lughah Arabiyah, 1401H/ 1981 M
Ghazaly, Imam al-, Ihya Ulumudin, peny. Misbah Zainul Musthafa, (t.t.: Bintang Pelajar) Juz III
……………….., Bagaimana Memahami Syari'ah Islam, terj. Nabhani Idris, Jakarta: Islamuna
Press, 1996
Ridwan, Ustadz Fathi, Falsafat Attasyi' al-Islamy, Silsilah Ma' al-Islam, Kairo: Darul Kitab al-
Arabi, t.t.