Anda di halaman 1dari 22

Karakteristik Syariat Islam

TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi ini, seorang peserta dapat:
1. Membentuk orientasi yang positif bahwa Syari'at Islam memiliki karakter yang transendental
namun tetap bercirikan logis (rasional), moralitas, realitas, dan universalitas.
2. Menumbuhkan keberanian dan percaya diri dalam menanamkan konsep tatanan Islam secara
universal dan integral pada tataran peraturan-peraturan formal maupun bidang sosial
kemasyarakatan.

TITIK TEKAN MATERI:


Materi ini menekankan terhadap 6 aspek yang merupakan karakter dan ciri umum syariah Islam:
bahwa syariah Islam transendental oleh karenanya agar tidak terjadi kesenjangan dengan
kehidupan, ia harus mempertimbangkan aspek-aspek sbb: aspek kemanusiaan, aspek moralitas,
aspek universalitas, aspek kesesuaian-keserasian, dan aspek realitas.

POKOK-POKOK MATERI:
1. Karakteristik dan ciri-ciri syariah Islam
2. Ciri moralitas dari syari'ah Islam
3. Ciri realitas dari syari'ah Islam
4. Ciri kemanusiaan dari syari'ah Islam
5. Ciri universalitas dan keserasian dari syari'ah Islam

MARAJI'
Yusuf Qardlawi, Pengantar Study Syari'at Islam, penterj. Nabhani Idris (Jakarta, Islamuna Press,
1996)

IFTITAH

"Dia telah mewsyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kapda Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya" (Qs.4 2 : 13)

Dalam kehidupan keseharian banyak hal yang luput dari perhatian kita,
lantaran masing-masing kita telah dininabobokan oleh 'ritualitas' yangjauh banyak menyita
waktu kehidupan kita, pada saat yang sama kadang kita merasa sepi dari nuansa ruhaniah. Satu
diantara hal yang patut direnungkan adalah berkenaan dengan krisis kemanusiaan. Krisis
kemanusiaan dalam zaman apapun, terutama di era modern diakibatkan pandangan hidup yang
tidak lagi mengimani adanya yang metafisik (Yang Ghaib). Anehnya ada orang-orang yang kuat
berpegang teguh pada ajaran agama -dalam perspektif agama-agama umumnya- masih juga
banyak yang mengalami krisis yang sama: dimana mereka terjebak rutinitas ritus ibadah, namun
pada saat yang sama kehilangan maknawiyah atau nilai-nilai ruhaniah ibadah itu sendiri.
Dalam konteks ad-Dienul Islam tentu bukan agamanya yang salah atau ajaran-ajaran agamanya,
namun boleh jadi ada dua kemungkinan manusianya yang tidak paham (al-Fahmu baina an-Nas
min al-Islam asy-Syumuliyah) atau manhaj dakwah para pemuka dan da'i yang menyampaikan
ajaran itu. 'Ala kulli hal, sesungguhnya manusia sedang mehadapi krisis makna dan tujuan
hidupnya. Ini bisa dipahami lantaran dalam kehidupan manusia yang otentil (asholiyah) adalah
penting untuk tetap dan terus menjaga 'tali' yang menghubungkan kemanusiaannya dengan nilai-
nilai Illahiyah, pada saat yang sama nilai-nilai kemanusiaan universal yang dimiliki oleh setiap
orang juga harus menjadi sasaran 'sentuh' ajaran-ajaran agama. Solusi untuk menjawab persoalan
ini tidak lain adalah kita harus kembali pada pemahaman Syari'ah Islam yang sebenar-benarnya.
Sebagai upaya ikhtiariyah atas pemahaman Syari'ah Islam menjadi penting untuk memahami
Khashoisul amal Syari'ah, yaitu karakteristik 'amal Syari'ah Islam. Berikut beberapa hal
pembahasan berkenaan dengan tema tersebut di atas.

AL ISTILAHIYAH (Definisi)

Syari'ah berasal dari kata Syari'ah yang berarti "jalan-raya," dalam konteks hukum bermakna
"jalannya hukum" dengan kata lain "perundang-undangan". Istilah Syari'ah Islam berarti hidup
yang harus dilalui atau pandangan-pandangan yang harus dipatuhi oleh orang Islam. Arti
Syari'ah dijelaskan dalam firman Allah SWT
"Kemudian kami jadikan kamu di atas suatu Syari'ah (peraturan) dari urusan agama itu, maka
ikutilah syari'ah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui"
(Qs.45 : 18)

Dalam kaitan surat tersebut Syari'ah dimengerti sebagai peraturan. Syari'ah pecahan kata dari
"syara' as-syai" artinya menjelaskan dan menyatakan sesuatu, atau dari "syir'ah". Syari'ah artinya
tempat yang dihubungkan ke air yang mengalir yang tidak penah putus atau terhenti, dimana
mendatanginya (mengambilnya) tidak perlu alat.
Kata "syara'a" atau syari'ah" ini sebagai fi'il (akata kerja) dan isim (kata benda) disbutkan dalam
al-Qur'an sebanyak 5 kali diantaranya terdapat dlam Qs. Al-A'raf 163. Dalam bentuk fi'il maadhi
tersebut dalam;
"Dia telah mewsyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kapda Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya…….." (Qs.4 2 : 13)

Yang disyari'ahkan di sini berkaitan dengan Ushul ad-Dien bukan hal yang furu' (cabangnya),
yaitu berhubungan dengan akidah dan bukan amal. Sebagaimana dalam ayat tersebut syari'at
sama pada setiap risalah Allah, baik yang di bawa Nabi Ibrahim, Nuh, Musa, maupun Isa, sampai
Nabi Muhammad SAW.
Sedang menurut Mahmud Saltut syari'ah Islam itu ialah peraturan-peraturan yang diciptakan
Allah atau yang diciptakan pokok-pokoknya supaya manusia berpegang kepadanya di dalam
hubungannya dengan saudaranya sesama manusia, hubungannya dengan alam seluruhnya, dan
hubungannya dengan kehidupan. Sejalan dengan ini setidaknya ada tiga prinsip Syari'ah Islam.
Pertama, tidak memberatkan: hal ini sesuai dengan misi Islam yakni Islam sebagai rahmat lil
'alamin, termasuk bagi manusia. Sehingga Islam datang membebaskan manusia dari segala
bentuk pembelengguan dan yang memberatkan hidupnya. Sebagai contohnya adalah kewajiban
menjalankan Shalat. Berkenaan dengan prinsip pertama ini Allah berfirman.
"Allah tidak akan membebani seorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ia mendapat
pahala yang diusahakannya dan siksa dari yang dikerjakannya" (Qs. 2: 286)

"Dan jihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu
dan Dia sekali-kali tidak akan menjadikan kamu dlam agama suatu kesempitan…." (Qs. 22 : 78)

Kedua, Syari'ah Islam sangat sedikit mengadakan kewajiban secara terperinci, yakni
memerintahkan, dan melarang. Ini berkaitan dengan prinsip pertama, semakin banyak kewajiban
berarti memberi beban dan memberatkan manusia. Dalam Syari'ah Islam tidak banyak hal-hal
yang mendetail atas larangan dan perintah-Nya. justru hal-hal yang mubah (yang diperbolehkan)
yang banyak terkandung dalam syari'ah Islam. Contohnya perintah dan jumlah raka'at dalam
shalat.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang
jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu….."(Qs. 5: 101)

Ketiga, syari'at Islam datang dengan prinsip gradual, berangsur-angsur dan tidak sekaligus. Ini
sesuai dengan kondisi psikologis fitrah manusia, tentu manusia menjadi bingung dan keberatan
dalam menjalaknkan syari'at Islam jika diturunkan sekaligus. Contohnya Syari'at tentang
larangan judi dan khamr Qs. 2:219, 4: 43, dan 5: 90.
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu….." (Qs. 5: 90)

Syariat Islam kadang juga disamakan dengan hukum Islam. Sesungguhnya Hukum Islam secara
harfiah berasal dari al-Hukm yang berarti "Itsbatu Syaiin 'ala Syaiin" menetapkan sesuatu atas
sesuatu. Secara ringkas berarti "ketetapan". Dalam hal ini hukum Islam berasal dari Allah
sehingga dikenal juga dengan hukum Allah. "Hukmullah" yang berarti ketetapan dari Allah dan
telah menjadi keyakinan bahwa Allahlah sang penetap hukum (hakim).
"…. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik. " (Qs. 6: 57)

Menurut sarjana Ushul Fiqhi, definisi hukum (al-Hukm) dirumuskan sebagai berikut: "Titah
Allah (atau sunnah rasul) tentang laku-perbuatan manusia mukallaf (dewasa), baik yang
diperintahkan, yang dilarang maupun yang membolehkan. Hukum berarti titah Tuhan atau sabda
Nabi baik yang mengandung perintah, larangan, atau bersifat pilihan. Demikian pula keadaan-
keadaan tentang sebab, syarat, dan halangan (mani') sesuatu pekerjaan. Dalam perspektif hukum
Syari'ah Islam dikenal dua jenis hukum yakni Hukum Taklifi yang meliputi Ahkamul
Khamsyah: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah: dan Hukum Wadh'i yakni yang bersifat
menunjukkan keadaan-keadaan tertentu yang dikwalifikasikan sebagai sebab atau syarat atau
halangan bagi berlakunya suatu hukum.
Selain Syari'at dan hukum, Syari'ah Islam juga berkaitan dengan fiqh. Menurut harfiah fiqhi
berarti pintar, cerdas, paham. Bila dijadikan kata kerja maka ia berarti memikirkan, mempelajari,
memahami. Orangnya dikenal dengan faaqih dan jamaknya adalah fuqahaa. Kemudian definisi
yang dikembangkan dalam hkukum Islam antara lain adalah hukum Islam yang disimpulkan
dengan jalan rasio berdasarkan alasan-alasan yang terperinci.
Al hasil kita dapat menyimpulkan bahwa syari'ah Islam ialah ketentuan-ketentuan hukum Tuhan
dalam al-Qur'an yang diwajibkan atas manusia untuk melaksanakannya. Sedang Fiqhi adalah
pemikiran tentang syari'ah itu untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Dengan demikian
kita pahami, sebagaimana dikatakan Yusuf Qardhawi, bahwa syari'ah apa yang disyari'ahkan
Allah berupa hukum-hukum yang ditetapkan dengan dalil Al-Qur'an dan Sunnah dan cabangnya,
baik dalil ijma' dan qiyas serta dalil-alil lainnya. Syari'ah merupakan tujuan (hadaf) dan fiqh itu
sendiri merupakan cara, bagi Syari'ah Islam: meskipun antara syari'ah dan fiqh merupakan dua
hal yang tidak terpisahkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas hukum syara', demikian lanjut Yusuf Qardhawi, ada dua macam
hukum syara': Pertama, Hukum yang ditetapkan langsung dari Allah dengan nash-nash al-Qur'an
dan Sunnah, misalnya tentang shoum (Qs. 2 : 183). Kedua, hukum yang ditetapkan oleh ijtihad
para ulama dan fuqaha dengan tetap berpedoman pada Al-Qur'an dan Sunnah: Biasanya berupa
qiyash, istislah, istihsan, istimbath, dll: Misalnya dalam surat 5 : 90 tentang larangan judi dan
minum khamr.
'Ala kulli hal, syari'at Islam merupakan ketentuan dan aturan dari Allah Sang Khaliq
Rabul'alamin untuk mengatur kehidupan ini. Karenanya sumber-sumber syari'ah Islam tidak lain
adalah al-Qur'an sebagai sumber pertama, as-Sunnah shahihah sebagai sumber kedua, sedang
sumber-sumber lainnya antara lain Qiyas, Ijma', dll. Dalam pada itu semakin jelas bahwa syari'ah
Islam juga mengatasi dan menjadi sumber ruju'kan qanun wadh'y (undang-undang buatan
manusia). Sikap seorang muslim jelas, bahwa ia dapat mengikuti qanun wadh'y selama tidak
bertentangan dan tetap meruju' pada sumber-sumber syari'ah Islam yang benar.
Demikian beberapa pengertian tentang syari'ah Islam berkaitan dengan al-Ushul ad-Adien,
hukum, fiqhi dan ad-Dien itu sendiri, serta sumber-sumbernya: sehingga jelaslah posisi syari'ah
Islamiyah. Berikut kami lanjutkan sedikit berkenaan tujuan syari'ah Islam yang dengan ini kita
akan mudah memahami karakteristik syari'ah Islam.
MAQASHID ASY-SYARI'AH (Tujuan Syari'ah Islam)

Dalam buku Madkhal Li Diraasat Li Ma'rifatil Islam, Yusuf Qrdhawi dengan sangat jelas
menggambarkan bahwa ad-Dienul Islam tidak lain untuk mengatur kehidupan manusia dan
segenap alam semesta beserta isinya menuju pada kehidupan yang lebih abadi. Ini tersirat dengan
jelas dalam pemaknaan atas istilah ad-Dienul itu sendiri, yang artinya peraturan Illahi yang
mengendalikan orang-orang yang memiliki akal sehat secara suka rela kepada kebaikan hidup di
dunia dan keberuntungan di akhirat. Seperangkat aturan itulah yang biasanya disebut dengan
Syari'at Islam. Jelasnya ad-Dienul Islam berisi sejumlah syari'ah yang dibutuhkan untuk
mengatur kehidupan manusia dan alam semesta.
Derap langkah zaman telah membuktikan bahwa ar-Risalah al-Anbiya, atau tepatnya Risalah
Islam, telah di bawa oleh para rasul Allah untuk ummatnya sesuai dengan situasi dan kondisi
umatnya, yang pada titik akhirnya disempurnakan dengan turunnya Nabi dan Rasul terakhir
Muhammad SAW. Syari'ah Islam dengan demikian merupakan syari'ah yang sempurna dan
menyempurnakan (Syumuliyah), syari'ah-syari'ah yang di bawa para Nabi dan rasul sebelum
Muhammad. Ini jelas diutarakan dalam firman Allah SWT:
"Dia telah mewsyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kapda Nuh
dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya" (Qs.4 2 : 13)

"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. " (Qs.3: 85)
Syari'ah Islam mempunyai tujuan yang luhur dan maksud yang mulia yang sangat diinginkan
Allah untuk diamalkan dalam kehidupan manusia. Pada saat yang sama sesungguhnya syari'ah
Islam diturunkan dalam kaitan 'illat hukum yang disyari'ahkannya yang harus dicari dan
dipelihara. Di antara tujuan syari'ah Islam antara lain:
Pertama, Menjaga kemashlahatan umat manusia, yang menyangkut tiga peringkatnya:
Dharuriyyat (yang mana manusia tidak dapat hidup tanpanya), Hajiyat (yang mana manusia
tanpanya akan mengalami kesulitan dan kesempitan), dan Tashiniyat (yang dengannya
kehidupan manusia menjadi sempurna, sejahtera, dapat berlangsung dalam cara hidup yang
paling utama serta dalam kebiasaan dan kondisi yang kokoh). Imam asy-Syathiby,
mengemukakan bahwa, tujuan Syari'at Islam tidak lebih dari tiga bagian: Dharuriyyat (tujuan
yang bersifat primer), Hajiyat (tujuan yang bersifat sekunder), dan Tashiniyat (bersifat sekedar
perlengkapan).
Kedua, memelihara kemashlahatan yang luas dan ke-syamil-an dalam pandangan syari'ah Islam.
Ini mengingat kemashlahatan dunia dan akhirat, kepentingan pribadi dan umum, materi dan
imateri, tepatnya yakni, kemashlahatan yang menjadi fondasi bagi tegaknya yang kully dan yang
juz'i. Dalam hal ini sebagai upaya atas kelemahan manusia yang utama, yakni kelemahan ilmu
dan akal serta kecenderungan atas hawa nafsu dan kecenderungannya. Jadi sesungguhnya
syari'ah Islam tidak hanya diberlakukan untuk dan berkenaan dengan kaum muslim saja tetapi ia
juga akan berdampak pada komunitas yang lebih luas, karenanya kemashlahatan yang lebih luas
juga menjadi salah satu bagian dari tujuan syari'ah Islam.
Ketiga, menolak kemafsadatan dalam rangka memelihara kemashlahatan. Menolak kemafsadatan
adalah wajib dalam rangka tegaknya kemashlahatan itu sendiri, bahkan termasuk ke dalam
pemeliharaan mashlahat. Dan di atas pondasi yang luas dan besar inilah segala perintah dan
larangan syari'ah Islam ditegakkan. Penolakkan mafsadat ini baik preventif maupun kuratif.
Bahkan sesuatu yang mafsadat harus di dahulukan untuk dicegah ketimbang memerintahkan
yang ma'ruf. Hal ini dapat dimengerti lantaran memang pada kenyataannya mencegah
kemafsadatan itu lebih sulit ketimbang menyuruh pada yang ma'ruf.
Keempat, agar interaksi manusia berlangsung berdasarkan prinsip keadilan. "Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan……" (Qs.57: 25) . Dalam hal ini syari'ah Islam berfungsi menunjukkan, membimbing,
dan memberikan pedoman prinsip-prinsip keadilan dalam Islam serta pelaksanaannya. Adanya
kekacauan dan kerusakan di muka bumi ini lebih banyak diakibatkan pola hubungan interaktif
manusia yang tidak didasarkan pada prinsip keadilan tersebut.
Kelima, agar tercipta ukhuwah di antara umat manusia, seperti terbentang rasa saling percaya,
saling tafahum dan menghilangkan penyebab pertikaian dan perselisihan. Syari'ah Islam dalam
hal ini diwujudkan dalam kejelasan antara hak-hak dan kewajiban, rukun dan syarat muamalah
dalam Islam, perintah dan larangan serta kaidah-kaidah hukum lainnya.
"Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqankepada hambaNya, agar dia menjadi
pemberi peringatan kepada seluruh alam." (Qs.25: 1)

"Tidakah mungkin al-Quran ini dibuat oleh selain Allah: akan tetapi ia membenarkan kitab-kitab
yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkanNya, tidak ada keraguan
di dalamnya dari Tuhan semesta alam."
(Qs.10 : 37)
Keenam, supaya manusia dapat berkonsentrasi -setelah merasa tentram dalam bisnis dan
kegiatan jual beli lainnya serta dalam keseluruhan interaksi dengan lainnya- untuk melaksanakan
rislah mereka di muka bumi yakni beibadah kepada Allah dan memakmurkan bumi untuk
menunaikan kekhalifahannya. Dengan demikian manusia selamat secara individu maupun sosial,
dari kerugian dunia dan akhirat
Maqashid asy-Syari'ah dalam pelaksanaannya juga penting memperhatikan hal-hal berikut: (1)
dasar pembagian kemashlahatan, (2) maksud-maksud kemasyarakatan yang sejalan dengan
syari'ah Islam, dan (3) nilai-nilai kemasyarakatan yang luhur seperti 'adalah, ukhuwah, al-
Takaful, al-Hurriyah dan al-Karimah.
Selanjutnya kesalah pahaman terhadap asumsi bahwa syari'ah Islam itu statis, jumud, bengis,
kejam dan tak berperikemanusiaan, sebagaimana yang sering dihembuskan para orientalis dan
musuh-musuh Islam, sama sekali jauh dari realitas kebenaran yang ada. Diakui bahwa
memahami makna terdalam syari'ah Islam sesungguhnya bukan pekerjaan yang mudah. Maka
menjadi penting untuk memahami karakteristik syari'ah Islam sebagai upaya menengarahi
kesulitan tersebut di atas.
Dalam konteks sejarah Islam (al-Tarihk al-Islamiyah) sebagai konsekuensi dari ar-Risalah al-
Anbiya dan fungsi Islam sebagai rahmatan lil'alamiin bahwa syari'ah Islam berkaitan erat dengan
-untuk menyempurnakan dan kesempurnaan- syari'ah-syari'ah agama sebelumnya. Dalam agama
Yahudi, ia mempunyai syari'ah yang cukup lengkap sebagaimana disebutkan dalam firmanNya:
"Dan telah Kami turunkan kepada Musa pada lauh-lauh segala sesuatu sebagai pelajaran dan
penjelasan bagi segala sesuatu: maka Kami berfirman: berpeganglah kepadanya dengan teguh
dan suruhlah kaummu berpegang kepada perintah-perintahnya dengan sebaik-baiknya, nanti Aku
akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik" (Qs.7 : 145)

Demikian halnya dengan Taurat, Allah berfirman:


"Dan Kami telah turunkan Kitab taurat yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya, yang dengan
Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada
Allah……. " (Qs.7 : 145)

Berbeda dengan agama Nasrani yang dianggap tidak rinci syari'ahnya. Ini dikarenakan agama
Nasrani berpegang pada syari'ah Musa, dalam berbagai perkara, sedang Injil sekarang
mengatakan bahwa Isa al-Masih as adalah anak Allah. Padahal Isa berkata: "Aku tidak datang
untuk merombak syari'ah atau hukum Musa as. Tetapi aku datang sebagai penyempurna."
Syari'ah ini kemudian disempurnakan lagi dengan datangnya Nabi dan Rasul terakhir
Muhammad saw, yakni Syari'ah Islamiyah.

KHASHOISUL ASY-SYARI'AH

Dasar yang sebenarnya dari keseluruhan struktur syari'ah Islamiyah adalah ta'abudi (ibadah,
religiusitas) yakni ide bahwa Allah adalah penguasa yang berdaulat penuh yang perintah,
larangan dan kehendakNya merupakan hukum atau syari'ah yang diperuntukan bagi manusia dan
alam semesta ini. Dalam pada itu manusia harus menemukan, merumuskan dan melaksanakan
kehendak tersebut yang indeks finalnya adalah al-Quran dengan Rasulullah Muhammad Nabi
dan Rasul terakhir sebagai penafsir sempurnanya.
Sementara itu al-Khashoisul 'Amal asy-Syari'ah al-Islamiyah (karakteristik amal syari'ah Islam)
muncul dari dasar-dasar wahyu illahi yang secara sistematik mampu memberi implementasi bagi
kehidupan ummat manusia sehari-hasri, baik melalui tasyri', manhaj, nidzam, ghayatul quswa
(tujuan utama) kehidupan. Karenanya Islam secara umum, demikian juga syari'ah Islam,
bukan;lah kumpulan kompromi antara Barat dan Timur, bukan pula integrasi antara ideologi-
ideologi dunia, bahkan bukan dualitas haq dan bathil. Ia adalah syari'ah asy-Syumuliyyah min ar-
Rabbul'alamiin. Karakteristik tersebut juga merupakan upaya yang diarahkan untuk mengungkap
tuduhan dan cercahan musuh-musuh Islam yaang anti Syari'ah Islam, sekaligus menepis
anggapan-anggapan yang salah terhadapnya. Selanjunya sebagaimana fungsi dan kedudukan
syari'ah Islam, berikut beberapa karakteristik syari'ah Islam.

Pertama, ciri transendentalitas syari'ah Islam, Rabbaniyah.


Aspek ini sejalan dengan karakteristik utama dan pertama Islam itu sendiri. Berkenaan dengan
hal ini yang menjadi pembeda dan keistimewaan syari'ah Islam dari syari'ah-syari'ah lainnya,
qanun wadh'iy (undang-undang buatan manusia), adalah ia bersifat Rabbaniyah dan bercelupkan
diniyah yang terlindungi dan bersifat suci serta menjadikan pengikutnya memiliki rasa cinta dan
hormat yang bersumber dari keimanan, keluhuran dan keabadian. Rabbaniyah -bentuk mashdar
dari "Rabb" yang ditambah "alif" dan "nun"- yang berarti berhubungan kepada Rabb dan
manusia yang berpredikat Rabbani bila ia berhubungan dengan Allah sebagai satu-satunya Rabb.
" Dan tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al Kitab, hikmah, dan
kenabian, lalu dia berkata: hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku dan bukan
penyembah Allah, akan tetapi dia berkata: Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang Rabbani,
karena kamu selalu mengajarkan al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya." (Qs.3 :
79)

Dengan sifat Rabbaniyah ini seorang muslim tidak ada pilihan lain kecuali ia menjawab sami'na
wa atha'na atas syari'ah Islam. Allah berfirman dalam surat al-Maidah (5) ayat 44, dan 45: dan
surat an-Nur (24) ayat 5.
"……Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan
janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.
………Barang siapa yang melepaskan ( hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."(Qs.5 : 44-45)

" Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah didalamnya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang fasik.." (Qs.5 : 47)

" Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka
sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha penyayang." (Qs.24 : 5)

Konsekuensi lain dari sifat Rabbaniyah ini adalah taqarrub ila al-Allah menjadi tuntutan bagi
muslim. Lebih dari itu seorang muslim bahkan harus bersegera untuk beriltizam (komitmen)
melaksanakan semua perintah syara' sebagai suatu ibadah.

"Maka demi tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan., kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya " (Qs.4: 56)

Qardhawi dalam Madkhal Li Diraasat Li Ma'rifatil Islam, membagi maksud Rabbaniyah menjadi
dua bagian: (1) Rabbaniyah al-Ghayah wa al-Wijhah, (Rabbaniyah dalam tujuan dan orientasi).
Maksudnya adalah Syari'at Islam menjadikan tujuan akhirnya dan sasaran jauhnya ialah
hubungan yang baik dengan Allah SWT dan memperoleh ridlo-Nya (mardhatillah).
"Hai manusia sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu,
maka pasti kamu akan menemuiNya"(Qs.84 : 6)

" Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu"(Qs.53 : 42)

Sejalan dengan hal tersebut sesungguhnya Islam tidaklah memisahkan dimensi sasaran
kemanusiaan dan sosial (society and humanity) yang terangkum dalam kerangka tujuan akbar
yakni Ridlo Allah SWT, meskipun misalnya dalam syari'ah Islam terdapat doktrin Jihad dan
memerangi musuh yang tujuannya adalah menjaga martabat dan Izzah Islam itu sendiri,
mempertahankan diri dan bukan menyerang.
" Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan upaya agama itu semata-mata untuk
Allah. Jika mereka berhenti dari kekafiran, maka sesungguhnya allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan"(Qs.8 : 39)

Pengaruh dari Rabbaniyah al-Ghayah wa al-Wijhah akan membuahkan (tsamarah) sikap dan
mentalitas positif bagi kehidupan manusia. Setidaknya akan membentuk dan membuahkan:

(a) Pengetahuan tentang tujuan keberadaan manusia


Di sinilah krisis kemanusiaan modern yang ditengarai dengan krisis makna dan eksistensi hidup
mendapatkan jawabannya. Dengan karakter Rabbaniyah manusia akan memahami eksistensi,
orientasi perjalanan hidupnya, mengenal misi (risalah) hidupnya. Hilangnya dimensi metafisik
(ghaibiyyah) manusia akan dianggit kembali dengan berpegang pada Syari'ah Islam. Dengan
demikian semakin jelas bahwa penghargaan dan pengakuan atas eksistensi manusia menjadi
alasan penting seseorang yang hidup secara Rabbaniyah. Ia tidak hidup dalam kegelapan dan
tidak akan berjalan tanpa tujuan.
(b) Manusia akan mengikuti fitrahnya
Salah satu faidah Rabbaniyah adalah manusia mengikuti fitrahnya yang hakikatnya senantiasa
beriman kepada Allah. Ini bisa dimengerti karena manusia dalam fitrahnya, sebagaimana alam
semesta yang senantiasa bersikap Rabbaniyah yang bertasbih dengan memuji Allah. Adapun
munculnya sikap dan mental manusia yang senantiasa berbuat mafsadat dikarenakan fitrahnya
tertimpa atau tertutup oleh kecenderungan terhadap yang fujur (sebagai lawan dari
kecenderungan Taqwa).
" Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah) tetaplah atas fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
Itulah Agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya" (Qs.30 : 30)

" Langit bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah dan tak ada suatupun
melainkan bertasbih memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun" (Qs.17 : 44)
Pada hakikatnya fitrah manusia itu tidak terisi oleh ilmu, kebudayaan dan filsafat, akan tetapi
bermuatan iman kepada Allah. Fitrah manusia akan merasa kosong (hampa), lapar dan haus
hingga ia 'menemukan' -sebagai sifat asholah (aslinya)-nya Allah sebagai Rabbnya, yang dengan
ini manusia menjadi tenang karena hidayah Allah. Lalu bagaimana ia akan menemukan jati
dirinya, jika ia belum mengenal fitrahnya? Bagaimana mungkin mengenal fitrahnya jika ia
terbungkus oleh kepalsuan dan thagha (kesombongan)? Atau sibuk mengikuti hawa nafsunya,
kecenderungan pada pengkultusan, tenggelam dalam kelezatan-kelezatan rasa, terbuai oleh thulul
amal (keindahan angan-angan kosong), larut dalam tuntutan-tuntutan jasadiah (fisik) dan tanah?

(c) Keselamatan jiwa dari perpecahan dan konflik bathin


Bahwa adanya split personality dan keterpecahan jiwasehingga hidupnya tidak tenang dan
tentram merupakan akibat dari manusia yang hatinya terbelah dan terbagi diantara berbagai
tujuan dan arah. Islam dengan tegas hanya membatasi tujuan manusia berkisar pada satu tujuan
yakni ridlo Allah serta mengkonsentrasikannya pada satu obsesi yakni beramal sesuai dengan
ridlo Allah. Ketentraman jiwa manusia segera akan terbentuk dengan adanya tujuan dan orientasi
tersebut. Dengan demikian maka manusia dapat dengan mudah dari mana harus memulai,
kemana dan bersama siapa.
" Bagaimanakah kamu menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan
rasul-Nya pun berada di tengah¬-tengah kamu? Barang siapa yang berpegang teguh kepada
(agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus" (Qs.3 :
101)

(d) Terbebas dari penghambaan terhadap egoisme ananiyah dan hawa nafsu
Sifat rabbaniyah yang telah mengakar mantap dalam jiwa yang terdalam akan membebaskan
manusia dari egoisme ananiyah, nafsu syahwat, kenikmatan fisik dan dari ketertundukkan pada
duniawi. Manusia yang Rabbani keimanannya pada Allah dan tujuan akhirnya akan
memposisikan manusia, yang akan dapat mempertimbangkan antara kesukaan pribadi dan
agama, antara dorongan syahwat dan perintah Rabbnya.
“ Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri
mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui" (Qs.3 : 135)

(2) Rabbaniyah mashdar dan manhaj (sumber acuan dan konsep). Maksudnya bahwa manhaj
yang digambarkan Islam guna mencapai tujuan dan sasarannya merupakan manhaj Rabbani yang
murni, semua sumbernya adalah wahyu Allah. Islam sebagai manhaj bukanlah hasil dari
pemikiran manusia, sebagaimana yang dituduhkan para orientalis dengan istilah
Muhammadanism. Islam datang dari Allah yang menginginkannya untuk menjadi petunjuk dan
cahaya, keterangan dan kabar gembira, obat dan rahmat, untuk mewujudkan cita dan keinginan
manusia.
"Hai manusia sungguh telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad
dengan mu'jizatnya) dan telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang al-
Qur'an" (Qs.4 : 174)

" Hai manusia sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman" (Qs.10 : 57)

Konsekuensi logis dari Islam -yang Allah ciptakan ini- menjadi keharusan untuk dijadikan
rujukkan dalam kehidupan manusia. Implikasi dari adanya sifat Rabbaniyah (transendentalitas)
yakni keterjagaannya manusia dari hal-hal yang akan merusak dan merugikannya, pada saat yang
sama akan membimbing (taujih) dan mengarahkan (irsyad) manusia pada tujuan hidupnya.
Hilangnya aspek Rabbaniyah dalam sejarah telah dibuktikan oleh peradaban Barat yang
akibatnya destruktif (mafsadat) terhadap manusia itu sendiri.
Waqi'iyatul-ummat (kenyataan ummat) menunjukkan bahwa heterogenitas dan kompleksitas
manusia secara individual dan kelompok muncul akibat perbedaan terbesar dan paling
menyolokdalam menentukan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Karenannya untuk
menentukan tujuan dan sasaran tersebut diperlukan manhaj dan mashdar yang jelas, dan hanya
syari'ah Islamlah yang memilikinya. Manhaj selain Islam yang kita lihat di dunia sekarang ini
sangat kental dengan rekayasa manusianya, padahal manusia banyak kelemahannya. Sejalan
dengan hal tersebut di atas ada tiga keistimewaaan syari'ah Islam jika dibandingkan dengan
lainnya : (1) madzab buatan manusia, sedang syari'ah Islam dibuat oleh Allah,m (2) tidak
diketahui akar keillahiyahannya, sedang syari'ah Islam diketahui, dan (3) terdapat penyimpangan
atas ajarannya, sedang dalam Iskan tidak ada.

Kedua, ciri moralitas syari'ah Islam.


Sesungguhnya telah jelas dan tegas bahwa keistimewaan syari'ah Islam juga dalam membentuk
akhlak dan moral dalam keseluruhan aspeknya. Inilah yang membedakan syari'ah Islam dengan
qanun lainnya. Jika qanun wadh'iy merupakan serangkaian dari hak-hak pribadi dan golongan
dalam kandungan maupun tujuannya, maka syari'ah Islam merupakan sekumpulan taklif (tugas)
dan kalamullah yang berkaitan dengan pekerjaan si mukallaf, yakni tugas dan kewajiban yang
harus ditaati. Tugas dan kewajiban ini hakikatnya adalah hak-hak orang lain yang harus
dipenuhi, sehingga harus ditunaikan.
Pada saat yang sama sebenarnya dalam pandangan qanun wadh'iy itu penuntut, dalam syara'
justru dituntut dan dimintai tanggungjawabnya (mas'uliyah). Tujuan qanun adalah untuk
melanggengkan masyarakat, teraturnya mu'amalah dan tata hubungan sesama, serta perkara-
perkara di dalamnya terutama yang bersifat materi. Sedang dalam syari'ah Islam melengkapinya
dengan merealisasikan nilai-nilai moral dan ruhani mengangkat harkat dan martabat manusia,
dan mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Putusan qanun berdasarkan lahir dan fisik,
sedang putusan syari'ah Islam berdasarkan aspek bathiniyah dan hakikatnya.
Hakikat moral dalam syari'ah Islam adalah moralitas Rabbaniyah, artinya meletakkan wahyu
Illahi sebagai prinsip dan menetapkan dasar-dasarnya yang menjelaskan rambu-rambu
kepribadian Islami. Kepribadian yang dapat dibedakan secara lahir dan batin dengan orang-orang
yang tidak mempunyai kepribadian yang Islami. Moralitas Rabbaniyah ini juga mengandung
moral trans-speace and time (syumuliyyah) artinya ia dapat diterapkan dan diterima oleh
siapapun, kapan dan dimanapun. Ia merupakan hukum yang istimewa yang unik, berdasarkan
wahyu Illahi, kalimat-kalimatnya yang terjaga dari kesalahan, yang suci dari kedlaliman.
Prinsip orientasi syari'ah Islam tidak hanya semata-mata manfaat materiil dan duniawi yang
menjadi poros syari'ah dan sumbu bagi perintah dan larangan, tetapi justru yang lebih penting
adalah bersihnya jiwa dan sucinya diri, sikap tawazun antara dunia dan akhirat. Sehingga tidak
salah kalau dalam al-Qur'an ada ayat yang memerintahkan zakat untuk mensucikan dan
membersihkan diri (9 : 103).
Jadi syari'ah Islam -dengan undang-undang akhlaknya- berfungsi memelihara, meneguhkan dan
memberi sanksi kepada sipelanggar dan memberi balasan pahala bagi yang mentaatinya, lebih
dari itu konsekuensi keberakhlaqkan ini akan membawa manusia pada tata kehidupan yang
sesuai dengan keinginan fitrah manusia dan Rabbnya. Syari'ah Islam sebagai sekumpulan
undang-undang dan moralitas merupakan mizan (peraturan) yang mencakup perilaku manusia
yang bermuara pada kekuatan iradah Allah yang membedakan dengan tegas dan jelas antara
yang haq dan yang bathil yang mafsadat dan manfa'at, serta mengintegrasikan dengan kokoh
dunia dan akhirat.
Akhlaqiyah syari'ah Islam senantiasa berorientasi pada pembentukan moral dengan memelihara
nilai-nilai luhur tanpa menafikkan keterkaitan dirinya dengan masyarakat dan lingkungannya.
Bahkan lebih dari itu akhlaqiyah syari'ah Islam ditujukan untuk segenap penghuni alam semesta
ini. Lantaran inti sebenarnya ajaran Islam adalah mengadakan bimbingan bagi kehidupan mental
dan jiwa manusia, sebab dalam bidang inilah terletak hakekat manusia. Sikap mental dan
kehidupan jiwa itulah yang menentukan bentuk kehidupan lahir.
Merujuk pada praktek Rasulullah, pendidikan akhlaqul karimah adalah faktor penting dalam
pembinaan suatu umat. Suatu pembangunan tidaklah semata-mata dengan faktor kredit atau
investasi materiil. Betapapun melimpahnya kredit dan investasi kalau pelaksananya tidak
memiliki akhlaq, niscaya segalanya akan berantakan akibat penyelewengan dan korupsi.
Demikian juga dengan lontaran fitnah, caci maki dsb. Justru akhlaq itulah yang yang
menentukan sikap hidup dan laku-perbuatannya. Intelektual suatu bangsa tidak besar
pengaruhnya dalam suatu pembangunan.
Dalam konteks tarikh telah mencatat betapa kerajaan Romawi yang besar, yang mempunyai
peradaban dan kemjuan yang tinggi di Barat dapat dikalahkan oleh bangsa Indo-Jerman yang
masih setengah biadab. Atau kerajaan Abbasiyah di Timur yang memiliki tammadun yang tinggi,
telah diruntuhkan oleh bangsa Mongol yang tidak mengenal kebudayaan. Seluruh sejarah
bangsa-bangsa mengajarkan kepada kita, bahwa tidak pernah ada suatu bangsa yang jatuh karena
krisis intelektual, tetapi karena krisis akhlaq atau mental.
Karena sesungguhnya akhlaq adalah perbuatan yang suci yang terbit dari lubuk yang paling
dalam, karenanya mempunyai kekuatan yang hebat. Sebagaimana Imam al-Ghazaly
mendefinisikan akhaq, dalam Ihya Ulumudin dengan : "Akhlaq adalah bersifat yang tertanam
dalam jiwa, daripadanya timbul perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pertimbangan
pikiran."
Sejalan dengan misi risalah kenabian Muhammad saw yang diutus untuk menyempurnakan
akhlaq yang mulia. Banyak ayat al-Qur'an yang telah mengisyaratkan hal-hal tersebut. Misalnya
menyayangi binatang: diceritakan dalam sebuah hadist riwayat Bukhari dan lainnya dari Ibnu
Umar "seorang perempuan disiksa lantaran mengurung seekor kucing yang tidak diberi makan
dan minum sampai mati". Sebegitu agungnya akhlaq dalam syari'ah Islam hingga seseorang akan
dibalas dengan siksa jika ia menyiksa seekor binatang. Contoh lainnya adalah bagaimana Islam
memerintahkan menjaga diri dari kemudharatan dan mafsadat: ghadhu al-Bashar, melarang
tabarruj, menegakkan iffah, sifat ihsan dan rasa malu yang merupakan sikap terpuji dan
merupakan pemeliharaan terhadap masyarakat dari dekadensi dan kerusakan moral. Termasuk
juga bagaimana akhlaq berperang: bahwa atas dasar bimbingan moralitas dan akhlaq yang luhur
inilah kemenangan-kemenangan Islam diperoleh. Bahkan seorang filosof dan sejarawan Perancis
Gustav Le Bonc berkomentar bahwa: "Sejarah tidak pernah mengenal seorang pun sang
penakluk yang lebih adil dan lebih welas asih selain bangsa Arab (Islam)."
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi katakanlah pada keduanya terdapat dosa
yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada
manfaatnya……. " (Qs.2 : 219)

" Dan jangan kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk" (Qs.17 : 32)

" Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman hendaklah mereka menahan pandangannya
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat" (Qs.24 : 30)

Ketiga, Waqi'iy (Kontekstual atau Realistis).


Waqi'iy tidak diartikan sebagaimana dalam konteks filsafat Barat yang mengingkari dunia
metafisika (ghaibiyah), yakni segala sesuatu yang dapat dirasa sekaligus materi yang berbentuk.
Ini jelas kontrakdiksi dengan al-Qur'an sebagai center syari'ah Islam itu sendiri. dan bukan pula
dalam arti Waqi'iyyah adalah menerima realitas sesuai apa adanya, tunduk pada kenyataan
dengan segala kekuatan, kekotoran dan keruntuhan di dalamnya tanpa disertai usaha untuk
membersihkan dan memperbaikinya. Namun yang dimaksud Waqi'iyyah adalah mengalami
realitas alam ini sebagai suatu hakikat yang faktual dan memiliki eksistensi yang terlihat. Dengan
pengertian bahwa hakikat di sini menunjukkan Wujud yang jauh lebih abadi dari pada wujud
alam ini, yakni Allah SWT.
Mengakui adanya realitas kehidupan merupakan marhalah yang senantiasa berganti-ganti antara
kebaikan dan keburukan, berhenti dengan sebuah kematian dan kemudian bersiap-siap menjalani
kehidupan yang lebih abadi. Sebenarnya realitas itu bersifat dinamis, bergerak dalam
kompleksitas dan heterogenitasnya sangat tinggi.
"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang lahir dan yang dirahasiakan) dan
Dia yang maha Halus lagi Maha Mengetahui" (Qs.24 : 30)

Waqi'iyyah dalam Islam adalah Waqi'iyyah mitsaliyah (kontekstual namun tidak


mengesampingkan idealisme). Konsep Islam dalam masalah ini dapat terselamatkan dari
berlebih-lebihannya para kaum idealisme tanpa memandang realitas, maupun kaum realisme
oriented. Yang jelas Islam menolak kecenderungan yang ektrim salah satu dari keduanya. Islam
itu mencakup sesuatu yang idealis sekaligus juga realis, yang keduanya dianggit secara bersama-
sama membentuk keutuhan kehidupan yang tawazuniyah. Oleh karena itu Waqi'iyyah menjadi
penting adanya.
Syari'ah Islam dengan tetap bepegang pada asas Rabbaniyah dan Akhlaqiyah tidak menafikkan
untuk menaruh perhatian terhadap realitas yang ada, mendiagnosisnya dan memberi resep atas
penyakit-penyakit yang di deritanya, pada saat yang rasa sekaligus melakukan upaya-upaya
kontekstualisasi ajaran Islam. Tentu ini sangat sejalan dengan ar-Risalah al-Anbiya dan Islam itu
sendiri yang ditujukan untuk manusia dan alam semesta. Ia diturunkan oleh Allah kepada
manusia sesuai dengan kejadian dan bi'ahnya. Artinya di sini bahwa ajaran Islam dalam bentuk
wahyu kemudian berdialog secara intensif dengan realitas kemanusiaan dan kealaman yang ada
pada saat itu.
Sebagaimana kita ketahui syari'ah Islam bersanding dengan realitas kemanusiaan dan kealaman
untuk kemudian diadopsi dan diadaptasikan secara fasih dalam kerangka mencari ridlo Allah.
Dalam pada itu terdapat beberapa sifat dalam Waqi'iyyah asy-Syari'ah al-Islamiyah : (1)
mewadahi sifat dan aspek-aspek insaniyah. Sehingga syari'ah Islam mengandung aturan-aturan
hak kepemilikan, hak dan tanggungjawab mu'amalah, nasehat dan penetapan hukum kriminal.
Secara singkat dalam hal ini syari'ah Islam membawa dua jenis hukuman: yang terbatas dan
ditentukan al-Quran sehingga tidak boleh ditambah atau dikurangi. (2) Ta'zier (mendera atau
memukul) hukuman yang kadarnya diserahkan pada ulil amri.
Bukti-bukti Waqi'iyyah Islam syari'ah Islam dengan segala realitas yang ditangkap dan dijawab
atas realitas dan problematika yang ada. Bahkan sampai-sampai syari'ah Islam mengesahkan
adanya peperangan, misalnya, jika dianggap sebagai salah satu jalan yang harus ditempuh untuk
mempertahankan diri, yang aturan-aturannya dibahas secara luas oleh fiqh Islam.
"Mereka tentara Thalut mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan dalam peperangan itu
Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya perintah dan hikmah, sesudah
meninggalnya Thalut dn mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya . Seandainya Allah
tidak menolak keganasaan sebagian manusia dengan sebagian lainnya, pasti rusaklah bumi ini.
Tetapi Allah mempunyai karunia atas semesta alam." (Qs.2 : 251)

Syari'ah Islam juga memperhatikan ketidakberdayaan manusia di hadapan hal-hal yang


diharamkan. Karenanya syari'ah Islam menutup rapat-rapat hal-hal yang menjerumuskan
manusia dalam dunia yang baik sedikit maupun banyak akan meimbulkan kemudharatan dan
mafsadat bagi manusia. Demikian halnya dalam masalah talak dan poligami misalnya, dengan
memeberikan beberapa syarat dan aturan yang harus dipatuhi. Ini ditempuh dengan asumsi
bahwa dalam realitas masyarakat banyak orang yang tidak harmonis dalam perkawinannya serta
problematika pernik-pernik keluarga yang sulit dicari jalan keluarnya. Talak dan poligami dalam
hal ini lebih diposisikan sebagai solusi dari pada aksi sepihak, itupun masih bersyarat dan diatur
oleh fiqih Islam.
Di sini terlihat dengan jelas bahwa syari'ah Islam di samping responsif-realistis juga tetap
mengindahkan nilai-nilai Rabbaniyah dan asas akhlaqiyah. Artinya syari'ah Islam sangat
memperhatikan dorongan seksual pada diri manusia. Maka syari'ah tidak meninggalkan begitu
saja, tidak memandang remeh dan tidak dianggap sebagai noda. Syari'ah Islam membolehkan
talak -meskipun hal yang halal namun dibenci Allah- ditempuh sebagai jalan terakhir setelah
jalan dan cara lain tidak menyelesaikan masalah. Syari'ah Islam membolehkan poligami sebagai
jalan keluar guna menyelamatkan diri dari terjerumus syahwat dan zina dengan syarat tertentu.
"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari
limpahan karunia-Nya, dan adalah Allah Maha luas KaruniaNya lagi Maha Bijaksana." (Qs.4 :
130)

Persoalannya adalah apa yang mau kita Waqi'iyyah -kan? Tentu seluruh aspek syari'ah Islam,
lebih jelasnya berikut kami bahas secara singkat beberapa hal berkaitan dengan pertanyaan
tersebut.

a. Waqi'iyyah dalam hal aqidah


Islam datang dengan sistem aqidah Waqi'iyyah. Karena aqidah Islamiyah mengungkapkan
serangkaian hakikat yang terbukti dalam alam realitas ini, dan bukan seperangkat khayalan yang
terbesit dalam benak hati dan pikiran. Aqidah Islamiyah menyuguhkan hakikat-hakikat yang
dapat diterima akal dan membawa ketenangan jiwa serta tidak bertentangan dengan fitrah
salimah (bersih).
Aqidah Islamiyah mengajak beriman kepada Allah yang telah memaparkan dirinya dengan ayat-
ayat qauliyah dan kauniyah dalam jiwa manusia dan alam semesta ini. Inilah yang
memungkinkan kita untuk mengembangkan kehidupan ini melalui pengembangn ilmu dan
teknologi, peradaban dan kebudayaan yang tinggi sebagai hasil cerapan manusia terhadap iman
atas kedua ayat tersebut. Jelasnya sistem aqidah Waqi'iyyah akan mendorong manusia pada
kemajuan dan pemenuhan kebutuhannya.
Aqidah Islamiyah mengajak beriman pada kehidupan lain setelah kehidupan dunia ini. Bahwa
setiap orang akan dibalas amalnya yang baik maupun yang buruk. Keimanan terhadap kehidupan
abadi dalam aqidah Islam bahkan akan memberikan kepuasan bagi manusia dalam alam
kekekalan dan memberikan kesesuaian perasaan perihal keabadian di alam baqa. Dalam hal ini
sesungguhnya ingin mengatakan bahwa apa yang diyakini sebagai 'aqidah Islamiyah dalam Islam
tidaklah bertentangan dengan syari'ah Islam dan realitas kemanusiaan, dus sekaligus apa yang
diyakini tersebut dapat dikontekstualisaiskan sesuai dengan perkembangan yang ada.
b. Waqi'iyah dalam ibadah Islamiyah
Islam datang dengan sistem ibaah yang Waqi'iyah. Karena Islam paham betul akan kondisi
spiritualitas manusia yang memerlukan ittshal (melakukan kontak) dengan Allah. Sehingga Islam
pun mewajibkan amal-amal ibadah yang melegakan kehausan ruhani, memberikan kepuasan
fitrah dan mengisi kekosongan jiwa. Akan tetapi Islam juga menjaga kemampuan yang terbatas
yang dimiliki manusia. Sehingga Islam pun tidak membebaninya dengan sesuatu yang justru
akan memberatkan dan menyakitkan.
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesulitan" (Qs.22: 78)

Islam tidak menghendaki seseorang untuk terjebak hanya pada dan semata-mata hanya
mengerjakan ritualistik ibadah saja. Islam memperhatikan dan sangat menjaga realitas manusia
dan kondisi keluarga, sosial, dan ekonomi yang melingkupinya sebagai suatu kebutuhan yang
harus dipenuhi. Isalm paham betul akan tabi'at manusia yang sering bosan terhadap sesuatu hal.
Untuk itulah kemudian Islam memberikan variasi dalam hal ibadah. Ada ibadah badaniah,
ibadah maaliyah, ada ibadah ruhiah dan ada ibadah yang berdimensi keduanya. Islam juga
memperhatikan kondisi-kondisi yang tak terduga, sebagai bukti kelemahan manusia dan
minimnya pengetahuannya. Sehingga dalam syari'ah Islam dikenal ada rukhshoh yang juga
dicintai Allah.
"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu " (Qs.2: 185)

c. Waqi'iyah dalam Akhlaq Islamiyah


Islam juga datang dengan akhlaq waqi'iyah, memperhatikan kemampuan pertengahan yang
memiliki mayoritas manusia. Akhlaq Islam mengakui kelemaham manusia, mengakui dorongan-
dorongan kemanusiaan, kebutuhan-kebutuhannya baik fisik maupun nonfisik. Berkaitan dengan
hal ini Islam tidak mewajibkan seseorang yang hendak memeluk agama ini agar meninggalkan
semua masalah ma'isyah dan kekayaannya. Islam bahkan sangat memperhatikan kebutuhan
individu dan masyarakat terhadap harta, bahkan harta -dalam pandangan Islam juga termasuk-
tiang kehidupan dan memerintahkan untuk menginvestasikan serta menjaganya dengan baik.
"Dia (Allah) mendapatimu sebagai orang yang kekurangan (miskin), kemudian menjauhkanmu
berkecukupan (kaya)." (Qs. 93 : 8)

Islam juga menjunjung keadilan dan tidak membiarkan kedhaliman, meskipun membenarkan
adanya qishash sebagai pembelaan diri atas serangan dari luar.
"hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi
saksi yang adil dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa dan bertaqwalah
kepada Allah sesungguhnya Allah maha mengetahui isi hatimu." (Qs. 5: 8)

"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksa
yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik
bagi orang-orang yang sabar. " (Qs. 16: 126)

Diantara Waqi'iyah Islam dalam akhlaq adalah bahwa akhlaq Islam menetapkan sekaligus
mengakui adanya perbedaan kemampuan nurani operasional antar manusia. Maka dalam hal
kekuatan iman seluruh manusia tidak berada dalam kadar yang sama. Demikian halnya dalam hal
iltizam dengan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sehingga ada derajat
di dalam Islam, yaitu iman dan ihsan. Guna menyempurnakan waqi'iyah Islam dapat ditegaskan
bahwa akhlaq Islam tidak mengharuskan ahli taqwa itu dapat suci dari segala noda, terpelihara
dari segala dosa seperti malaikat.
"Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka
ingat akan Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosanya dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa-dosa itu selain Allah, dan mereka tidak mengulangi perbuatan keji itu sedang mereka
mengetahui." (Qs. 3: 135)

Karena ini juga islam memperhatikan situasi dan kondisi tertentu tanpa meninggalkan moralitas
imperativ yang Allah perintahkan dan dilarang-Nya. Syari'ah Islam mengakui adanya perubahan
yang terjadi pada manusia. Dari sifat ini pula memungkinkannya beradaptasi dan survive dalam
masyarakat yang lebih luas, heterogen, dan kompleks multy-face. Di sinilah keluwesan Islam
sangat terasa. Hal yang menarik dan membedakan dengan syari'ah lainnya adalah keluwesan dan
kelestasian disamping praktis dan mudahnya Syari'ah Islam. Dalam penerapannya Syari'ah Islam
memperhatikan sunnatullah yang berjalan secara perlahan-lahan. Cara seperti ini menjadikan
Islam, di lain pihak, menyisahkan sistem perbudakan. Proses ini tentu ada maksud Illahiayah
yang pada akhirnya juga untuk kepentingan manusia juga.
d. Waqi'iyah dalam Tarbiyah Islamiyah
tarbiyah Islamiyah adalah tarbiyah yang waqi'iyah. Ia berinteraksi secara integratif dengan
manusia sesuai dengan posisinya, sebagai daging, darah, pikiran, perasaan, emosi,
kecenderungan, spiritual, dan unsur-unsur lainnya. Islam mentarbiyah kaum muslimin untuk
mencapai kehidupan yang waqi'iyah yang seimbang. Islam tidak membiarkan kaum muslimin
tenggelam dalam arus kecenderungan insaniyah, apalagi insaniyah yang rendah, hingga tidak ada
yang tersisa sedikitpun untuk Rabbnya. Hal tersebut juga sama nilainya ketika kita hanya
terjebak ghuluw (keterlaluan hanya) dalam ibadah saja, hingga tidak ada sama sekali yang tersisa
bagi jiwanya. Guna mencapai keseimbangan tersebut tarbiyah mempunyai porsi utama dalam
membentuknya.
Kendati dalam Islam tidak mengenal dosa warisan pun demikian pengiriman (wesel) pahala dari
dan untuk orang lain, namun Islam mengakui adanya pengaruh lingkungan (bi'ah) -terutama
keluarga- yang mempunyai potensi untuk mengubah manusia. Bahkan karena keluarga juga
seorang anak akan sangat terpengaruh dalam pembentukan ideologi dan corak berpikirnya.
Karenanya Islam telah berwasiat kepada orang tua untuk senantiasa memberikan taujih dan
tarbiyah bagi anak-anaknya. Ini bisa dimengerti sebab sedari anak-anak inilah yang sangat peka
terhadap penerimaan ta'allum (pelajaran), mudah terpengaruh dan terkondisi. Sebagaimana
firman Allah :
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan." (Qs.66: 6)

Proses tarbiyah ini tentu berlangsung sepanjang hayat, bahkan tarbiayh dalam makna yang
sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari aktivitas sehari-hari kita: sebagaimana hidupnya
Rasulullah merupakan tarbiyah dan sebaik-baik Qudwah-tauladan bagi seluruh manusia. Di
sinilah kita akan menemukan relevansinya tarbiyah waqi'iyah dalam syari'ah Islam: dimana
syari'ah Islam membimbing, mengarahkan, membentuk, dan menjadi pedoman dalam aktivitas
keseharian baik aktivitas lahir maupun bathin.
e. Waqi'iyah dalam Syariah/ Hukum Islamiyah
Demikian pula syari'ah Islam datang dengan waqi'iyah, tidak mengabaikan konteks yang ada
pada setiap perkara yang dihalalkan dan yang diharamkan, yang mutasyabihat maupun yang
muhkamat, yang qath'i maupun yang dzani. Ia tidak melalaikan konteks disetiap aturan dan
perundang-undangan yang diperuntukan bagi individu, keluarga, masyarakat, daulah dan
kemanusiaan, al-'alamiyah (internasional)
Islam tidak mengharamkan sesuatu yang memang betul-betul dibutuhkan oleh manusia dalam
realitas kehidupannya, misalnya lihat Qs. 7: 31-32. Sebagaimana Islam tidak membolehkan
adanya sesuatu yang membahayakannya. Syari'ah Islam juga memperhatikan kecenderungan
fitrah manusia yang suka terhadap permainan dan refreshing. Maka Syari'ah Islam memberikan
keringanan seperti membolehkan permainan dan pacuan kuda dan yang sejenisnya selama tidak
masuk dalam wilayah judi dan menghalangi dzikrullah.
Diantara waqi'iyahnya syari'ah Islam adalah bahwa syari'ah Islam sangat memperhitungkan
keadaan darurat (daruriyyah) yang sewaktu-waktu menimpa dan menekan keberadaan manusia.
Jalan ke luar dari persoalan daruriyyah adalah syari'ah Islam memberikan rukhshoh. Dalam
keadaan daruriyyah itu dapat membolehkan seseorang untuk mengerjakan yang terlarang
sekalipun. Berkaitan dengan hal ini syari'ah Islam juga sangat memahami betul ketidakberdayaan
manusia di hadapan hal-hal yang diharamkan. Karenanya syari'ah Islam menggariskan untuk
menjaga jarak, melakukan proses-proses preventif terhadap wilayah-wilayah yang akan dapat
menjerumuskan seseorang pada kenistaan, dosa, dan mafsadat bagi manusia itu sendiri. Sebagai
contoh bertolak dari pendangan yang kontekstual dalam kehidupan dan kemanusiaan, maka
disyari'ahkan poligami oleh dienul Islam dengan aturan tertentu.
Bukti-bukti waqi'iyahnya syari'ah Islam amatlah banyak, diantaranya kita dapat melihatnya dari
sisi ushul, kaidah dan pola-pola berpikirnya yang asasi. Diantara kaidah dan asas-asas waqi'iyah
syari'ah Islam adalah (1) memudahkan dan menghilangkan kesulitan, (2) memperhatikan tahapan
masa, dan (3) turun dari nilai idealita yang tinggi menuju realita yang rendah dalam situasi
daruriyah.

Keempat, Insaniyah (Manusiawi).


Adalah salah jikaada asumsi bahwa ciri khas Rabbaniyah dan insaniyah dalam syari'ah Islam itu
saling bertentangan. Bagi mereka ada aksiomatikk bahwa penetapan salah satu ciri khas syari'ah
Islam itu berarti menafikan ciri lainnya, seperti dua hal yang bertentangan. Namun
seseungguhnya tidaklah demikian antara kedua ciri tersebut, juga terhadap ciri yang lainnya.
Karakteristik syari'ah Islam merupakan satu kesatuan yang salng mengisi dan menyempurnakan,
memisahkan salah satunya berarti menempatkan syari'ah Islam dalam ketidak sempurnaan.
Akibatnya juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak sempurna dan boleh jadi menjadi
suatu kesalahan.
Lebih dari itu dalam sifat Rabbaniyah manusia dijadikan tujuan dan sasarannya: ini mengandung
arti juga adanya jalinan hubungan baik dengan Allah yang sekaligus ridloNya merupakan tujuan
manusia dan sasaran Islam. Perlu ditegaskan bahwa manusia bukanlah tandingan Allah: karena
keduanya telah jelas, Allah itu khaliq sedang manusia itu makhluq. Dalam fitrah Islam
membuktikan manusia tidak mungkin dapat Rabbaniyah yang seseungguhnya tanpa menjadi
insaniyah: sebagaimana pula tidak akan mampu mencapai insaniyah yang hakiki tanpa melalui
Rabbaniyah tersebut.
Sifat insaniyah ini sejalan dengan sifat Islam yang bermakna ia diturunkan untuk meningkatkan
taraf hidup manusia, membimbing, memelihara sifat-sifat humanistik, menjaganya dari proses-
proses dehumanisasi dan dari sifat-sifat kehewanan. Syari'ah Islam adalah syari'ah insaniyah,
diturunkan untuk kepentingan manusia dari segi dirinya sebagai manusia yang lintas ras, suku,
bangsa, maupun kasta. Berarti pula syariah Islam bersifat insaniyah dan 'alamiyah (mendunia).
" Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur'an) kepada hambaNya agar dia
menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." (Qs.25: 1)

Dua sifat tersebut menjadi ciri khas dan keistimewaan syari'ah Islam yang tidak dimiliki oleh
syari'ah atau nidzam lainnya. Syari'ah Islam menyatukan manusia secara keseluruhann dalam
satu kesatuan yang diikat dlam ikatan-ikatan insaniyah, dan kemestian sifat 'alamiyahnya. Boleh
jadi ada nidzam yang bersifat 'alamiyah tetapi tidak bersifat insaniyah, atau sebaliknya. Bahkan
sifat insaniyah ini menjadi dasar bagi sifat ke'alamiyahan (international) syari'ah Islam. Bersifat
internasional lantaran bersifat insani. Sebagai contohnya tentang "persaudaraan sesama manusia"
dimana Islam membuang jauh-jauh faktor ras, etnis, suku, bangsa kasta dsb.
" Hai manusia sungguh Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempauan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling
bertaqwaSesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Qs.49: 13)

Dalam rangka fungsi-fungsi tersebut semua bentuk ibadah disyari'ahkan bagi manusia untuk
memenuhi kebutuhan ruhaninya. Manusia berproses menuju kemuliaan dan dalam tahap tertentu
sehingga ia pantas dimuliakan, sampai-sampai Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan
di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. " (Qs.17: 70)

Tidak hanya sampai di sini tercukupinya kebutuhan bathin atau ruhani manusia, harus diimbang
dengan tercukupinya kebutuhan badaniyah, material ataupun duniawi: karena dunia adalah
mazra'ah (ladang) bagi akhirat. Jadi tanpa memiliki dunia kita tidak akan sampai ke akhirat.
Syari'ah Islam memotivasinya dengan memerintahkan untuk bertebaran di muka bumi mencari
karunia Allah guna memakmurkan bumi. Dengan demikian syari'ah Islam memperhatikan dan
mewadahi serta memberikan jalan keluar kebutuhan manusia dengan segenap aspek-aspeknya
secara asholah (otentik). Bahkan lebih jauh dalam syari'ah Islam terdapat lima tujuan pokok
(Dharuriyyat al-khamsu) yakni memelihara dien, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kelima, Syumuliyah (Universal).
Inilah aspek karakteristik syari'ah Islam yang membedakan agama Islam dengan agama, ideologi
maupun segala pemikiran kefilsafatan dan madzab yang dikenal manusia dengan segenap
jangkauan dan makna kata "syumul". Ke-syumuliyahan-nya meliputi segala zaman, semua
kehidupan dan eksistensi (al-Wujudiyah lil Insan) manusia. Asy-Syahid Hasan al-Banna pernah
mengatakan bahwa: "….adalah suatu risalah yang panjang terbentang hingga meliputi
(mencakup) semua abad sepanjang zaman, terhampar luas hingga meliputi semua cakrawala
umat, dan begitu mendalam (mendetail) hingga memuat urusan-urusan dunia dan akhirat."
Untuk lebih jelasnya berikut kami bahas secara singkat syumuliyah syari'ah Islam dari dua aspek
yakni pertama, dari sisi fungsinya. Dari sisi fungsinya syari'ah Islam dapat kita lihat dalam
beberapa bagian berikut :

(1) Risalah untuk semua zaman


Ia bukan risalah untuk marhalah (periode) tertentu saja, ia telah -secara subtansial, dalam prinsip-
prinsip akidah dan moralnya- di bawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu hingga nabi dan rasul
terakhir Muhammad saw. dan dari Nabi dan rasul terakhir inilah yang memiliki risalah yang
abadi yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk tetap bertahan hingga akhir dunia ini. Maka tidak
ada rislah lain setelah Islam ini sempurna, dan bahkan menyempurnakan risalah sebelumnya. Ia
juga risalah masa lalu dan masa depan -lantaran akan tetap ada hingga akhir zaman.
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pad tiap-tiap umat (untuk menyerukan),
'sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut." (Qs.16: 36)

(2) Risalah untuk seluruh dunia dan alam semesta


Ia tidak dibatasi oleh generasi tertentu tempat maupun umat, tidak terikat oleh suku bangsa
maupun kelas sosial. Ia sesungguhnya merupakan hidayah dari Rabb manusia untuk seluruh
manusia di muka bumi ini.
"Dan tidakah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam"
(Qs.21: 107)

"Katakanlah hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua" (Qs.7: 158)

Ayat tersebut sekaligus membantah tuduhan para kaum orientalis bahwa Nabi Muhammad itu
pada mulanya tidak menyatakan bahwa dirinya diutus untuk seluruh manusia, namun hal itu dia
ungkapkan ketika bangsa Arab (dalam terminologi mereka untuk menyebut umat Islam)
mengalami kemenangan.

(3) Risalah untuk semua fase kehidupan manusia


Semua fase kehidupan dalam keutuhan manusia juga terkandung dalam risalah syari'ah Islam.
Dalam keutuhan manusia seluruh aspeknya menjadi perhatian Syari'ah Islam: ruhani, jiwa, akal,
badan, dll. sebagaimana tela disebutkan dalam karakter insaniyahnya. Risalah Islam adalah
hidayah Allah yang senantiasa diperuntukan, mengiringi dan membimbing manusia kapan pun,
dimana pun, dan dengan siapa pun, serta berjalan dalam perkembangan hidupnya: dari dalam
janin, melahirkan, bayi, masa kanak-kanak, remaja, muda, dewasa, mati, hingga kehidupan paska
dunia, yakni alam barzah dan alam keabadian. Ini terbukti dalam syari'ah Islam terdapat hukum-
hukum yang berkaitan dengan fase-fase tersebut. Misalnya dalam al qur'an surat at-Talaq ayat 6
dan al-Baqarah ayat 233.
"Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin……. " (Qs.65: 6)

"Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yakni bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan, ………… " (Qs.2: 233)

(4) Risalah untuk semua aspek kehidupan


Bahwa tidak ada satu aspek pun dalam kehidupan ini yang luput dari pandangan syari'ah Islam.
Ini bisa berupa persetujuan, penolakan, dukungan, perubahan, koreksi, penyempurnakan,
bimbingan dan pengarahan. Jelasnya syari'ah Islam tidak membiarkan manusia merana dalam
hidupnya. Maka tidaklah pantas seseorang menjadi muslim manakala ia meninggalkan dunia,
demikian pula tidaklah pantas seseorang menjadi muslim manakala ia meninggalkan akhiratnya.
Semua sikap tersebut diletakkan pada posisinya secara proposional.Islam merupakan aqidah
ideal bagi individu maupun sosial, dengan aqidah ini seseorang akan dapat terhindar dari
parsialitas ideologi-ideologi yang membagi kepribadian menjadi dua bagian, dan dengan susah
payah berusaha untuk memadukannya. Tidak demikian dengan aqidah Islam yang komprhensif
dan integreted. Tidakkah telah kita yakini bahwa:
"Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah" (Qs.30: 31)

"Kepunyaan-Nyalah yang ada di langit dan di bumi dan semua yang ada di antara keduanya dan
semua yang ada di bawah tanah (Qs. 20 : 6)

Kedua, dari sisi isi syari'ah Islam. Jika Islam merupakan serangkaian risalah yang mencakup
semua kehidupan dengan segala aspeknya, semua fase kehidupan manusia, maka kita akan
menemukan isi ajarannya pun tampil dalam bentuk yang sempurna, meliputi seluruh persoalan
kehidupan manusia. Syumuliyah isi syari'ah Islam ini berarti ia bersifat universal,
keuniversalannya ini haruslah diimbangi dengan universalisme dan syumuliyah dalam aspek
komitmen ('iltizam) kaum muslimin. Dari sisi isi (ajaran) syari'ah Islam dapat kita lihat dalam
beberapa bagian berikut:

(1) Bidang Aqidah


Sebagaimana kita ketahui bahwa aqidah Islam merupakan aqidah yang sempurna dari mana saja
kita memandangnya. Beberapa alasan yang dapat kita lihat bahwa ; (a) ia menafsirkan semua
persoalan besar dalam kehidupan ini -dimana persoalan tersebut menyibukkan semua orang
untuk mencari jawabannya, termasuk ahli filosof maupun pemikir lainnya dari dahulu hingga
sekarang- yakni persoalan ketuhanan, kamanusiaan, alam, kenabian dan persoalan tempat
kembali manusia. Kesemuanya ini menjadi sebuah rangkaian yang kukuh, indah dan sistemik
serta teranggit yang tak dapat dipisahkan.
(b) Karena aqidah Islam tidak membagi manusia untuk menghamba kepada dua Tuhan. Kita bisa
bayangkan apa yang terjadi jika benar-benar ada dua tuhan, pastilah dunia ini akan hancur. (c) di
lain pihak aqidah Islam dalam kebenarannya (validitasnya) tidak hanya berdasarkan pada naluri
atau perasaan semata atau pun akal semata: melainkan bersandar pada pemikiran dan perasaan
sekaligus sebagai dua perangkat yang saling melengkapi di antara perangkat manusia dan
kesadarannya. Dan (d) aqidah Islam merupakan aqidah yang tidak menerima pembagian
(dikotomi secara parsial) dan harus diambil secara keseluruhanya tanpa disertai pengingkaran
salah satu dari unsurnya.

(2) Bidang Syari'ah


Demikian halnya dalam bidang Syari'ah akan tampak dalam kemampuannya menyelesaikan
segenap persoalan kehidupan dan memberikan penjelasan serta kejelasan hukum, termasuk
menunjukan manfaat dan kemudharatannya, baik di dunia maupun di akhirat, baik fisik maupun
ruhani, materi maupun immateri, baik individu maupun kolektif-sosial, dst. Kesemuanya ini
mendapatkan perhatian dari syari'ah Islam tanpa menafikan salah satunya.

(3) Bidang Ibadah


Konsekuensi dari aqidah yang syumul adalah Ibadah dalam Islam juga menyangkut seluruh
aspek kehidupan ini. Ia tidak hanya meliputi ibadah yang ritual, tetapi juga setiap gerakan dan
setiap amal perbuatan yang meningkatkan taraf kehidupan dan membahagiaan manusia dengan
segenap kaidah-kaidah syari'ah Islam yang telah dikerjakan.

(4) Bidang Akhlaq


Dalam bidang akhlaq, sesungguhnya ia mencakup kehidupan dengan segala aspeknya dan semua
bidangnya. Sebagaimana dengan apa yang didikotomikan oleh manusia dengan
mengatasnamakan agama, filsafat, tradisi, ataupun masyarakat: maka etika moral dalam Islam
telah menggabungkannya dalam keharmonisan, saling melengkapi bahkan Islam
menambahkannya dengan nilai lebih. Di sini moralitas akhlaq Rabbaniyah yang menjadi
inspirasi dalam pelaksanannya. Karenanya sesungguhnya jika akhlaq ini diterapkan tidak akan
merugikan manusia, baik muslim maupun non-muslim, bahkan bagi semesta alam ini.

Keenam, at-Atanaasuq wa al-Muruunah (Teatur dan Luwes).


Karakteristik syari'ah Islam lainnya adalah tanaasuq, maksudnya semua bagian-bagiannya
masing-masing bekerja secara teratur, kompak dan seimbang dalam rangka mencapai satu hadaf
bersama. Antara yang satu dengan yang lainnya tidak berbenturan atau overlapping tetapi sejalan
dan seirama, teratur dan rapih. Karenanya karakter ini juga disebut takaamul (konprehensif).
Keteraturan ini sangat erat kaitannya dengan muruunah (luwes dan fleksibel), lantaran jika tidak
demikian bisa dipastikan adanya benturan dalam aspek-aspeknya.
Keteraturan dan keserasian adalah fenomena alam dan syari'ah sebagai suatu tawazun: ia akan
kita temui sebagai suatu fenomena yang nampak pada setiap apa-apa yang disyari'atkan Allah
sebagaimana hal itu nampak pad makhluq-Nya.Seperti sebegitu serasinya organ-organ yang ada
dalam alam semesta dan manusia itu sendiri.
"dan satu tanda (kekuasaan Allah) bagi mereka 9ialah0 malam, Kami tarik darinya siang, maka
serta merta mereka ada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan pada orbitnya demikianlah
ketetapan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan bulan Kami tetapkan pada
manzilah-manzilahnya sehingga ia kembali bagaikan mayang yang tua. Tidaklah matahari patut
membentur bulan juga tidaklah malam mendahului siang. semuanya beredar pada porosnya."
(Qs.36 : 37-40)

Kesalahan yang terjadi pada kebanyakan orang di sini adalah memandang hukum (syari'ah)
secara sebagian-sebagian, misalnya hanya dari sifat juz'i-nya saja atau dari sifat kulli-nya saja,
mereka tidak melihat secara keseluruhan. Sehingga mereka berbuat dzalim terhadap syari'ah
yang sempurna ini lantaran tergesa-gesa dalam menilai, atau karena kepentingan tertentu yang
melatarbelakanginya. Kesempurnaan syari'ah Islam dan mudahnya diterapkan -yang di dalamnya
menerapkan prinsip tanaasuq dan muruunah yang diterapkan secara seimbang- membuktikan
kesempurnaan sang Pemiliknya, dan merupakan petunjuk serta rahmat bagi alam semesta.
At-Tanaasuq dan al-Muruunah ini dapat dimengerti dengan memahami faktor-faktor: (1) luasnya
wilayah ijtihad dalam syari'ah Islam, (2) adanya nash-nash syari'ah terhadap hukum yang kully,
(3) mencakupnya nash-nash atas banyak pemahaman yang beragam, dan (4) bahwa dalam
syari'ah Islam juga mencakup pemeliharaan terhadap hal-hal darurat dan kondisi tertentu.

IKHTITAM

Sedemikian lengkap dan sempurnanya Syari'ah Islam menjadikan seorang muslim sangat
memungkinkan untuk dengan mudah ta'abud ila Allah. Pemahaman yang parsial (mufaraqah)
atau hanya cenderung 'memegang' salah satunya saja -sebagaimana yang terjadi dalam aliran-
aliran di kalangan kaum muslimin- hanya akan mereduksi pemahaman kita tentang Islam, yang
pada akhirnya merugikan kita sendiri: dan barangkali inilah faktor utama kegagalan umat Islam
dalam membangun kejayaan Islam di muka bumi ini. Mungkinkah hal tersebut akan terulang?
Jawabannya sangat tergantung dari individu-individu dan jama'ah kaum muslimin, sejauhmana
membangun kembali pemahaman dan mengamalan syari'ah Islam dengan baik dan benar.
Dalam upaya ke arah pembangunan kembali pemahaman dan pengamalan syari'ah Islam secara
benar dan baik, minimal ada tiga prasyarat yang harus dilakukan oleh seorang muslim: pertama,
setidak-tidaknya mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang 'ulumul Qur'an beserta
tafsirnya, lantaran ia menjadi sumber utama dan pertama penegakkan syari'ah Islam. Kedua,
setidak-tidaknya mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang 'Ulumul Hadits dan sirah
Nabawiyah sebagai sumber keduanya. Ketiga, setidak-tidaknya mempunyai pengetahuan dan
pemahaman tentang ilmu Ushul al-Fiqh dan Fiqh itu sendiri. Boleh jadi syari'ah Islam yang
syumuliyah beserta al-Khashoisul-nya tidak akan tertangap secara syumul jika tiga hal ini
diabaikan.
Nampaknya dengan memperhatikan perkembangan dan perubahan zaman yang sangat pesat
dengan segala problematika dan pertarungan kepentingan serta ideologi yang ada di dalamnya,
syari'ah Islam akan menjadi solusi yang terbaik. Namun hal ini jika tidak diimbangi dengan
kekuatan yang ada dalam tubuh umat Islam sendiri, maka akan menjadi sangat lamban cita-cita
syari'ah Islam akan terwujud, bahkan boleh jadi hanya angan-angan. Hal ini lagi-lagi akan
terpulang pada kita (umat Islam) masing-masing. Wallahu 'alam bishawab.

MARAJI'

'Abdul Bani, Muhammad Nu'ad, al-Mu'jam al-Mufarasy al-Fazhil al-qur'an al-Karim: Juz 2,
Kairo: Majma' Lughah Arabiyah, 1401H/ 1981 M

Ghazaly, Imam al-, Ihya Ulumudin, peny. Misbah Zainul Musthafa, (t.t.: Bintang Pelajar) Juz III

Qardhawi,Yusuf, Madkhal Li Diraasat asy-Syari'ah al-Islamiyah, Kairo Mesir: Maktabah


Wahbah, Ramadhan 1416/1991

……………….., Bagaimana Memahami Syari'ah Islam, terj. Nabhani Idris, Jakarta: Islamuna
Press, 1996

………………., Madkhal Li Diraasat Li Ma'rifatil Islam Muqawwimatuhu, Khashaishuhu,


Mashadiruhu, penterj. Setiawan Budi Utomo, Kairo: Maktabah Wahbah

………………, Al-Khashooish al-Ammah Li al-Islam, Beirut: Muasassah Al-Risalah, 1404 /


1983

………………, Awamil al-Sa'ah wa al-Murunah fi al-Syari'ah al-Islamiyah, terj. Tim Pustaka


Firdusi, Jakarta: Pustaka Firdausi, 1996

Razak, Nasruddin, Dienul Islam, Bandung: Al-Ma'arif, 1993

Ridwan, Ustadz Fathi, Falsafat Attasyi' al-Islamy, Silsilah Ma' al-Islam, Kairo: Darul Kitab al-
Arabi, t.t.

Saltut, Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syari'ah, t.t.

Anda mungkin juga menyukai