Anda di halaman 1dari 14

MODEL PEMBELAJARAN KOLABORATIF

Metode pembelajaran kolaboratif merupakan metode pembelajaran yang


menerapkan paradigma baru dalam teori-teori belajar, khususnya pembelajaran
konstruktivisme yang dipelopori oleh Vigotsky (1986). Ia memperkenalkan
gagasan bahwa belajar adalah sebuah pengalaman sosial. Orang-orang berpikir
secara sendiri-sendiri dalam membuat makna pribadi, kemudian mereka menguji
hasil pemikiran mereka dalam dialog dengan yang lain untuk membangun
pengertian yang didiskusikan mereka.
Pembelajaran kolaboratif juga mendasarkan diri pada teori Piaget, yairu
teori konstruktivis (construc- tivist theory) yang memperkenalkan gagasan tentang
pembelajaran aktif (active learning). la percaya bahwa siswa bekerja lebih baik
jika mereka berpikir secara bersama dalam kelompok, merekam pemikiran, dan
menjelaskannya dengan mempresentasikan hasil karya mereka di dalam kelas.
Mereka secara aktif mendorong yang lain untuk berpikir bersama, sehingga
mereka menjadi lebih tertarik dalam belajar. Hal tersebut juga merupakan salah
satu bagian dari edutainment.
Dalam hal ini, ada tiga teori yang mendukung metode belajar kolaboratif
yaitu teori kognitif, teori konstruktivismesosial, dan teori motivasi. Teori kognitif
berkaitan dengan terjadinya pertukaran konsep antaranggota dalam kelompok
pada pembelajaran kolaboratif, sehingga transformasi ilmu pengetahuan akan
terjadi pada setiap anggota dalam kelompok.
Pada teori konstruktivisme sosial, terlihat adanya interaksi sosial
antaranggota yang akan membantu perkembangan individu dan meningkatkan
sikap saling menghormati pendapat semua anggota dalam kelompok. Teori
motivasi teraplikasi dalam struktur pembelajaran kolaboratif, karena pembelajaran
tersebut akan memberikan lingkungan yang kondusif untuk belajar, menambah
keberanian semua anggota untuk memberi pendapat, dan menciptakan situasi
saling memerlukan pada seluruh anggota dalam kelompok.
Dalam pembelajaran kolaboratif, tidak ada perbedaan tugas untuk masing-
masing individu dalam kelompok, melainkan tugas itu adalah milik bersama dan
diselesaikan secara bersama. Dengan demikian, dalam belajar kolaboratif,
penekanannya adalah bagaimana mcnciptakan kerja sama, interaksi, dan saling
berbagi informasi antaranggota kelompok. Pada intinya, yang dimaksud metode
pembelajaran kolaboratif adalah metode pembelajaran di mana para siswa belajar
dalam satu kelompok dan memiliki rasa saling ketergantungan dalam
penyelesaian tugas, bekerja bersama, adanya pembagian pengetahuan, dan
interaksi di antara mereka.
A. Karakteristik Pembelajaran Kolaboratif
Pembelajaran kolaboratif memiliki tiga karakteristik umum, yaitu adanya
perubahan hubungan antara guru dan siswa, adanya pendekatan baru dalam hal
pengajaran oleh guru, dan komposisi pembelajaran kolaboratif. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan uraian berikut.

1. Berbagi Pengetahuan Antara Guru dan Siswa


Pada pola tradisional, metafora dominan yang terjadi adalah guru
merupakan pemberi informasi sehingga pengetahuan mengalir hanya satu arah
guru kepada siswa. Sebaliknya, metafora dalam pembelajaran kolaboratif adalah
adanya usaha saling berbagi pengetahuan sehingga terjadi interaksi dua arah
dalam hal pengetahuan.
Dalam hal ini, guru mempunyai pengetahuan vital tentang materi
pelajaran, keterampilan, dan pengajaran, serta hanya memberikan informasi
tersebut kepada para siswa. Namun, guru yang menggunakan pembelajaran
kolaboratif juga menilai dan mengembangkan pengetahuan, mengembangkan
pengalaman pribadi, bahasa, strategi, dan budaya yang mereka bawa dalam situasi
belajar.
Sebagai contoh, guru memberikan pelajaran tentang dunia tumbuh-
tumbuhan. Sebagian anak dan sebagian guru mungkin mempunyai pengalaman
langsung tentang tanaman tersebut. Jadi, ketika siswa-siswa mempunyai
pengalaman yang relevan dengan materi pelajaran tersebut Guru yang
diberikan kesempatan untuk berbagi pengalaman, maka menggunakan
pembelajaran
seluruh kelas pun akan semakin kaya tentang materi kolaboratif juga menilai
dan mengembangkan
tersebut. Selain itu, ketika mereka melihat bahwa pengetahuan,
mengembangkan
pengalaman dan pengetahuan mereka itu mendapatkan pengalaman pribadi,
bahasa, strategi, dan
penilaian dari guru atau lingkungan kelas, maka mereka budaya yang mereka
akan termotivasi untuk mendengarkan dan mempelajari bawa dalam situasi
belajar.
hal-hal baru selanjutnya, sehingga mereka pun
kemungkinan besar akan menjalin hubungan penting antara gaya pembelajaran
mereka sendiri dengan pembelajaran di sekolah. Fenomena yang sama juga terjadi
ketika pengetahuan orang tua dan anggota masyarakat yang lain dinilai dan
dihargai, serta digunakan dalam sekolah.
Selain itu, pemikiran kompleks tentang masalah-masalah sulit yang terjadi
di lingkungan kita, seperti kemiskinan, kelaparan, tindakan asusila, dan
semacamnya, memunculkan berbagai ide tentang mempertanyakan sebab-sebab,
implikasi, dan mencari solusi yang potensial. Dengan demikian, harus ada banyak
cara untuk merepresentasikan dan memecahkan masalah, serta banyak perspektif
untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.
2. Berbagi Otoritas Antara Guru dan Siswa
Dalam pembelajaran kolaboratif, guru berbagi otoritas dengan siswa
melalui cara yang sangat spesifik. Sedangkan dalam pembelajaran tradisional,
guru adalah segalanya dan sangat eksklusif dalam hal membentuk tujuan,
mendesain tugas pembelajaran dan memperkirakan apa yang akan dipelajari.
Guru yang kolaboratif akan mendorong penggunaan pengetahuan pada
para siswa sendiri dan menjamin bahwa mereka bisa berbagi pengetahuan dan
strategi pembelajaran, menghormati siswa yang lain, dan fokus pada tingkat
pemahaman yang tinggi. Guru kolaboratif mampu membantu mereka
mendengarkan berbagai pendapat yang berbeda, mendukung klaim pengetahuan
yang disertai dengan bukti yang valid, menggunakan pemikiran kritis dan kreatif,
serta berpartisipasi dalam dialog terbuka yang penuh arti.
Anggaplah bahwa para siswa hanya membaca satu bab dan diminta untuk
mempersiapkan suatu materi tentang topik yang diajukan. Ketika guru tradisional
meminta mereka untuk menulis esai dari guru, maka guru kolaboratif meminta
mereka untuk menyatakan pendapat mereka sendiri. Dalam hal ini, terdapat dua
poin penting yang diterapkan guru kolaboratif, yakni siswa mempunyai
kesempatan untuk bertanya dan menginvestigasi berbagai pertanyaan tentang
kepentingan pribadi, serta mempunyai suara dalam proses membuat keputusan.
Dua peluang inilah yang menjadi esensial bagi pembelajaran dan motivasi
mereka.

3. Guru sebagai Mediator


Ketika pengetahuan dan otoritas saling dibagi di antara guru dan para
siswanya, maka peran guru semakin jelas mengarah pada upaya memediasi pem-
belajaran. Mediasi yang berhasil dapat membantu siswa untuk menghubungkan
informasi baru dengan pengalaman mereka dan dengan pembelajaran di wilayah
yang lain. Selain itu, guru juga membantu mereka untuk menunjukkan apa yang
harus dilakukan ketika sedang kebingungan dan membantu supaya belajar dengan
baik.

4. Pengelompokan Siswa yang Heterogen


Karakteristik pembelajaran kolaboratif yang paling penting adalah siswa
tidak dapat dipisahkan menurut kemampuan, prestasi, minat, ataupun karakteristik
semacam itu. Pemisahan secara serius akan memperlemah kolaborasi dan
memiskinkan kelas, karena menghilangkan peluang semua siswa untuk belajar
dari dan dengan siswa yang lain.
Siswa yang mungkin kita sebut sebagai siswa yang gagal di kelas
tradisional, akan belajar pada siswa yang lebih cerdas. Guru yang mulai mengajar
secara kolaboratif sering kali mengekspresikan kesenangannya ketika mengamati
berbagai pandangan yang dipertunjukkan oleh siswa yang dianggap paling lemah.
Jadi, berbagi atau sharing pengetahuan dan otoritas, memediasi
pembelajaran, dan kelompok anak didik yang heterogen menjadi karakteristik
esensial dari pembelajaran kolaboratif. Karakteristik-karakteristik ini
mengharuskan peran baru dari guru dan siswa yang mengarah pada interaksi
berbeda yang ada dalam pembelajaran tradisional ataupun konvensional.

B. Peran Guru dalam Pembelajaran Kolaboratif


Dalam pembelajaran kolaboratif, peran guru sangat penting, namun tidak
dominan. Dalam hal ini peran guru adalah memediasi pembelajaran melalui dialog
dan kolaborasi. Mediasi berarti memfasilitasi, memodelkan, dan melatih anak
didik. Peran guru dalam pembelajaran kolaboratif menekankan pada dua sikap,
yaitu gerak pengajaran dalam pembelajaran kolaboratif dan mempunyai tujuan-
tujuan spesifik dalam konteks kolaboratif.
Adapun beberapa peran guru dalam pembelajaran kolaboratif secara
lengkap disajikan dalam uraian berikut:

1. Guru sebagai Fasilitator


Sebagai fasilitator, guru harus mampu menciptakan lingkungan dan
aktivitas yang kaya untuk menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan
sebelumnya, memberikan peluang adanya kerja kolaboratif dan pemecahan
masalah, serta menawarkan kepada para siswa mengenai beragam tugas pembe-
lajaran yang autentik.
Hal tersebut tentunya membutuhkan kemampuan prasarana fisik.
Misalnya, guru memindahkan meja, agar semua siswa bisa melihat satu sama lain,
sehingga membentuk sebuah pola yang memungkinkan terjadinya diskusi secara
nyata. Guru mungkin juga bisa memindahkan meja mereka dari depan ruangan ke
ruangan yang kurang mecolok.
Pembelajaran kolaboratif sering kali mempunyai proyek ganda (pusat
aktivitas menggunakan berbagai objek setiap harinya) untuk mempresentasikan
informasi numerik dalam cara-cara yang penuh arti dan melakukan berbagai
eksperimen yang mampu memecahkan berbagai masalah nyata. Pembelajaran
kolaboratif juga memungkinkan penggunaan majalah, jurnal, surat kabar, kaset,
dan video yang membantu siswa untuk mengalami dan menggunakan media yang
berbeda dalam mengkomunikasikan berbagai ide.
Fasilitasi dalam pembelajaran kulaboratif juga melibatkan orang, yang
tentu saja tokoh utamanya adalah siswa. Di dalam kelas, siswa diatur dalam
kelompok yang berbeda peran, seperti sebagai pemimpin tim, penyemangat,
pencatat, pembicara, dan lain sebagainya. Selain itu, guru yang kolaboratif akan
melibatkan orang tua dan masyarakat. Cara lainnya adalah guru memfasilitasi
pembelajaran kolaboratif untuk membentuk kelas yang mempunyai struktur sosial
berbeda dan fleksibel, sehingga bisa mempertimbangkan jenis perilaku kelas yang
dianggap sesuai untuk melakukan komunikasi dan kolaborasi di antara para siswa.
Struktur sosial tersebut adalah aruran-aturan dan standar baku perilaku
yang memenuhi beberapa fungsi dalam interaksi kelompok dan mempengaruhi
perilaku kelompok itu sendiri. Aturan-aturan partikular tentunya tergantung pada
konteks kelas. Sehingga, guru sering kali mengembangkannya secara kolaboratif
dengan siswa dan mengulas atau mengubahnya sesuai kebutuhan.
Dengan adanya aturan, akan memberikan kesempatan bagi semua siswa
untuk berpartisipasi, menilai komentar orang lain, dan berargumen terhadap
berbagai ide. Contoh-contoh fungsi kelompok antara lain meminta informasi,
mengklarifikasi, meringkas, mendorong, dan meredakan ketegangan. Untuk
memfasilitasi interaksi kelompok yang berkualitas tinggi, guru mungkin harus
mengajar, sementara siswa harus mempraktikkan, dan aturan berfungsi untuk
mengatur interaksi kelompok.
Terakhir, guru memfasilitasi pembelajaran kolaboratif dengan
menciptakan tugas-tugas pembelajaran yang mendorong adanya perbedaan
pendapat, tetapi tujuannya adalah agar semua siswa mendapat standar prestasi
yang tinggi. Tugas-tugas ini biasanya melibatkan siswa dalam proses pemikiran
tingkat tinggi, seperti pembuatan keputusan dan pemecahan masalah yang
diselesaikan dengan cara terbaik dalam kolaborasi.
Tugas-tugas tersebut membuat siswa mampu membentuk banyak koneksi
dengan objek dunia nyata melalui berbagai peristiwa dan situasi dalam dunia
mereka sendiri, serta menyediakan perspektif maupun pengalaman mereka yang
beragam. Di samping itu, tugas-tugas pembelajaran membantu mengembangkan
rasa percaya diri mereka dan pada saat yang sama memberikan tantangan yang
sesuai.

2. Guru sebagai Model


Secara umum, pemodelan menitikberatkan pada peran guru yang
memandu upaya sharing pemikiran siswa dan mendemonstrasikan atau
menjelaskan sesuatu. Namun, dalam pembelajaran kolaboratif, pemodelan tidak
hanya berbagi pemikiran tentang materi yang dipelajari saja, namun juga proses
komunikasi dan pembelajaran kolaboratifnya. Pemodelan bisa mencakup
pemikiran (berbagi pandangan tentang sesuatu) atau demonstrasi (menunjukkan
pada siswa bagaimana melakukan sesuatu selangkah demi selangkah).
Dalam kaitannya dengan materi, guru mungkin tidak akan memverbalisasi
proses pemikiran yang ia gunakan untuk membuat suatu prediksi tentang sebuah
eksperimen ilmiah, meringkas ide-ide dalam satu bagian, menunjukkan makna
dari kata yang tidak familiar, merepresentasikan dan memecahkan masalah, serta
menyusun informasi yang rumit, dan seterusnya. Namun, yang lebih penting
adalah ia juga harus memikirkan tentang berbagai hal yang tidak pasti dan
meragukan.
Ketika tertarik dengan proses kelompok, guru bisa membagi pemikirannya
tentang beragam peran, aturan, dan hubungan dalam pembelajaran kolaboratif,
misalnya dalam hal kepemimpinan. Seorang guru memodelkan apa yang ia
pikirkan tentang pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana mengatur waktu
kelompok atau bagaimana mencapai konsensus dalam kelompok tersebut. Dengan
cara yang sama, guru menunjukkan kepada siswa bagaimana berpikir melalui
situasi kelompok yang tidak menyenangkan dan memunculkan masalah
komunikasi.
Ketika tertarik dengan
Tantangan utama dalam memediasi pembelajaran proses kelompok, guru
bisa membagi
adalah kapan model tersebut sesuai dengan pemikiran dan pemikirannya tentang
beragam peran, aturan,
berguna saat melakukan demonstrasi. Jika seorang guru dan hubungan dalam
melihat para siswanya mempunyai sedikit pengalaman pembelajaran
kolaboratif, misalnya
dalam prosedur matematis, mungkin akan sangat cocok dalam hal
kepemimpinan.
untuk mendemonstrasikannya sebelum mereka menjalani
sebuah tugas pembelajaran. Dengan demikian, guru
berasumsi bahwa hanya ada satu cara melaksanakan prosedur tersebut.
Selain itu, juga penting untuk membolehkan lanya variasi aplikasi
individu. Di sisi lain, jika guru meyakini bahwa para siswa bisa menjalani
prosedur matematis tersebut, maka guru memilih bertanya kepada mereka
bagaimana cara memecahkan masalah matematis tersebut. Atau, guru
memberikan petunjuk ataupun kisi-kisi kepada mereka untuk menyelesaikan
masalah matematis tersebut.

C. Peran Siswa dalam Pembelajaran Kolaboratif


Peran utama para siswa dalam pembelajaran kolaboratif adalah sebagai
kolaborator dan partisipator aktif. Dengan demikian, sangat penting untuk berpikir
tentang bagaimana peran-peran baru ini mempengaruhi berbagai proses dan
aktivitas perilaku mereka sebelum, selama, dan sesudah pembelajaran. Misalnya,
sebelum pembelajaran, mereka membentuk tujuan dan merencanakan tugas-tugas
pembelajaran. Sedangkan saat pembelajaran, mereka bekerja bersama untuk
menyelesaikan tugas dan mengawasi kemajuan yang mereka raih. Setelah
pembelajaran, mereka menilai prestasi dan merencanakan pembelajaran di masa
depan. Sebagai mediator, guru bertugas membantu mereka dalam memenuhi
peran-peran baru mereka tersebut.
Adapun uraian mengenai beberapa peran siswa dalam pembelajaran
kolaboratif adalah sebagai berikut:
1. Membentuk Tujuan
Siswa dapat mempersiapkan pembelajaran dalam banyak cara. Cara yang
paling penting adalah membentuk tujuan, yakni sebuah proses kritis yang
membantunya memandu banyak hal lain sebelum, selama, dan sesudah aktivitas
pembelajaran. Meskipun guru juga membentuk tujuan bagi para siswanya, siswa
tetap membuat tujuan sendiri-sendiri, sehingga akan muncul banyak pilihan
tujuan. Ketika siswa berkolaborasi, mereka harus membicarakan tentang tujuan-
tujuan mereka.
Misalnya, seorang guru meminta siswa membentuk tujuan tentang tema
sampah. Dalam satu kelompok, seorang siswa ingin menunjukkan jika sampah itu
adalah masalah. Siswa yang lain ingin mengetahui apa yang terjadi pada sampah,
sedangkan siswa ketiga ingin tahu apa yang dilakukan untuk memecahkan
masalah sampah tersebut. Sementara itu, siswa yang keempat tidak bisa
memikirkan satu tujuan, tetapi setuju bahwa pendapat ketiga temannya itu penting
dan menyetujuinya. Para siswa ini kemudian lebih aktif terlibat dalam
pembicaraan mereka tentang tujuan-tujuan tersebut. Dan, pada akhirnya mereka
bisa mengevaluasi dengan baik apakah mereka telah mencapai tujuan tersebut
atau tidak.

2. Mendesain Tugas Pembelajaran dan pengawasan


Ketika guru merencanakan tugas pembelajaran umum, misalnya untuk
menghasilkan sebuah produk dalam rangka mengilustrasikan sebuah konsep,
rangkaian historis, pengalaman pribadi, dan lain sebagainya, maka dalam
pembelajaran kolaboratif, para siswa memikul tanggung jawab yang Iebih besar
dalam perencanaan aktivitas pembelajaran mereka. Idealnya, rencana-rencana ini
sebagian bersumber dari berbagai tujuan yang telah mereka bentuk sendiri. Di
samping itu, perencanaan yang cermat oleh guru menjamin mereka bisa bekerja
bersama untuk mencapai tujuan-tujuan dan membesarkan kemampuan,
pengetahuan, dan strategi mereka sendiri dalam parameter yang dibentuk oleh
guru. Kemungkinan besar, mereka bisa menjalankan tugas-tugas tersebut dengan
lebih fokus dan penuh perhatian terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan,
jika dibandingkan dengan pembelajaran secara tradisional atau konvensional.
Pembelajaran yang berpatokan pada aturan diri, tentu sangat penting
dalam pembelajaran kolaboratif, sehingga para siswa bisa belajar mengambil
tanggung jawab dalam mengawasi, menyesuaikan, mempertanyakan diri, dan
mempertanyakan orang lain. Aktivitas yang berpatokan pada aturan diri seperti
itu, sangat mendesak untuk diberlakukan dalam pembelajaran mereka pada era
sekarang ini. Mereka akan jauh lebih baik belajar dalam kelompok yang saling
berbagi tanggung jawab terhadap pembelajaran daripada belajar secara individu.
Dalam hal ini, pengawasan berarti pemeriksaan terhadap kemajuan para
siswa. Penyesuaian ini merujuk pada perubahan-perubahan yang dilakukan oleh
para siswa berdasarkan pada pengawasan dari aktivitas yang telah mereka lakukan
dalam mencapai tujuan. Misalnya, sekelompok siswa memutuskan bahwa sumber
daya informasi tentang masalah sampah yang mereka seleksi, pada awalnya
tidaklah sama bergunanya dengan yang diharapkan, sehingga mereka kemudian
menyeleksi materi-materi baru. Sementara itu, kelompok yang lain menilai bahwa
kertas yang telah mereka rencanakan untuk ditulis tidak akan menyelesaikan apa
yang mereka pikirkan dan atur sebelumnya, sehingga mereka pun merencanakan
sebuah kertas baru.
Para siswa selanjutnya mengembangkan kemampuan yang berpatokan
pada aturan mereka sendiri, ketika setiap kelompok saling berbagi ide dengan
kelompok lain dan mendapatkan umpan balik dari mereka. Misalnya, siswa SD
tengah berkolaborasi dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan soal
matematika. Dengan bekerja dalam kelompok kecil, mereka menentukan apa yang
dipertanyakan dalam soal cerita dan memikirkan cara-cara untuk menyelesaikan
soal tersebut. Kemudian, setiap kelompok berbagi ide dengan seluruh kelompok.
Para angora kelompok mengomentari ide-ide tersebut. Dalam hal ini, ketika
mereka sedang mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dengan umpan
balik dari kelompok yang lain, maka sesungguhnya mereka telah belajar lebih
banyak hal.

3. Penilaian Diri
Ketika guru menerima tanggung jawab utama dalam menilai prestasi para
siswa di masa lalu, pembelajaran kolaboratif bahkan memandang penilaian yang
jauh lebih luas lagi, yaitu memandu siswa dan tahun-tahun awal sekolah untuk
mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri. Jadi, tanggung jawab baru siswa
adalah penilalan diri sendiri, yakni sebuah kemampuan yang dkembangkan ketika
mereka menilai kerja kelompok.
Penilaian diri sangat berkaitan dengan pengawasan berkelanjutan terhadap
kemajuan seseorang menuju pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam
pembelajaran kolaboratif, penilaian berarti lebih dari sekedar naik kelas. Penilaian
juga berarti mengevaluasi apakah seseorang telah belajar sesuai dengan yang
diinginkan berdasarkan strategi-strategi pembelajaran yang sudah direncarankan
ataukan belum. Selain itu, penilaian juga mengukur kualitas hasil dan berbagai
keputusan tentang refleksi karya terbaik dari seorang siswa dan kegunaan materi-
materi yang digunakan dalam sebuah tugas, yakni apakah pembelajaran yang akan
datang dibutuhkan dan bagaimana pembelajaran itu bisa disadari.
Suatu penilaian mengukur
Pembelajaran kolaboratif adalah tempat alamiah, kualitas hasil dan
berbagai keputusan
dimana para siswa yang ada di dalamnya bisa belajar menilai tentang refleksi karya

diri sendiri. Mereka merasa lebih bebas untuk terbaik dan seorang siswa
dan kegunaan materi-
mengekspresikan keraguan, perasaan kesuksesan, materi yang digunakan
dalam sebuah tugas.
menyelesaikan pertanyaan yang tersisa, dan berbagai
ketidakpastian, dibandingkan ketika mereka hanya dievaluasi
oleh seorang guru. Sebab, berbagai keputusan tentang materi dan prestasi
kelompok itu dibagi bersama. Oleh karena itu, rasa kerja sama (sebagai lawan dari
kompetisi) semakin berkembang dalam kerja kolaboratif yang membuat penilaian
kurang mengancam dibandingkan dalam situasi penilaian yang lebih tradisional.
Idealnya, mereka belajar mengevaluasi pembelajaran diri sendiri berdasarkan
pengalaman mereka dengan evaluasi kelompok.

4. Pentingnya Interaksi dalam Pembelajaran Kolaboratif


Peran dialog dalam pembelajaran kolaboratif sangat ditekankan. Dialog
berarti terjadi komunikasi dua arah, bukannya monolog. Dalam hal ini, guru tidak
hanya ceramah dan siswa mendengarkan, tetapi antara guru dan siswa sama-sama
bisa jadi penceramah dan pendengar dalam kelas kolaboratif. Oleh karena itu,
tujuan utama pembelajaran kolaboratif adalah bagaimana mempertahankan dialog
yang terjadi secara menyenangkan di dalam kelas.
Metode dialogis ini sangat penting, karena dalam dialog tersebut para
siswa mampu menjelaskan, menalar, dan mempertahankan pendapat mereka
sampai pada taraf diketahuinnya pengetahuan yang paling benar. Metode ini akan
lebih ideal jika dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok, sehingga intensitas
dialog dalam memecahkan masalah tertentu bisa lebih sering terjadi di antara
mereka. Dengan begitu, tidak ada siswa yang kehilangan kesempatan ntuk
mengutarakan pendapat ataupun ide-idenya.
Ketika satu orang siswa mempunyai pandangan tentang bagaimana
memecahkan masalah yang sulit, maka yang lain dalam kelompok tersebut akan
belajar bagaimana strategi pemikiran baru secara lebih cepat dibandingkan jika
mereka mengerjakannya sendiri. Jadi, mereka yang terlibat dalam interaksi sering
kali melampaui apa yang mereka bisa selesaikan dengan bekerja secara mandiri.
Guru yang kolaboratif akan mempertahankan jenis pembicaraan tingkat
tinggi dan interaksi yang sama ketika seluruh kelas terlibat dalam diskusi. Guru
sebaiknya menghindari hafalan, terutama saat mengulas, latihan, dan ulangan;
yaitu memberikan pertanyaan yang jawabannya sudah diketahui guru dan hanya
ada satu jawaban yang benar, jawaban guru. Dalam diskusi yang sebenarnya,
siswa berbicara dengan siswa lain dan guru dengan ragam sudut pandang yang
menghibur, serta bergulat dengan berbagai pertanyaan yang tidak mempunyai
jawaban benar atau salah. Terkadang, baik siswa maupun guru, mengubah
pikiran-pikiran mereka tentang sebuah ide. Singkatnya, interaksi dalam diskusi
seluruh kelompok menjadi cermin dari apa yang berlangsung dalam kelompok-
kelompok kecil.
Guru, dalam peran barunya sebagai mediator, mencurahkan lebih banyak
waktu dalam interaksi yang sebenarnya dengan para siswa. Ia memandu siswa
dalam upaya mencari informasi dan membantu mereka untuk saling berbagi
pengetahuan. Seorang guru bergerak dari satu kelompok ke kelompok yang lain,
memodelkan sebuah strategi pembelajaran untuk satu kelompok yang terlibat
diskusi satu sama lain, serta memberikan umpan balik satu sama lain. Dengan
demikian, pengetahuan siswa akan lebih terasa, terserap mendalam dalam benak
dari hati mereka, serta mempunyai keterampilan untuk berbicara dan mempunyai
rasa toleransi akan pendapat yang berbeda. Selain itu, siswa juga mampu
menghargai pendapat orang lain. Hal-hal seperti itulah yang ingin dicari dalam
pembelajaran kolaboratif.

5. Berbagai Tantangan dan Konflik dalam Pembelajaran Kolaboratif


Untuk beralih dari pola tradisional menjadi pola kolaboratif dalam proses
pembelajaran dan pengajaran, tentu membutuhkan sebuah perjuangan yang tidak
ringan. Rasa ego dan paradigma tradisional yang menganggap bahwa guru adalah
pemberi dan siswa adalah penerima, serta berbagai tradisi pengajaran yang masih
melekat dalam diri kebanyakan pengajar kita, tentu menjadi kendala tersendiri
bagi terselenggaranya pendidikan kolaboratif yang mengedepankan adanya kerja
sama dan dialog antara guru dengan siswa. Oleh karena itu, ada beberapa
persoalan penting yang mungkin akan muncul ketika beralih menggunakan
pendekatan kolaboratif dalam dunia pengajaran dan pembelajaran. Persoalan
penting tersebut menyangkut guru, para pemegang kebijakan pendidikan, dan
orang tua. Berikut beberapa tantangan dan konflik dalam pembelajaran
kolaboratif:
a) Masalah Kontrol dalam Kelas
Tantangan pertama yang bisa terjadi pada saat menggunakan pendekatan
kolaboratif terhadap pendidikan siswa adalah berkaitan dengan kontrol dalam
kelas. Dari sini, terdapat fakta bahwa pembelajaran kolaboratif lebih gaduh
dibandingkan pembelajaran tradisional. Hal ini menjadi masalah yang memang
dipersoalkan bagi sejumlah orang. Sebagian guru meyakini bahwa kelas yang
berisik mengidikasikan kurangnya kedisiplinan atau kontrol guru. Dalam situasi
demikian, mereka berargumen bahwa siswa tidak bisa belajar dalam kondisi
seperti itu.
Pada dasarnya, pembelajaran kolaboratif tidaklah kekurangan struktur.
Dalam hal ini, para siswa membutuhkan berbagai peluang untuk bergerak,
berbicara, bertanya, dan sebagainya. Jadi, kegaduhan dalam pembelajaran
kolaboratif yang berlangsung dengan lembut, mengindikasikan bahwa
pembelajaran aktif tengah berlangsung. Namun, mereka harus diajarkan mengenai
beberapa parameter agar bisa membuat pilihan-pilihan. Di samping itu, beragam
aturan dan standar juga harus ditekankan dari permulaan sebelum kolaborasi
tersebut diperkenalkan dan diulas sepanjang tahun pertama.

b) Masalah Waktu Persiapan Pembelajaran Kolaboratif


Guru dan para pemegang kebijakan pendidikan meyakini bahwa rencana
pembelajaran baru harus dibentuk. Pada tingkatan tertentu, mereka memang
benar. Tetapi, banyak guru sudah menciptakan unit-unit dan aktivitas-aktivitas
yang menarik serta mudah diimplementasikan dalam pembelajaran kolaboratif.
Oleh karena itu, mereka bisa mulai secara perlahan dalam membuat perubahan-
perubahan pada satu area pelajaran atau unit dalam sebuah area pelajaran.
Guru juga bisa berbagi rencana dengan yang lain. Bahkan, jika guru
berharap siswa berkolaborasi maka siswa seharusnya mendorong guru untuk
melakukan hal yang sama. Kepala sekolah dan spesialis kurikulum juga bisa
berkolaborasi dengan guru untuk merencanakan segmen-segmen pengajaran yang
efektif. Selain itu, ada sebuah perbandingan antara waktu perencanaan ekstra yang
dibutuhkan dengan manfaat, seperti pelajaran benar salah yang kehabisan waktu,
motivasi siswa yang meningkat, masalah kehadiran yang lebih sedikit, serta
masalah kedisiplinan.

c) Masalah Perbedaan Individu di Antara Para Siswa


Dalam hal ini, masih banyak orang yang ragu pada kenyataan bahwa
perbedaan individu bisa diterima dalam pembelajaran kolaboratif dibandingkan
dalam pembelajaran tradisional dengan kelompok yang homogen. Oleh karena itu,
pertanyaan utama adalah berkaitan dengan keuntungan kolaborasi dalam
menghasilkan siswa yang berbakat dan perprestasi tinggi. Dalam hal ini, ada dua
persoalan yang berat. Pertama, banyak guru tidak percaya bahwa siswa
berprestasi rendah telah banyak berkontribusi bagi situasi pembelajaran, sehingga
mereka tidak punya pengalaman atau pengetahuan sebelumnya tentang nilai.
Kedua, mereka cemas bahwa siswa berprestasi tinggi akan dipertahankan.
Dalam menjawab persoalan kedua, data menunjukkan bahwa siswa
berprestasi tinggi mendapatkan lebih banyak pengetahuannya pada saat
mengalami beragam pengalaman dan dari bertanya jawab dengan teman
sebayanya. Selain itu, siswa yang berprestasi tinggi dalam satu pelajaran mungkin
membutuhkan bantuan pada pelajaran yang lain.
Guru juga heran apakah siswa pemalu bisa benar-benar berpatisipasi
dalam sebuah kelas yang sangat mengedepankan dialog tersebut. Namun, sangat
dimungkinkan bahwa anak seperti ini justru merasa lebih nyaman berbicara
dengan kelompok-kelompok kecil yang berbagi rasa tanggung jawab terhadap
pembelajaran. Oleh karena itu, interaksi di antara pembelajaran bisa terjadi dalam
berbagai cara.
Berkaitan dengan hal ini, banyak sekolah yang terstruktur secara homogen
sehingga guru tisak bisa membentuk kelompok heterogen tanpa mengubah
kebijakan seluruh sekolah. Seluruh kelas yang berisi siswa yang rendah dalam hal
membaca, diajar oleh satu guru, sedangkan yang memiliki tingkat rata-rata, diajar
oleh guru yang lain. Jalur sekolah yang tinggi, bahkan bertindak secara lebih
sistematis. Jelasnya, praktik ini tidak kondusif bagi pembelajaran kolaboratif
danmembutuhkan restrukturisasi sistem yang luas. Guru individual atau kelompok
guru bisa mengawali dialog mengenai masalah ini.
d) Masalah Tanggung Jawab Individu terhadap Pembelajaran
Masalah ini merupakan masalah yang sulit dipecahkan, kecuali jika
perubahan besar-besaran dalam area sekolah yang lain juga dilakukan. Pada
pendidikan tradisional, siswa diberikan nilai atas karya individual, sedangkan
orang tua berharap mengetahui bagaimana anak-anak mereka belajar di sekolah.
Sementara itu, staf sekolah dan departemen pendidikan tergantung pada penilaian
tradisional tersebut. Padahal, dalam pembelajaran kolaboratif, sering kali sulit
untuk memberikan nilai-nilai individual, sehingga sebagian guru memberikan
nilai kelompok. Namun, banyak siswa dan orang tua tidak nyaman dengan sistem
seperti ini.
Idealnya, praktik penilaian seharusnya diubah, sehingga praktik penilaian
tersebut menjadi konsisten dengan kolaborasi dan pandangan pembelajaran baru
yang berdasarkan kurikulum pemikiran. Sementara itu, ada David Johnson dan Roger
Johnson (1989), serta
cara-cara efektif yang telah dikembangkan, sehingga siswa Robert Slavin (1987)
secara individu bisa dievaluasi dalam pembelajaran mempertimbangkan untuk
membuat tanggung jawab
kolaboratif. Misalnya, David Johnson dan Roger Johnson individu dalam tugas
lanjutan pada kerja
(1989), serta Robert Slavin (1987) mempertimbangkan kelompok, kemudian
untuk membuat tanggung jawab individu dalam tugas menentukan nilai kelompok
dan nilai individual
lanjutan pada kerja kelompok, kemudian menentukan nilai sekaligus.

kelompok dan nilai individual sekaligus.

e) Konflik Nilai
Susan Florio Ruane telah meneliti bahwa banyak guru tidak merasa
nyaman pada saat memperbolehkan siswanya memulai dialog, menentukan topik,
atau mengekslorasi perspektif selain perspektif guru. Keengganan ini tentu saja
berkonflik dengan cara pengasuh efektif yang mengajarkan anak mereka di
rumah. Ia dan yang lainnya, seperti Annemarie Palincsar, telah menemukan
bahwa guru sering kali mengalami kesulitan saat membantu siswanya dalam
mengonstruksi makna, khususnya yang berkaitan dengan informasi baru dengan
pengetahuan sebelumnya dan budaya siswa itu sendiri. Sebagian guru masih
percaya bahwa peran mereka hanyalah transfer pengetahuan, sedangkan sebagian
yang lain mempertahankan tanggung jawab bagi pengajaran keterampilan yang
berlainan.
Keengganan guru ketika diminta melakukan perubahan besar-besaran
terhadap cara yang biasa mereka lakukan, jelas menjadi persoalan sangat serius
dalam kaitannya dengan pembelajaran kolaboratif. Guru seperti ini sudah sangat
akrab dengan apa yang telah dilakukannya, sehingga akan sangat sulit untuk
mengubah dan menerima perubahan. Dan, ketika diharuskan untuk
melakukannya, tentu hal ini akan menemui banyak tantangan pada saat
mempraktikkannya.
Masalah tersebut membutuhkan kepemimpinan, dukungan, dan waktu agar
bisa membawa perubahan. Tentu saja hal ini harus terus diusahakan agar dunia
pendidikan bisa mewujudkan apa yang menjadi tujuan besarnya, yaitu mendidik
dan mengembangkan potensi dasar manusia kearah yang lebih baik dan mewujud
secara maksimal.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, pertama-tama yang bisa dilakukan
adalah para pendidik seharusnya menelaah dan mengoreksi kembali berbagai
asumsi mereka tentang pembelajaran, kemudian mempertimbangkan segalah hal
yang berkenaan dengannya dengan mengacu pada kurikulum baru. Hal ini
menjadi sebuah hubungan yang menarik antara definisi pembelajaran seseorang,
pandangan seseorang terhadap mata pelajaran dan ruang lingkup kurikulumnya,
serta dengan praktik-praktik pengajaran.
Menguji asumsi-asumsi seseorang terhadap gaya pengajaran secara jujur
dan blak-blakan dalam sebuah kelompok pendukung, sering kali memacu para
pendidik untuk berubah. Keyakinan yang sudah bersemayam di benak dan hati
mereka harus bergulat menghadapi waktu yang terus bergulir untuk berefleksi
dalam mengubahnya dan berjibaku dengan berbagai implikasi maupun syarat
yang telah diajukan dalam pembelajaran kolaboratif.
Namun, dengan keyakinan akan pentingnya pendidikan kolaboratif dalam
dunia pendidikan, maka pada saatnya nanti, para pendidik dan pelaku pendidikan,
serta pemegang kebijakan pendidikan di negeri ini akan berusaha untuk
menerapkannya secara maksimal. Dan, hal itu tentu harus dimulai dengan
dikeluarkannya berbagai kebijakan yang lebih mengedepankan pola dialogis di
antara berbagai komponen dan stakeholder pendidikan. Tidak boleh hanya ada
saluran komunikasi satu arah atau kebijakan dari atas ke bawah yang bersifat
otoriter, tanpa melihat potensi dan perkembangan keseluruhan komponen yang
ada di bawahnya.
Hal tersebut juga harus dimengerti oleh para pendidik sebagai pelaksana
pendidikan di lapangan yang berhadapan langsung dengan siswa. Pendidik harus
mulai menyadari akan pentingnya pola pembelajaran kolaboratif agar tercipta
sebuah hubungan yang sinergis dan dialogis antara pendidik dengan anak didik.
Dengan demikian, interaksi di antara keduanya akan menjadi sebuah pengalaman
yang berharga bagi anak didik dan menjadi motivator untuk mengikuti
pembelajaran dengan baik dan menyenangkan.
Pembelajaran kolaboratif adalah sebuah keniscayaan dalam pola gerak
zaman yang semakin cepat dan dinamis. Hal ini tentu berkaitan dengan pola
kepribadian dan kematangan kejiwaan anak didik yang semakin dinamis seiring
dengan gerak zaman. Oleh karena itu, sangat penting untuk Pendidik harus mulai
menimplementasikan pendidikan kolaboratif dalam dunia menyadari akan pentinya
pola pembelajaran
pendidikan sekarang ini. Pendidik tidak bisa lagi bersandar kolaboratif agar tercipta
pada pola tradisional yang terbukti tidak mencerdaskan dan sebuah hubungan yang
sinergis dan dialogis
memberdayakan anak didik. Oleh karena itu, pola pikir antara pendidik dengan
anak didik.
pendidik sebagai pihak yang berhadapan langsung dengan
anak didik harus diubah.
Dalam kelas, anak didik dan pendidik mempunyai posisi yang sama, tidak
ada yang di atas dan tidak pula ada yang di bawah. Mereka harus bekerja sama
dalam mendesain pola pengajaran bersama, sehingga pendidik bisa memahami
anak didik dan anak didik pun mampu mengikuti materi pelajaran dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai