3. Penilaian Diri
Ketika guru menerima tanggung jawab utama dalam menilai prestasi para
siswa di masa lalu, pembelajaran kolaboratif bahkan memandang penilaian yang
jauh lebih luas lagi, yaitu memandu siswa dan tahun-tahun awal sekolah untuk
mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri. Jadi, tanggung jawab baru siswa
adalah penilalan diri sendiri, yakni sebuah kemampuan yang dkembangkan ketika
mereka menilai kerja kelompok.
Penilaian diri sangat berkaitan dengan pengawasan berkelanjutan terhadap
kemajuan seseorang menuju pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam
pembelajaran kolaboratif, penilaian berarti lebih dari sekedar naik kelas. Penilaian
juga berarti mengevaluasi apakah seseorang telah belajar sesuai dengan yang
diinginkan berdasarkan strategi-strategi pembelajaran yang sudah direncarankan
ataukan belum. Selain itu, penilaian juga mengukur kualitas hasil dan berbagai
keputusan tentang refleksi karya terbaik dari seorang siswa dan kegunaan materi-
materi yang digunakan dalam sebuah tugas, yakni apakah pembelajaran yang akan
datang dibutuhkan dan bagaimana pembelajaran itu bisa disadari.
Suatu penilaian mengukur
Pembelajaran kolaboratif adalah tempat alamiah, kualitas hasil dan
berbagai keputusan
dimana para siswa yang ada di dalamnya bisa belajar menilai tentang refleksi karya
diri sendiri. Mereka merasa lebih bebas untuk terbaik dan seorang siswa
dan kegunaan materi-
mengekspresikan keraguan, perasaan kesuksesan, materi yang digunakan
dalam sebuah tugas.
menyelesaikan pertanyaan yang tersisa, dan berbagai
ketidakpastian, dibandingkan ketika mereka hanya dievaluasi
oleh seorang guru. Sebab, berbagai keputusan tentang materi dan prestasi
kelompok itu dibagi bersama. Oleh karena itu, rasa kerja sama (sebagai lawan dari
kompetisi) semakin berkembang dalam kerja kolaboratif yang membuat penilaian
kurang mengancam dibandingkan dalam situasi penilaian yang lebih tradisional.
Idealnya, mereka belajar mengevaluasi pembelajaran diri sendiri berdasarkan
pengalaman mereka dengan evaluasi kelompok.
e) Konflik Nilai
Susan Florio Ruane telah meneliti bahwa banyak guru tidak merasa
nyaman pada saat memperbolehkan siswanya memulai dialog, menentukan topik,
atau mengekslorasi perspektif selain perspektif guru. Keengganan ini tentu saja
berkonflik dengan cara pengasuh efektif yang mengajarkan anak mereka di
rumah. Ia dan yang lainnya, seperti Annemarie Palincsar, telah menemukan
bahwa guru sering kali mengalami kesulitan saat membantu siswanya dalam
mengonstruksi makna, khususnya yang berkaitan dengan informasi baru dengan
pengetahuan sebelumnya dan budaya siswa itu sendiri. Sebagian guru masih
percaya bahwa peran mereka hanyalah transfer pengetahuan, sedangkan sebagian
yang lain mempertahankan tanggung jawab bagi pengajaran keterampilan yang
berlainan.
Keengganan guru ketika diminta melakukan perubahan besar-besaran
terhadap cara yang biasa mereka lakukan, jelas menjadi persoalan sangat serius
dalam kaitannya dengan pembelajaran kolaboratif. Guru seperti ini sudah sangat
akrab dengan apa yang telah dilakukannya, sehingga akan sangat sulit untuk
mengubah dan menerima perubahan. Dan, ketika diharuskan untuk
melakukannya, tentu hal ini akan menemui banyak tantangan pada saat
mempraktikkannya.
Masalah tersebut membutuhkan kepemimpinan, dukungan, dan waktu agar
bisa membawa perubahan. Tentu saja hal ini harus terus diusahakan agar dunia
pendidikan bisa mewujudkan apa yang menjadi tujuan besarnya, yaitu mendidik
dan mengembangkan potensi dasar manusia kearah yang lebih baik dan mewujud
secara maksimal.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, pertama-tama yang bisa dilakukan
adalah para pendidik seharusnya menelaah dan mengoreksi kembali berbagai
asumsi mereka tentang pembelajaran, kemudian mempertimbangkan segalah hal
yang berkenaan dengannya dengan mengacu pada kurikulum baru. Hal ini
menjadi sebuah hubungan yang menarik antara definisi pembelajaran seseorang,
pandangan seseorang terhadap mata pelajaran dan ruang lingkup kurikulumnya,
serta dengan praktik-praktik pengajaran.
Menguji asumsi-asumsi seseorang terhadap gaya pengajaran secara jujur
dan blak-blakan dalam sebuah kelompok pendukung, sering kali memacu para
pendidik untuk berubah. Keyakinan yang sudah bersemayam di benak dan hati
mereka harus bergulat menghadapi waktu yang terus bergulir untuk berefleksi
dalam mengubahnya dan berjibaku dengan berbagai implikasi maupun syarat
yang telah diajukan dalam pembelajaran kolaboratif.
Namun, dengan keyakinan akan pentingnya pendidikan kolaboratif dalam
dunia pendidikan, maka pada saatnya nanti, para pendidik dan pelaku pendidikan,
serta pemegang kebijakan pendidikan di negeri ini akan berusaha untuk
menerapkannya secara maksimal. Dan, hal itu tentu harus dimulai dengan
dikeluarkannya berbagai kebijakan yang lebih mengedepankan pola dialogis di
antara berbagai komponen dan stakeholder pendidikan. Tidak boleh hanya ada
saluran komunikasi satu arah atau kebijakan dari atas ke bawah yang bersifat
otoriter, tanpa melihat potensi dan perkembangan keseluruhan komponen yang
ada di bawahnya.
Hal tersebut juga harus dimengerti oleh para pendidik sebagai pelaksana
pendidikan di lapangan yang berhadapan langsung dengan siswa. Pendidik harus
mulai menyadari akan pentingnya pola pembelajaran kolaboratif agar tercipta
sebuah hubungan yang sinergis dan dialogis antara pendidik dengan anak didik.
Dengan demikian, interaksi di antara keduanya akan menjadi sebuah pengalaman
yang berharga bagi anak didik dan menjadi motivator untuk mengikuti
pembelajaran dengan baik dan menyenangkan.
Pembelajaran kolaboratif adalah sebuah keniscayaan dalam pola gerak
zaman yang semakin cepat dan dinamis. Hal ini tentu berkaitan dengan pola
kepribadian dan kematangan kejiwaan anak didik yang semakin dinamis seiring
dengan gerak zaman. Oleh karena itu, sangat penting untuk Pendidik harus mulai
menimplementasikan pendidikan kolaboratif dalam dunia menyadari akan pentinya
pola pembelajaran
pendidikan sekarang ini. Pendidik tidak bisa lagi bersandar kolaboratif agar tercipta
pada pola tradisional yang terbukti tidak mencerdaskan dan sebuah hubungan yang
sinergis dan dialogis
memberdayakan anak didik. Oleh karena itu, pola pikir antara pendidik dengan
anak didik.
pendidik sebagai pihak yang berhadapan langsung dengan
anak didik harus diubah.
Dalam kelas, anak didik dan pendidik mempunyai posisi yang sama, tidak
ada yang di atas dan tidak pula ada yang di bawah. Mereka harus bekerja sama
dalam mendesain pola pengajaran bersama, sehingga pendidik bisa memahami
anak didik dan anak didik pun mampu mengikuti materi pelajaran dengan baik.