Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR ASMA

1. Pengertian

Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik : 1). Obstruksi saluran

napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa klien) baik

secara spontan maupun dengan pengobatan; 2). Inflamasi saluran napas;

3). Peningkatan respon saluran nafas terhadap berbagai rangsangan

(hiperaktivitas) ( Sundaru, dkk, 2010).

Asma adalah gangguan pada bronkus yang ditandai adanya bronkospasme

periodic yang reversibel (kontraksi berkepanjangan saluran napas

bronkus) (Black, 2014). Asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran

napas dengan banyak sel yang berperan, menyebabkan episode mengi

berulang, sesak napas, rasa dada tertekan dan batuk, terutama pada malam

hari atau dini hari. (GINA, 2009).

Welsh, D.A, Thomas, D.A dalam Setiati, 2015 menyatakan asma adalah

gangguan inflamasi kronis saluran pernafasan dimana banyak sel inflamasi

yang berperan termasuk sel mast, limfosit, neutrofil dan eosinoil. Inflamasi

seluran pernafasan ini meluas tetapi obstruksi saluran pernafasan dapat

reversible baik secara spontan maupun dengan terapi. Asma juga ditandai

13
dengan peningkatan respon saluran pernafasan dengan stimulus fisiologis

dan lingkungan seperti aktifitas fisik, udara dingin dan debu.

Beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian asma adalah

gangguan inflamasi kronis pada saluran pernapasan yang ditandai dengan

respon obstruksi saluran napas, inflamasi dan peningkatan respon terhadap

faktor pencetus asma.

2. Etiologi dan Faktor pencetus Asma

Yang dimaksud faktor penyebab adalah bahan atau keadaan tertentu yang

secara langsung dapat menyebabkan seseorang menderita asma, misalnya

beberapa allergen yang dapat ditemukan dalam udara. Kadang-kadang

faktor ini hanya menjadi landasan untuk memungkinkan timbulnya asma,

misalnya inflamasi tractus respiratorius. Sebaliknya yang dimaksud

dengan faktor pencetus adalah bahan atau keadaan tertentu yang dapat

menimbulkan serangan asma walupun orang tersebut tidak menderita

asma, dengan menyingkirkan faktor pencetus maka serangan asma akan

hilang dengan sendirirnya. Faktor pencetus hanya dapat menjadi faktor

penyebab bila dalam waktu lama tidak diketahui faktor pencetus sehingga

klien berulang-ulang mendapatkan serangan kembali (Danusantoso, 2013).

Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui factor pencetus asma

dan dampak yang terjadi. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan

14
oleh Bønnelykke, et all dari Denmark, and London, United Kingdom pada

tahun 2015 yang berjudul “Association between respiratory infections in

early life and later asthma is independent of virus type”. Penelitian ini

bertujuan untuk mempelajari hubungan antara infeksi awal yang terjadi

dengan perkembangan asma. hasil yang didapatkan bahwa ada hubungan

antara infeksi pernapasan dengan kejadian asma akan tetapi dengan

perkembangan usia dan pengobatan yang baik maka kelanjutan asma dapat

dicegah.

Banyak pendapat pakar tentang faktor pencetus asma. Menurut Braman,

SS (2003) dalam Maranatha (2010), faktor resiko terjadinya asma, yaitu :

a. Genetik

Studi genetik telah menemukan multiple chromosomal region yang

berisi gen-gen yang memberikan konstribusi asma. Kadar seru IgE

yang tinggi telah diketahui ada hubungan dengan kromosom 5q,11q

dan 12q. secara klinis ada hubungan kuat antara hipereksponsif saluran

nafas dengan dan peningkatan kadar Ig E dan bukti terbaru

menunjukkan coinheritance dari gen untuk atopi dan airway

hypereactivity (AHR) dijumpai pada kromosom yang sama.

Gen yang menentukan spesifisitas dari respons imun mungkin juga

penting pada pathogenesis asma. Gen-gen yang terletak human

leukocyte antigen (HLA) kompleks dapat menentukan respon terhadap

aeroallergen pada beberapa individu. Gen-gen pada kromosom 11,12

dan 13 dapat secara langsung mengontrol sitokin proinflamasi.

15
b. Gender dan ras

Asma pada anak lebih sering dijumpai pada anak laki-laki tetapi

menjadi berlawanan pada pubertas dan dewasa. Prevalensi secara

keseluruhan wanita lebih banyak dari pria.

c. Faktor lingkungan

Allergen dan occupation faktor adalah penyebab terpenting asma. Dari

beberapa studi epidemiologi telah menunjukkan korelasi antara

paparan allergen dan prevalensi asma dan perbaikan asma bila paparan

allergen menurun.

d. Polusi udara

Polutan di luar dan di dalam rumah mempunyai konstribusi

perburukan gejala asma. Ada 2 polutan outdoor yang penting yaitu :

industrial smog ( sulfured iodide, particulate complex) dan

photochemical smog (ozone dan nitrogen oxides). Teknologi

konstruksi modern telah dicuriga menyebabkan polusi indoor yang

tinggi. Polusi indoor termasuk cooking dan heating fuel axhausts,

insulating production, cat, vernis yang mengandung formaldehid dan

isocyanate.

e. Faktor lain

Sejumlah studi epidemiologi dapat ditemukan asosiasi antara resiko

terjadinya asma dengan atropi. Pertumbuhan didaerah pertanian

menurunkan resiko atropi dan rhinitis alergi pada dewasa

mengesankan bahwa pada faktor lingkungan mempunyai efek protektif

16
pada timbulnya alergi. Dinegara berkembang perpindahan ke kota

dihubungkan dengan perubahan dari bahan bakar biomassal seperti :

kayu, batubara dan animal waste ke gas dan listrik . Penggunaan bahan

bakar modern ada hubungannya dengan peningkatan angka sensitisasi

alergi dan symptom.

Sundaru (2010), ikut membagi faktor pencetus asma yaitu :

a. Infeksi virus saluran napas : influenza

b. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang

c. Pemanjanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi

d. Kegiatan jasman : lari

e. Ekspresi emosional takut, marah, prustasi

f. Obat-obat aspirin, penyekat beta-inflamasi non-steroid

g. Lingkungan kerja: uap zat kimia

h. Polusi udara : asap rokok

i. Pengawet makanan : sulfit

j. Lain-lain, misalnya haid, kehamilan, sinusitis.

Menurut Sherwood (2013), pada asma sumbatan jalan nafas disebabkan

oleh :

a. Menebalnya dinding saluran napas yang ditimbulkan oleh peradangan

dan edema yang dipicu oleh histamine.

b. Tersumbatnya saluran napas oleh sekresi berlebihan mucus kental.

17
c. Hiperresponsibilitas saluran napas, yang ditandai oleh kontriksi hebat

saluran napas kecil akibat spasme otot polos didinding saluran napas.

Pada serangan asma yang berat, penyumbatan dan penyempitan hebat

saluran pernapasan dapat menghentikan aliran udara dan dapat

menyebabkan kematian.

Dahulu istilah asma eksrinsik banyak dipakai untuk menunjukkan bahwa

pada asma jenis ini penyebabnya datang dari luar (biasanya allergen).

Setelah diketahui dengan benar bahwa adanya allergen tidak secara mutlat

menyebabkan asma, istilah ini semakin jarang dipakai. Demikian pula

istilah childhood astha yang tadinya dipakai untuk kasus-kasus asma pada

anak, yang secara implisit mengandung pengertian bahwa penyebabnya

ialah allergen. Selain itu istilah asma intrinsik banyak dipakai untuk

menunjukkan bahwa penyebab asma jenis ini dating dari dalam tubuh

klien sendiri (biasanya stress psikis dan bertumpu pada nervus vagus).

Setelah diketahui dengan benar bahwa inflamasi neurogenik juga ikut

memegang peranan pokok, istilah ini semakin jarang dipakai. Demikian

pula dengan istilah adult-onset asthma yang tadinya dipakai untuk kasus

asma yang ditandai serangan pertama timbul pada usia dewasa, yang

secara implicit mengandung pengertian bahwa penyebabnya ialah stress

fisik (Danusantoso, 2013).

18
Fernando D Martinez dari University of Arizona, USA dalam penelitiannya

yang berjudul “Asthma” menyatakan bahwa Asma adalah kelompok

heterogen dimana menghasilkan kondisi berulang, obstruksi bronkus

reversibel. Walaupun penyakit dapat mulai pada usia berapa pun, gejala

pertama terjadi selama masa kanak-kanak dalam banyak kasus. Asma

memiliki genetik yang kuat dan dapat meningkatkan resiko penyakit.

Asma sering dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi

rhinovirus dan dengan perubahan dalam komposisi komunitas mikroba

menjajah saluran udara, tetapi apakah perubahan ini penyebab atau

konsekuensi dari penyakit ini tidak diketahui. Saat ini tidak ada strategi

pencegahan yang terbukti; Namun, mencegah dari kehidupan awal dapat

membantu pencegahan perkembangan asma. Studi menunjukkan respon

yang rusak dari sel paru, terutama yang berkaitan dengan epitel mukosa,

seperti elemen penting dalam patogenesis asma. kortikosteroid inhalasi

terus menjadi andalan untuk pengobatan asma ringan dan sedang, namun

kepatuhan terbatas pada obat inhalasi sehari-hari adalah kendala utama

untuk keberhasilan terapi tersebut. asma berat yang refrakter terhadap

pengobatan biasanya terus menjadi tantangan.

Selain itu Andreas von Leupoldt dan Bernhard Dahme dari University of

Hamburg, Germany, menyatakan Selain beberapa jalur fisiologis faktor

psikologis juga menunjukkan peranan penting dalam persepsi dyspnea.

Data yang tersedia menunjukkan bahwa persepsi tidak akurat dari dyspnea

19
terkait dengan hasil pengobatan yang lebih buruk pada penyakit paru

obstruktif dan dampak atas oleh emosional, attentional dan belajar proses.

defisit neuropsikologi mungkin lebih lanjut berkontribusi untuk asosiasi

ini. intervensi psikologis dan perilaku yang berbeda mungkin mengurangi

gangguan psikologis komorbiditas dan dengan demikian meningkatkan

persepsi dyspnea.

3. Klasifikasi Asma

Sangat sukar membedakan satu jenis asma dengan asma yang lain. Dahulu

dibedakan asma alergik (ekstrinsik) dan non-alergik (intrinsik). Asma

alergik terutama munculnya pada waktu kanak-kanak. Sedangkan asma

intrinsik bila ditemukan tanda-tanda reaksi hipersensitivitas terhadap

allergen. Namun klasifikasi tersebut pada prakteknya tidak mudah dan

sering klien memiliki kedua sifat alergik dan non-alergik, sehingga Mc

Connel dan Holgate membagi asma dalam 3 kategori, yaitu : asma

ekstrinsik, asma intrinsik dan asma yang berkaitan dengan penyakit paru

obstruktif kronik. Selanjutnya GINA (Global Initiative for Asthma)

mengajukan klasifikasi asma intermiten dan persisten ringan, sedang dan

berat. Baru-baru ini berdasarkan gejala siang, aktivitas, gejala malam

(nokturnal), pemakaian obat pelega dan eksaserbasi, GINA membagi

asma terkontrol, terkontrol sebagian dan tidak terkontrol ( Sundaru, 2010).

20
Tabel 2.1 Level asma kontrol

NO KARAKTERISTIK TERKONTROL TERKONTROL TAK


PARSIAL TERKONTROL
1 Gejala siang ≤ 2 x/minggu >2x/minggu 3 atau lebih
2 Hambatan aktivitas Tidak ada Ada keadaan
3 Gejala malam/bangun Tidak ada Ada terkontrol parsial
waktu tidur (nocturnal) pada tiap-tiap
4 Perlu reliever ≤ 2 x/minggu >2x/minggu minggu
5 Fungsi paru Normal < 80% prediksi atau
(PEFR/FEV1) hasil terbaik (bila
ada)

Sumber : GINA (2009)

GINA (2009) mengatakan keparahan asma diklasifikasikan menjadi:

a. Asma kontrol

Tujuan pengobatan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan asma

terkontrol. Berdasarkan keadaan terkontrol asma dibagi menjadi : terkontrol,

terkontrol parsial dan tidak terkontrol.

b. Keparahan asma (astha severity)

Saat ini keparahan asma diklasifikasi berdasar atas intensitas pengobatan

untuk mencapai asma terkontrol baik.

1) Asma ringan adalah asma yang dapat dikontrol dengan baik dengan

intensitas terapi rendah seperti kortikosteroid inhalasi dosis rendah,

leukotriene modifier atau cromolin.

2) Asma berat adalah asma yang memerlukan terapi intensitas tinggi. Contoh

GINA guideline step 4 untuk mencapai good kontrol atau good kontrol

tidak tercapai walau dengan pengobatan intensitas tinggi.

21
Pada penyakit-penyakit kronik sasaran pengobatan umumnya sudah jelas,

sehingga pengobatan ditujukan pada sasaran tersebut. Hipertensi dikatakan

terkontrol bila tekanan darah ≤140/90 mmHg. Diabetes mellitus terkontrol bila

kadar HbA1c ≤6.5%. namun asma sebagai penyakit multidimensi persepsi

tentang kontrol asma belum ada kesepakatan, sehingga tidak mengherankan

bila sebagian besar asma belum terkontrol (Sundaru, 2010).

Banyak klien yang dapat mengatasi asma secara efektif dengan menggunakan

rencana aksi yang mendetail untuk membantu mengambil keputusan.

Perubahan pada rencana terapi mungkin dibutuhkan tergantung kontrol

keparahan asma dapat berubah sewaktu-waktu. Kunjungan ulang setiap 1-6

bulan disarankan untuk pengawasan terhadap penyakit dan mempertahankan

kontrol. Indikarot dari satu atau lebih gejala dari kontrol yang buruk (misalnya

terbangun malam hari dengan dispneu atau batuk, meningkatnya penggunaan

agonis beta2 inhalasan kerja pendek, seringnya kepelayanan kesehatan akibat

serangan) mengidentifikasikan peningkatan terapi. Sebelum meningkatkan

obat-obatan, pertimbangkan alasan lain dari kontrol yang buruk pada table

dibawah ini :

22
Table 2.2 Penyebab kontrol asma yang buruk

Kemungkinan Penyebab Intervensi


Inhaler technique tehnik penggunaan Periksa tehnik yang klien pergunakan
inhaler
Compliance (kepatuhan) Tanyakan kapan dan berapa banyak
klien minum obat
Environment (lingkungan) Tanyakan apakah ada suatu
perubahan dalam lingkungan klien
Pertimbangan diagnosis alternative Kaji klien untuk menentukan
penyakit saluran pernapasan atas
lainnya atau diagnosis alternative lain

Sumber : Black (2014).

Nugraheni (2014) dengan judul penelitian “validationof behavioral

activation for increasing self-management patients with asthma”.

Behavioral activation merupakan salah satu tehnik pendekatan perlakuan

yang berfokus pada peningkatan perilaku. Tujuan penelitian ini adalah

untuk memvalidasi modul tritmen Behavioral Activation dalam

meningkatkan manajemen diri pada pasien asma di Puskesmas. Subjek

penelitian yaitu individu yang terdiagnosis asma dan memiliki manajemen

diri buruk. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa modul BA valid

dalam meningkatkan manajemen diri pada pasien asma di Puskesmas,

namun peningkatan manajemen diri pasien belum optimal.

4. Patogenesis

Menurut Sundaru (2010), sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma

belum diketahui pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan

23
bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran nafas yang

berlebihan.

a. Asma sebagai penyakit inflamasi.

Terdapat dua jalur baik terjadinya inflamasi pada asma alergik maupun

asma non-alergik. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh

IgE dan jalur saraf otonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan

hipereaktivitas saluran napas (HSN).

b. Hiperaktivitas saluran napas (HSN)

Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran

napas klien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan

seperti iritan (debu), zat kimia (histamine, metakolin) dan fisis (

kegiatan jasmani). Sebagian HSN diduga didapat dari lahir tetapi

sebagian lagi di dapat.

NHLBI (National Heart, Lung and Blood Institute), 2007) mengatakan

bahwa asal mula asma terjadi pada awal kehidupan. Ekspresi asma bersifat

kompleks, proses interaktif yang bergantung pada hubungan saling

mempengaruhi antara dua faktor utama : faktor penjamu (terutama

genetik) dan paparan faktor lingkungan yang terjadi pada saat kritis waktu

perkembangan system imun.

24
Bagan 2.1 : interaksi pejamu dan lingkungan

environment :
age
allergens
genetic factors : polution
. cytokine response infections
profiles microbas
stress

Altered innate and adaptive immune responses


LRI
Lower airway - RSV/PIV
Targeting - Adenovirus
- Chlamydia
- mycoplasma

Persisten weezing and asthma

Sumber : National Heart, Lung and Blood Institute (2007)

5. Patofisiologi

Asma melibatkan proses peradangan kronis yang menyebabkan edema

mukosa, sekresi mucus dan peradangan saluran napas. Ketika orang

dengan asma terpapar oleh elergen ekstrinsik dan iritan (misalnya debu,

serbuk sari, asap, tungau, obat-obatan, makanan, infeksi saluran napas)

saluran napasnya akan meradang yang menyebabkan kesulitan bernapas,

dada terasa sesak dan mengi. Manifestasi klinia awal, disebut reaksi fase

25
cepat (early-phase), berkembang dengan cepat dan bertahan sekitas satu

jam (Black, 2014).

Allergen akan memicu terjadinya bronkhokontriksi akibat dari pelepasan

Ig-E dependent dari mast sel saluran pernapasan dari mediator, termasuk

diantaranya histamine, prostaglandin, leukotrin sehingga akan terjadi

kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini

kemungkinan juga terjadi karena saluran pernapasan pada klien asma

sangat hiperresponsive terhadap bermacam-macam jenis rangsangan.

Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya

pembengkakan dinding saluran napas dengan atau tanpa kontraksi otot

polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskuler berperan

terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi luar otot polos saluran

pernapasan (Setiati, dkk, 2015).

Menurut Sundaru (2010), penyempitan saluran napas dapat terjadi baik

pada saluran napas yang besar, sedang dan kecil. Gejala mengi

menandakan ada penyempitan disaluran napas besar, sedangkan pada

saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan

dibandingkan mengi. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak

saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak

memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan

hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat serta terjadi

26
peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai

dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2

(hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas.

Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan

konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting

yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik. Dengan

demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-

hal sebagai berikut :

a. Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi.

b. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak

setara dengan sirkulasi darah paru.

c. Gangguan difusi gas di tingkat alveoli.

Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan : hipoksemia, hiperkapnia,

asidosis respiratorik pada tahap yang sangat lanjut.

Menurut West JB,(1977) dalam Sugiman (2012), sering didapat

hipoksemia arteri akibat ketidakseimbangan ventilasi perfusi, karena

perfusi terhadap daerah yang ventilasinya berkurang. Hal ini bukan pirau

murni karena ternyata gangguan ventilasi disebabkan oleh tumpukan

mucus. Pada serangan asma dimana terdapat gangguan ventilasi yang berat

mengakibatkan hipoksemia yang berat, klien terkadang sianosis.

27
6. Manifestasi Klinis

Perjalanan penyakit asma dari satu tahap ke tahap berikutnya akan maju

mundur tergantung pada pola hidup dan pengobatannya. Dengan demikian

tidak jarang ditemui klien asma dini yang dalam beberapa bulan saja sudah

menjadi asma yang lanjut. Sebaliknya ada pula klien asma yang sudah

bertahun-tahun menderita batuk dan sesak ringan dengan wheezing tanpa

mengalami perburukan (Danusantoso, 2013).

Sundaru (2010), membagi gambaran klinis asma menjadi :

a. Serangan awal sering gejala tidak jelas seperti berat di dada, dan pada

asma alergik mungkin desertai pilek dan bersin.

b. Pengeluaran sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen.

Sebagian kecil klien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai

mengi di sebut cough variant astha,bila hal ini terjadi maka perlu

dilakukan pemeriksaan spirometri.

c. Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan allergen dengan

gejala asma tidak jelas.

d. Pada asma akibat pekerjaan, gejala biasanya memburuk pada awal

minggu dan membaik menjelang akhir minggu.

Menurut Buss (2013), ada beberapa perubahan yang terjadi pada klien

asma, dan setiap perubahan tersebut memilki cirri khas yang membedakan

perubahan satu dengan yang lainnya. Perubahan tersebut adalah :

28
a. Perubahan konstriksi bronchial

Ditandai dengan dispnea mendadak, mengi, rasa ketat didada,

berkurangnya bunyi pernapasan.

b. Perubahan pada produksi mukus yang berlebih

Ditandai dengan batuk sputum tebal, jernih atau kuning.

c. Hipoksemia

Ditandai dengan nadi cepat, takipnea, penggunaan otot pernapasan

tambahan.

Danusantoso (2011) mengatakan bahwa keluhan asma maupun gejalanya

dapat bervariasi mulai dari yang ringan sekali sampai dengan sangat berat

(status asthamtikus), dengan demikian diagnosis diferensial akan sangat

tergantung pada ringan dan beratnya penyakit pada saat dihadapi. Bila

masih ringan sekali, seringkali asma disangka sebagai penyakit lain, tetapi

bila sudah cukup berat dan keluhan serta gejala sudah semakin banyak dan

jelas, diagnosis biasanya sudah tidak anak meleset lagi.

29
Bagan 2.2 Peta konsep : memahami asma dan penatalaksanaannya
Pajanan allergen dan iritan
Stress
Udara dingin
Latihan
Faktor lain
Steroid
Stabilisatot
Stimulasi IgE
sel mast

Antihistam
in Digranulasi sel mast
Pengubah
leukotrien

Histamin SRS Prostaglan Bradikinin leukotrien


e sel -A din mast mast
mast

Hiperresponsif jalan napas

Sekresi mukus inflammations bronkospasm


mast el mast e sel mast
Bronkodilator
steroid antikolenergik
Beta2-agonis
metilxantina

Batuk Napas
nonprod Dada pendek
uktif sesak

mengi

Aliran
variabilitas
puncak

Ket :

Patofisiologi penatalaksanaan manifestasi klinis

Sumber : Black (2014)

30
7. Penatalaksanaan asma

Purba dalam penelitiannya yang berjudul aktifitas pencegahan

kekambuhan asma oleh pasien asma menyatakan penderita asma masih

dapat hidup produktif jika mereka dapat mengendalikan asmanya dengan

melakukan aktivitas pencegahan asma. Aktivitas pencegahan asma antara

lain: menjaga kesehatan, menjaga kebersihan lingkungan, menghindarkan

faktor pencetus serangan asma dan menggunakan obat-obat antiasma

Pascual dalam Maranatha (2010), menyatakan keberhasilan

penatalaksanaan asma memerlukan pemahaman dua prinsip dasar yaitu:

a. Pada asma ditemukan heterogenesis dalam hal etiologi, penampilan

klinis, keparahan, mortalitas dan respon terhadap pengobatan. Karena

heterogenesis ini tidak mungkin satu pendekatanan penatalaksanaan

dapat digunakan untuk semua klien. Jadi pengobatan harus sesuai

dengan klien secara individu.

b. Keparahan penyakit bisa bervariasi dalam kaitan dengan waktu.

Walaupun penyakit relative stabil dalam waktu lama, kambuh akibat

alergi atau infeksi adalah umum pada asma. Oleh sebab itu klien harus

di minta kontrol regular dan pengobatan dimodifikasi berdasarkan

kebutuhan yang dihadapi.

Tujuan utama penatalaksanaan asma menurut Kemenkes RI (2015) adalah

mencapai asma terkontrol sehingga klien asma dapat hidup normal tanpa

31
penatalaksanaan asma jangka panjang dan penatalaksanaan akut/saat

serangan.

a. Tatalaksana asma jangka panjang

Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat asama

(pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran (senam asma). Obat

pelega diberikan saat serangan, obat pengontrol ditujukan untuk

pencegahan serangan dan diberikan dalam jangka panjang dan terus

menerus.

b. Tata laksana asma akut pada anak dan dewasa

Tujuan tatalaksana serangan asma akut:

1) Mengatasi gejala serangan asma.

2) Mengendalikan fungsi paru ke keadaan sebelum serangan.

3) Mencegah terjadinya kekambuhan.

4) Mencegah kematian karena serangan asma.

Persatuan Dokter Paru Indonesi (PDPI) (2005), menyusun program

penatalaksanaan asma yang meliputi 7 komponen mengatasi asma, yaitu:

a. Edukasi

Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti, menjaga

penderita agar tetap masuk sekolah/ kerja dan mengurangi biaya

pengobatan karena berkurangnya serangan akut terutama bila

membutuhkan kunjungan ke unit gawat darurat/ perawatan rumah sakit.

Edukasi kepada penderita/ keluarga bertujuan untuk:

32
1) Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum

dan pola penyakit asma sendiri)

2) Memeningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan

asma)

3) Meningkatkan kepuasan

4) Meningkatkan rasa percaya diri

5) Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri.

Dengan kata lain, tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu penderita

agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma.

Edukasi harus dilakukan terus menerus, dapat dilakukan secara

perorangan maupun kelompok dengan berbagai metode. Pada prinsipnya

edukasi diberikan pada :

1) Kunjungan awal (1)

2) Kunjungan kemudian (II) yaitu 1-2 minggu kemudian dari kunjungan

pertama

3) Kunjungan berikut (III)

4) Kunjungan-kunjyngan berikutnya

Edukasi sebaiknya diberikan pada waktu khusus di ruang tertentu, dengan

alat peraga yang lengkap seperti gambar pohon bronkus, thoraks dengan

saluran napas dan paru. Bentuk pemberian edukasi :

1) Komunikasi/nasehat saat berobat

2) Ceramah

33
3) Latihan

4) Supervise

5) Diskusi

6) Tukar menukar informasi

7) Film/video presentasi

8) Leaflet, brosur, buku bacaan

9) Dll

b. Menilai dan monitor berat asma secara berkala

Penilaian klinis berkala antara 1 - 6 bulan dan monitoring asma oleh

penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal

tersebut disebabkan berbagai faktor antara lain :

1) Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan

terapi

2) Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan

pada asmanya

3) Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direview,

sehingga membantu penanganan asma terutama asma mandiri.

Setiap penderita sebaiknya diajarkan bagaimana mengenal gejala dan

tanda perburukan asma; serta bagaimana mengatasinya termasuk

menggunakan medikasi sesuai anjuran dokter. Frekuensi kunjungan

bergantung kepada berat penyakit dan kesanggupan penderita dalam

memonitor asmanya. Umumnya tindak lanjut (follow-up) pertama

34
dilakukan < 1 bulan ( 1-2 minggu) setelah kunjungan awal. Pada setiap

kunjungan layak ditanyakan kepada penderita; “apakah keadaan

asmanya membaik atau memburuk dibandingkan kunjungan terakhir”.

Pemeriksaan faal paru

Pemeriksaan faal paru yang umumnya dapat dilakukan pada penderita

usia di atas 5 tahun adalah untuk diagnosis, menilai berat asma, dan

selain itu penting untuk memonitor keadaan asma dan menilai respons

pengobatan. Penilaian yang buruk mengenai berat asma adalah salah

satu penyebab keterlambatan pengobatan yang berakibat meningkatnya

morbiditi dan mortaliti.

Spirometri

Sebaiknya spirometri dilakukan pada :

1) awal penilaian / kunjungan pertama

2) setelah pengobatan awal diberikan, bila gejala dan APE telah stabil

3) pemeriksaan berkala 1 - 2 tahun untuk menilai perubahan fungsi jalan

napas, atau lebih sering bergantung berat penyakit dan respons

pengobatan.

c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan tetapi

sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya. Maka

perlu diketahui apa penyebab/pencetus asma diantaranya allergen yang

35
dihirup, pajanan lingkungan kerja, polutan dan iritan didalam dan diluar

ruangan dan asap rokok.

Hal yang harus diselidiki untuk mengetahui factor pencetus adalah dengan

mendeteksi hal-hal berikut:

1) Allergen yang dihirup

2) Pajanan lingkungan kerja

3) Polutan dan iritan didalam dan diluar ruangan

4) Asap rokok

5) Refluks gastroesofagus

6) Sensitif dengan obat-obatan

d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut

sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal

dalam waktu satu bulan (asma terkontrol, lihat program penatalaksanaan)

Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk

mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat 3

faktor yang perlu dipertimbangkan :

1) Medikasi Asma

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala

obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.

2) Pengontrol (Kontrollers)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol

asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan

36
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering

disebut pencegah.

3) Penanganan Asma Mandiri

Hubungan penderita-dokter yang baik adalah dasar yang kuat untuk

terjadi kepatuhan dan efektif penatalaksanaan asma. Dengan kata lain

dokter penting untuk berkomunikasi dengan penderita/ keluarga,

dengarkan mereka, ajukan pertanyaan terbuka dan jangan

melakukan penilaian sebelumnya, lakukan dialog sederhana dan

berikan nasehat atau komentar sesuai kemampuan/ pendidikan

penderita. Komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia

mendengarkan keluhan atau pernyataan penderita adalah kunci

keberhasilan pengobatan. Rencanakan pengobatan asma jangka

panjang sesuai kondisi penderita, realistik/ memungkinkan bagi

penderita dengan maksud mengontrol asma. Bila memungkinkan,

ajaklah perawat, farmasi, tenaga fisioterapi pernapasan dan lain-

lainnya untuk membantu memberikan edukasi dan menunjang

keberhasilan pengobatan penderita.

e. Menetapkan pengobatan pada serangan akut

Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan

serangan akut. Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan

tepat, selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya

memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita

37
(pulang, observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU,

dan lain-lain) Langkah-langkah tersebut mutlak dilakukan, sayangnya

seringkali yang dicermati hanyalah bagian pengobatan tanpa

memahami kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan serangan

asma.

1) Penatalaksanaan di Rumah

Kemampuan penderita untuk dapat mendeteksi dini perburukan

asmanya adalah penting dalam keberhasilan penanganan serangan

akut. Bila penderita dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan

di rumah, maka ia tidak hanya mencegah keterlambatan

pengobatan tetapi juga meningkatkan kemampuan untuk

mengontrol asmanya sendiri. Idealnya penderita mencatat gejala,

kebutuhan bronkodilator dan faal paru (APE) setiap harinya dalam

kartu harian (pelangi asma), sehingga paham mengenai bagaimana

dan kapan:

a) mengenal perburukan asmanya

b) memodifikasi atau menambah pengobatan

c) menilai berat serangan

d) mendapatkan bantuan medis/ dokter

38
2) Penatalaksanaan di Rumah sakit

Serangan akut berat adalah darurat gawat dan membutuhkan

bantuan medis segera, penanganan harus cepat dan sebaiknya

dilakukan di rumah sakit/ gawat darurat.

Berat serangan dinilai berdasarkan riwayat singkat serangan

termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan

faal paru. Untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat.

Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan

laboratorium menjadikan keterlambatan dalam

pengobatan/tindakan.

f. Kontrol secara teratur

Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting

diperhatikan yaitu :

1) Tindak lanjut (follow-up) teratur

2. Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lanjut bila

diperlukan

Penderita sebaiknya dianjurkan untuk kontrol tidak hanya bila terjadi

serangan akut, tetapi kontrol teratur terjadual, interval berkisar 1- 6

bulan bergantung kepada keadaan asma. Hal tersebut untuk

meyakinkan bahwa asma tetap terkontrol dengan mengupayakan

penurunan terapi seminimal mungkin.

Rujuk kasus ke ahli paru layak dilakukan pada keadaan :

39
1) Tidak respons dengan pengobatan

2) Pada serangan akut yang mengancam jiwa

3) Tanda dan gejala tidak jelas, atau masalah dalam diagnose banding

atau komplikasi atau penyakit penyerta.

4) Dibutuhkan pemeriksaan uji lainnya diluar pemeriksaan standar,

seperti uji kulit, pemeriksaan faal paru lengkap, uji provokasi

bronkus dan sebagainya.

g. Pola hidup sehat

1) Meningkatkan kebugaran fisis

Olahraga menghasilkan kebugaran fisis secara umum, menambah

rasa percaya diri dan meningkatkan ketahanan tubuh. Walaupun

terdapat salah satu bentuk asma yang timbul serangan sesudah

exercise (exercise-induced asthma/ EIA), akan tetapi tidak berarti

penderita EIA dilarang melakukan olahraga. Bila dikhawatirkan

terjadi serangan asma akibat olahraga, maka dianjurkan

menggunakan beta2-agonis sebelum melakukan olahraga.

2) Berhenti atau tidak pernah merokok

Asap rokok merupakan oksidan, menimbulkan inflamasi dan

menyebabkan ketidak seimbangan protease antiprotease.

Penderita asma yang merokok akan mempercepat perburukan

fungsi paru dan mempunyai risiko mendapatkan bronkitis

kronik dan atau emfisema.

40
3) Lingkungan Kerja

Bahan-bahan di tempat kerja dapat merupakan faktor pencetus

serangan asma, terutama pada penderita asma kerja. Penderita

asma dianjurkan untuk bekerja pada lingkungan yang tidak

mengandung bahan-bahan yang dapat mencetuskan serangan

asma. Apabila serangan asma sering terjadi di tempat kerja perlu

dipertimbangkan untuk pindah pekerjaan. Lingkungan kerja

diusahakan bebas dari polusi udara dan asap rokok serta bahan-

bahan iritan lainnya

Penyakit asma merupakan penyakit keturunan. Penyakit asma juga

tidak dapat disembuhkan dan obat-obat yang ada pada saat ini

hanya berfungsi menghilangkan gejala. Namun, dengan

mengontrol penyakit asma, klien bisa bebas dari gejala penyakit

asma yang mengganggu sehingga dapat menjalani aktivitas hidup

sehari-hari. mengingat banyaknya faktor resiko yang berperan,

maka prioritas pengobatan penyakit asma sejauh ini ditujukan

untuk mengontrol gejala. Kontrol yang baik ini diharapkan dapat

mencegah terjadinya eksaserbasi (kumatnya gejala penyakit asma),

meningkatkan fungsi paru, memperoleh aktivitas sosial yang baik

dan meningkatkan kualitas hidup klien.

41
8. Diagnosis

Asma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera

didiagnosis dan diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat

penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Eksaserbasi asma

(serangan asma) merupakan episode peningkatan progresifitas dari napas

yang pendek, batuk, wheezing atau sesak atau kombinasi kombinasi dari

gejala tersebut (GINA, 2011).

9. Pemeriksaan penunjang

Sundaru (2010), membagi pemeriksaan penunjang menjadi :

a. Spirometri

Peningkatan VEP1 sebanyak ≥ 12% atau (≥ 200mL) menunjukkan

diagnose asma. Tetapi respon yang kurang dari ≥ 12% atau (≥ 200mL)

tidak berarti bukan asma. Hal tersebut didapati pada pasien yang sudah

normal atau hamper normal. Pemeriksaan spidometri selain penting

untuk menegakkan diagnosis, juga penting untuk menilai beratnya

obstruksi dan efek pengobatan.

b. Uji provokasi bronkus

Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya

hiperaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus seperti uji

provokasi dengan histamine, metakonin, kegiatan jasmani, udara

dingin, larutan garam hipertonik dan bahkan dengan aqua destilata.

Penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna.

42
c. Pemeriksaan sputum

Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma. Pemeriksaan sputum

juga penting untuk melihat adanya miselium aspergillus fumigates.

d. Pemeriksaan eosinofil total

Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada klien dan

pemeriksaan ini juga dapat dipakai sabagai patokan untuk menentukan

cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan klien asma.

e. Uji kulit

Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibody IgE

spesifik dalam tubuh.

f. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum

Pemeriksaan ini hanya untuk menyokong adanya atropi. Pemeriksaan

IgE spesifik lebih bermakna bila uji kilit tidak dapat dilakukan.

g. Foto dada

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain

obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses

patologis paru atau adanya komplikasi asma.

h. Analisis gas darah

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal

serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg

kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati

normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada asma yang sangat

43
berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia dan

asidosis respiratorik.

10. Pengobatan

Naga (2012), membagi pengobatan asma menjadi :

a. Serangan asma tingkat sedang

1) Obat beta-2 mimetik seperti salbutamol (3x, 2-4 mg/oral).

2) Inhaler (bila diperlukan). Setiap semprot mengandung 0,1 mg.

3) Aminofilin 500-1.200 mg, dikonsumsi setiap hari secara oral. Bila

serangan akut pergunakan aminofilin kira-kira 250mg yang

dilarutkan dalam 50 mg glukosa 20%, yang diberikan secara intra

vena.

b. Serangan asma berat

1) Berikan prednisone 40 mg oral.

2) Pada sebagian klien dosis ini dapat diturunkan dengan segera,

tetapi beberapa klien lain membutuhkan prednisone dengan dosis

pemeliharaan.

c. Asma ekstrinsik

1) Berikan disodiumcromoglycate diantara dua serangan. Obat ini

hanya sebagai bentuk pencegahan.

d. Asma dengan kondisi status asmatikus

1) Infus dengan aminofillin dosis tinggi

2) Hidrokortison 200 mg

44
3) Beri oksigen bila dirasakan dapat meringankan sesak klien. Bila

klien merasa bertambah berat maka jangan diberikan.

B. TEORI KEPERAWATAN

Model Konseptual Keperawatan Sister Callista Roy

Roy memandang manusia sebagai sistem yang holistik, adaptif dan

bersifat transenden yang berinteraksi konstan dengan lingkungan yang

selalu berubah. Konseptual teori berpusat pada kemampuan seseorang

berespon dan beradaptasi secara efektif terhadap stimulus dalam

lingkungan, penggunaan sifat bawaan dan pengalaman yang didapat dalam

mekanisme koping. Sebagai suatu sistem adaptif, seseorang memiliki

hubungan yang saling ketergantungan dengan tuhan dan alam. Manusia

memiliki kekuatan yang besar dan kapasitas untuk berfikir dan merasakan

tentang hal-hal yang terkait didalamnya. Manusia menggunakan kapasitas

dan kekuatan berfikir untuk menginterpretasikan pengalaman dan untuk

beradaptasi dengan lingkungan. Lingkungan dan manusia satu sama lain

saling terlibat dan mempengaruhi. Integrasi antara sesorang dan

lingkungan disebut dengan adaptasi (Alligood, 2014).

45
Bagan 2.3 Model Sistem Adaptasi Manusia berdasar ”Model Adaptasi Roy”

Input Proses kontrol Efektor Out put

 Stimuli ekstern Mekanisme


dan intern  Fungsi fisiologi Respon
koping :  Konsep diri
 Tingkat adaptasi  Adaptif
(focal, residual  Regulator  Fungsi Peran
 Inefektif
konstektual)  Kognator  Interdependen
si

Umpan Balik

Sumber : Alligood, 2014

Model Adaptasi Roy meliputi proses keperawatan, termasuk pengkajian

perilaku klien dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, mengidentifikasi

masalah, menetapkan tujuan, memilih intervensi dan mengevaluasi hasil agar

dapat memberikan perawatan secara komprehensif.

Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan kesatuan

informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan

respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu input, proses dan output.

1. Input

Input atau masukan terdiri dari stimulus dan level adaptasi. Stimulus terdiri

dari :

a. Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan

seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi .

b. Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang

baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat

46
diobservasi, diukur dan secara subyektif dilaporkan. Rangsangan ini

muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respon negatif

pada stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial.

c. Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan

situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi kepercayan,

sikap, sifat individu berkembang sesuai pengalaman yang lalu, hal ini

memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya pengalaman nyeri pada

pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang tidak.

2. Proses

Mekanisme kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme

koping yang di gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan

kognator yang merupakan subsistem.

a. Subsistem regulator

Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter regulator

sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom adalah respon

neural dan brain sistem dan spinal cord yang diteruskan sebagai perilaku

output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai

sebagai perilaku regulator subsistem.

b. Subsistem kognator.

Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal.

Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan

balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol proses berhubungan

47
dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian dan emosi.

Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses internal

dalam memilih atensi, mencatat dan mengingat. Belajar berkorelasi

dengan proses imitasi, reinforcement (penguatan) dan insight (pengertian

yang mendalam). Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan

adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian atau analisa.

Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari keringanan,

mempergunakan penilaian dan kasih sayang.

3. Efektor

Selanjutnya Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai

sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor, yaitu 4 mode

adaptasi meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan

interdependensi.

a. Mode Fungsi Fisiologi

Fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya.

Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus

dipenuhi untuk mempertahankan integritas, yang dibagi menjadi dua

bagian, mode fungsi fisiologis tingkat dasar yang terdiri dari 5

kebutuhan dan fungsi fisiologis dengan proses yang kompleks terdiri

dari 4 bagian yaitu :

1) Oksigenasi : Kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan prosesnya,

yaitu ventilasi, pertukaran gas dan transpor gas.

48
2) Nutrisi : Mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk

mempertahankan fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan

mengganti jaringan yang injuri.

3) Eliminasi : Yaitu ekskresi hasil dari metabolisme dari instestinal

dan ginjal.

4) Aktivitas dan istirahat : Kebutuhan keseimbangan aktivitas fisik

dan istirahat yang digunakan untuk mengoptimalkan fungsi

fisiologis dalam memperbaiki dan memulihkan semua komponen-

komponen tubuh.

5) Proteksi/ perlindungan : Sebagai dasar defens tubuh termasuk

proses imunitas dan struktur integumen ( kulit, rambut dan kuku)

dimana hal ini penting sebagai fungsi proteksi dari infeksi, trauma

dan perubahan suhu.

6) The sense / perasaan : Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa

dan bau memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan

Sensasi nyeri penting dipertimbangkan dalam pengkajian perasaan.

7) Cairan dan elektrolit. : Keseimbangan cairan dan elektrolit di

dalamnya termasuk air, elektrolit, asam basa dalam seluler,

ekstrasel dan fungsi sistemik. Sebaliknya inefektif fungsi sistem

fisiologis dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit.

8) Fungsi syaraf / neurologis : Hubungan-hubungan neurologis

merupakan bagian integral dari regulator koping mekanisme

seseorang. Mereka mempunyai fungsi untuk mengendalikan dan

49
mengkoordinasi pergerakan tubuh, kesadaran dan proses emosi

kognitif yang baik untuk mengatur aktivitas organ-organ tubuh.

9) Fungsi endokrin : Aksi endokrin adalah pengeluaran horman sesuai

dengan fungsi neurologis, untuk menyatukan dan mengkoordinasi

fungsi tubuh. Aktivitas endokrin mempunyai peran yang signifikan

dalam respon stress dan merupakan dari regulator koping

mekanisme (Alligood, 2014).

b. Mode Konsep Diri

Mode konsep diri berhubungan dengan psikososial dengan penekanan

spesifik pada aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari

konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis antara lain

persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut

Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the personal

self.

1). The physical self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya

berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya.

Kesulitan pada area ini sering terlihat pada saat merasa

kehilangan, seperti setelah operasi, amputasi atau hilang

kemampuan seksualitas.

2). The personal self, yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal

diri, moral- etik dan spiritual diri orang tersebut. Perasaan cemas,

50
hilangnya kekuatan atau takut merupakan hal yang berat dalam

area ini.

c. Mode Fungsi Peran

Mode fungsi peran mengenal pola–pola interaksi sosial seseorang

dalam hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran

primer, sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang

dapat memerankan dirinya dimasyarakat sesuai kedudukannya

d. Mode Interdependensi

Mode interdependensi adalah bagian akhir dari mode yang dijabarkan

oleh Roy. Fokusnya adalah interaksi untuk saling memberi dan

menerima cinta/ kasih sayang, perhatian dan saling menghargai.

Interdependensi yaitu keseimbangan antara ketergantungan dan

kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya. Ketergantungan

ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain.

Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk

melakukan tindakan bagi dirinya.Interdependensi dapat dilihat dari

keseimbangan antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan menerima.

4. Output

Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapt di amati, diukur

atau secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun

51
dari luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy

mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon

yang tidak efektif/mal-adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan

integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang

tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan

kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan keunggulan.

Sedangkan respon yang mal adaptif perilaku yang tidak mendukung

tujuan ini. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi

dipengaruhi oleh perkembangan individu itu sendiri, dan penggunaan

mekanisme koping. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal

mengembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang

stimulus agar dapat berespon secara positif.

C. APLIKASI TEORI ROY PADA KLIEN ASMA

Roy menggunakan teori adaptasi, dimana setiap klien dengan penyakit

menahun atau kronis membutuhkan adaptasi terhadap situasi yang

dialaminya, termasuk klien asma. Serangan berulang (eksaserbasi) pada

asma yang disebabkan oleh faktor pencetus sering tidak dapat dihindari

oleh klien, sehingga klien selalu merasa tertekan dan khawatir dengan

keadaan lingkungannya. Untuk melakukan pencegahan terhadap asma

berulang dibutuhkan pengetahuan , kepercayaan, sikap, sifat individu

berkembang sesuai pengalaman yang lalu, sehingga memberi proses

belajar untuk toleransi, pada teori adaptasi Roy hal ini berada dalam

52
stimulus residual. Teori adaptasi Roy menggambarkan interaksi antara

stimulus yang mempengaruhi subsistem koping. Asma memiliki level

kontrol yang terdiri dari asma terkontrol, terkontrol sebagian dan tidak

terkontrol, namun asma sebagai penyakit multidimensi persepsi tentang

kontrol asam belum ada kesepakatan, sehingga tidak mengherankan bila

sebagian besar asma tidak terkontrol. Penatalaksanaan yang tepat dapat

membantu klien asma untuk dapat mencapai level kontrol yang baik. Hal

ini sejalan dengan teori adaptasi Roy dimana masuk dalam proses

penyesuaian diri, individu harus meningkatkan energi agar mampu

melaksanakan tujuan untuk kelangsungan kehidupan, perkembangan,

reproduksi dan keunggulan sehingga proses ini memiliki tujuan untuk

meningkatkan respon adaptif.

53
Bagan 2.4 Kerangka Teori

Faktor penyebab dan pencetus asma


 Allergen
Stimulus
 Exercise (latihan)
Fokal
 Polusi udara
 Faktor kerja (occufational faktors)
 Infeksi pernapasan
 Masalah hidung dan sinus
 Sensitif terhadap obat dan makanan
 Penyakit refluk gastroesophageal
 Faktor psikologis (stress emosional)
 Perubahan cuaca

Sel inflamasi Mediator asma

Inflamasi saluran napas Stimulus


Residual

Asma
Tindakan pencegahan kekambuhan
asma :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma
secara berkala
Penatalaksanaan asma 3. Identifikasi dan mengendalikan
faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan
pengobatan jangka panjang
Stimulus Terkontrol 5. Menetapkan pengobatan pada
konseptual Terkontrol parsial serangan akut
Tidak terkontrol 6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Terapi intensitas
tinggi
Pengalaman klien asma dalam pencegahan
kekambuhan asma

Sumber : GINA (2009); Sundaru (2010); Black (2014); Alligood (2014); PDPI (2005)

54

Anda mungkin juga menyukai