OLEH :
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
2021
SKENARIO
Pasien Ny. SE usia 56 tahun dengan berat badan 70 kg dan tinggi 160 cm dipindahkan
dari UGD kebangsal rawat inap. Pasien merupakan rujukan dari puskesmas dengan keluhan
batuk dan takipnea yang semakin memberat sejak 2 hari yang lalu, udema di kedua tungkai
sejak 1 bulan yang lalu dan mengalami mual muntah. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus
sejak 16 tahun yang lalu, mendapatkan terapi metformin 500 mg 3 kali sehari. Pasien mengaku
minum obat hanya jika badan terasa mulai tidak enak saja. Pasien tidak memiliki riwayat alergi
obat atau makanan. Tekanan darah pasien 180/80 mmHg, RR 32x/menit, hasil EKG didapat
sinus takikardi 120x/menit. Pasien mendapatkan terapi O2 masker 4 lpm dan Ventolin
nebulizer 2 ampul saat di puskesmas. Semua obat oral yang dibawa pasien dihentikan. Diagnosa
: DMND + HT stage II JNC VII + hiperkalemia.
STEP 5
1. Mahasiswa mampu mengkorelasi antara penyakit yang dihadapi pasien dengan factor
resiko dan patofisiologinya.
2. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi dari penyakit DM, dan komplikasinya
3. Mahasiswa mampu menafsirkan hasil pemeriksaan laboratorium klinik pasien
4. Mahasiswa mampu menilai permasalahan terapi yang dihadapi pasien
5. Mahasiswa mampu merumuskan tujuan terapi
6. Mahasiswa mampu memutuskan terapi farmakologi dan non-farmakologi
7. Mahasiswa mampu menyusun algoritma terapi individual berdasarkan permasalahan
yang ada
8. Mahasiswa mampu mengetahui konseling kepada pasien
9. Mahasiswa mampu merencanakan monitoring dan evaluasi kepada pasien
10. Mengetahui goal of treatment dari terapi
JAWAB
1. Patofisiologi DM : Patologi DM dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama
kekurangan insulin (Guyton & Hall, 2006). Pada DM tipe I terdapat ketidakmampuan
untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh
hati. Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap
berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan)
(Brunner & Suddarth, 2012). Menurut Brunner & Suddarth (2012), jika konsentrasi
glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa
yang tersaring keluar; akibatnya, glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika
glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis
osmotik. Kehilangan cairan yang berlebihan menyebabkan pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan peningkatan rasa haus (polidipsia). Defisiensi
insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan
berat badan. Jika terjadi defisiensi insulin, protein yang berlebihan di dalam sirkulasi
darah tidak dapat disimpan dalam jaringan. Semua aspek metabolisme lemak sangat
meningkat bila tidak ada insulin. Normalnya ini terjadi antara waktu makan sewaktu
sekresi insulin minimum, tetapi metabolisme lemak meningkat hebat pada DM sewaktu
sekresi insulin hampir nol (Guyton & Hall, 2006). Peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan oleh sel beta pankreas diperlukan untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah. Pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa
akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian,
jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka
kadar glukosa akan meningkat dan terjadi Diabetes Tipe II (Brunner & Suddarth, 2012).
Faktor resiko DM :
-Obesitas (kegemukan) Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah menjadi 200mg%. 1,2
-Hipertensi Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak
tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada
sirkulasi pembuluh darah perifer.
-Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga
mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya
orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes
Mellitus.
-Dislipedimia Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan
rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
-Umur Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus adalah >
45 tahun. 6. Riwayat persalinan Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau
berat badan bayi > 4000gram
-Faktor Genetik DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental
Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko emperis
dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua
atau saudara kandung mengalami penyakitini.
- Kurang olahraga: Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi
karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yangtidak aktif
cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus
bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus
memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri.
- Pola asupan garam: Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari
100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi
natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan
ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke
luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.Meningkatnya volume
cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga
berdampak kepada timbulnya hipertensi.
- Kebiasaan merokok
Pustaka:
Patofisiologi neurfatic diabetic : Patofisiologi NND Penyebab lesi saraf tepi pada
penderita NND sangat kompleks. Nyeri neuropati diabetik muncul oleh karena adanya
lesi kronik pada saraf tepi. Patogenesis terjadinya NND merupakan kombinasi degenerasi
dan demi elinisasi aksonal. Aksonopati primer diawali oleh degenerasi aksonal kemudian
disusul terjadinya demielinisasi sekunder (Kheyami, 2014). Degenerasi aksonal berupa
kehilangan akson pada ganglion radiks dorsalis (GRD) dan hilangnya neuron-neuron di
kornu dorsal medula spinalis. Degenerasi aksonal dominan terjadi pada bagian distal dan
dimulai dari akson yang terpanjang, awalnya terjadi pada kaki lalu meluas ke bagian atas
sampai ke lutut, sampai jari-jari tangan (Boulton & Voleykite, 2011; Kheyami, 2014).
Demielinisasi aksonal terjadi karena degenerasi sel Schwann, melibatkan serat saraf
bermielin ukuran besar yang melayani persepsi raba, tekan, vibrasi, proprioseptif dan
fungsi motorik, sedangkan serat saraf bermielin ukuran kecil dan yang tidak bermielin
melayani persepsi suhu, nyeri dan fungsi otonom. Pada pemeriksaan elektromiografi,
para ahli menemukan penurunan kecepatan hantar saraf tepi. Hal inilah yang
membuktikan adanya demielinisasi (Azhary dkk., 2010; Meliala, 2011; Kheyami, 2014).
Faktor resiko : Faktor risiko NND terbagi 2 yaitu yang tidak dapat dimodifikasi dan yang
dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu usia lanjut, faktor
genetik yaitu gen polimorfisme aldose reduktase, dan lama menderita DM. Faktor risiko
NND yang dapat dimodifikasi dan memegang peranan penting yaitu faktor metabolik dan
vaskular. Faktor metabolik terdiri dari hiperglikemia, abnormalitas kadar insulin, dan
defisiensi neurotropin. Faktor vaskular contohnya merokok, riwayat penyakit
kardiovaskular, hipertensi, dislipidemia, obesitas, dan konsumsi alkohol yang tinggi. Dari
semua faktor risiko metabolik, yang paling berperan adalah hiperglikemia kronis. Sangat
kuat relasi antara perkembangan dan progresifitas NND dengan kontrol glikemia pada
DM tipe 1 dan 2. Durasi dan beratnya hiperglikemia berkaitan dengan tingkat keparahan
derajat neuropati (Boulton dkk., 2011; Kheyami, 2014).
-Usia lanjut sebagai salah satu faktor risiko terjadinya NND. Jumlah kasus yang
didiagnosis NND dari tahun 2005-2050 pada usia diatas usia 65 tahun diperkirakan akan
meningkat 4,5 kali, dibandingkan yang berusia dibawah 65 tahun hanya meningkat 3 kali
lipat. Hal ini disebabkan karena pada usia lanjut insiden menderita DM tipe 2 akan makin
meningkat, yang dipengaruhi oleh menurunnya aktivitas fisik, peningkatan resistensi
insulin, gangguan fungsi pankreas terkait usia dan gangguan proliferasi sel beta pankreas
(Kirkman, 2012; Ash, 2015).
-Merokok merupakan salah satu faktor risiko terjadinya NND. Pada penderita DM yang
merokok berpeluang 3 kali lipat lebih tinggi menderita NND dibanding dengan yang
tidak merokok. Merokok menyebabkan arteri menyempit dan kaku, mengurangi aliran
darah menuju tungkai dan kaki sehingga terjadi lesi iskemik sekunder dan merusak
integritas saraf perifer, yang pada akhirnya memicu terjadinya NND. Jika ada ulkus pada
penderita DM maka akan susah sembuh, disamping itu penderita DM yang merokok akan
sulit untuk mengatur dosis insulin dan mengontrol gula darah (Eliasson, 2005)
Jadi kesimpulan Korelasi penyakit pasien tersebut berupa gangguan yaitu DM, Neurofati
Diabetic, Hipertensi stage II yang makin memburuk menyebabkan berbagai fenomena
kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi berbagai bagian sistem saraf pusat.
2. Etiologi penyakit DM Berdasarkan sebab yang mendasari kemunculannya, DM dibagi
menjadi beberapa golongan, yaitu:
a. Diabetes Melitus Tipe 1 DM tipe 1 disebabkan oleh penghancuran sel pulau pankreas.
Biasanya mengenai anak-anak dan remaja sehingga DM ini disebut juvenile diabetes
(diabetes usia muda), namun saat ini DM ini juga dapat terjadi pada orang dewasa. Faktor
penyebab DM tipe 1 adalah infeksi virus dan reaksi auto-imun (rusaknya system
kekebalan tubuh) yang merusak sel-sel penghasil insulin, yaitu sel β pada pankreas,
secara menyeluruh. Oleh karena itu, pada tipe ini pankreas sama sekali tidak dapat
menghasilkan insulin.
b. Diabetes Melitus Tipe 2 DM tipe 2 disebabkan oleh kombinasi resistensi insulin dan
disfungsi sekresi insulin sel β. Diabetes tipe 2 biasanya disebut diabetes life style karena
selain faktor keturunan, juga disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat.
c. Diabetes Tipe Khusus DM tipe khusus disebabkan oleh suatu kondisi seperti
endokrinopati, penyakit eksokrin pankreas, sindrom genetic, induksi obat atau zat kimia,
infeksi, dan lain-lain. d. Diabetes Gestasional Diabetes gestasional adalah Diabetes yang
terjadi pertama kali saat hamil atau diabetes yang hanya muncul pada saat
kehamilan.Biasanya diabetes ini muncul pada minggu ke-24 (bulan keenam).Diabetes ini
biasanya menghilang sesudah melahirkan (Bilous; Donelly, 2014). Berdasarkan data dari
Kementrian Kesehatan, jumlah pasien DM rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit
menempati urutan pertama dari seluruh penyakit endokrin dan 4% perempuan hamil
menderita diabetes gestasional.Angka lahir mati terutama pada kasus dengan diabetes tak
terkendali dapat terjadi 10 kali dalam normal. Diperkirakan kejadian diabetes gestasional
adalah sekitar 0,7%, tetapi sering sekali sukar ditemukan karena rendahnya kemampuan
deteksi dini (Kurniadi; Nurrahmani, 2014).
Dari hasil ini diperkirakan pasien menderita diabetes melitus dengan komplikasi nefropati
diabetic.
4. Ketidakpatuhan pasien karena gula darah tidak terkendali, karena komplikasi
mikrovaskuler.
5. Tujuan dari terapi DM adalah mengurangi dan menghilangkan gejala, mengurangi
komplikasi (makrovaskular dan mikrovaskular), mengurangi progresivitas dari
komplikasi, mengurangi mortalitas dan meningkatkan 8 kualitas hidup, menurunkan
kadar glukosa darah pada kondisi normal dan HbA1c <7%.
6. Terapi farmakologi DM : diberikan captopril = Mekanisme kerja ACE inhibitor seperti
captopril adalah dengan menghambat enzim pengkonversi peptidyl dipeptidase yang
menghidrolik angiotensin I ke angiotensin II dan menyebabkan inaktivasi bradikinin,
suatu vasodilator kuat yang bekerja dengan cara menstimulasi rilis nitric oxid dan
prostasiklin. Aktifitas hipotensi captoril terjadi baik pada hambatan sistem renin
angiotensin maupun efek stimulus pada system kinin-kallikrein. Mekanisme yang kedua
dibuktikan bahwa angitensin reseptor bradikinin, menurunkan efek penurunan tekanan
darah.
Furosemid = bekerja dengan cara menghalangi penyerapan natrium di dalam sel-sel
tubulus ginjal dan meningkatkan jumlah urine yang dihasilkan oleh tubuh. Obat ini
tersedia dalam bentuk tablet dan suntik.
Ranitidin = Mekanisme kerja Ranitidine adalah antagonis kompetitif reversibel
reseptor histamin pada sel parietal mukosa lambung, oleh karena itu ranitidine efektif
menghambat sekresi asam lambung. Pemberian ranitidine secara peroral sekitar akan
diserap sekitar 50%. Kadar puncak rata-rata dalam darah setelah 2-3 jam. Waktu paruh
eliminasinya 2,5 - 3 jam. Ranitidine dibuang dari tubuh terutama melalui eksresi ginjal.
7.
w
h
6
)(5
,d
b
H
Fti
T
fi
kp
frm
P
R
tD
sM
E
lu
va
e
&
o
gK
in
cj
8. Pelayanan home care, cara pemakaian dan penggunaan obat seperti penggunaan insulin
dan nebulizer, pola makan yang baik, Pemakaian obat di pakai sehari brp kali blabla,
Pemakaian insulin yang oralnya
9. Data lab, tanda gejala, efek samping, interaksi obat, pemberian terapi sudah sesuai apa
belum, cara penggunaan insulin dan kepatuhan pasien dalam konsumsi obat.
10. Untuk pasien DM+HT memang disarankan memakai golongan ACEI/ARB, akan tetapi
karena dilihat dari nilai bun & kreatinin yang tinggi maka sudah benar menggunakan
golongan ACEI karena apabila menggunakan ARB ditakutkan akan membuat terjadinya
komplikasi lainnya yaitui stroke. Kombinasi captopril+insulin memicu terjadinya
hiperkalemi, akan tetapi bisa diantisipasi dengan pemberian furosemide.
LEMBAR REKONSILIASI PENGOBATAN
No. ID OB678SC01
No.RM 12.00.987.89
Alamat Pasien : -
Daftar semua jenis obat yang digunakan pasien atau dibawa dari rumah baik obat resep, OTC,
herbal atau TCM
( )
Rute lainnya -
Algoritma Naranjo
No Pertanyaan Skala
Ya Tidak Tidak diketahui
1. Apakah ada
laporan efek Tidak
samping obat yang
serupa?
2. Apakah efek
samping obat Tidak diketahui
terjadi setelah
pemberian obat
yang dicurigai?
3. Apakah efek
samping obat Tidak diketahui
membaik setelah
obat dihentikan
atau obat
antagonis khusus
diberikan?
4. Apakah efek
samping obat Tidak diketahui
terjadi berulang
setelah obat
diberikan
kembali?
5. Apakah ada
alternatif
penyebab yang
dapat menjelaskan Ya
kemungkinan
terjadinya efek
samping obat?
6. Apakah efek
samping obat Tidak diketahui
muncul kembali
setelah placebo
diberikan?
7. Apakah obat yang
dicurigai
terdeteksi di
dalam darah atau Tidak
cairan tubuh
lainnya dengan
konsentrasi yang
toksik?
8. Apakah efek
samping obat
bertambah parah
ketika dosis obat Ya
ditingkatkan atau
bertambah ringan
ketika obat
diturunkan
dosisnya?
9. Apakah pasien
pernah mengalami Tidak
efek samping obat
yang sama atau
dengan obat yang
mirip
sebelumnya?
10. Apakah efek
samping obat
dapat dikonfirmasi Ya
dengan bukti yang
objektif?
DOKUMEN KONSELING