Anda di halaman 1dari 8

Pengertian Obat Antifungi

Infeksi karena jamur disebut sebagai mikosis, umunya bersifat kronis, dapat ringan pada
permukaan kulit (mikosis kutan), dapat pula menembus kulit menimbulkan mikosis subkutan.
Mikosis yang paling sulit diobati adalah mikosis sistemik yang sering juga menimbulkan
kematian. Insiden infeksi jamur meningkat pada sejumlah penderita dengan penekanan sistem
imun (misalnya, pada penderita kanker dan transplantasi) dan penderita AIDS. Penggunaan
antineoplastik dan imunosupresan memberi kesempatan infeksi jamur sistemik berkembang
dengan cepat. Dinding sel jamur mengandung kitin, polisakarida, dan ergosterol pada membrane
selnya, kandungan dinding sel jamur ini berbeda dengan bakteri. Oleh karena itu, infeksi jamur
resisten terhadap antibiotika yang digunakan untuk infeksi bakteri, dan sebaliknya, bakteri juga
resisten terhadap obat-obat antijamur.

Secara klinik, infeksi jamur dapat digolongkan menurut lokasi infeksinya, yaitu:

1. Mikosis Sistemik terdiri dari deep mycosis (misalnya aspergilosis, blastomikosis,


koksidioidomikosis, kriptokokosis, hsitoplasmosis, mukormikosis, parakoksido-
idomikosis, dan kandidiasis) dan sub-cutan mycosis (misalnya kromomikosis, misetoma,
dan sporotrikosis).
2. Dermatofit, yaitu infeksi jamur yang menyerang kulit , rambut, dan kuku, biasanya
disebabkan oleh epidermofiton dan mikrosporum.
3. Mikosis mukokutan, yaitu infeksi jamur pada mukos dan lipatan kulit yang lembap,
biasanya disebabkan oleh kandida.

Macam-macam Obat

Menurut indikasi klinik, obat-obat antijamur dapat dibagi atas 2 golongan, yaitu :

1. Antijamur untuk infeksi sistemik, termasuk : amfoterisin B, flusitosin, imidazole


(ketokonazol, flukonazol, mikonazol), dan hidroksistilbamidin.
2. Antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan, termasuk griseofulvin, golongan
imidazole (mikonazol, klotrimazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol, dan bifonazol),
nistatin, tolnaftat, dan antijamur topikal lainnya (kandisidin, asam undesilenat, dan
natamisin).
Cara Kerja

Mekanisme antijamur dapat dikelompokkan sebagai gangguan pada membrane sel,


gangguan ini terjadi karena adanya ergosterol dalam sel jamur, ini adalah komponen sterol yang
sangat penting sangat mudah diserang oleh antibiotic turunan polien. Kompleks polien-ergosterol
yang terjadi dapat membentuk suatu pori dan melalui pori tersebut konstituen essensial sel jamur
sperti ion K, fosfat anorganik, asam karboksilat, asam amino dan ester fosfat bocor keluar hingga
menyebabkan kematian sel jamur. Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel jamur,
mekanisme ini merupakan mekanisme yang disebab kan oleh senyawa turunan imidazole karena
mampu menimbulkan ketidakteraturan membrane sitoplasma jamur dengan cara mengubah
permeabilitas membrane dan mengubah fungsi membrane dalam proses pengangkutan senyawa-
senyawa essensial yang dapat menyebabkan kematian sel jamur.

Penghambatan sisntesis asam nukleat dan protein jamur, merupakan mekanisme yang
disebabkaan oleh senyawa turunan pirimidin. Efek antijamur terjadi karena snyawa turunan
pirimidin mampu mengalami metabolisme dalam sel jamur menjadi suatu antimetabolite.
Metabolik antagonis tersebut kemudian bergabung dengan asam ribonukleat dan kemudian
menghambat sintesis asam nukleat dan protein jamur. Penghambatan mitosis jamur, efek
antijamur ini terjadi karena adanya senyawa antibiotic griseofulvin yang mampu mengikat
protein mikrotubuli dalam sel, kemudian merusak struktur spindle mitotic dan menghentikan
metafasa pembelahan sel jamur.

Indikasi / Kontradiksi

1. Golongan Polien
Termasuk dalam golongan ini adalah amfoterisin dan nistatin. Keduanya tidak
diabsorpsi secara oral. Obat ini digunakan untuk infeksi oral, orofaringeal dan perioral
yang diberikan secara topikal di mulut.
 Infus amfoterisin intravena digunakan untuk infeksi jamur sistemik dan aktif
terhadap sebagian besar jamur dan ragi. Obat ini terikat kuat pada protein plasma
dan penetrasinya ke dalam jaringan dan cairan tubuh buruk. Amfoterisin bersifat
toksik dan efek samping sering terjadi. Sediaan amfoterisin dalam lipid bersifat
kurang toksik dan direkomendasikan bila sediaan konvensional
dikontraindikasikan karena toksisitasnya, terutama nefrotoksisitas atau jika respon
terhadap amfoterisin konvensional tidak memuaskan.
 Nistatin terutama digunakan untuk infeksi Candida albicans di kulit dan
membran mukosa, termasuk untuk kandidiasis pada usus dan esofageal.
2. Golongan Imidazol
Termasuk dalam golongan imidazol, klotrimazol, ketokonazol, ekonazol,
sulkonazol dan tiokonazol. Obat-obat ini digunakan untuk terapi lokal kandidiasis vagina
dan untuk infeksi dermatofit.
 Ketokonazol pada pemberian oral diabsorpsi jauh lebih baik dibandingkan dengan
golongan imidazol lainnya. Namun obat ini telah dilaporkan berkaitan dengan
kejadian hepatotoksisitas yang fatal. Untuk pemberian per oral, risiko dan manfaat
ketokonazol sebaiknya dipertimbangkan secara hati-hati terutama yang berkaitan
dengan hepatotoksisitas. Oleh karena itu diperlukan pengamatan klinik dan
laboratorium. Pemberian per oral tidak untuk infeksi superfisial.
Penggunaan Klinis dan Kontradiksi
Ketokonazol terutama efektif terhadap histoplasmosis paru, tulang, sendi, dan
jaringan lemak. Tidak dianjurkan untuk meningitis kriptokokus karena
penetrasinya kurang baik. Obat ini efektif untuk kriptokokosis nonmeningeal,
parakoksidioidomikosis, beberapa bentuk koksidioidomikosis, dermatomikosis,
dan kandidosis (mukokutan, vaginal, dan rongga mulut). Ketokonazol tidak
bermanfaat untuk kebanyakan infeksi jamur sistemik yang berat. Ketokonazol
dikontraindikasikan pada penderita yang hipersensitif, ibu hamil dan menyusui,
serta penyakit hepar akut.
 Mikonazol dapat digunakan secara topikal untuk infeksi pada rongga mulut. Obat
ini juga efektif untuk infeksi usus. Absorpsi sistemik dapat terjadi pada
penggunaan gel mikonazol oral sehingga dapat menimbulkan interaksi obat yang
bermakna.
3. Golongan Triazol
Termasuk golongan ini adalah flukonazol dan itrakonazol.
 Flukonazol diabsorpsi sangat baik setelah pemberian oral. Penetrasi obat ini pada
cairan serebro spinal cukup baik sehingga dapat digunakan untuk mengatasi
meningitis fungal.
Indikasi Klinis
Flukonazol diindikasikan untuk meningitis kriptokokus, kandidiasis sistemik
(termasuk kandidemia dan kandidiasis diseminata), dan bentuk-bentuk lain
kandidiasis, termasuk infeksi jamur diperitonium, endocardium, dan infeksi jamur
di saluran napas dan saluran cerna, kandidiasis orofaringeal, dan kandidiasis
esophageal, dan kandidiasis vaginal.
Kontraindikasi
Akan terjadi kontraindikasi bila diberikan pada penderita yang sensitife terhadap
derivate triazole. Penggunaan pada wanita hamil serta menyusui, dan anak
dibawah 16 tahun tidak dianjurkan karena belum ada kepastian data bahwa obat
ini aman untuk mereka.
 Itrakonazol aktif terhadap semua bentuk infeksi dermatofit. Kapsul itrakonazol
memerlukan kondisi asam dalam lambung untuk mendapatkan absorpsi yang
optimal. Itrakonazol dapat menyebabkan kerusakan hati dan sebaiknya dihindari
atau digunakan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit hati, termasuk pasien
anak. Flukonazol lebih jarang menyebabkan hepatotoksisitas. Vorikonazol
merupakan antijamur dengan spektrum luas dan diindikasikan untuk infeksi yang
mengancam jiwa.
4. Golongan Flusitosin
Flusitosin diberikan secara oral atau melalui infus intravena. Flusitosin hanya
aktif melawan ragi dan digunakan terutama untuk mengobati kandidiasis sistematik atau
infeksi kriptokokus. Flusitosin sering diberikan dalam kombinasi dengan amfoterisin
karena resistensinya sering berkembang dengan cepat. Obat-obat ini bekerja secara
sinergis dan kombinasinya efektif pada meningitis kriptokokus.
5. Golongan Ekinokandin
 Ekinokandin merupakan obat baru yang bekerja dengan menghambat sintesis β(1-
3) glukan dan merupakan komponen penting pada dinding jamur.
 Kaspofungin (intravena) digunakan pada aspergilosis invasive yang tidak
responsive terhadap amfetorisin atau intrakonazol

Dosis yang Digunakan

a. Amfoterisin B
Diberikan dengan cara infus intravena secara perlahan selama 4-6 jam. Dosis permulaan
1-5mg/hari, ditingkatkan 5 mg per hari hingga dicapai dosis 0,4-0,7 mg/kg BB. Biasanya
penggunaan diteruskan untuk 6-12 minggu atau lebih. Setelah ada respon permulaan
terhadap pengobatan, dosis yang diberikan hanya 2-3x seminggu. Pada meningitis jamur,
amfoterisin B diberikan dengan suntikan intratekal 0,5 mg 3x seminggu untuk 10 minggu
atau lebih.
b. Nistatin
Dosis nistatin dinyatakan dalam unit. Tablet vagina 100.000 unit diberikan sebanyak 1-2
kali sehari selama 14 hari. Untuk kandidiasis mulut dan esofagus diberikan 3-4 kali yaitu
500.000-1.000.000 unit dengan cara ditahan dulu dalam mulut.
c. Ketokonazol
Dapat diberikan per oral dengan dosis 200 mg. Dosis untuk kandidosis vagina adalah 2
tablet (400 mg) sekali sehari selama 5 hari.
d. Mikonazol
Untuk kandidiasis vaginalis diberikan dosis 200 mg selama 7 hari atau 100 mg selama 14
hari yang dimasukkan ke dalam vagina. Pengobatan kandidiasis oral, diberikan oral gel
(25 mg) 4 kali sehari. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan mikonazol krim
2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan
selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari (Bennet, 2006).
e. Flukonazol
Pada pediatrik digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan Tinea tonsurans
dengan dosis 6 mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr selama 30 hari. Pada kandidiasis
vulvovaginal rekuren 150 mg tiap minggu selama 6 bulan atau lebih. Untuk tinea pedis
150 mg tiap minggu selama 3-4 minggu. Pada pitiriasis versikolor digunakan 400 mg
dosis tunggal.
f. Itrakonazol :
 Kandidiasis orofarings, 100 mg/hari (200 mg pada pasien AIDS atau neutropenia) selama
15 hari.
 Vulvovaginitis kandida, 200 mg 2 kali sehari selama 1 hari.
 Ptyriasis versicolor, 200 mg/hari selama 7 hari.
 Tinea korporis dan tinea kruris, 100 mg/hari selama 15 hari, atau 200 mg/hari selama 7
hari.
 Tinea manus dan pedis, 100 mg/hari selama 30 hari.
 Onikomikosis, 200 mg/hari selama 3 bulan, atau bertahap 200 mg 2 kali sehari selama 7
hari diulangi setelah interval 21 hari; dua tahap untuk kuku jari tangan, tiga tahap untuk
kuku jari kaki.
g. Flusitosin
Pemberian flusitosin diawali dengan dosis 100 mg/kg BB perhari, dibagi dalam 4 dosis
dengan interval 6 jam. Jika terdapat gangguan ginjal, pemberian flusitosin diawali dengan
dosis 25 mg/kgBB (Bennet,2006).
h. Kaspofungin
Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan 50 mg/hari
untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus diberikan secara intravena melalui infus dalam
periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, direkomendasikan dosis
kaspofungin diturunkan menjadi 35 mg (Gupta, 2002).

Efek Samping dan Cara Mengatasi

a. Amfoterisin B
Pemberian amfoterisin B secara intravena dapat menimbulkan demam menggigil,
muntah, dan sakit kepala. Efek samping ini dapat dikurangi dengan menurunkan dosis,
pemberian aspirin, fenotiazin, antihistamin, kortikosteroid, atau pun dengan
menghentikan suntikan untuk beberapa hari.
b. Nistatin
Jarang timbul efek samping. Pemberian oral mungkin dapat menimbulkan mual, muntah,
atau pun diare.
c. Ketokonazol :
Yang paling sering ditemukan yaitu mual, ginekomastia, rush, pruritus, hepatitis
kolestalik, blokade sintesis kortisol. Efek samping ini lebih ringan bila diberikan bersama
makanan. Kadang dapat menimbulkan muntah, sakit kepala, vertigo, nyeri epigastik, gusi
berdarah, erupsi kulit, dan trombositopenia. Dapat pula menimbulkan kerusakan hati.
d. Mikonazol
Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi (7%),
kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit kepala, urtika, atau skin rash.
Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada pemakaian kutaneus. Mikonazol
aman digunakan pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli menghindari pemakaian
pada kehamilan trimester pertama (Bennet, 2006).
e. Flukonazol
Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare,
nyeri abdomen dan juga sakit kepala. Selain itu hipersensitivitas, agranulositosis,
sindroma Stevens Johnsons, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf
pusat (Bellantoni, 2008). Flukonazol aman digunakan pada wanita hamil, meskipun
sebisa mungkin menghindari penggunaan obat pada masa kehamilan.
f. Itrakonazol
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, nyeri
abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus, dan ruam alergi
(Gupta, 2002).
g. Flusitosin
Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare. Trombositopenia dan
leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di dalam darah meninggi, menetap (>100
mg/L) dan dapat juga dijumpai jika obat dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat
juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan
(Bennet, 2006).
h. Kaspofungin
Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit, mual, muntah
(Ashley, 2006).
Daftar Pusataka

Staf Pengajar Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2009.


Kumpulan Kuliah Farmakologi, Ed 2. Jakarta: EGC. ISBN: 9789794488317

Iman Firmansyah. 2015. Antijamur. Makalah. dikutip dari


https://www.academia.edu/19402487/Antijamur

Anda mungkin juga menyukai