Anda di halaman 1dari 6

 Gangguan Psikologis Pada Masa Kehamilan

1. Gangguan Psikologis pada Pasangan Infertil


Infertilitas merupakan suatu kondisiyang menunjukan ketidakmampuan suatu
pasangan untuk mendapatkan atau menghasilkan keturunan. Penyebab Infertilitas
yaitu usia, frekuensi hubungan seksual, lingkungan, gizi dan nutrisi, stres, kelainan
anatomi dan fisiologis saluran reproduksi, serta kemungkinan ada riwayat penyakit.
Infertilitas dapat disebabkan oleh adanya gangguan psikologis yang menghambat
proses reproduksi itu sendiri dan dampak dari infertilitas ini juga mengakibatkan
gangguan psikologis.
2. Gangguan Psikologis pada Kehamilan Palsu (Pseudocyesis)
Kehamilan palsu (pseudocyesis) adalah suatu keadaan seorang wanita berada
dalam kondisi yang menunjukan berbagai tanda dan gejala kehamilan. Faktor yang
sangat sering berhubungan dengan terjadinya kehamilan palsu adalah faktor
emosional/psikis yang menyebabkan kelenjar pituitari terpengaruh sehingga
menyebabkan kegagalan sisttem endokrin dalam mengontrol hormone yang
menimbulkan keadaaan seperti hamil.
Peristiwa pseudocyesis merujuk pada peristiwa pseudologia, yaitu fantasi-fantasi
kebohongan yang selalu ditampilkan ke depan untuk mengingkari atau menghindari
realitas yang tidak menyenangkan. Peran konselor dalam hal ini adalah menciptakan
suasana senyaman mungkin agar klien merasa bebas untuk mengekspresikan pikiran-
pikiran yang sulit. Dengan begitu klien diharapkan dapat memperoleh kesadaran diri,
kejujuran dan hubungan pribadi yang lebih efektif serta dapat mengendalikan tingkah
laku dan pikirannya.
3. Gangguan Psikologis pada Kehamilan di Luar Nikah
Remaja yang hamil diluar nikah maka akan mengakibatkan kerugian yang sangat
banyak. Tidak hanya menghancurkan kondisi mentalnya tetapi juga mimpi-
mimpinya. Selain itu, kehamilan yang tidak diinginkan juga mengarah pada tindakan
aborsi. Umumnya, kehamilan di luar nikah dialami oleh remaja dengan rentang usia
12-19 tahun yang memiliki kondisi psikis yang labil, karena masa ini merupakan
masa transisi dan pencarian jati diri. Dengan kehamilan di luar nikah, banyak
permasalahan yang akan dihadapi oleh remaja antara lain timbulnya perasaan takut
dan bingung yang luar biasa, ketakutan besar terhadap respons orang tua, dan
biasanya mereka menutupi kehamilannya hingga didapatkan tindakan lain, rasa
ketakutan jika kekasih yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab dan tidak
mau menolongnya keluar dari kondisi yang rumit itu, cemas jika sampai teman-
temannya mengetahui, apalagi pihak sekolah, ketidaksiapan menjadi ibu.
Oleh karena itu, di dalam menghadapi permasalahan kehamilan di luar nikah bagi
para remaja, maka bidan dapat memberikan konseling bersama yaitu konseling
keluarga antara remaja itu sendiri, konselor dan pihak keluarga mengingat orang tua
masih memiliki andil yang besar pada kehidupan anak remaja mereka (Lesmana,
2006).

4. Gangguan Psikologis pada Kehamilan yang Tidak Dikehendaki

Kehamilan yang tidak dikehendaki tidak hanya terjadi pada remaja akibat
hubungan yang terlampau bebas, tetapi juga pada wanita yang telah menikah sebagai
akibat dari kegagalan kontrasepsi dan penolakan pada jenis kelamin bayi yang ia
kandung.

Pada kehamilan yang tidak dikehendaki, wanita merasa bahwa janin yang
dikandungnya bukanlah bagian dari dirinya dan berusaha untuk mengeluarkan dari
tubuhnya melalui tindakan seperti aborsi. Mereka sangat marah dan dendam pada
kekasih atau suaminya serta merasa sanggup menanggung konsekuensi dari
tindakannya.

Penanganan dalam permasalahan ini tidak jauh berbeda dengan penanganan pada
kehamilan di luar nikah. Perbedaannya hanya pada teknik konselingnya-karena
kehamilan ini terjadi pada wanita yang telah menikah-yaitu dengan konseling
pasangan.

5. Gangguan Psikologis pada Kehamilan dengan Keguguran

Abortus spontan adalah suatu keadaan terputusnya suatu kehamilan saat fetus
belum sanggup hidup sendiri di luar uterus (berat 400-1.000 gram atau usia
kehamilan kurang dari 28 minggu), sedangkan abortus kriminalis atau usia kehamilan
kurang adalah abortus yang terjadi karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau
tidak berdasarkan indikasi medis (Rustam, M., 1998).

Faktor penyebab abortus yaitu kemiskinan atau ketidakmampuan ekonomi,


ketakutan terhadap orang tua, moralitas sosial, rasa malu dan aib, kehamilan yang
tidak di inginkan dan lain sebagainya.

Reaksi psikologis wanita terhadap keguguran bergantung pada konstitusi


psikisnya sendiri. Sindrom Pasca-abortus menimbulkan gejala yang meliputi
menangis terus-menerus, depresi berkepanjangan, perasaan bersalah,
ketidakmampuan untuk memaafkan diri sendiri, kesedihan mendalam, amarah,
kelumpuhan emosional, masalah atau kelainan seksual, kekacauan pola makan,
perasaan rendah diri, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, mimpi-
mimpi buruk dan gangguan tidur lainnya, dorongan untuk bunuh diri, kesulitan dalam
relasi, serangan gelisah dan panik, serta selalu melakukan kilas balik.

Pada dasarnya, terapi konseling untuk wanita pascaborsi tidak jauh berbeda
dengan konseling karena kehilangan yaitu dalam konseling ini harus memperhatikan
setiap fase dalam penerapannya, tetapi demikian penyebuhan secara rohan juga
diperlukan.

6. Gangguan Psikologi pada Kehamilan dengan Janin Mati

Kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin,


kegawatan janin, dan akibat infeksi yang tidak terdiagnosis sebelumnya sehingga
tidak terobati (Saifudin, A.B., 2007).

Ibu dari bayi yang meninggal pada periode perinatal akan mengalami kesedihan
yang mendalam. Ibu yang mengalami proses kehilangan/kematian janin dalam
kandungan akan merasakan kehilangan. Pada proses berduka ini, ibu memperlihatkan
perilaku yang khas dan merasakan reaksi emosional tertentu, mulai dari menolak
(denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), hingga depresi (depression).
Dalam memberikan bantuan dan konseling pada ibu dengan janin mati, harus
disesuaikan dengan fase ia berada. Dengan memperhatikan hal itu, diharapkan
bantuan yang diberikan adalah bantuan yang tepat, bukan bantuan yang justru
membuat keadaan semakin kacau.

7. Gangguan Psikologis pada Kehamilan dengan ketergantungan Obat

Merupakan suatu kondisi suatu kehamilan terdapat pola penggunaan zat


psikoaktif dan zat lain yang memiliki implikasi berbahaya bagi wanita dan janinnya
atau bayi baru lahir (Varney, 2007).

Wanita dengan ketergantungan obat cenderung memiliki angka depresi,


kepanikan, dan fobia yang lebih tinggi dari pria, sehingga jika ia dalam masa
kehamilan, akan memberikan dampak buruk bagi janinnya.

Untuk itu perlu dilakukan konseling dengan pendekatan behavioristik, yaitu


konselor membantu klien untuk belajar bertindak dengan cara-cara yang baru dan
pantas, atau membantu mereka untuk memodifikasi atau mengeliminasi tingkah laku
yang berlebih atau maladaptif.  Bidan harus terus memberikan dukungan pada wanita
dalam setiap tahap perubahan tingkah laku pemulihannya. Selain itu, menanamkan
pengertian akan berharganya sang buah hati, sehingga dapat mendorong wanita untuk
melakukan proses pemulihan. Dukungan keluarga juga sangat penting untuk
membantu pemulihan.

 Gangguan Psikologis Pada Masa Perkawinan

1. "Keran bocor".

Sesekali berkeluh kesah kepada sahabat atau orang terdekat memang. Namun,
usahakan menahan diri untuk tidak terlalu banyak menceritakan keburukan pasangan
kepada pihak lain. Menahan diri sangat penting dalam hal ini agar tidak menimbulkan
konflik.
2. Sindrom “malangnya diriku”.

Memendam perasaan sama buruknya dengan menjelekkan pasangan kepada orang


lain. Jika ada yang membuat hal tidak senang maka utarakan kepada pasangan. Akan
tetapi harus diimbangi dengan memberikan solusi atas setiap permasalahan yang ada.

3. Bertengkar karena hal-hal sepele.

Biasanya hal ini terjadi karena masalah barang-barang milik pasangan yang berserakan atau
menumpuk tak karuan. Pertengkaran karena hal sepele ini bisa menjadi semacam penanda ada
hal-hal yang tak Anda sukai dari pasangan. Michele Weiner-Davis, psikoterapis dan penulis
buku The Sex-Starved Marriage, mengatakan bahwa akan ada hal-hal yang Anda cintai dan tidak
sukai dari pasangan. Itu adalah bagian dari sebuah pernikahan. Ketika Anda mengambil sumpah
untuk menikah dengan seseorang, maka semua bagian dari dirinya, baik yang Anda sukai
maupun tidak, sudah menjadi bagian dari paketnya. 

4. Hubungan yang semakin jauh.

Anda berdua sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan, anak-anak, dan kepentingan sendiri-sendiri,
tanpa sadar waktu untuk berbicara pun tak ada. Bahkan saat di tempat tidur, ketika pasangan
mulai mengurangi waktu berkualitas, ini bisa membuat hubungan terasa santai. Namun, bisa juga
sebaliknya, pasangan berasumsi bahwa Anda tak membutuhkannya lagi. Manusia merespons
ketidakterikatan dengan menarik diri masing-masing. Segalanya bisa menjadi lebih parah.
Namun, manusia juga merespons dari kebaikan orang lain. Oleh karena itu, yang bisa Anda
lakukan adalah mengambil inisiatif untuk meluangkan waktu. Sisihkan (bukan menyisakan)
waktu yang biasanya Anda gunakan hanya untuk menonton TV dengan kegiatan lain yang Anda
sukai bersama pasangan. Misalnya, bangun lebih pagi di hari libur untuk jalan pagi bersama. Jika
sudah terlalu besar jarak antara anda dan pasangan, berusahalah lebih keras untuk bisa lebih
dekat. Para peneliti setuju agar pasangan seperti ini membuat jadwal rutin untuk berhubungan
intim dan untuk bicara. Intimasi dari berhubungan badan memang bisa membuat hubungan
pasangan lebih erat.

Anda mungkin juga menyukai