Kehamilan yang tidak dikehendaki tidak hanya terjadi pada remaja akibat
hubungan yang terlampau bebas, tetapi juga pada wanita yang telah menikah sebagai
akibat dari kegagalan kontrasepsi dan penolakan pada jenis kelamin bayi yang ia
kandung.
Pada kehamilan yang tidak dikehendaki, wanita merasa bahwa janin yang
dikandungnya bukanlah bagian dari dirinya dan berusaha untuk mengeluarkan dari
tubuhnya melalui tindakan seperti aborsi. Mereka sangat marah dan dendam pada
kekasih atau suaminya serta merasa sanggup menanggung konsekuensi dari
tindakannya.
Penanganan dalam permasalahan ini tidak jauh berbeda dengan penanganan pada
kehamilan di luar nikah. Perbedaannya hanya pada teknik konselingnya-karena
kehamilan ini terjadi pada wanita yang telah menikah-yaitu dengan konseling
pasangan.
Abortus spontan adalah suatu keadaan terputusnya suatu kehamilan saat fetus
belum sanggup hidup sendiri di luar uterus (berat 400-1.000 gram atau usia
kehamilan kurang dari 28 minggu), sedangkan abortus kriminalis atau usia kehamilan
kurang adalah abortus yang terjadi karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau
tidak berdasarkan indikasi medis (Rustam, M., 1998).
Pada dasarnya, terapi konseling untuk wanita pascaborsi tidak jauh berbeda
dengan konseling karena kehilangan yaitu dalam konseling ini harus memperhatikan
setiap fase dalam penerapannya, tetapi demikian penyebuhan secara rohan juga
diperlukan.
Ibu dari bayi yang meninggal pada periode perinatal akan mengalami kesedihan
yang mendalam. Ibu yang mengalami proses kehilangan/kematian janin dalam
kandungan akan merasakan kehilangan. Pada proses berduka ini, ibu memperlihatkan
perilaku yang khas dan merasakan reaksi emosional tertentu, mulai dari menolak
(denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), hingga depresi (depression).
Dalam memberikan bantuan dan konseling pada ibu dengan janin mati, harus
disesuaikan dengan fase ia berada. Dengan memperhatikan hal itu, diharapkan
bantuan yang diberikan adalah bantuan yang tepat, bukan bantuan yang justru
membuat keadaan semakin kacau.
1. "Keran bocor".
Sesekali berkeluh kesah kepada sahabat atau orang terdekat memang. Namun,
usahakan menahan diri untuk tidak terlalu banyak menceritakan keburukan pasangan
kepada pihak lain. Menahan diri sangat penting dalam hal ini agar tidak menimbulkan
konflik.
2. Sindrom “malangnya diriku”.
Biasanya hal ini terjadi karena masalah barang-barang milik pasangan yang berserakan atau
menumpuk tak karuan. Pertengkaran karena hal sepele ini bisa menjadi semacam penanda ada
hal-hal yang tak Anda sukai dari pasangan. Michele Weiner-Davis, psikoterapis dan penulis
buku The Sex-Starved Marriage, mengatakan bahwa akan ada hal-hal yang Anda cintai dan tidak
sukai dari pasangan. Itu adalah bagian dari sebuah pernikahan. Ketika Anda mengambil sumpah
untuk menikah dengan seseorang, maka semua bagian dari dirinya, baik yang Anda sukai
maupun tidak, sudah menjadi bagian dari paketnya.
Anda berdua sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan, anak-anak, dan kepentingan sendiri-sendiri,
tanpa sadar waktu untuk berbicara pun tak ada. Bahkan saat di tempat tidur, ketika pasangan
mulai mengurangi waktu berkualitas, ini bisa membuat hubungan terasa santai. Namun, bisa juga
sebaliknya, pasangan berasumsi bahwa Anda tak membutuhkannya lagi. Manusia merespons
ketidakterikatan dengan menarik diri masing-masing. Segalanya bisa menjadi lebih parah.
Namun, manusia juga merespons dari kebaikan orang lain. Oleh karena itu, yang bisa Anda
lakukan adalah mengambil inisiatif untuk meluangkan waktu. Sisihkan (bukan menyisakan)
waktu yang biasanya Anda gunakan hanya untuk menonton TV dengan kegiatan lain yang Anda
sukai bersama pasangan. Misalnya, bangun lebih pagi di hari libur untuk jalan pagi bersama. Jika
sudah terlalu besar jarak antara anda dan pasangan, berusahalah lebih keras untuk bisa lebih
dekat. Para peneliti setuju agar pasangan seperti ini membuat jadwal rutin untuk berhubungan
intim dan untuk bicara. Intimasi dari berhubungan badan memang bisa membuat hubungan
pasangan lebih erat.