Perang Salib
Perang Salib adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di
Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk
merebut Tanah Suci dari kekekuasaan kaum Muslim dan mendirikan Gereja, juga kerajaan Latin
di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam
peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.
Perang salib berlangsung dalam kurun waktu hamper dua abad (200 tahun), yaitu antara
tahun 1095-1291, dengan 8 periode peperangan. Namun Stoddard mengatakan perang Salib tidak
berlangsung dua abad atau lebih, melainkan berlangsung selama enam abad (600 tahun), dan
baru berakhir secara pasti di perbentengan Wina tahun 1683.[6]
Perang salib berpengaruh luas terhadap politik, ekonomi dan social, bahkan terasa masih
berpengaruh sampai masa kini. Walaupun umat Islam berhasil memperthankan daerah-daerahnya
dari tentara salib, namun kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Wilayah-wilayah umat
Islam terpecah belah dan ingin memerdekakan diri dari kekuasaan Islam di Abbasiyah.
Dalam konteks hubungan antaragama, perang salib meninggalkan trauma yang mendalam
antara Islam dan Kristen sampai sekarang. Akibatnya Negara-negar barat masih membenci
Islam.
Konflik keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang
Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan
ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dkenal dengan
gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras
memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jewatan khusus untuk mengawasi
kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan
tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan
golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti, polemik tentang
ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak.
Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran Syi’ah,
sehingga banyak aliran Syi;ah yang dipandang Ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh
penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang
berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya, sering terjadi konflik yang kadang-
kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam
Hussein di Karbela dihancurkan. Namun, anaknya Al-Muntashir (861-862 M), kembali
memperkenankan orang Syi’ah menziarahi makamnya Husein tersebut. Syi’ah perah berkuasa di
dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di
Maroko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri
dari Baghdad yang Sunni.
Kehadiran golongan Mu’tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah
oleh golongan salaf. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh Al-ma’mun, khalifa
ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadiakan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi
negara dan melakukan mihnah. Pada masa Al-Mutawakkil (847-861), aliran Mu’tazilah di
batalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut
hanbali itu (salaf) terhadap Mu’tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.
Aliran Mu’tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Namun, pada masa dinasti
Seljuk yang menganut aliran Asy’ariyah, pengikiran golongan Mu’tazilah mulai dilakukan
secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan berjaya.
Pikiran-pikiran Al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah.
Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan
kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan :“ Agama
Muhammad Saw. Seperti juga agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan
dari dalam perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya
dalam suatu yang kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih
besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih
dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia telah menyebabkan
kekacauan yang rumit dalam Islam. Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat
salah. Menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga.
Ancaman dari luar
Apa yang disebut diatas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor
eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang
salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak
korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantara
komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan
Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu
Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh
orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang
Mongol yang anti-Islam itu diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah
menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
2. Bidang Pemerintahan
Dalam struktur pemerintahan, sultan merupakan penguasa tertinggi. Ia dibantu oleh Sadr Al-
Azam ( perdana menteri )yang membawahi Pasya ( gubernur ). Gubernur mengepalai daerah
tingkat I. Di bawahnya terdapat beberapa orang Az-Zanaziq atau Al-’Alawiyah ( bupati )
Untuk mengatur urusan pemerintahan negara. Sultan Sulaiman I menyusun sebuah kitab
undang-undang ( Qanun ).Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur yang menjadi dasar
hukum di Kerajaan Turki Usmani hingga datangnya reformasi pada abad ke-19. Berkat jasanya
tersebut, Sultan Sulaiman I mendapat gelar al-Qanuni.
3. Bidang Budaya
Kebudayaan di wilayah Turki Usmani merupakan perpaduan berbagai macam kebudayaan,
di antaranya kebudayaan Persia, Bizantium dan Arab. Dari kebudayaan Persia mereka banyak
mengambilajran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana raja-raja. Organisasi
pemerintahan dan kemiliteran banyak mereka serap dari Bizantium. Ajaran-ajaran prinsip-prinsip
ekonomi, sosial, kemasyarakatan,keilmuan dan huruf mereka terima dari bangsa Arab.
5. Bidang Agama
Agama mempunyai peranan besar di bidang sosial dan polotik dalam tradisi masyarakat
Turki. Masyarakat digolong-golongkan berdasarkan agama. Kerajaan sendiri sangat terikat
dengan syariat sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Oleh karena itu, ulama
memiliki tempat tersendiri serta berperan besar dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
Mufti, sebagai pejabat urusan agama tertinggi berwenang memberi fatwa resmi atas segala
permasalahan yang dihadapi msyarakat. Tanpa legitimasi mufti, keputusan hukum kerajaan tidak
dapat berjalan.
Pemerintah Kerajaan Turki Usmani berlangsung selama tujuh abad. Kerajaan ini mulai
lemah setelah berakhirnya kekuasaan Sultan Sulaiman al-Qanuni. Penyebab mundurnya
Kerajaan Turki Usmani adalah :
a) Pada umumnya sultan yang menggantikan tidak mempunyai wibawa dan lemah dalam
memimpin negara.
b) Banyaknya keluarga sultan hidup dalam kemewahan sehingga memboroskan keuangan
negara. Kondisi ini menyebabkan beberapa wilayah Kerajaan Turki Usmani satu per satu lepas.
Aljazair dan Tunisia direbut Prancis tahun 1830 M, Afrika Utara direbut Italia tahun 1911 M,
dan Mesir direbut Inggris tahun 1917 M.
c) Makin majunya negara-negara Eropa akibat adanya revolusi industri di Inggris, selain itu peran
Turki Usmani sebagai penghubung perdagangan antara Barat dan Timur melemah, dengan
ditemukannya Tanjung Harapan.
c. Kerajaan Mugal di India
Peranan umat Islam India dalam penyebarluasan agama Islam dapat dilihat dalam empat
periode yaitu sebelum kerajaan Mugal (705-1526 M), periode Mugal (1526-1858 M), periode
masa penjajahan Inggris (1858-1947 M), dan periode negara India sekuler (1974-sekarang).
Kerajaan Mugal didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur, keturunan Jengiz Khan
bangsa Mongol pada tahun 1526 M. kerajaan Mugal berpusat di Delhi (India).
Kerajaan Mugal diperintah secara silih berganti oleh 15 raja (sultan). Sultan pertama
kerajaan Mugal adalah Zahiruddin Muhammad Babur (1526-1530 M) dan Sultan terakhirnya
adalah Sultan Bahadur Syah II (1837-1858 M). Kerajaan Mugal mencapai puncak kejayaannya
tatkala diperintah oleh Akbar Syah II (1556-1605 M), Jahangir atau Nuruddin Muhammad
Jahangir (1605-1627 M), Sultan Jihan (1627-1658 M) dan Aurangzeb atau Alamgir I (1658-
1707M).
Pada masa pemerintahan Akbar, kerajaan Mugal mencapai keemasannya. Akbar
menerapkan polotik sulakhul ( toleransi universal ), yaitu politik yang menekankan kesamaan
derajat rakyat India. Mereka tidak dibedakan karena perbedaan etnis dan agama.
Mantapnya stabilitas politik pada masa pemerintahan Akbar membawa kemajuan dalam
berbagai bidang, seperti ekonomi,pertanian, seni dan budaya. Dalam bidang ekonomi kerajaan
Mugal mengembangkan pertanian, pertambangan, dan perdagangan. Meskipun demikian ,
sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian.
Hasil pertanian Kerajaan Mugal yang terpenting adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-
sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nila dan bahan-bahan celupan.
Di samping untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian juga di ekspor ke
Eropa, Arab, Afrika, dan Asia Tenggara. Sementara itu, hasil kerajinan seperti pakaian tenun dan
kain diproduksi di Gujarat dan Bengal. Untuk meningkatkan produksi, Jahangir mengijinkan
Ingris ( 1611 M ) dan Belanda ( 1617 M ) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat.
Bersamaan dengan majunya bidang ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang.
Karya seni terbesar yang dicapai Kerajaan Mugal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan
mengagumkan. Sebagai contoh adalah Istana Fathpur Sikri yang dibangun Akbar di Kota Sikri
serta Taj Mahal yang dibangun Syeh Jehan.
Setelah Aurangzeb meninggal, tahta kerajaan dipegang oleh raja-raja yang lemah. Di pihak
lain, pada pertengahan abad ke-18 M, Inggris sudah melakukan penjajahan di India. Pada tahun
1761 M, Inggris mulai menguasai sebagian wilayah kerajaan Mugal. Pada tahun 1858 M,
Bahadur Syah II diusir Inggris dari istananya dan berakhirnya kekuasaan Bahadur Syah II
menandai berakhirnya Kerajaan Mugal.