Anda di halaman 1dari 11

MENGANALISIS HUBUNGAN SANITASI TOTAL

DI RUMAH TANGGA (PENGARUH PERILAKU BUANG


AIR BESAR, PERILAKU CUCI TANGAN,
KETERSEDIAAN AIR BERSIH,  TERHADAP
KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS SIMPANG TIGA
KOTA PEKANBARU.
Yoana Agnesia1, Pembimbing 12, Pembimbing 22
1
Program Pascasarjana Prodi Ilmu Lingkungan Universitas Riau
Email:

Abstrak

Kata Kunci :
Latar Belakang

Salah satu penyakit yang berhubungan dengan interaksi manusia dan

lingkungan adalah diare.Penyakit diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan

perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan

bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih

dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah.

Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak balita, terutama pada 3 tahun pertama

(Soebagyo, 2008).

Menurut data WHO (2017), setiap tahunnya ada 520.000 balita meninggal

karena diare. Diperkirakan secara global, terjadi 1,7 kasus diare pada balita setiap

tahunnya. Menurut data WHO pada tahun 2017, diare merupakan penyakit kedua

yang menyebabkan kematian pada balita (dibawah lima tahun) dengan  angka

mortilitas sebanyak 17%, sedangkan di Indonesia, penyakit diare masih merupakan

penyakit endemis dan merupakan penyakit potensial KLB yang disertai dengan

kematian.

Menurut  data Riskesdas 2013 menyebutkan angka mortilitas karena diare

balita (1–4 tahun) sebesar 25,2% (Kemenkes, 2013). Survei morbiditas yang

dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2000 sampai

dengan 2012 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR (Incidence

Rate) penyakit diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjad 374/1000

penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi

411/1000 penduduk, pada tahun 2012 menjadi 900/1000 penduduk (Hardi, 2015).
Penyakit diare menjadi masalah pada berbagai daerah di Indonesia, salah

satunya adalah kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru merupakan salah satu kota yang

endemis diare di Provinsi Riau Jumlah penderita diare di Provinsi Riau sebanyak

7.717 kasus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2016). Jumlah penderita

diare yang ada di Kota Pekanbaru adalah sebanyak 8.877 kasus pada Tahun 2016.

Kasus diare terbanyak terjadi pada balita dengan prevalensi 17,7 % pada tahun 2016

dan terus meningkat pada tahun 2017 dengan prevalensi 20,8 %. (Profil Kesehatan

Provinsi Riau, 2017).

Puskesmas Simpang Tiga termasuk 3 besar kejadian diare yang tertinggi

dengan jumlah kasus yaitu 608 kasus dengan jumlah penderita diare pada balita

sebanyak 236 balita (38,8%). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang

dilakukan terhadap 15 rumah yang ada di Simpang Tiga, masih ada beberapa rumah

yang mempunyai jamban namun tidak memenuhi syarat seperti jamban tidak kedap

air sehingga mencemari sumber air, tempat pembuangan sampah yang masih terbuka

sehingga ada kemungkinan hinggap nya lalat pada makanan. Selain itu hampir

setengah dari 15 rumah yang memiliki balita yang diwawancara mengaku tidak

mencuci tangan dengan sabun sebelum menyusui bayi serta setelah buang air besar.

Melihat latar belakang masalah maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang

pengaruh sanitasi total (ketersediaan air bersih dan tempat pembuangan sampah) serta

perilaku buang air besar serta perilaku cuci tangan pakai sabun terhadap kejadian

penyakit diare di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Tiga.


Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada masyarakat yang tinggal di wilayah kerja

Puskesmas Simpang Tiga kota Pekanbaru.  Pemilihan wilayah kerja Puskesmas

Simpang Tiga dikarenakan kejadian diare merupakan kasus tertinggi di daerah

tersebut. Penelitian dilaksanakan dari Agustus 2018 sampai dengan  November 2018.

Alat dan Bahan

Alat pengumpul data menggunakan kuesioner dan lembar observasi.

Kuesioner digunakan untuk mengetahui kejadian diare, sosial dan ekonomi

responden, sedangkan lembar observasi digunakan untuk melihat sanitasi lingkungan

responden.

Metode Penelitian

Jenis penelitian kuantitatif dengan metode survei. Menurut Ghozali (2008),

metode survei yaitu dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek

penelitian, dalam hal ini objek penelitian adalah seluruh orang tua yang memiliki

balita di wilayah kerja Puskesmas Simpang Tiga kota Pekanbaru.

Teknik Pengumpulan Data

Data pada penelitian ini dikumpulkan menggunakan kuesioner dan lembar

observasi. Kuesioner dan lembar observasi yang dipakai dimodifikasi sesuai dengan

tujuan penelitian. Kuesioner digunakan untuk melihat variabel perilaku BAB dan

CTPS, sosial, ekonomi dan kejadian diare, sedangkan lembar observasi digunakan

untuk melihat variabel ketersedian air bersih dan tempat sampah, saluran
pembuangan air limbah. Pemberian nilai 1 untuk jawaban Ya, dan 0 untuk jawaban

tidak untuk masing-masing pertanyaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja


Puskesmas Simpang Tiga

1. Hubungan Perilaku Buang Air Besar dengan Kejadian Diare


Tabel 7. Hubungan Perilaku Buang Air Besar dan Kejadian Diare di Wilayah
Kerja Puskesmas Simpang Tiga Tahun 2018

Kejadian Diare OR
P
Perilaku BAB Tidak Total %
Diare % % value
diare
Buruk 30 66,7 15 33,3 45 100 2,1
Baik 12 48 13 52 25 100 0.010
Total 42 60 28 40 70 100
Sumber : data olahan (2018)

Tabel 7 menjelaskan bahwa dari seluruh responden yang mengalami diare di

Kecamatan Simpang Tiga, sebesar 66,7% responden perilaku buang air besar buruk

dan 48% responden perilaku buang air besar baik. Nilai Odd Rasio (OR)

menunjukkan bahwa kejadian diare 2,1 lebih banyak pada responden dengan perilaku

buang air besar yang buruk.

Hasil uji hipotesis Chi-Square diperoleh nilai Sig. 0,010 (p < 0,05) sehingga

secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku buang air besar

dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Tiga. Hal ini sesuai

dengan penelitian Farid, dkk (2017), yang menyatakan bahwa ada hubungan perilaku

buang air besar dengan kejadian diare pada balita di RW 2 Kelurahan Wonokusumo,

Surabaya.
Hasil penelitian perilaku buang air besar di Wilayah Kerja Puskesmas

Simpang Tiga tidak baik dikarenakan responden membuang sembarangan hasil

kotoran dari balita sehingga dapat dijangkau oleh lalat. Berdasarkan hasil observasi,

tempat responden membuang sisa kotoran tidak memiliki penutup sehingga

memudahkan lalat untuk hinggap di sisa kotoran tersebut. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian Winarti (2016) di Klaten bahwa perilaku buang air besar

sembarangan berhubungan dengan kejadian diare. Asumsi peneliti yaitu lalat

menempel pada kotoran selanjutnya menempel dimakanan yang ada di rumah

sehingga makanan yang dikonsumsi oleh tercemar oleh lalat. Lalat merupakan salah

satu vektor yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit diare yang ditularkan

melalui kaki lalat yang terkontaminasi dengan kotoran. (Chandra, 2015).

Perilaku buang air besar yang tidak memenuhi syarat akan banyak

menimbulkan pencemaran lingkungan seperti pencemaran air, tanah. Tentunya

pencemaran ini akan menyebabkan gangguan kesehatan terhadap manusia seperti :

tercemarnya air permukaan dan tanah yang disebabkan oleh kotoran manusia. Selain

itu, perilaku buang air besar sembarangan dapat menyebabkan vektor lalat menempel

pada kotoran dan membawa agent penyebab penyakit diare pada manusia.
2. Hubungan Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun dengan Kejadian Diare

Hubungan perilaku cuci tangan pakai sabun dan kejadian diare dapat dilihat pada

tabel 8 sebagai berikut.

Tabel 8. Hubungan Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun dan Kejadian Diare di
Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Tiga Tahun 2018

Kejadian Diare OR
Perilaku Cuci P
Tidak Total %
Tangan Diare % % value
diare
Buruk 35 81,3 8 18,6 43 100 12,5
Baik 7 25,9 20 74,0 27 100 0.001
Total 42 60 28 40 70 100
Sumber : data olahan (2018)

Tabel 8 menjelaskan bahwa dari seluruh responden yang mengalami diare di

Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Tiga, sebesar 81,3% responden perilaku cuci

tangan pakai sabun yang buruk dan 25,9% responden perilaku cuci tangan pakai

sabun yang baik. Nilai Odd Rasio (OR) menunjukkan bahwa kejadian diare 12,5

lebih banyak pada responden dengan perilaku cuci tangan pakai sabun yang buruk.

Hasil uji hipotesis Chi-Square diperoleh nilai Sig. 0,001 (p < 0,05) sehingga

secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku cuci tangan pakai

sabun dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Tiga. Hal ini

sesuai dengan penelitian Farid, dkk (2017), yang menyatakan bahwa ada hubungan

perilaku cuci tangan pakai sabun dengan kejadian diare pada balita di RW 2

Kelurahan Wonokusumo, Surabaya.


UNICEF/WCARO (2008) yang menyebutkan bahwa cuci tangan menggunakan

sabun adalah salah satu cara yang paling efektif dan murah untuk mencegah penyakit

diare yang sebagian besar menyebabkan kematian pada anak. Mencuci tangan dengan air

saja kurang efektif dalam menghilangkan kuman peyakit jika dibanding dengan mencuci

tangan dengan sabun. Mencuci tangan dengan sabun setelah menggunakan toilet atau

membantu anak BAB dan sebelum memegang makanan dapat mengurangi tingkat

penyakit diare, kolera dan disentri sebanyak 48-59%.

Hasil penelitian perilaku cuci tangan pakai sabun di Wilayah Kerja Puskesmas

Simpang Tiga tidak dilaksanakan dengan baik dikarenakan responden hanya mencuci

tangan tanpa menggunakan sabun sebelum dan sesudah memberikan makanan kepada

balita. Asumsi peneliti yaitu bahwa ibu/responden belum terbiasa untuk melakukan

perilaku cuci tangan pakai sabun serta belum mendapatkan penyuluhan dan informasi

tentang pentingnya cuci tangan pakai sabun dari pihak puskesmas.

3. Hubungan Ketersediaan Air Bersih dengan Kejadian Diare

Hubungan ketersediaan air bersih dan kejadian diare dapat dilihat pada tabel 9

sebagai berikut.

Tabel 9. Hubungan Ketersediaan Air Bersih dan Kejadian Diare di Wilayah

Kerja Puskesmas Simpang Tiga Tahun 2018

Kejadian Diare OR
P
Air Bersih Tidak Total %
Diare % % value
diare
Tidak 31 77,5 9 22,5 40 100 0.002 5,9
memenuhi
syarat
Memenuhi 11 36,6 19 63,3 30 100
syarat
Total 42 60 28 40 70 100
Sumber : data olahan (2018)

Tabel 9 menjelaskan bahwa dari seluruh responden yang mengalami diare di

Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Tiga, sebesar 77,5% responden memiliki

ketersediaan air bersih yang buruk dan 36,6% responden yang memiliki ketersediaan

air bersih yang baik. Nilai Odd Rasio (OR) menunjukkan bahwa kejadian diare 5,9

lebih banyak pada responden dengan ketersediaan air bersih yang buruk.

Hasil uji hipotesis Chi-Square diperoleh nilai Sig. 0,002 (p < 0,05) sehingga

secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara ketersediaan air bersih

dengan kejadian diare di Kecamatan Simpang Tiga. Hal ini sesuai dengan penelitian

Amatus, dkk (2015), yang menyatakan bahwa ada ketersediaan air bersih dengan

kejadian diare pada anak sekolah di Puskesmas Bahu Manado.

Sumber air bersih responden adalah air galon isi ulang. Responden

beranggapan bahwa air galon isi ulang merupakan sumber air bersih yang aman

diminum tanpa direbus terlebih dahulu. Perspesi ini yang membuat responden

langsung meminum air tanpa dimasak terlebih dahulu.

Air bersih merupakan hal yang penting selain udara bagi kehidupan manusia. Air

bersih banyak digunakan dalam berbagai kegiatan seperti memasak, mencuci dan

kebutuhan minum. Kualitas air bersih harus memenuhi persyaratan fisik, kimia dan

biologis. Persyaratan fisik seperti : tidak berasa, tidak berbau dan tidak berwarna dan

persyaratan biologis menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan. Hal ini berkaitan

dengan kejadian diare dikarenakan kandungan E.coli menjadi penyebab kejadian


diare. Air bersih harus memperhatikan beberapa aspek seperti : kuantitas, kualitas,

kontinuitas dan keterjangkauan bagi masyarakat agar masyarakat dapat mendapatkan

air bersih untuk kegiatan sehari-hari.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Ada hubungan yang signifikan antara perilaku buang air besar, cuci tangan

pakai sabun, ketersediaan air bersih, ketersedian tempat sampah dan SPAL

dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Tiga.

b. Perilaku cuci tangan pakai sabun merupakan faktor yang paling berpengaruh

dengan kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Simpang Tiga.

5.2 Saran

1. Bagi Puskesmas

2. Perlu adanya kerja sama lintas sektor agar terciptanya lingkungan yang bersih

dan sehat untuk mengurangi kejadian diare.

3. Melakukan penyuluhan secara rutin tentang sanitasi lingkungan dan penyakit

diare.

4. Melakukan lomba rumah sehat untuk memotivasi masyarakat agar tetap menjaga

kebersihan lingkungan rumah.

5. Bagi Masyarakat

6. Perlu melakukan gerakan PHBS untuk masing-masing rumah tangga


7. Menjaga sanitasi lingkungan rumah agar selalu bersih dengan melakukan

kegiatan gotong royong minimal seminggu sekali.

Daftar Pustaka

Amatus, dkk. 2015. Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Kejadia Diare pada
Anak Usia Sekolah di Wilayah Kerja Puskesmas Bahu Manado. E-jurnal
Keperawatan, Volume 3 Nomor 2.

Chandra, B. 2015. Dasar Kesehatan Lingkungan.


Farid, et al. 2017. Faktor Protektif Kejadian Diare Pada Balita di RW 2 Kelurahan
Wonokusumo, Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 6 Nomor 1,
Januari 2018.
.
Ghozali, Imam. 2008. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016. Data dan Informasi Profil


Kesehatan Republik Indonesi 2016, Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI.

Soebagyo, B. (2008). Diare Akut Pada Anak. Surakarta: UNS Press.

UNICEF. 2008. (online). Tersedia. https://www.uncicef.org. akses 18 juni 2018.


Winarti, 2016. Faktor Kejadian Diare Pada Balita. Tesis, Universitas Diponegoro,
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai