Anda di halaman 1dari 21

PAPER NAMA : M.

FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

JURNAL
Hasil Jangka Panjang Autologous Auricular Cartilage
Graft yang Diterapkan pada Orbit Anophthalmic
Tidak Dapat Memakai Prostesis

Disusun oleh:
M. FAHRI ARIZA

140100001

Pembimbing:
dr. Fithria Aldy, M.Ked(Oph), Sp.M (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini dengan judul
“Hasil Jangka Panjang Autologous Auricular Cartilage Graft yang Diterapkan pada
Orbit Anophthalmic Tidak Dapat Memakai Prostesis “ Pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing penulis, dr.Fithria Aldy, M.Ked(Oph),
Sp.M (K) yang telah meluangkan waktunya dan memberikan bimbingan serta masukan dalam
penyusunan paper ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan paper ini masih jauh dari kesempurnaanbaik
isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca sebagai masukan dalam penulisan paper selanjutnya.
Paper ini diharapkan bermanfaat bagi yang membaca dan dapat menjadi
referensi dalam pengembangan wawasan di bidang medis.

Medan, 10 Maret 2021

Penulis

i
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.3 Manfaat ..................................................................................................... 2
BAB II METODE PENELITIAN ..................................................................... 3
BAB III HASIL .................................................................................................. 6
BAB IV DISKUSI ............................................................................................ 10
BAB V KESIMPULAN.................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 15

ii
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Perhitungan tampilan scleral nyata tutup bawah ................................ 4
Gambar 2. Prosedur bedah rekonstruksi fornix bawah pada soket anophthalmic ..7
Gambar 3. Tampak sagital rekonstruksi forniks bawah dengan cangkok tulang rawan
aurikuler ............................................................................................................ 8
Gambar 4. Pencangkokan tulang rawan aurikuler yang berjalan dengan baik setelah
operasi ............................................................................................................... 10
Gambar 5. Fotografi eksternal sebelum dan sesudah operasi ........................... 11
Gambar 6. Foto close-up telinga 2 minggu setelah pencangkokan tulang rawan . 11

iii
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pasien anophthalmic yang memakai prostesis okuler sering mengalami
kelainan orbital dan kelopak mata, seperti enophthalmos, ptosis kelopak mata atas,
sulkus superior dalam, malposisi kelopak mata bawah, dan forniks bawah dangkal.
Gejala-gejala ini merupakan apa yang disebut sebagai sindrom soket postenukleasi
(PESS).1 Untuk menangani kelainan kosmetik ini, beberapa operasi dapat dilakukan
pada orbit anophthalmic. Pertama, pasien yang mengalami defisit volume menjalani
koreksi dengan implan sekunder (jika tidak ada implan) atau dengan implan lantai
orbital (jika terdapat implan intrakonal kecil) sebelum operasi kelopak mata. 2 Di masa
lalu, defisit lapisan dikoreksi dengan rekonstruksi permukaan mata dan prosedur
pemanjangan lamella posterior dengan berbagai spacer. Namun, penggunaan implan
orbital untuk mengoreksi enophthalmos dapat membahayakan kedalaman forniks
bawah jika terjadi migrasi atau penonjolan implan. Oleh karena itu, pasien tersebut
mungkin tidak dapat memakai prostesis dalam aktivitas sehari-hari dan datang ke
klinik dengan kontraktur soket.
Kontraktur soket berkisar dari bentuk ringan hingga sedang dan berat.
Kontraktur ringan mengacu pada entropion sikatrikial pada kelopak mata bawah yang
disebabkan oleh kontraktur fibrosis pada lamella posterior. Kasus yang kontraktur
forniks inferior menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan prosesis
okuler dikategorikan sebagai kontraktur soket sedang. Kontraktur soket yang parah
bermanifestasi sebagai kontraktur forniceal vertikal dan horizontal yang ditandai 3 dan
dapat terjadi setelah trauma, peradangan berulang yang disebabkan oleh prostesis yang
tidak adekuat, atau radioterapi.

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menguraikan teori-teori


tentang Streak Retinoscopy. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi
persyaratan pelakasanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di
Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

1
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

Tantangan berkelanjutan bagi ahli bedah adalah mengembangkan metode


untuk merekonstruksi soket kontraktur sedang hingga berat dengan defisit lapisan
forniks, terutama pada populasi non-Kaukasia dengan kecenderungan fibrosis yang
menonjol. Baik jaringan parut pada jaringan ikat fibrosa orbital dan gangguan pada
konjungtiva berkontribusi pada kontraktur soket. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk melaporkan hasil pembedahan untuk penggunaan pencangkokan
kartilago aurikuler autologus untuk kontraktur soket sedang pada populasi non-
Kaukasia sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menguraikan teori-teori
tentang Hasil Jangka Panjang Autologous Auricular Cartilage Graft yang Diterapkan
pada Orbit Anophthalmic Tidak Dapat Memakai Prostesis. Penyusunan jurnal ini
sekaligus untuk memenuhi persyaratan pelakasanaan kegiatan Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan pemahaman
penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami tentang Hasil
Jangka Panjang Autologous Auricular Cartilage Graft yang Diterapkan pada Orbit
Anophthalmic Tidak Dapat Memakai Prostesis, dan mampu melaksanakan diagnosis
serta penatalaksanaan terhadap gangguan ini sesuai dengan Standar Kompetensi
Dokter Indonesia.

2
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

BAB II
METODE PENELITIAN

2.1 Bahan dan Metode


Kami melakukan tinjauan retrospektif hingga 2017 dari rekam medis pasien
yang menjalani rekonstruksi fornix dengan pencangkokan tulang rawan aurikuler
autologus oleh empat ahli bedah di Klinik Plastik dan Rekonstruksi Mata Linkou
Chang Gung Memorial Hospital, Taiwan, dari 1995 hingga 2013. Kriteria untuk
pemilihan pasien adalah pasien anophthalmic dengan masalah pemasangan prostesis,
forniks dangkal bawah, dan pencangkokan kartilago aurikuler autologus. Operasi
pemanjangan lamella posterior dengan pencangkokan tulang rawan aurikuler
dilakukan setelah informed consent diperoleh. Prostesis dibuat oleh ahli mata yang
sama. Pasien dengan masa tindak lanjut kurang dari 6 bulan dan riwayat rekonstruksi
forniks bawah dikeluarkan. Penelitian ini disetujui oleh Badan Peninjau Institusional
Universitas Kedokteran Chang Gung.
Penyebab status anophthalmic, riwayat operasi, dan malposisi kelopak mata
bawah diselidiki sebelum operasi (lihat Tabel S1, database studi di Materi
Tambahan). Kami mengklasifikasikan pasien menjadi dua kelompok: kelompok 1
terdiri dari mereka yang tidak dapat memakai prostesis dan kelompok 2 terdiri dari
mereka yang memakai prostesis dengan pola pandangan ke atas. Selanjutnya, kami
mencatat posisi protese relatif terhadap kelopak mata bawah, operasi kelopak mata
tambahan, komplikasi, dan morbiditas lokasi donor setelah follow up hingga akhir
tahun 2017.
Penulis mengambil foto pra operasi dan pasca operasi dari pasien dalam posisi
duduk dan pandangan utama; mereka juga mengukur posisi kelopak mata bawah
dalam milimeter menggunakan Adobe Acrobat Pro IX (versi 9.0.0; Adobe, San Jose,
CA, USA) dari limbus inferior ke margin kelopak mata bawah di setiap foto. Untuk
meningkatkan akurasi pengukuran, foto-foto ini disesuaikan secara seragam untuk
rasio ukuran.

3
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

Diameter horizontal kornea (Y), yang relatif konstan di mata, juga diukur. Diameter
kornea rata-rata yang dilaporkan di antara orang Cina adalah 12 mm 4; tampilan
scleral yang lebih rendah (X) telah disesuaikan (Gambar 1). Keberhasilan ditentukan
ketika pasien dapat memakai prostesis berukuran rata-rata tanpa penyesalan.
Scleral show (X) adalah perbedaan antara MRD2 nyata dan MRD2 standar,
dan Y adalah diameter kornea horizontal; pertunjukan scleral nyata (mm) X / Y 12.
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan versi SPSS 23.0 (SPSS,
Chicago, IL, USA), dan p <0,05 dipertimbangkan signifikan secara statistik. Kami
menggunakan uji chi-square untuk membandingkan kelompok dislokasi dengan
kelompok pandangan ke atas dalam hal perlunya prosedur tutup tambahan. Analisis
kelangsungan hidup diterapkan pada perbedaan keberhasilan pembedahan antara
kedua kelompok dengan uji log-rank.
2.2 Teknik Bedah
Cul-de-sac konjungtiva dangkal diinfiltrasi dengan 2% xylocaine dan 1:
200.000 adrenalin. Insisi transkonjungtiva dibuat untuk melepaskan adhesi sikatrikial
pada kelopak mata bawah (Gambar2 (a)). Setelah mengukur celah konjungtiva, kami
mengambil cangkok tulang rawan dari fossa skafoid telinga donor. Kulit dan
perikondrium dibedah

s-MRD2
r-MRD2

Gambar 1. Perhitungan tampilan scleral nyata tutup bawah.

4
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

mengekspos permukaan anterior fossa skafoid setelah infiltrasi anestesi lokal.


Selanjutnya, strip tulang rawan aurikuler yang ideal diiris dan dipanen (Gambar2
(b)).5 Luka kulit preauricular ditutup dengan jahitan terputus 5-0 poliglaktin 910 yang
dapat diserap dan dikompresi menggunakan bola kapas beta-iodin untuk mencegah
hematoma setelah operasi. Cangkok tulang rawan dijahit di antara tarsus dan traktor
dengan jahitan kontinu 6-0 poliglaktin 910 yang dapat diserap (Gambar2 (c) dan 2
(d)).
Graft ditambatkan ke lamella anterior kelopak mata bawah dengan dua jahitan
poliglaktin 910 5-0 yang dapat diserap (Gambar 3),dan konformer dimasukkan untuk
mempertahankan graft pada posisi proksimal dari dasar vaskular dan memperdalam
forniks bawah. Selanjutnya, traksi jahitan dibuat ke atas alis selama 2 minggu selama
fase penyembuhan luka yang cepat. Dalam teknik kami, langkah-langkah penting
untuk keberhasilan pembedahan kami adalah prosedur penahan dari lamella posterior
ke anterior, penyisipan konformer, dan jahitan traksi. Evaluasi tindak lanjut pasca
operasi dilakukan pada 2 minggu, 4 minggu, 3 bulan, dan 6 bulan.

5
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

BAB III
HASIL
Secara total, 29 pasien anophthalmic (29 kelopak mata) menjalani
rekonstruksi fornix bagian bawah dengan autologous auricular cartilage grafting dari
1995 hingga 2013. Usia pasien berkisar antara 10 sampai 87 tahun (rata-rata 45
tahun): 14 laki-laki dan 15 perempuan. Semua operasi dilakukan dengan anestesi
lokal, kecuali untuk dua anak. Lama rata-rata tindak lanjut pasca operasi adalah 52
bulan (mulai dari 6 hingga 159 bulan). Meja1 merangkum data demografis pasien ini
serta etiologi anophthalmos mereka. Penyebab paling umum dari status anophthalmic
adalah trauma (69%), dan lainnya termasuk keganasan (17%), anomali kongenital
(10%), dan endophthalmitis (4%).
Selain itu, kami menyelidiki faktor pencetus forniks bawah dangkal, seperti
koreksi enophthalmos sebelumnya, radiasi, peradangan soket kronis, eksposur
implan orbital, dan migrasi implan orbital. Penyebab tersering forniks bawah dangkal
adalah koreksi enophthalmos sebelumnya dengan implan lantai orbital (17%), dan
penyebab lainnya adalah soket kontraktur dengan riwayat paparan implan (7%) dan
soket iradiasi (7%). Tabel 2 meringkas status prostesis dan tampilan skleral yang lebih
rendah sebelum dan setelah operasi. Pada grup dislokasi (grup 1), tampilan scleral
bawah sebelum operasi tidak dapat diukur karena hilangnya forniks bawah. Setelah
pencangkokan tulang rawan aurikuler, jumlah tampilan sklera bagian bawah
berkurang menjadi rata-rata 0,18 mm. Pada kelompok prostesis pandangan ke atas
(kelompok 2), jumlah tampilan sklera yang lebih rendah berkurang

6
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2. Prosedur bedah rekonstruksi fornix bawah pada soket anophthalmic. (a)
Membuat sayatan konjungtiva untuk melepaskan adhesi cul-de-sac. (b) Memanen cangkok
tulang rawan aurikuler dari fossa skafoid. (c) Menjahit tepi konjungtiva ke cangkok tulang
rawan aurikuler dengan jahitan poliglaktin 910 6-0. (d) Pencangkokan tulang rawan untuk
memulihkan ruang forniks dangkal bagian bawah.

7
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

(a) (b) (c)

Gambar 3. Tampak sagital rekonstruksi forniks bawah dengan cangkok tulang rawan
aurikuler. (a) Fornix dangkal yang lebih rendah. (b) Bidang diseksi diwakili oleh garis
putus-putus. (c) Cangkok tulang rawan aurikuler dipasang pada lamella anterior,
menyediakan ruang yang tepat untuk memakai protese.

Tabel 1. Karakteristik demografis pasien anophthalmic dalam penelitian ini.

Tabel 2: Tampilan sklera bagian bawah sebelum operasi, operasi kelopak mata tambahan,
dan hasil bedah.

8
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

dari 1,86 mm menjadi 0,11 mm pasca operasi. Dengan demikian, melakukan prosedur
tutup tambahan seperti strip tarsal lateral, pemendekan horizontal, dan cangkok kulit
dengan ketebalan penuh tampaknya lebih diperlukan pada kelompok dislokasi (55%)
dibandingkan pada kelompok pandangan ke atas (22%).
Keberhasilan pembedahan didefinisikan sebagai cangkok yang berjalan
dengan baik (Gambar 4) dan retensi prostesis yang kuat setelah pencangkokan tulang
rawan aurikuler tanpa prosedur regraft selama tindak lanjut. Perbedaan dalam tingkat
keberhasilan antara kelompok dislokasi dan kelompok pandangan ke atas tidak
signifikan secara statistik, dengan rata-rata tindak lanjut 52,45 ± 48,95 bulan (kisaran
6-159 bulan) (p 0,567). Dengan demikian, prostesis okuler tidak hanya dapat
dipertahankan dalam posisi optimal tetapi juga dengan tingkat kesimetrisan yang
tinggi ke mata lainnya setelah rekonstruksi forniks bawah dengan pencangkokan
tulang rawan aurikuler (Gambar5).
Tidak ada morbiditas lokasi donor terkait telinga yang dilaporkan selama
follow up jangka panjang kami (Gambar 6). Hanya komplikasi kecil, seperti enam
granuloma forniks bawah dan satu indurasi kelopak mata bawah, yang diamati pada
29 kasus. Sebagian besar kasus granuloma piogenik terjadi 5-8 minggu setelah
operasi dan mudah diobati dengan eksisi langsung dan mitomisin C. topikal.

9
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

BAB IV
DISKUSI

Kontraktur forniks yang lebih rendah di soket anophthalmic sering mencegah


pasien dari nyaman memakai prosedur okuler dan mempengaruhi kualitas hidup
mereka. Untuk mengatasi masalah ini, banyak jenis rekonstruksi fornix bawah
dengan atau tanpa cangkok telah diadopsi. Soket dengan kontraktur minor dan hanya
lamella posterior pendek dapat diobati dengan rotasi marginal dan blepharotomy
transversal. Pada soket dengan kontraktur sedang, forniks yang dangkal, dan lapisan
konjungtiva yang tidak memadai, cangkok selaput lendir dengan stent silikon ke tepi
atau konformer digunakan. 6

Gambar 4. Pencangkokan tulang rawan aurikuler yang berjalan dengan baik setelah
operasi.

(a)

10
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

(b)

Gambar 5. Fotografi eksternal sebelum dan sesudah operasi. (a) 21-wanita berusia tahun
mengalami dislokasi prostesis di sisi kiri. (b) Retensi prostesis dan simetri mata meningkat
6 bulan setelah operasi.

Lebih lanjut, berbagai spacer telah digunakan untuk memperpanjang lamella


posterior kelopak mata bawah; cangkok autologus termasuk mukosa langit-langit
keras, tarsus, mukosa mulut

Gambar 6. Foto close-up telinga 2 minggu setelah pencangkokan tulang rawan.

7–12
selaput, lemak dermis, lengan bawah radial bebas , cangkok kondrokutan, dan
13-15
cangkok tulang rawan aurikuler. Cangkok homolog, seperti cangkok membran
16-17
ketuban, sklera, dan fasia lata , juga telah diterapkan sebagai spacer untuk
merekonstruksi kelopak mata bawah yang ditarik. Beberapa ahli bedah telah
menggunakan bahan spacer sintetis seperti cangkok dermis aseluler dan stenting e-
polytetra- uoroethylene yang kaku, nilon, berlabuh foil 18-20.

11
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

Sejauh ini, tidak ada jenis cangkok yang dianggap ideal atau sempurna untuk
soket anophthalmic; Oleh karena itu, banyak jenis cangkok telah digunakan sebagai
spacer untuk memperbaiki retraksi kelopak mata bawah. Selain itu, cangkok telah
digunakan untuk memperbaiki retraksi kelopak mata bawah dari mata yang terlihat.
Beberapa penelitian telah menyelidiki tingkat keberhasilan cangkok selaput lendir di
mata penglihatan, tetapi sedikit yang berfokus pada tingkat keberhasilan cangkok
selaput lendir untuk pasien anophthalmic setelah tindak lanjut jangka panjang.
Tingkat keberhasilan cangkok langit-langit keras pada kelopak mata bawah
yang tergeser berkisar antara 80% hingga 85%. 7, 21. Dalam studi Holck,posisi kelopak
mata yang memuaskan dicapai setelah pencangkokan langit-langit keras di 8 dari 10
soket anophthalmic. Pencangkokan membran ketuban di 10 soket dengan kontraktur
ringan hingga sedang memberikan hasil yang sebanding dengan pencangkokan
mukosa mulut dalam studi tindak lanjut 6 bulan Bajaj 10. Pada tahun 2008, Smith dan
Malet menerbitkan laporan yang menyatakan bahwa pencangkokan tulang rawan
aurikuler memiliki tingkat keberhasilan koreksi 92% di antara pasien anophthalmic
Kaukasia yang mengalami retraksi kelopak mata selama rata-rata tindak lanjut 19,7
bulan (kisaran 5-55 bulan) 15.
Dalam penelitian ini, koreksi yang berhasil dari 86% dari 29 soket
anophthalmic dicapai melalui pencangkokan tulang rawan aurikuler autologus
setelah follow-up rata-rata 52,45 bulan. Jadi, tulang rawan aurikuler, yang dimiliki
berbagai karakteristik menguntungkan, dapat berfungsi sebagai spacer kelopak mata
bawah pada soket kontraktur non-Kaukasia. Tulang rawan aurikuler yang diambil
dari fossa skafoid memiliki kelengkungan yang lebih sesuai untuk pas dengan
prostesis okular dibandingkan dengan daerah concha di forniks kelopak mata bawah.
Selain itu, ini memberikan ukuran yang disesuaikan untuk individu yang
membutuhkan rekonstruksi soket. Bidang bedah jelas dari pendekatan anterior, dan
pengambilan tulang rawan aurikuler dari fossa skafoid dapat dengan mudah
dilakukan. Setelah semua adhesi pada forniks bawah dangkal dilepaskan, tulang
rawan aurikuler dapat menawarkan sca old yang sangat baik untuk mempromosikan
epitelisasi ulang konjungtiva.

12
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

Dermis aseluler berkontraksi secara signifikan lebih keras pada mukosa


18
langit-langit ketika digunakan sebagai cangkok spacer kelopak mata bawah .
Dibandingkan dengan cangkok mukosa langit-langit keras, cangkok arteri aurikuler
lebih kaku dan tahan lama terhadap kontraktur selama proses penyembuhan luka pada
populasi non-Kaukasia. Mereka juga dapat memberikan dukungan yang stabil untuk
kelopak mata bawah tanpa penyerapan 22. Lebih lanjut, sejauh ini morbiditas lokasi
donor atau perubahan fungsional telinga tidak pernah dilaporkan. Satu studi
melaporkan perdarahan lokasi donor pasca operasi tanpa komplikasi pada
pencangkokan mukosa langit-langit keras 23, tapi ini tidak terjadi pada cangkok tulang
rawan aurikuler kami. Perawatan tempat donor pasca operasi sederhana, dan waktu
pemulihan pasien singkat. Komplikasi minor pasca operasi mungkin berupa
granuloma piogenik dalam waktu 2 bulan, yang dapat diobati dengan mudah.
Perubahan ganas setelah memakai prostesis untuk jangka panjang harus dipantau jika
beberapa episode berulang dari dislokasi prostesis okular terjadi setelah rekonstruksi.
Karena keterbatasan penelitian retrospektif ini, waktu tindak lanjut bervariasi dari 6
hingga 159 bulan setelah rekam medis ditinjau. Dengan demikian, studi prospektif
lebih lanjut dengan seri besar harus dilakukan untuk menghindari bias mangkir.

13
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

BAB V
KESIMPULAN

Kesimpulannya, cangkok tulang rawan aurikuler dapat digunakan berhasil


sebagai spacer yang kompatibel untuk pasien anophthalmic non-Kaukasia yang
menunjukkan forniks rendah dangkal dan masalah pemasangan prostesis pada follow
up jangka panjang. Cangkok ini menawarkan tidak hanya pemanjangan lamellae
posterior tetapi juga dinding forniks untuk mempertahankan ruang yang tepat untuk
protese. Ini adalah prosedur ramah ahli bedah untuk memulihkan kualitas hidup
pasien tanpa cacat kosmetik atau morbiditas lokasi donor.

14
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

DAFTAR PUSTAKA

1. T. J. Smit, L. Koornneef, F. W. Zonneveld, E. Groet, and A. J. Otto,


“Computed tomography in the assessment of the postenucleation socket
syndrome,” Ophthalmology, vol. 97, no. 10, pp. 1347–1351, 1990.
2. J. R. O. Collin, “Enucleation, evisceration and socket surgery,” in A Manual of
Systematic Eyelid Surgery, Elsevier-Butter- worth-Heinemann, London, UK,
3rd edition, 2006.
3. D. T. Tse, K. W. Wright, and S. J. Ryan, Color Atlas of Ophthalmic Surgery:
Oculoplastic Surgery, J. B. Lippincott, Philadelphia, PA, USA, 1st edition,
1992.
4. W. J. Jiang, H. Wu, J. F. Wu et al., “Corneal diameter and associated parameters
in Chinese children: the Shandong children eye study,” Clinical & Experimental
Ophthalmology, vol. 45, no. 2, pp. 112–119, 2017.
5. H. I. Baylis, N. Rosen, and R. W. Neuhaus, “Obtaining au- ricular cartilage for
reconstructive surgery,” American Journal of Ophthalmology, vol. 93, no. 6, pp.
709–712, 1982.
6. H. A. Tawfik, A. O. Raslan, and N. Talib, “Surgical man- agement of acquired
socket contracture,” Current Opinion in Ophthalmology, vol. 20, no. 5, pp. 406–
411, 2009.
7. M. J. Wearne, C. Sandy, G. E. Rose, J. Pittsb, and J. R. O. Collin,
“Autogenous hard palate mucosa: the ideal lower eyelid spacer?,” British
Journal of Ophthalmology, vol. 85, no. 10, pp. 1183–1187, 2001.
8. G. B. Bartley and P. P. Kay, “Posterior lamellar eyelid re- construction with a
hard palate mucosal graft,” American Journal of Ophthalmology, vol. 107, no. 6,
pp. 609–612, 1989.
9. H. E. Kim, S. Y. Jang, and J. S. Yoon, “Combined orbital floor wedge implant
and fornix reconstruction for postenucleation sunken socket syndrome,” Plastic
and Reconstructive Surgery, vol. 133, no. 6, pp. 1469–1475, 2014.

15
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

10. M. S. Bajaj, N. Pushker, K. K. Singh, M. Chandra, and S. Ghose,


“Evaluation of amniotic membrane grafting in the reconstruction of contracted
socket,” Ophthalmic Plastic & Reconstructive Surgery, vol. 22, no. 2, pp. 116–
120, 2006.
11. B. S. Korn, D. O. Kikkawa, S. R. Cohen, M. Hartstein, and C. C. Annunziata,
“Treatment of lower eyelid malposition with dermis fat grafting,”
Ophthalmology, vol. 115, no. 4, pp. 744–751, 2008.
12. I. S. Suh, Y. M. Yang, and S. J. Oh, “Conjunctival cul-de-sac reconstruction
with radial forearm free flap in anophthalmic orbit syndrome,” Plastic and
Reconstructive Surgery, vol. 107, no. 4, pp. 914–919, 2001.
13. A. G. Zampar, R. L. Salomons, R. F. Dornelles, A. L. e Silva, A. S. Silva, and
V. L. N. Cardim, “Chondrocutaneous auricular graft for reconstruction of ocular
socket in anophthalmic cavities,” Journal of Craniofacial Surgery, vol. 22, no.
2, pp. 602–605, 2011.
14. H. I. Baylis, K. I. Perman, D. R. Fett, and R. T. Sutcliffe, “Autogenous auricular
cartilage grafting for lower eyelid retraction,” Ophthalmic Plastic &
Reconstructive Surgery, vol. 1, no. 1, pp. 23–28, 1985.
15. R. J. Smith and T. Malet, “Auricular cartilage grafting to correct lower
conjunctival fornix retraction and eyelid mal- position in anophthalmic
patients,” Ophthalmic Plastic &Reconstructive Surgery, vol. 24, no. 1, pp. 13–
18, 2008.
16. M. T. Doxanas and R. M. Dryden, “The use of sclera in the treatment of
dysthyroid eyelid retraction,” Ophthalmology, vol. 88, no. 9, pp. 887–894,
1981.
17. J. C. Flanagan and C. B. Campbell, “The use of autogenous fascia lata to correct
lid and orbital deformities,” Transactions of the American Ophthalmological
Society, vol. 79, pp. 227– 242, 1981.
18. S. A. Sullivan and R. A. Dailey, “Graft contraction,” Oph- thalmic Plastic &
Reconstructive Surgery, vol. 19, no. 1, pp. 14–24, 2003.

16
PAPER NAMA : M. FAHRI ARIZA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS USU MEDAN NIM : 140100001

19. H. Demirci, S. G. Elner, and V. M. Elner, “Rigid nylon foil- anchored


polytetrafluoroetyhlene (Gore-Tex) sheet stenting for conjunctival fornix
reconstruction,” Ophthalmology, vol. 117, no. 9, pp. 1736–1742, 2010.
20. P. S. Levin and J. J. Dutton, “Polytef (polytetrafluoroethylene) alloplastic
grafting as a substitute for mucous membrane fluoroethylene alloplastic grafting
as a substitute for mucous membrane,” Archives of Ophthalmology, vol. 108,
no. 2, pp. 282–285, 1990.
21. D. E. Holck, J. A. Foster, J. J. Dutton, and H. D. Dillon, “Hard palate mucosal
grafts in the treatment of the contracted socket,” Ophthalmic Plastic and
Reconstructive Surgery, vol. 15, no. 3, pp. 202–209, 1999.
22. K. Hashikawa, S. Tahara, M. Nakahara et al., “Total lower lid support with
auricular cartilage graft,” Plastic and Re- constructive Surgery, vol. 115, no. 3,
pp. 880–884, 2005.
23. N. K. Pang, G. B. Bartley, U. Bite, and E. A. Bradley, “Hard palate mucosal
grafts in oculoplastic surgery: donor site lessons,” American Journal of
Ophthalmology, vol. 137, no. 6, pp. 1021–1025, 2004.

17

Anda mungkin juga menyukai