Anda di halaman 1dari 18

Bid’ah

Disajikan untuk memenuhi tugas kelompok semester ganjil


Tahun Akademik 2020/2021
Mata Kuliah

ASWAJA
DOSEN PENGAMPU
USTADZ ROFI’I, M.Pd.I
Hari Rabu, Tanggal 12 Desember 2020

Disusun Oleh:

Beni Sanjaya (2020120007)


Della Sari (2020120002)
Nurul Nikmah (2020120030)
Ratna Novita (2020120031)
Siti Khoiriyah (2020120034)
Khusnul hidayah (2020120019)
Yeni Muzdalifah (2020120043)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AS-SIDDIQIYAH
OGAN KOMERING ILIR
SUMATERA SELATAN
LEMPUING JAYA 2020/ 2021

i
KATA PENGANTAR

Bismilahirrohmanirrohiim Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat


Allah SWT karena dengan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan studi wisata yang berjudul “Bid’ah” Laporan ini disajikan
untuk memenuhi tugas kelompok semester ganjil tahun akademik 2020/ 2021.
Dalam kesempatan ini penulis menyadari bahwamakalah ini tidak akan
terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari semua pihak yang terlibat, terutama
dari pembimbing. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada Ustadz Rofi’i, M.Pd selaku dosen pengampu MK Aswaja dan
kepada teman-teman senasib dan seperjuangan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan


kekeliruan. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat
konstruktif demi perbaikan laporan sehingga menjadi lebih baik. Akhir kata
penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca
pada umumnya.

Lubuk Seberuk, 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................1
1. Latar Belakang................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah............................................................................ 2
3. Tujuan Pembahasan......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3
2.1. Pengertian Bid’ah........................................................................ 3
2.2. Klasifikasi hadits ......................................................................... 3
2.3. Amaliah yang punya dalil bid’ah ............................................... 3
2.4. Macam-macam bid’ah ................................................................ 4
A. Bid’ah Wajiba ............................................................................ 4
B. Muharramah ............................................................................... 4
C. Mandubah ................................................................................... 4
D. Dubaha ........................................................................................ 4
2.5. Sisi  Perbedaan  Antara  Bid’ah Dengan Maksiat ..................... 8
2.6. Tingkatan  Bid’ah ....................................................................... 11
BAB III PENUTUP ...................................................................................13
A. Kesimpulan .....................................................................................13
B. Saran ...............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Islam memberikan tuntunan kepada manusia dalam hal pergaulan,bahwa
pergaulan itu hendaknya didasarkan atas moral atau budi pekerti yang
luhur,bukan atas dasar kemuliaan status sosial maupun materi dan
sesungguhnya dalam kehidupan ini sangat dibutuhkan adanya pengenalan
antara manusia yang satu dengan yang lain. Selaras dengan ungkapan sebuah
syair:”Aku mengenali kejelekan bukan untuk kejelekan, namun agar berjaga-
jaga darinya siapa yang tak kenal kebaikan dari kejelekan, ia akan terjerumus
ke dalamnya.” Dengan demikian tidak cukup bagi seseorang dalam beribadah
hanya mengetahui sunnah saja, akan tetapi juga harus mengenali lawannya
yakni bid’ah, seperti dalam hal keimanan tidak cukup mengerti tauhid saja
tanpa mengetahui syirik. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengisyaratkan hal
ini dalam firmanNya (yang artinya), “Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada thoghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al
Baqoroh: 256).
Tak dapat disangkal lagi bila fenomena yang ada menunjukkan tak sedikit
dari kaum muslimin yang begitu hobi melakukan praktek bid’ah dan khurafat,
yang lebih mengenaskan bid’ah dan khurafat itu dikemas sedemikian rupa
agar tampak seolah-olah suatu ibadah yang disyariatkan, lebih tampil menarik
dan mampu memikat perhatian banyak orang. Lebih dari itu ternyata bid’ah
dan khurafat kini gemar dikampanyekan orang-orang yang bergamis dan
berjenggot, tetapi mana gamis dan mana jenggot?! -yang jelas keduanya
tengah didzalimi-. Ironinya model-model yang seperti inilah yang dijadikan
tokoh-tokoh penting bangsa ini, naik daun dan melambung namanya di
hadapan rakyat yang awam akan ilmu agamanya.
Sementara apa yang ada di dalam Kitabullah berisikan perintah untuk
ittiba’ (mengikuti tuntunan Rosulullah). Allah berfirman (yang
artinya), “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah

1
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran: 31).
Al-qur’an dan Al-Hadist sangat kaya dengan berbagai ajaran untuk
pedoman iman dan kehidupan ini. Para penganut ajaran sesat biasanya
memberi tekanan khusus pada satu atau dua ajaran, lalu diinterpretasikan
sedemikian rupa dan ditambah dengan ajaran-ajaran pemimpinnya sehingga
menjadi satu doktrin utama dalam aliran itu.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penulis menyusun makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Bid’ah?.
2. Apa macam-macam Bid’ah?.
3. Apa saja Tingkatan Bid’ah?

1.3. Tujuan Pembahasan


Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan Penulis menyusun makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa pengertian Bid’ah?.
2. Untuk mengetahui apa macam-macam Bid’ah?.
3. Untuk mengetahui apa saja Tingkatan Bid’ah?

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Bid’ah
Imam An-Nawawi (W. 676 H) dan Imam ‘Izuddin Bin Abdissalam (W.
660 H) mendefinisikan bid’ah dengan redaksi yang hampir sama yaitu: “
melakukan yang baru, yang tidak ditemukan di masa Rosululloh
‫”ﷺ‬.

2.2. Klasifikasi Hadits


Hadits-hadits peringatan menjauhi bid’ah selalu didahului dengan
anjuran melakukan sunah. Seperti hadis shahih:
‫فَاِنَّهُ من يعش منكم بعدي فسيري اختالفاكثيرافعليكم بستني وسنةالخلفاءالهديئنالراشدين‬
‫تمسكوابها وعضواعليها بالنواجذواياكم ومحدثات األمورفان كل محدثة بدعة وكل بد عة ضال لة روه‬
‫أبوداودوالترمذي‬
“barang siapa hidup setelahku, maka kan melihat banyak perbedaan yang
banyak. Maka berpeganglah dengan sunnahku dan sunah para khalifah yang
mendapat petunjuk, pegangilah dengan sekuat kalian. Dan jauhilah setiap
sesuatu yang baru, karena setiap bid’ah adalah tetap.” (HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi). 1

2.3. Amaliah Yang Punya Dalil Bukan Bid’ah


Amaliah yang tidak punya dalil bukan bid’ah secara khusus memang
sering dituduh bid’ah. Tentu tuduhan ini tidak benar. Ahli hadis al-hafidz ibn
hajar berkata :
“yang dimaksud sabda nabi ‘semua bid’ah sesat’ adalah sesuatu yang
diperbarui namun tidak punya dalil syar’i, baik secara khusus maupun secara
umum.”2

1
Ma’ruf Amin, Khazanah Aswaja, Aswaja Nu Center Pwnu Jawa Timur. Jawa Timur. Hlm 217
2
Ibid hlm 217

3
2.4. Macam – Macam Bid’ah
Izzu bin Abdu Assalam dalam bukunya Qawaidu Alahkam fi mashalihi
alanam hal:204, ia menganggap bahwa segala sesuatu yang belum dan tidak
pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW adalah Bid’ah yang terbagi menjadi
lima bagian, Bid’ah Wajiba (Wajib), Bid’ah Muharramah (Haram), Bid’ah
Makruha (Makruh), Bid’ah Mandubah (Sunnah) dan Bid’ah Mubaha (boleh)
dan untuk mengetahuinya maka bidah tersebut haruslah diukur berdasarkan
Syar’i, apabila bid’ah tersebut termasuk ke dalam sesuatu yang diwajibkan
oleh syar’i berarti bida’ah itu wajib, apabila termasuk perbuatan yang
diharamkan berarti haram dan seterusnya. Defenisi ini kemudian diperkuat
oleh Imam Nawawi dalam Fath Albari karangan Ibnu hajar hal:394, bahwa
segala sesuatu yang belum dan tidak pernah ada pada zaman Nabi adalah
bid’ah namun ada yang terpuji dan ada pula yang tercela.
1. Imam Nawawi dalam kitabnya Alazkar, mengatakan bahwa bid’ah itu
terbagi menjadi:
A. Bid’ah Wajiba
Contoh:mempelajari ilmu Nahwu untuk lebih memahami kalamullah
dan sunnah rasul adalah sesuatu yang wajib dipelajari dan untuk
menjaga syariat maka bid’ah itu adalah wajib
B. Muharramah
Contoh:Mazhab-mazhab yang sesat, seperti Qadariyah, jabariah dan
Khawarij, juga termasuk menciptakan sesuatu yang mendatangkan
mudharat bagi diri dan orang lain.
C. Mandubah
Contoh Bid’ah Mandubah: Pembangunan sekolah, jembatan, shalat
tarawih berjamaah di mesjid dan lain-lain.
D. Mubaha
Contoh Bid’ah mubaha: menambah kelezatan makanan dan minuman
serta memperindah pakaian. Dan beliau pun berbicara mengenai
berjabat tangan setelah menunaikan shalat, dimana berjabat tangan

4
adalah sunnah pada setiap kali bertemu, namun orang-orang terbiasa
dengan berjabat tangan dan menjadikannya adat hanya pada setiap kali
selesai shalat subuh dan ashar saja, padahal tidak mempunyai dasar
dalam syara’, namun tidak apa-apa karena asal hukum berjabatan
tangan adalah sunnah.3
2. Dalam kitab Annihayah,Ibnu Atsir berkata: Bid’ah itu terbagi menjadi dua
yaitu Bid’ah hasanah dan dhalalah, jika bertentangan dengan perintah
Allah dan rasulnya maka bid’ah itu termasuk golongan sesat dan tercela
namun jika sesuai dengan nilai-nilai yang telah dianjurkan oleh agama
maka bid’ah itu tergolong kedalam bid’ah yang terpuji, bahkan menurut
beliau, bid’ah hasanah pada dasarnya adalah sunnah. hal serupa pun
dikemukakan oleh Ibnu Mandzur. Di dalam Alquran Allah
berfirman:”Yasalunaka maaza uhilla lahum qul Uhilla lakumu
Atthayyibat” yang mengisyaratkan bahwa sesuatu yang baru selama tidak
bertentangan dengan agama meskipun tidak ada dasar hukumnya adalah
baik dan terpuji dan mendapat pahala, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:”Man sanna sunnatan hasanatan kana lahu ajruha wa ajru man
‘amila biha wa man sanna sunnatan sayyiatan kana ‘alaihi wizruha wa
wizru man ‘amila biha”, barang siapa yang berbuat sesuatu yang baik
maka baginya pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakannya dan
barang siapa yang berbuat sesuatu yang buruk maka baginya dosa dan
dosa orang-orang yang berbuat mengikutinya. Hal serupa pernah
diucapkan oleh Umar ra:”Ni’matil bid’atu hazihi”, alangkah indahnya
bid’ah ini, karena merupakan perbuatan baik sehingga termasuk kedalam
golongan bid’ah yang baik dan terpuji meskipun Rasulullah SAW tidak
pernah melakukan yang demikian yaitu melaksanakan shalat tarawih
secara berjamaah dan juga pada zaman Abu bakr, Umar ra lah yang
mengumpulkan orang-orang dan menyunatkan shalat tarawih secara
berjamaah di mesjid dan hal ini beliau namakan bid’ah “Ni’matil bid’atu
3
Fitri cahyanti, Macam-Macam Bid’ah”. https://almanhaj.or.id/439-pengertian-bidah-macam-
macam-bidah-dan-hukum-hukumnya.html diakses pada hari jum’at tanggal 18 desember 2020 jam
16.30 wib

5
hazihi”, yang menunjukan bahwa hal itu pada dasarnya adalah Sunnah
berdasarkan sabda Rasul SAW:”Alaikum bisunnati wa sunnati alkhulafa
Arrasyidina min ba’di”, dan Sabdanya yang lain:”Iqtadauw billazina min
ba’di, Abi bakr wa umar wa ali”, hal ini mengabaikan hadis lain yaitu
“Kullu muhdatsatin bid’at dan Kullu bid’atin Dhalalah”, karena yang
dimaksud dengan hadis ini adalah apa-apa yang baru yang bertentangan
dengan Syar’i serta tidak sesuai dengan agama.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi
hasanah dan sayyiah sebagaimana dapat dilihat dari perkataan Imam
Syafi’i dan para pengikutnya seperti Izzu bin Abdu Assalam, An Nawawi
dan abu Syamah. Para ‘ulama ahli ushul fiqih telah sepakat menetapkan
pembagian bid’ah itu kedalam dua bagian yaitu :
1. Bid’ah ‘Amm (umum)
Macam2nya : Fi’liyyah dan Tarkiyyah, I’tiqadiyyah dan ‘Amaliyyah,
Zamaniyyah, Makaniyyah dan Haliyyah, Haqiqiyyah dan Idhafiyyah,
Kulliyyah dan Juz-iyyah, ‘Ibadiyyah dan ‘Adiyyah. (masing2 ada
penjelasannya).
2. Bid’ah Khash (khusus)
Macam2nya : Bid’ah wajibah, Bid’ah Mandubah, Bid’ah Mubahah,
Bid’ah Muharramah, Bid’ah Makruhah.
A. Bid’ah Haqiqah adalah sesuatu yang baru dan sama sekali tidak ada dalil
syar’inya, baik dalam Al Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’. Tidak
ada istidlal (petunjuk dalil) yang digali oelh para ulama mu’tabar Contoh2
Bid’ah : (haqiqiyyah)\Bid’ah Haqiqiyyah : yaitu suatu perbuatan yang
tidak ada dalilnya sedikitpun baik dalil Al-qur’an, Sunnah rasul, dan ijma’
maupun istidlal yang mu’tabar dari para ahli ilmu agama dengan ringkas
atau panjang.
4. Mendekatkan diri kepada Allah swt dengan cara menjadi Rahib.
5. Menyiksa diri dengan berbagai macam siksa dgn tujuan agar lekas mati
untuk segera memperoleh kemuliaan disyurga.

6
6. Menyerahkan hukum agama kepada ‘aqal-fikiran manusia, dan menolak
nash-nash yang terang dari Allah dan Rasul-Nya.4
7. Menyamakan urusan riba dengan jual beli dengan dalih sama2 mencari
keuntungan.
8. Mengerjakan rukun sholat dengan dibalik-balik rukunnya, misalnya ruku’
2 kali dan sujud satu kali, dll.
9. Puasa (Ramadhan) dimalam hari dan berbuka disiang hari.
10. Mengadakan thawaf ditempat lain (bukan di sekeliling ka’ba) misalnya
ditempat2 yang dianggap keramat.
11. Ber-wukuf ditempat lain selain dari Arafah, sebagai ganti Arafah.
B. Bid’ah Idlafiyyah adalah sesuatu yang secara prinsip memiliki dasar 
syar’iy, tetapi dalam penjelasan dan operasionalnya tidak berdasar dalil
syar’iy. Contoh Bid’ah Idhafiyyah Bid’ah Idhafiyyah, yaitu suatu
perbuatan yang terdapat padanya dua unsur yang bercampur, yakni bila
dilihat atau dihubungkan dengan dalil atau sunnah kelihatannya bukan
perbuatan bid’ah, tetapi bila dilihat dari sisi yang lain, perbuatan itu
menjadi bid’ah, contoh ;
1. Sholat Ragha-ib atau sholat 12 raka’at pada malam Jum’at minggu
pertama bulan Rajab dengan cara2 tertentu, dilihat dari satu jurusan
perbuatan  sholat adalah mengikut sunnah Rasul, tetapi dilihat dari
jurusan lain sholat sunnah tsb tidak pernah diperintahkan/dicontohkan
oleh Nabi saw.
2. Sholat Nishfu Sya’ban, yaitu sholat 100 raka’at pada malam 15 bulan
sya’ban. ( Tidak ada contoh/perintah dari Rasulullah saw.)
3. Sholat sunnah sehabis Fardhu Subuh dan Fardhu Ashyar, (bahkan
sholat sunnah tsb dilarang Rasulullah).
4. Mengerjakan Adzan dan Iqamat pada sholat hari raya Idul-Fitri, dan
sholat gerhana mata hari/bulan.

4
Libary, “Definisi Bid’ah “ http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1-
2005-achmadanwa-617-BAB1_219-6.pdfdiakses pada hari sabtu tanggal 19 desember jam 14.23
wib

7
5. Membaca shalawat dan salam sehabis adzan dengan nyaring, dan
menjadikannya sebagai lafaz adzan. Membaca adzan dan iqamat
dengan suara keras pada saat menguburkan mayat.
6. Membaca istighfar sehabis sholat berjamaah dengan suara nyaring
dan dibacakan bersama-sama.
C. Bid’ah Tarkiyyah adalah sikap meninggalkan perbuatan halal dengan
menganggap bahwa sikapnya itu tadayyun (kesalihan beragama). Sikap
ini bertentangan dengan konsep syari’ah secara umum. Seperti yang
pernah diajukan oleh tiga orang yang bertanya tentang ibadah Nabi, lalu
masing-masing dari tiga ini berjanji untuk meninggalkan sesuatu yang
halal dengan tujuan agar lebih shalil dalam beragama. Sehingga keluar
pernyataan Nabi: …barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka
ia bukanlah dari ummatku”. Muttafaq alaih
D. Bid’ah Iltizam adalah pembatasan diri pada syari’ah yang mutlak, dengan

waktu atau tempat tertentu. Syari’ah yang mutlak itu bisa berupa ucapan,

perbuatan. Seperti bershalawat Nabi, dsb. Secara prinsip bershalawat

diajarkan agama dan diperintahkan untuk banyak melakukannya, kecuali

yang dibaca pada shalat. Bid’ah dalam hal ini muncul ketika ada

pembatasan waktu atau tempat tertentu, tidak bisa dilakukan di luar waktu

atau tempat yang telah ditentukan itu.

E. Bid’ah I’tiqadiyah adalah bid’ah dalam pandangan keyakinan,seperti


meyakini pandangan agamanya yang dianggap benar,padahal
sesungguhnya tidak benar.5

2.5. Sisi  Perbedaan  Antara  Bid’ah Dengan Maksiat


Dasar larangan maksiat biasanya dalil-dalil yang khusus, baik teks wahyu
(Al-Qur’an , As-Sunnah) atau ijma’ atau qiyas. Berbeda dengan bid’ah, bahwa
dasar larangannya –biasanya dalil-dalil yang umum dan
5
Loc.Cit Fitri Cahyanti

8
maqaashidusysyarii’ah serta cakupan sabda Rasulullah ‘Kullu bid’atin
dhalaalah’ (setiap bida’ah itu sesat).
a. Bid’ah itu menyamai hal-hal yang disyari’atkan, karena bid’ah itu
disandarkan dan dinisbatkan kepada agama. Berbeda dengan maksiat, ia
bertentangan dengan hal yang disyariatkan, karena maksiat itu berada di
luar agama, serta tidak dinisbatkan padanya, kecuali jika maksiat ini
dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, maka
terkumpullah dalam maksiat semacam ini, maksiat dan bid’ah dalam
waktu yang sama.
b. Bid’ah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui
batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah
jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syari’at.
Menuduh bahwa syari’at ini masih kurang dan membutuhkan tambahan
serta belum sempurna. Sedangkan maksiat, padanya tidak ada keyakinan
bahwa syari’at itu belum sempurna, bahkan pelaku maksiat meyakini dan
mengakui bahwa ia melanggar dan menyalahi syariat.
c. Maksiat merupakan pelanggaran yang sangat besar ditinjau dai sisi
melanggar batas-batas hukum Allah, karena pada dasarnya dalam jiwa
pelaku maksiat tidak ada penghormatan terhadap Allah, terbukti dengan
tidak tunduknya dia pada syari’at agamanya. Sebagaimana dikatakan,
“Janganlah engkau melihat kecilnya kesalahan, tapi lihatlah siapa yang
engkau bangkang” . Berbeda dengan bid’ah, sesungguhnya pelaku bid’ah
memandang bahwa dia memuliakan Allah, mengagungkan syari’at dan
agamanya. Ia meyakini bahwa ia dekat dengan tuhannya dan
melaksanakan perintahNya. Oleh sebab itu, ulama Salaf masih menerima
riwayat ahli bid’ah, dengan syarat ia tidak mengajak orang lain untuk
melakukan bid’ah tersebut dan tidak menghalalkan berbohong. Sedangkan
pelaku maksiat adalah fasiq, gugur keadilannya, ditolak riwayatnya
dengan kesepakatan ulama.
d. Maka sesungguhnya pelaku maksiat terkadang ingin taubat dan kembali,
berbeda dengan ahli bid’ah, sesungguhnya dia meyakini bahwa amalanya

9
itu adalah qurbah (ibadah yang mendekatkan kepada Allah, -pent),
terutama ahli bid’ah kubra (pelaku bid’ah besar), sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Maka apakah orang yang dijadikan
(syaithan) menganggap baik pekerjaan yang buruk lalu dia meyakini
pekerjaan itu baik…” [Faathir : 8] Sufyan At-Tsauri berkata : “Bid’ah itu
lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena maksiat bisa ditaubati dan
bid’ah tidak (idharapkan) taubat darinya. Dalam satu riwayat diceritakan
bahwa Iblis berkata, “Saya mencelakakan Bani Adam dengan dosa dan
mereka membinasakanku dengan istighfar dan Laailaha illalah.
Tatkala saya melihat itu, maka saya menebar hawa nafsu di antara mereka.
Maka mereka berbuat dosa dan tidak bertaubat, karena mereka
beranggapan bahwa mereka berbuat baik.
e. Jenis bid’ah besar dari maksiat, karena fitnah ahli bid’ah (mubtadi)
terfdapat dalam dasar agama, sedangkan fitnah pelaku dosa terdapat dalam
syahwat. [3]. Dan ini bisa dijadikan sebuah kaidah bahwa jika salah satu
dari bid’ah atau maksiat itu tidak dibarengi qarinah-qarinah (bukti atau
tanda) dan keadaan yang bisa memindahkan hal itu dari kedudukan
asalnya. Diantara contoh bukti-bukti dan keadaan tersebut adalah :
Pelanggaran –baik maksiat atau bid’ah- bisa membesar jika diiringi
praktek terus menerus, meremehkannya, terang-terangan, menghalkan atau
mengajak orang lain untuk melakukannya. Ia juga bisa mengecil
bahayanya jika dibarengi dengan pelaksanaan yang sembunyi-sembunyi,
terselubung tidak terus menerus, menyesal dan berusaha untuk taubat ,
berusaha untuk tidak mengulanginya perbuatannta itu lagi.
Contoh lain : Pelanggaran itu dengan sendirinya bisa membesar dengan
besarnya kerusakan yang ditimbulkan. Jika bahayanya kembali kepada
dasar-dasar pokok agama, maka hal ini lebih besar daripada penyimpangan
yang bahayanya hanya kembali kepada hal-hal parsial dalam agama.
Begitu pula pelanggaran yang bahayanya berhubungan dengan agama
lebih besar daripada pelanggaran yang bahayanya yang berhubungan
dengan jiwa. Jadi sebenarnya untuk mengkomparasikan antara bid’ah

10
dengan maksiat kita harus memperhatikan situasi dan kondisi, maslahat
dan bahayanya, serta akibat yang dtimbulkan sesudahnya, karena
memperingatkan bahaya bid’ah atau berlebih-lebihan dalam menilai
keberadaannya tidak seyogyanya menimbulkan –sekarang atau
sesudahnya- sikap meremehkan dan menganggap enteng keberadaan
maksiat itu sendiri, sebagaimana ketika kita memperingatkan bahawa
maksiat atau berlebih-lebihan dalam menilai keberadaannya, tidak
seyogyanya mengakibatkan –sekarang atau sesudahnya-sikap meremehkan
dan menganggap enteng keberadaan bid’ah itu sendiri. 6

2.6. Tingkatan  Bid’ah


Kita tidak ragu lagi bahwa bid’ah memiliki beberapa tingkatan, yaitu dua
tingkatan. Bid’ah yang muharramah, yaitu bid’ah yang tidak sampai
menyebabkan pelakunya menjadi kafir. Yang kedua: Bid’ah Mukaffirah (yang
bisa membuat pelakunya menjadi kafir). Maka bid’ah itu bisa jadi
muharramah dan bisa jadi mukaffirah. Contohnya: ketika kita mengatakan
bahwa pengkhususan sebagian imam dengan melakukan qunut pada shalat
Subuh dengan membaca: Allahummahdina fiiman hadaita adalah bid’ah. Ini
memang bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di
neraka. Ini adalah bid’ah Muharramah, tetapi apakah sama bid’ah ini dengan
bid’ah thawaf di kuburan?! Apakah sama dengan bid’ah orang yang meminta
bantuan dan pertolongan kepada selain Allah? Mereka mengatakan: Wahai
Rifa’i tolonglah aku! dan Wahai Jailani tolonglah aku ?! Ini adalah bid’ah dan
yang tadi juga bid’ah. Tetapi yang awal adalah bid’ah yang muharramah, yang
pelakunya akan menjadi fasiq, sedangkan yang kedua bid’ah mukaffarah, yang
pelakunya bisa menjadi kafir. Dan kaidah pengkafiran itu adalah: Setelah
ditegakkan hujjah kepada pelakunya dan kemudian dia melakukan sikap
menentang, sebagaimana yang telah kita terangkan sebelumnya, adapun
bid’ah yang membawa pelakunya kepada kekafiran, tidak berarti pelakunya

6
Ibid

11
pasti menjadi kafir bila dia melakukannya, kecuali bila telah ditegakkan hujah
kepadanya kemudian dia menentang.

BAB III

12
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
1. Bidah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui
batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah
jelas bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan
syariat.Menuduh Rasulullah Muhammad SAW menghianati risalah,
menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan membutuhkan tambahan
serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui bahwa semua
bid’ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang sesuai
kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila
ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid’ah hasanah jika
dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang
banyak.
2. Analisis tentang Bid’ah dapat dipergunakan untuk menambah pengetahuan
tentang agama islam bagi masyarakat.
3. Berkaitan dengan moral dan peran manusia,maka penyebab yang paling
dominan sebagai penyebab terjadinya Bid’ah yaitu tidak adanya
pemahaman dan komitmen agama yang baik dikalangan masyarakat.
4. Iman kita dapat dirusak oleh perbuatan-perbuatan yang mendekati Bid’ah.
5. Iman memiliki fungsi dan hikmah yang besar bagi kehidupan untuk
melenyapkan Bid’ah.
 
3.2. Saran

1. Setelah disadari bahwa Bid’ah kesalahan yang besar yang menyalahi


hukum-hukum Allah dan tidak diajarkan dalam agama Islam maka
hendaklah masyarakat mampu meramu pendidikan agama Islam yang
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diajarkan dalam agama islam.
2. Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca akan lebih dapat mencari
tahu  tentang bid’ah yang diwajibkan dan diharamkan.

13
3. Masyarakat hendaknya mampu mengadakan penelitian-penelitian
sederhana yang bertujuan untuk menemukan formula-formula baru  bagi
system pembelajaran agam islam yang lebih inovatif untuk meningkatkan
mutu pendidikan tentang agama islam yang menambah dan memperkuat
iman kita terhadap Allah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Libary, “Definisi Bid’ah “


http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/13/jtptiain-gdl-s1-2005-
achmadanwa-617-BAB1_219-6.pdfdiakses pada hari sabtu tanggal 19
desember jam 14.23 wib
Cahyanti, Fitri, “Macam-Macam Bid’ah”. https://almanhaj.or.id/439-pengertian-
bidah-macam-macam-bidah-dan-hukum-hukumnya.html diakses pada hari
jum’at tanggal 18 desember 2020 jam 16.30 wib
Amin, Ma’ruf, “Khazanah Aswaja”, Aswaja Nu Center Pwnu Jawa Timur. Jawa Timur.

15

Anda mungkin juga menyukai