ABSTRAK
Ruang siber telah mengubah cara masyarakat dalam berkomunikasi dan berinteraksi tanpa
dibatasi oleh batas-batas negara. Dengan karakteristiknya yang transnasional, hingga saat ini
masih sulit menemukan kesepahaman internasional dalam konsep pengaturan yang sesuai. Belum
terdapatnya rezim internasional yang mengatur hal ini mengakibatkan munculnya ketidakpastian
hukum dalam tataran pengaturan internasional dan nasional. Dalam rangka untuk mencari konsep
yang sesuai dan tepat waktu untuk mengatur dunia maya yang menghadapi berbagai tantangan
dan hambatan terkait dengan yurisdiksi antar negara, Lex Informatica telah memberikan para
pembuat kebijakan suatu opsi dengan pengaturan teknis melalui teknologi yang dapat melampaui
batas-batas masing-masing negara (ekstrateritorial). Kombinasi rezim hukum dan Lex Informatica
akan menghasilkan prinsip-prinsip baru dalam mengatur dunia maya, seperti Prinsip Yurisdiksi
untuk Mencegah dan Prinsip Perlindungan Aktif. Prinsip jurisdiction to prevent (pre-emptive
jurisdiction) dan prinsip perlindungan aktif merupakan prinsip hukum utama yang dapat digunakan
untuk mendukung konsepsi kedaulatan negara guna membentuk rezim extraterritorial juridiction
dalam cyberlaw di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif yang
menitikberatkan penelitian pada ketentuan hukum yang berlaku. Penulis juga menggunakan
metode pendekatan yuridis futuristik (hukum yang akan datang).
Kata kunci: lex informatica; prinsip; ruang siber.
ABSTRACT
Cyberspace has changed the way society interacts and communicates to each other withour
border. Because of its transnational characteristics, up until today, it is still difficult to find
international agremeent on the right and proper instrument to regulate cyberspace. The legal
gap caused by the absence of international legal regime will in fact produce a legal uncertainty
in the context of international and national regulation. In order to find the appropriate and
timely concept to regulate cyberspace which are facing now multifacet challanges and obstacles
regarding jurisdiction among States, the Lex Informatica has provided policy makers with technical
arrangements through technology that can reach beyond each States’ borders (extraterritorial).
The combination of legal regime and the Lex Informatica will produce new principles in regulating
cyberspace, such as the Principle of Jurisdiction to Prevent and the Principle of Active Protection.
The Principle of Jurisdiction to Prevent and the Principle of Active Protection will become the
* Diplomat Indonesia, saat ini bertugas sebagai Sekretaris Kedua (Second Secretary) di Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk PBB
di New York, email: purna.cita@kemlu.go.id
44 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018
main principles in supporting the concept of the state sovereignty in developing extraterritorial
jurisdiction regime for cyberlaw in Indonesia. This researh is considered as a legal research
focussing on examining existing rules and regulations and also considers legal futuristic research in
nature in trying to find which legal instrument should be developed in the future”.
Keywords: cyberspace; lex informatica; principle.
Ahmad M. Ramli, “The Urgency of Ratification of Convention on Cybercrime”, Indonesia Law Journal Vol. 2 No. 2, National Law
1
Development Agency, Mininstry of Law and Human Rights, Jakarta: 2007, hlm. 1.
Purna Cita Nugraha 45
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif
2
Svetlana Anggita Prasasti, “Developing Indonesia’s Digital Diplomacy Strategy” Jurnal Diplomasi Vol.5 No.1, Jakarta, 2013, hlm. 95.
3
Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT. Tata Nusa, Jakarta: 2012, hlm. 136.
4
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi (Regulasi dan Konvergensi), Refika Aditama,
Bandung: 2010, hlm. 136.
5
Ibid.
46 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Disamping itu sebagai salah satu
perlu kiranya melihat dan memahami prinsip- anggota masyarakat internasional, Indonesia
prinsip hukum apa yang dapat digunakan untuk harus menyesuaikan peraturan perundang-
mendukung konsepsi kedaulatan negara untuk undangannya dengan perkembangan
membentuk rezim extraterritorial juridiction internasional yang dewasa ini telah banyak
dalam cyberlaw di Indonesia. Hal ini berkaitan diatur sehingga diperlukan adanya harmonisasi
dengan perlunya pemahaman yang sama pengaturan antara Indonesia dengan negara
di antara negara-negara sehingga nantinya lain yang selanjutnya akan menciptakan suatu
dimungkinkan suatu proses harmonisasi kepastian hukum bagi pengguna yang akan
dan sinkronisasi peraturan. Harmonisasi mendorong pemanfaatan teknologi informasi
dan sinkronisasi peraturan dibutuhkan guna untuk informasi elektronik dan transaksi
mengatasi hambatan kedaulatan negara ke elektronik khususnya perkembangan dan
luar khususnya yang menyangkut dengan kemajuan industri e-commerce di Indonesia.7
penerapan prinsip extrateritorial jurisdiction Berdasarkan uraian dalam latar belakang,
kepada negara lain. Dalam konteks ini misalnya, masalah yang hendak dikaji adalah prinsip-
prinsip yurisdiksi ekstrateritorial dalam Pasal 2 prinsip hukum apa yang dapat digunakan untuk
UU ITE tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya mendukung konsepsi kedaulatan negara untuk
karena suatu negara pada kenyataannya tidak membentuk rezim extraterritorial juridiction
dapat melaksanakan kekuasaannya di wilayah dalam cyberlaw di Indonesia
negara lain walaupun mempunyai yurisdiksi
atas suatu perbuatan hukum tersebut. METODE PENELITIAN
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun Penelitian ini merupakan penelitian
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka hukum yuridis normatif yang menitikberatkan
Panjang 2005-2025 telah ditentukan bahwa penelitian pada ketentuan hukum yang berlaku
untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing yang mencakup penelitian terhadap asas-asas
harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan dan prinsip-prinsip hukum, sistematika hukum,
teknologi. Salah satunya dengan pemanfaatan sinkronisasi hukum dalam merumuskan politik
e-commerce dan peraturan-peraturan yang hukum untuk membentuk rezim extraterritorial
mengaturnya termasuk melalui peraturan jurisdiction dalam cyberlaw dan kaitannya
yang terkait dengan privasi.6 Dengan terhadap konsepsi kedaulatan Negara.
demikian Pemerintah Indonesia dituntut
untuk mewujudkannya dengan legal policy Spesifikasi atau sifat dari penelitian ini
(politik hukum) yang tepat dan sesuai guna adalah eksploratif analitis, yaitu menjelaskan
mewujudkan tujuan yang terdapat dalam atau menggambarkan sesuatu yang belum ada
Rencana Pembangunan Jangka Panjang dalam hal ini berusaha menganalisis hukum
tersebut. apa yang seyogianya diciptakan untuk masa
datang berdasarkan ketentuan hukum dan
6
Shinta Dewi, Cyberlaw: Perlindungan Privasi atas Informasi Pribadi dalam E-Commerce menurut Hukum Internasional, Widya
Padjadjaran, Bandung: 2009, hlm. 6.
7
Ibid.
Purna Cita Nugraha 47
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif
8
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, PT. Alumni, Bandung: 2006, hlm. 171.
9
Ibid, hlm. 146.
48 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018
nature of network behavior makes these Formulasi aturan teknis untuk akses
claims subject to complex choice of law informasi juga dapat menghindari risiko
decisions. States are generally reluctant to kewajiban yang dikenakan oleh aturan-
impose their laws on activities taking place aturan hukum yang saling bertentangan dan
in foreign jurisdictions. Consequently, dapat menawarkan solusi bagi masalah self-
jurisdiction becomes a critical threshold censorship yang didorong oleh regulasi konten
obstacle to sensible information yang bertentangan. Kebijakan teknologi
policymaking.” 10
menawarkan aturan substantif dalam Lex
Dalam hal ini yurisdiksi Lex Informatica Informatica yang menggeser persoalan dari
adalah jaringan itu sendiri. Aturan-aturan penyensoran, atau pemblokiran distribusi,
teknologi dilaksanakan berlaku di seluruh menjadi filterisasi penerimaan informasi.
jaringan yang relevan. Dengan demikian, Pergeseran ini memungkinkan aturan yang
Lex Informatica dapat lintas batas dan tidak berbeda untuk berlaku untuk penerima
menghadapi yurisdiksi yang sama, masalah yang berbeda. Keputusan kebijakan tentang
pilihan hukum yang rezim hukum hadapi ketika penerimaan informasi dapat dilakukan pada
jaringan melewati garis yurisdiksi teritorial atau berbagai tingkatan. Penerima sendiri dapat
negara. Lex Informatica menghadapi konflik memiliki kewenangan/otoritas untuk membuat
aturan di gerbang antar jaringan. Jika standar keputusan tentang konten informasi. Suatu
teknologi di kedua sisi gateway interoperable, komputer tertentu dapat dikonfigurasi dengan
arus informasi dapat melewati gateway tanpa aturan filtering tersendiri. Sebuah jaringan
kesulitan. Ketika standar tidak kompatibel, area lokal mungkin memiliki aturan kebijakan
arus akan terhambat oleh perbedaan dalam jaringan yang luas, sedangkan penyedia jasa/
spesifikasi teknis. Sebagai contoh, modul layanan informasi dapat mengadopsi berbagai
perangkat lunak yang didesain untuk sistem sistem aturan tertentu. Semua Penyedia Jasa
operasi satu komputer biasanya tidak dapat Internet di negara tertentu bahkan mungkin
berfungsi pada sistem operasi lain. Namun, memiliki kebijakan filter yang sama. Fleksibilitas
suatu masalah hukum yang timbul dari suatu ini dan penekanan pada penerimaan berarti
rezim hukum memaksa untuk memilih satu bahwa aturan yang unik tidak diperlukan untuk
hukum yang diberlakukan, sementara kedua distribusi global informasi karena distributor
perangkat aturan teknis yang tidak kompatibel dalam satu yurisdiksi tidak perlu bertentangan
dapat diterapkan melalui penggunaan dengan norma-norma yurisdiksi lain.
terjemahan dan konversi. Pada contoh sistem Respon teknis dan solusi untuk konflik
operasi, program software didesain untuk kebijakan menunjukkan cara-cara baru
menerjemahkan standar antara sistem operasi untuk menetapkan aturan arus informasi.
komputer. Fitur dualitas ini memungkinkan Pembuat kebijakan biasanya, meskipun
fleksibilitas dalam mengakomodasi banyak selalu mengaitkannya dengan elaborasi dan
pilihan aturan kebijakan informasi secara pembuatan hukum melalui proses politik di
simultan. dalam dan di antara negara-negara. Aturan yang
Joel R. Reidenberg, Lex Informatica: “The Formulation of Information Policy Rules Through Technology” , Tax Law Review, Volume 76,
10
ditetapkan dengan motode ini membentuk rezim yang berbeda dari pembuatan aturan di bidang
peraturan hukum konvensional (tradisional). arus informasi (distinct source of information
Dalam konteks arus informasi pada jaringan, flow rule-making) harus mulai dilihat oleh para
solusi teknis mulai menggambarkan bahwa pembuat kebijakan dalam membuat kebijakan-
teknologi jaringan itu sendiri memaksakan kebijakan di masa depan khususnya kebijakan
aturan untuk akses dan penggunaan informasi. yang terkait dengan pembentukan rezim
Arsitektur teknologi dapat melarang tindakan extraterritorial jurisdiction yang terkendala
tertentu pada jaringan, seperti akses tanpa dengan yurisdiksi asing atau negara lain.
izin, atau mungkin mewajibkan arus tertentu, Lex Informatica merupakan suatu alternatif
dan data routing alamat wajib untuk pesan bagaimana Negara-Negara dapat mengatasi
elektronik (mandatory address routing data masalah yurisdiksi tersebut menggunakan
for electronic messages). Teknologi mungkin solusi-solusi dan respon-respon teknis dengan
juga menawarkan pilihan kebijakan aturan menggunakan teknologi.
arus informasi melalui keputusan konfigurasi. Keuntungan dan dampak dari Lex
Akibatnya, seperangkat aturan teknis yang Informatica merefleksikan hubungan yang
mewajibkan informasi mengalir melalui sistem bersinggungan antara Lex Informatica dan
teknologi dan konfigurasi baku menawarkan hukum. Lex Informatica dapat berkerja untuk
dua jenis aturan substantif: 1) kebijakan baku memaksa kemampuan hukum untuk mengatasi
yang terdapat dalam standar teknologi yang suatu masalah. Lex Informatica juga dapat
tidak dapat diubah; dan 2) kebijakan yang menggantikan hukum ketika aturan-aturan
fleksibel terdapat dalam arsitektur teknis yang teknis/teknologi lebih baik untuk menyelesaikan
memungkinkan variasi pada pengaturan baku. masalah-masalah kebijakan. Sebagai contoh, Lex
Lex Informatica memiliki sejumlah fitur Informatica dapat menawarkan solusi filterisasi
bersifat analog yang membedakannya dengan konten (content filtering) daripada pilihan
peraturan hukum dan mendukung perannya kebijakan sensor (distribution censorship).
sebagai sistem aturan yang penting bagi Tentu saja dengan segala kelebihannya,
Masyarakat Informasi. Pada dasarnya, pilihan Lex Informatica juga membutuhkan peran
kebijakan yang tersedia baik melalui teknologi hukum konvensional pada pelaksanaannya.
itu sendiri, melalui hukum/undang-undang yang Hukum dalam hal ini dapat menjatuhkan
menyebabkan teknologi untuk mengecualikan sanksi bagi penghindaran/pelanggaran Lex
kemungkinan opsi, atau melalui undang-undang Informatica. Sebagai ilustrasi, apabila aturan
yang menyebabkan pengguna untuk membatasi baku dari kebijakan informasi diterobos,
tindakan-tindakan tertentu. Kebijakan teknologi maka hukum dapat masuk untuk memulihkan
informasi khusus yang menetapkan aturan pelanggaran ini dengan memaksakan sanksi.
arus informasi menunjukkan pentingnya Lex Sebagai contoh, hukum tentang tindak pidana
Informatica sebagai sistem aturan yang bersifat siber dapat mengatasi masalah dengan pihak
paralel. ketiga yang membuat mekanisme untuk
Lex Informatica merupakan aturan teknis merusak mekanisme filterisasi yang dilekatkan
yang berasal atau didesain sedemikian rupa ke dalam web browsers.
dari jaringan teknologi sebagai suatu sumber
50 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018
Lebih jauh lagi, hukum dapat saja Internet, that means the ability of the
digunakan untuk mendorong pengembangan government to regulate the behavior of
Lex Informatica dengan mewajibkan berbagai (at least) its citizens while on the Net.”11
pemangku kepentingan, dan mungkin Hal tersebut di atas berarti bahwa
saja kedepannya kebijakan hukum dapat regulability adalah kemampuan suatu
memberikan imunitas bagi pelaksanaan Pemerintah untuk mengatur perilaku/tingkah
aturan-aturan teknis. Sebagai contoh, dalam laku sesuai dengan jangkauannya. Dalam
kasus data personal dan aturan-aturan privasi konteks internet, hal itu berarti kemampuan
secara internasional, sebuah situs yang selalu pemerintah untuk mengatur/meregulasi tata
dilaporkan atas aktivitasnya harus tunduk prilaku (paling tidak) warga negaranya ketika
pada klaim-klaim penipuan baik secara beraktifitas di internet.
pidana maupun perdata, tapi bagi situs yang
dilabeli dan disertifikasi oleh pihak ketiga yang Para pembuat kebijakan juga dapat
terakreditasi dapat menikmati praduga bahwa mengatur mengenai standar-standar teknis
mereka telah sesuai dan melaksanakan standar tertentu. Sebagai contoh, Pemerintah
internasional. Indonesia dapat membuat pengaturan bebas
sadap (wiretap safe) terhadap alat-alat dan
Di sisi lain, hukum juga dapat membuat sistem komunikasi Kepala Negara untuk
pendekatan pengaturan aktivitas dan tingkah urusan pemerintahan/resmi dan menghindari
laku. Hal ini feasible dilakukan dengan penyadapan dari Negara lain. Sedangkan untuk
pendekatan pengaturan tingkah laku (the kepentingan penegakan hukum, Pemerintah
regulated-behavior approach). Pendekatan ini dapat mewajibkan bahwa industri harus
akan memberikan stimulus atau rangsangan memastikan bahwa alat-alat komunikasi yang
yang signifikan secara tidak langsung bagi didistribusikan kepada masyarakat umum harus
pembentukan norma dari Lex Informatica. dapat disadap (wiretap ready) dan tentunya
Dalam hal ini, Pemerintah dapat menuntut dan penyadapan harus dilakukan berdasarkan
melarang kegiatan-kegiatan tertentu seperti hukum atau undang-undang.
pendistribusian pornografi atau transaksi
uang secara eletronik yang tidak sah. Aturan Dari segi penegakan hukum, Lex
tingkah laku ini dapat mengarahkan Lex Informatica mempunyai alat penegakan yang
Informatica untuk memastikan cara-cara yang berbeda. Peraturan hukum konvensional
sesuai dengan praktik yang berlaku. Aturan- bergantung hanya kepada para penegak
aturan teknis tersebut dapat menjadi pijakan hukum. Para pelanggar hukum akan diproses ke
terhadap jaminan tersebut. Terkait dengan pengadilan setelah perbuatannya dilakukan (on
regulated-behavior approach, Lawrence Lessig an ex post basis). Sedangkan Lex Informatica
menyatakan bahwa: menawarkan penegakan hukum secara
otomatis (automated) dan eksekusi mandiri
“regulability is the capacity of a (self-executing) sebelum perbuatan dilakukan
government to regulate behavior within (ex ante measures). Aturan-aturan teknis dapat
its proper reach. In the context of the saja didesain sedemikian rupa untuk mencegah
Lawrence Lessig, Code Version 2.0., Basic Books, New Yor:, 2006, hlm. 23.
11
Purna Cita Nugraha 51
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif
memaksa dunia perbankan dan ahli teknologi Interkoneksi Internet (Network Access Point)
sistem perbankan untuk pembentukan dan terkait pengamanan jaringan yang tertuang
pengembangan norma dari Lex Informatica dalam izin penyelenggaraan telekomunikasi,
atau aturan-aturan teknis tertentu guna sebagai berikut:
memperkuat sistem elektronik credit card-nya. “...wajib mengikuti ketentuan-ketentuan
Dalam kasus pelarangan konten pornografi peraturan yang terkait dengan usaha-
misalnya, pemerintah mengingatkan peraturan usaha untuk menjaga keamanan internet,
yang mewajibkan ISP untuk melakukan filterisasi termasuk penyamaan setting waktu (clock
terhadap konten-konten pornografi yang synchronizer), menjaga gangguan hacking,
diakses oleh pelanggannya. Pada praktiknya, spamming, pornografi.”14
hal ini sudah lama diterapkan oleh Pemerintah Surat Edaran tersebut akhirnya melahirkan
Indonesia. Pemerintah RI c.q. Kementerian suatu kebijakan filterisasi yang disebut Trust
Komunikasi dan Informatika RI (Kominfo) dalam Positive yang diterapkan hingga kini oleh semua
kasus filterisasi konten pornografi di tahun 2010 ISP dan NAP di Indonesia. Pada langkah awal,
mengingatkan ISP terhadap kewajibannya untuk Kementerian Komunikasi dan Informatika
patuh (comply) dengan peraturan perundangan menyediakan daftar informasi sehat yang dapat
yang ada dalam memberikan layanan mereka. diunduh di http://www.trustpositif.kominfo.
Kominfo melalui Surat Edaran No. 1598/SE/ go.id. Informasi ini berfungsi sebagai filter
DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tanggal 21 Juli 2010 terhadap konten-konten yang tidak sesuai
yang ditujukan terhadap Penyelenggara Jasa dengan nilai-nilai etika, moral, dan kaedah-
Akses Internet (Internet Service Provider) kaedah Bangsa Indonesia.15
dan Penyelenggara Jasa Interkoneksi Internet
(Network Access Point) yang ada di Indonesia, Sebagai langkah selanjutnya, Kominfo
mengingatkan agar semua ISP dan NAP bekerja sama dengan ahli teknologi kemudian
di Indonesia agar mematuhi peraturan mengembangkan suatu aplikasi yang disebut
perundang-undangan yang terkait dengan dengan TRUS+™ Positif. Pada implementasinya,
pornografi seperti Pasal 21 UU No. 36 Tahun aplikasi ini memanfaatkan penggabungan
1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 27 Ayat (1) antara 2 (dua) aplikasi, yaitu Proxy/Caching
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan System dipadu dengan Content Filtering
Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Pasal 4 Ayat System yang terdiri dari Squid-Cache sebagai
(1) dan Pasal 7 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Proxy/Caching System dan SquidGuard sebagai
Pornografi.13 Content Filtering System16. Cara kerja dari
TRUS+™ Positif dapat dilihat dari bagan di
Surat Edaran tersebut juga menyebutkan bawah ini:17
mengenai kewajiban ISP dan Penyelenggara Jasa
13
Surat Edaran No. 1598/SE/DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tanggal 21 Juli 2010 tentang Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-
Undangan yang terkait dengan Pornografi.
14
Lihat juga Surat Edaran No. 1598/SE/DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tanggal 21 Juli 2010 tentang Kepatuhan Terhadap Peraturan
Perundang-Undangan yang terkait dengan Pornografi, hlm. 2.
15
Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 03/SE/M.KOMINFO/10/2010 mengenai Penggunaan Internet Sehat dan
Aman di Instansi Pemerintah.
16
Paket Aplikasi dan Panduan Teknis TRUS+™ Positif, http://trustpositif.kominfo.go.id/, diakses tanggal 13 Desember 2013.
17
Ibid.
Purna Cita Nugraha 53
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Jonathan L. Zittrain, The Future of the Internet and How to Stop It, Yale University Press Haven and London, United Stated of America:
2008, hlm. 232.
54 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018
21
Sigid Suseno, Implikasi Yurisdiksi Terhadap Tindak Pidana Siber Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Dihubungkan
dengan Konvensi Dewan Eropa 2001, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum pada Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung,
2011, hlm. 107.
22
Ibid.
23
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta: 2004, hlm. 304.
24
Ibid, hlm. 303-304.
Purna Cita Nugraha 55
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif
perlindungan yaitu hukum pidana berlaku keamanan negara, kedaulatan negara, warga
terhadap pelaku tindak pidana yang berada di negara, serta badan hukum Indonesia.27
luar wilayah Indonesia yang melakukan tindak Prinsip Perlindungan dalam Pasal 2
pidana-tindak pidana tertentu yang merugikan UU ITE terkandung dalam rumusan “di luar
kepentingan-kepentingan Indonesia. Tindak wilayah hukum Indonesia dan merugikan
pidana tersebut meliputi: tindak pidana kepentingan Indonesia”. Prinsip perlindungan
terhadap keamanan negara (Pasal 104, Pasal dalam ketentuan ini lebih luas dari yurisdiksi
106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 111 perlindungan dalam KUHP dan prinsip
bis ke-1, Pasal 127), tindak pidana terhadap perlindungan pada umumnya yaitu melindungi
Presiden dan Wakil Presiden (pasal 131), kepentingan vital suatu negara.28
tindak pidana mata uang, materai, merek yang
Konvensi Dewan Eropa 2001 tentang
dikeluarkan/digunakan Pemerintah Indonesia,
Tindak Pidana Siber tidak menggunakan
pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang
prinsip perlindungan (protective principle)
atau tanggungan Indonesia/daerah Indonesia.25
untuk melaksanakan yurisdiksi ekstra-
Prinsip perlindungan juga terkandung territorial terhadap tindak pidana siber. Prinsip
pada Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang perlindungan sesungguhnya relevan digunakan
Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai untuk perlindungan satelit. Negara-Negara yang
berikut: menempatkan satelit di orbit untuk komunikasi
“Undang-Undang ini berlaku untuk setiap global memerlukan perlindungan baik terhadap
Orang yang melakukan perbuatan hukum propertinya maupun teknologinya dari setiap
sebagaimana diatur dalam Undang- tindak pidana29, namun berdasarkan ketentuan
Undang ini, baik yang berada di wilayah dari Pasal 22 Ayat (4) Konvensi Dewan Eropa
hukum Indonesia maupun di luar wilayah 2001 tentang Tindak Pidana Siber, Negara
hukum Indonesia, yang memiliki akibat Pihak dimungkinkan untuk menentukan
hukum di wilayah hukum Indonesia dan/ yurisdiksi kriminal yang sesuai dengan legislasi
atau di luar wilayah hukum Indonesia dan hukum nasionalnya. Pada intinya, ketentuan
merugikan kepentingan Indonesia.”26 yurisdiksi yang terdapat dalam Konvensi
Dewan Eropa 2001 tentang Tindak Pidana
Pada penjelasan Pasal 2 UU No. 11
Siber tidak meniadakan yurisdiksi kriminal yang
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
telah diterapkan Negara Pihak dalam hukum
Elektronik disebutkan bahwa Undang-Undang
nasionalnya. Pasal 22 Ayat (3) Konvensi Dewan
ini memberikan pengertian “merugikan
Eropa tersebut menyatakan sebagai berikut:
kepentingan Indonesia” adalah meliputi tetapi
tidak terbatas pada merugikan kepentingan “This Convention does not exclude any
ekonomi nasional, perlindungan data strategis, criminal jurisdiction exercised by a Party in
harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan accordance with its domestic law.”
25
Sigid Suseno, Op. Cit, hlm. 18-19.
26
Lihat Pasal 2 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
27
Lihat Penjelasan Pasal 2 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
28
Sigid Suseno, Yurisdiksi terhadap Tindak Pidana Siber dalam Perundang-Undangan Indonesia Dihubungkan dengan Konvensi Dewan
Eropa, dalam Yudha Bhakti, et. al, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Fikahati Aneska, Jakarta: 2012, hlm. 542.
29
Sigid Suseno, Op. Cit, hlm. 414.
56 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018
Untuk itu terkait dengan masalah prinsip Indonesia” mengandung “prinsip perlindungan
perlindungan ini, Sigid Suseno menyarankan pasif”. Hal ini dikarenakan penerapan prinsip
agar prinsip perlindungan diperluas termasuk tersebut didasarkan pada perbuatan/tindak
“kepentingan kepentingan vital negara lainnya” pidana yang sudah terjadi (on an ex post
dan tidak terbatas hanya pada kepentingan basis) sehingga sifatnya pasif. Sedangkan
kepala negara dan keuangan atau ekonomi Lex Informatica menawarkan penerapan
negara serta tindak pidana yang dilakukan di “prinsip perlindungan aktif” secara otomatis
dalam yurisdiksi negara lain tetapi juga untuk (automated) dan eksekusi mandiri (self-
“tindak pidana yang dilakukan di luar yurisdiksi executing) sebelum perbuatan dilakukan (ex
teritorial negara manapun”.30 ante measures). Sebagai ilustrasi dari prinsip
Mengingat sifat dari dunia siber yang perlindungan aktif, Pemerintah Indonesia dapat
transnasional dan borderless, tentu saja membuat suatu standar khusus baik secara
akan terjadi overlapping claim atas yurisdiksi aturan maupun standar teknis untuk melindungi
khususnya yurisdiksi dengan menggunakan komunikasi resmi kepala negara atau dalam hal
prinsip perlindungan. Hal ini terjadi karena ini Presiden RI.
lebih dari satu Negara Pihak mengklaim punya Langkah pembentukan prinsip
kepentingan yang harus dilindungi dan memiliki perlindungan aktif tersebut dapat dimulai
yurisdiksi hukum terhadap tindak pidana siber. dengan dibentuknya peraturan tertentu yang
Untuk itu, perlu kiranya mempertimbangkan akan merangsang dikembangkannya teknologi
yurisdiksi Lex Informatica untuk menyelesaikan tertentu yang bersifat bebas sadap (wiretap-
masalah ini. safe) dari pelaku industri dan ahli teknologi.
Penerapan yurisdiksi Lex Informatica Hal ini terlihat dari paparan sebagai berikut:
ini didasarkan pada perbedaannya dengan “First, the government can use its bully
yurisdiksi hukum konvensional. Yurisdiksi pulpit to cajole and threaten the ICT
hukum utamanya didasarkan pada wilayah. industry to develop technical rules and new
Hukum konvensional/tradisional dapat technology. In the context of wiretapping,
diberlakukan hanya pada tempat yang nyata- government must encourage the industry
nyata dapat ditentukan dimana kedaulatan to provide encryption technologies for
dapat melaksanakan kekuasaannya. Sebaliknya, official state use. Second, the government
yurisdiksi dari Lex Informatica adalah jaringan should work with standarization bodies to
(networks) sehingga dapat menembus batas- develop a standart operating procedure
batas secara fisik (transnasional). Oleh karena for communications. The govenrment can
itu, prinsip perlindungan melalui Lex Informatica work with stakeholders from the industry
dapat diterapkan secara aktif berdasarkan and technology developers to define
jurisdiction to prevent. the standart. Third, the government can
Prinsip perlindungan pada Pasal 2 UU encourage the development of particular
ITE dalam rumusan “di luar wilayah hukum technological capabilities, such as a
Indonesia dan merugikan kepentingan wiretap-safe technology, using public
Purna Cita Nugraha, London’s Wiretapping: How Should We Respond?, Artikel yang ditulis di Jakarta Post, tanggal 2 Agustus 2013.
31
Lihat Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan Final Acts of the Plenipotentiary
32
58 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018
Conference, Guadalajara, 2010 (Akta-Akta Akhir Konferensi yang Berkuasa Penuh, Guadalajara, 2010), Reservation to the Amendment
of the Constitution and Convention as A Result of the Plenipotentiary Conference, Guadalajara, 2010.
33
Lihat Piagam Pengesahan No. 02/HI/01/2012/IR tanggal 26 Januari 2012.
Purna Cita Nugraha 59
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif
Syarat untuk menerapkan prinsip Jonathan L. Zittrain, The Future of the Internet
perlindungan aktif ini dapat dilaksanakan and How to Stop It, Yale University Press
dengan mengaktualisasikan konsep Starke Haven and London, United Stated of
dalam konteks kekinian, yaitu dengan melihat America: 2008.
2 (dua) alasan untuk menerapkan yurisdiksi Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes
berdasarkan prinsip perlindungan aktif adalah: Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana,
1) akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana PT. Tata Nusa, Jakarta: 2012.
tersebut sangat besar bagi negara; 2) apabila
yurisdiksi dalam jaringan pada pihak asing/ J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional,
Negara lain tersebut tidak dilaksanakan. Sinar Grafika, Jakarta: 2004.
Lawrence Lessig, Code Version 2.0., Basic Books,
PENUTUP New York: 2006.
Prinsip jurisdiction to prevent (pre- Shinta Dewi, Cyberlaw: Perlindungan Privasi
emptive jurisdiction) dan prinsip perlindungan atas Informasi Pribadi dalam E-Commerce
aktif merupakan prinsip hukum utama yang menurut Hukum Internasional, Widya
dapat digunakan untuk mendukung konsepsi Padjadjaran, Bandung: 2009.
kedaulatan negara guna membentuk rezim Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di
extraterritorial juridiction dalam cyberlaw di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, PT.
Indonesia. Prinsip-prinsip ini dapat dibentuk Alumni, Bandung: 2006.
dengan mengkombinasikan rezim hukum
dengan Lex Informatica sehingga tercipta Yudha Bhakti, et. al, Penemuan Hukum Nasional
hubungan yang saling mengisi (substitusi) dan dan Internasional, Fikahati Aneska,
melengkapi (komplementer). Rezim yurisdiksi Jakarta: 2012.
ektrateritorial yang akan dibentuk di masa
depan juga akan bersifat lebih aktif, responsif, Jurnal
dan pre-emptive. Amit M. Sachdeva, “International Jurisdiction in
Cyberspace: A Comparative Perspective”,
DAFTAR PUSTAKA C.T.L.R., Issue8, 2007.
Buku Ahmad M. Ramli, “The Urgency of Ratification
Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam of Convention on Cybercrime”, Indonesia
Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Law Journal Vol. 2 No. 2, National Law
Bandung: 2006. Development Agency, Mininstry of Law
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, and Human Rights, Jakarta, 2007.
Penyiaran, dan Teknologi Informasi Joel R. Reidenberg, “Lex Informatica: The
(Regulasi dan Konvergensi), Refika Formulation of Information Policy Rules
Aditama, Bandung: 2010. Through Technology”, Tax Law Review,
Darrel C. Menthe, Jurisdiction in Cyberspace: Volume 76, Number 3, 1998.
A Theory of International Spaces, 4 Mich,
Telecomm. Tech. L. Rev. 69 (1998).
60 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018