Anda di halaman 1dari 18

Jurnal Bina Mulia Hukum

Volume 3, Nomor 1, September 2018 P-ISSN: 2528-7273 E-ISSN: 2540-9034


Artikel diterima 12 Agustus 2018, artikel direvisi 18 September 2018, artikel diterbitkan 28 September 2018
DOI: 10.23920/jbmh.v3n1.4 Halaman Publikasi: http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/jbmh/issue/archive

PEMBENTUKAN PRINSIP JURISDICTION TO PREVENT (PRE-EMPTIVE JURISDICTION)


DAN PRINSIP PERLINDUNGAN AKTIF DALAM HUKUM SIBER
Purna Cita Nugraha*

ABSTRAK
Ruang siber telah mengubah cara masyarakat dalam berkomunikasi dan berinteraksi tanpa
dibatasi oleh batas-batas negara. Dengan karakteristiknya yang transnasional, hingga saat ini
masih sulit menemukan kesepahaman internasional dalam konsep pengaturan yang sesuai. Belum
terdapatnya rezim internasional yang mengatur hal ini mengakibatkan munculnya ketidakpastian
hukum dalam tataran pengaturan internasional dan nasional. Dalam rangka untuk mencari konsep
yang sesuai dan tepat waktu untuk mengatur dunia maya yang menghadapi berbagai tantangan
dan hambatan terkait dengan yurisdiksi antar negara, Lex Informatica telah memberikan para
pembuat kebijakan suatu opsi dengan pengaturan teknis melalui teknologi yang dapat melampaui
batas-batas masing-masing negara (ekstrateritorial). Kombinasi rezim hukum dan Lex Informatica
akan menghasilkan prinsip-prinsip baru dalam mengatur dunia maya, seperti Prinsip Yurisdiksi
untuk Mencegah dan Prinsip Perlindungan Aktif. Prinsip jurisdiction to prevent (pre-emptive
jurisdiction) dan prinsip perlindungan aktif merupakan prinsip hukum utama yang dapat digunakan
untuk mendukung konsepsi kedaulatan negara guna membentuk rezim extraterritorial juridiction
dalam cyberlaw di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif yang
menitikberatkan penelitian pada ketentuan hukum yang berlaku. Penulis juga menggunakan
metode pendekatan yuridis futuristik (hukum yang akan datang).
Kata kunci: lex informatica; prinsip; ruang siber.

ABSTRACT
Cyberspace has changed the way society interacts and communicates to each other withour
border. Because of its transnational characteristics, up until today, it is still difficult to find
international agremeent on the right and proper instrument to regulate cyberspace. The legal
gap caused by the absence of international legal regime will in fact produce a legal uncertainty
in the context of international and national regulation. In order to find the appropriate and
timely concept to regulate cyberspace which are facing now multifacet challanges and obstacles
regarding jurisdiction among States, the Lex Informatica has provided policy makers with technical
arrangements through technology that can reach beyond each States’ borders (extraterritorial).
The combination of legal regime and the Lex Informatica will produce new principles in regulating
cyberspace, such as the Principle of Jurisdiction to Prevent and the Principle of Active Protection.
The Principle of Jurisdiction to Prevent and the Principle of Active Protection will become the

* Diplomat Indonesia, saat ini bertugas sebagai Sekretaris Kedua (Second Secretary) di Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk PBB
di New York, email: purna.cita@kemlu.go.id
44 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018

main principles in supporting the concept of the state sovereignty in developing extraterritorial
jurisdiction regime for cyberlaw in Indonesia. This researh is considered as a legal research
focussing on examining existing rules and regulations and also considers legal futuristic research in
nature in trying to find which legal instrument should be developed in the future”.
Keywords: cyberspace; lex informatica; principle.

PENDAHULUAN Hal ini sesuai dengan pendapat yang


Ruang siber meskipun sudah banyak dikemukakan Ahmad M. Ramli sebagai berikut:
yang mencoba untuk menemukan konsep “It can not be denied that the increased
pengaturan yang sesuai dan timely, development and usage of information
namun kenyataannya masih susah untuk technology, media and communication
ditaklukkan. Perubahan terus-menerus, have given some contributions which
konvergensi teknologi informasi, dan konflik influence all aspects of life in the field
yurisdiksi menjadi beberapa kendala yang of politics, economy, social and culture.
melatarbelakangi hal tersebut. Sebagai suatu Such contributions have also caused some
realita, internet mengubah cara berkomunikasi impacts. The positive impact is to improve
yang konvensional menjadi suatu fenomena human welfare, while the negative impact
sosial dalam konteks ruang komunikasi publik, is to make information technology, media
dunia baru bernama cyberspace dimana satu and communication as an effective targets
pihak dapat berkomunikasi tanpa dibatasi and instruments for cybercrimes.”1
oleh batas-batas negara (borderless) atau Dari paparan di atas dijelaskan bahwa
transnational. meningkatnya perkembangan dan penggunaan
Beberapa peristiwa kongkrit yang terjadi teknologi informasi merupakan sesuatu yang
misalnya fenomena Arab Spring di Timur tidak dapat dihindari, komunikasi dan media
Tengah yang dimulai dengan pergerakan di telah memberikan sejumlah kontribusi yang
internet dengan menggunakan media sosial. mempengaruhi seluruh aspek kehidupan di
Contoh peristiwa kongkrit lainnya adalah ketika bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Newsweek tiba-tiba menghentikan penerbitan Kontribusi tersebut memiliki sejumlah dampak.
versi cetaknya setelah selama 80 tahun lebih Dampak positifnya adalah peningkatan
terbit secara cetak. Munculnya fenomena kesejahteraan masyarakat, sementara dampak
konvergensi media ini, memaksa media negatifnya adalah penggunaan teknologi
konvensional melebarkan sayap dan masuk ke informasi, komunikasi dan media sebagai suatu
dalam jaringan internet guna mempertahankan target empuk dan alat tindak pidana siber.
bisnisnya dan memperluas bisnisnya. Dengan Lebih lanjut ditambahkan oleh Svetlana
pertimbangan tersebut, Newsweek kini hanya Anggita Prasasti sebagai berikut:
menerbitkan versi online dalam format e-paper
atau e-magazine yang dapat diperoleh secara “Influence on society is not only social,
berlangganan. cultural, institutional, economic or

Ahmad M. Ramli, “The Urgency of Ratification of Convention on Cybercrime”, Indonesia Law Journal Vol. 2 No. 2, National Law
1

Development Agency, Mininstry of Law and Human Rights, Jakarta: 2007, hlm. 1.
Purna Cita Nugraha 45
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif

political, but also technological. The telah menyadari keterbatasan perundang-


internet’s role in the societal system, undangan konvensionalnya untuk menjawab
having the ability to deviate from dominant permasalahan ini sehingga memandang perlu
structures, practices and actors within that untuk menyesuaikan hukumnya untuk tetap
system, also connects to a wider world. menjaga kedaulatan negara serta kepentingan
The internet today has developed to be negara dan warganya.3
public sphere ranging from individuals, Salah satu terobosan dalam pengaturan
organizations, companies, and member hukum siber adalah pendekatan prinsip
of the government services, including yurisdiksi ekstrateritorial (extraterritorial
diplomats and other foreign service jurisdiction). Hal dimaksud dikarenakan tidak
officials as such.”2 serta merta dapat diterapkannya yurisdiksi
Pengaruh pada masyarakat tidak hanya teritorial dalam kegiatan di cyberspace yang
secara sosial, budaya, institusional, ekonomi, sering kali terjadi dalam teritorial beberapa
politik, tetapi juga secara teknologi. Peran negara sekaligus. Perdekatan prinsip yurisdiksi
internet dalam sistem kemasyarakatan, ekstrateritorial merupakan upaya untuk
memiliki kemampuan untuk menyimpang dari dimungkinkannya penerapan Hukum Teknologi
aktor, praktik, dan struktur yang dominan pada Informasi (Cyberlaw).4
sistem tersebut, juga menghubungkan pada Prinsip yurisdiksi ekstrateritorial dalam
sebuah dunia yang lebih luas. Internet sekarang hukum nasional dimuat dalam Pasal 2 Undang
ini telah berkembang menjadi ranah publik Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
mulai dari individu, organisasi, perusahaan, dan Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
pemerintah, termasuk diplomat dan pejabat Pasal tersebut menjelaskan bahwa UU ITE
dinas luar negeri lainnya. memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-
Dunia siber pada kenyataannya masih sulit mata untuk perbuatan hukum yang berlaku
untuk dijinakkan. Cyberspace merupakan dunia di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga
virtual yang lokasinya tidak akan pernah kita negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk
temukan dalam Atlas, tetapi dapat dikunjungi perbuatan hukum yang dilakukan di luar
oleh berjuta pengguna yang tersebar di seluruh wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh
dunia setiap saat. Karakteristik ubiquitous dan warga negara Indonesia maupun warga negara
borderless ini mempengaruhi tindak pidana yang asing atau badan hukum Indonesia maupun
terjadi di dalamnya bahwa pada kenyataannya badan hukum asing yang memiliki akibat
tindak pidana siber sering bersifat lintas hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan
negara sehingga menimbulkan pertanyaan teknologi informasi untuk informasi elektronik
mengenai yurisdiksi yang berlaku atas dan transaksi elektronik dapat bersifat lintas
perbuatan atau akibat tindak pidana serta atas teritorial atau universal.5
pelakunya. Banyak negara termasuk Indonesia,

2
Svetlana Anggita Prasasti, “Developing Indonesia’s Digital Diplomacy Strategy” Jurnal Diplomasi Vol.5 No.1, Jakarta, 2013, hlm. 95.
3
Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT. Tata Nusa, Jakarta: 2012, hlm. 136.
4
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi (Regulasi dan Konvergensi), Refika Aditama,
Bandung: 2010, hlm. 136.
5
Ibid.
46 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Disamping itu sebagai salah satu
perlu kiranya melihat dan memahami prinsip- anggota masyarakat internasional, Indonesia
prinsip hukum apa yang dapat digunakan untuk harus menyesuaikan peraturan perundang-
mendukung konsepsi kedaulatan negara untuk undangannya dengan perkembangan
membentuk rezim extraterritorial juridiction internasional yang dewasa ini telah banyak
dalam cyberlaw di Indonesia. Hal ini berkaitan diatur sehingga diperlukan adanya harmonisasi
dengan perlunya pemahaman yang sama pengaturan antara Indonesia dengan negara
di antara negara-negara sehingga nantinya lain yang selanjutnya akan menciptakan suatu
dimungkinkan suatu proses harmonisasi kepastian hukum bagi pengguna yang akan
dan sinkronisasi peraturan. Harmonisasi mendorong pemanfaatan teknologi informasi
dan sinkronisasi peraturan dibutuhkan guna untuk informasi elektronik dan transaksi
mengatasi hambatan kedaulatan negara ke elektronik khususnya perkembangan dan
luar khususnya yang menyangkut dengan kemajuan industri e-commerce di Indonesia.7
penerapan prinsip extrateritorial jurisdiction Berdasarkan uraian dalam latar belakang,
kepada negara lain. Dalam konteks ini misalnya, masalah yang hendak dikaji adalah prinsip-
prinsip yurisdiksi ekstrateritorial dalam Pasal 2 prinsip hukum apa yang dapat digunakan untuk
UU ITE tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya mendukung konsepsi kedaulatan negara untuk
karena suatu negara pada kenyataannya tidak membentuk rezim extraterritorial juridiction
dapat melaksanakan kekuasaannya di wilayah dalam cyberlaw di Indonesia
negara lain walaupun mempunyai yurisdiksi
atas suatu perbuatan hukum tersebut. METODE PENELITIAN
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun Penelitian ini merupakan penelitian
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka hukum yuridis normatif yang menitikberatkan
Panjang 2005-2025 telah ditentukan bahwa penelitian pada ketentuan hukum yang berlaku
untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing yang mencakup penelitian terhadap asas-asas
harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan dan prinsip-prinsip hukum, sistematika hukum,
teknologi. Salah satunya dengan pemanfaatan sinkronisasi hukum dalam merumuskan politik
e-commerce dan peraturan-peraturan yang hukum untuk membentuk rezim extraterritorial
mengaturnya termasuk melalui peraturan jurisdiction dalam cyberlaw dan kaitannya
yang terkait dengan privasi.6 Dengan terhadap konsepsi kedaulatan Negara.
demikian Pemerintah Indonesia dituntut
untuk mewujudkannya dengan legal policy Spesifikasi atau sifat dari penelitian ini
(politik hukum) yang tepat dan sesuai guna adalah eksploratif analitis, yaitu menjelaskan
mewujudkan tujuan yang terdapat dalam atau menggambarkan sesuatu yang belum ada
Rencana Pembangunan Jangka Panjang dalam hal ini berusaha menganalisis hukum
tersebut. apa yang seyogianya diciptakan untuk masa
datang berdasarkan ketentuan hukum dan

6
Shinta Dewi, Cyberlaw: Perlindungan Privasi atas Informasi Pribadi dalam E-Commerce menurut Hukum Internasional, Widya
Padjadjaran, Bandung: 2009, hlm. 6.
7
Ibid.
Purna Cita Nugraha 47
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif

perundang-undangan dihubungkan dengan akan dibandingkan.8 Akhirnya dari penelitian


teori-teori hukum dan hukum positif yang ini bertujuan untuk meneliti mengenai hukum
berlaku yang terkait dengan politik hukum apa yang seyogianya diciptakan untuk masa
pembentukan rezim extraterritorial jurisdiction datang yaitu untuk menyusun suatu peraturan
dalam cyberlaw dan kaitannya dengan konsepsi perundang-undangan atau untuk menyusun
Negara yang berdaulat. kebijakan baru di bidang hukum khususnya di
Penelitian ini dilakukan terhadap bidang cyberlaw, dan menyusun suatu rencana
kepustakaan (library research), Penulis juga pembangunan hukum. Oleh karena itu, Penulis
menggunakan metode pendekatan yuridis juga menggunakan metode pendekatan yuridis
komparatif, yaitu studi perbandingan hukum futuristik (hukum yang akan datang).9
yang dilakukan dengan membandingkan
antara sistem hukum Indonesia dengan sistem PEMBAHASAN
hukum Negara lain dalam kaitannya dengan Masyarakat Informasi memiliki
politik hukum dalam pembentukan rezim permasalahan-permasalahan yurisdiksi yang
extraterritorial jurisdiction dalam cyberlaw dan penting, hal ini dikarenakan aktivitas-aktivitas
kaitannya dengan konsepsi kedaulatan Negara. di internet dapat dilakukan pada media yang
Selain itu, dilakukan juga studi banding terhadap bersifat transnasional. Untuk rezim hukum,
peraturan perundang-undangan nasional dan banyak otoritas nasional dan pembuat kebijakan
peraturan teknis terkait antara Indonesia dan mempunyai klaim yang sah untuk mengatur
Negara-Negara lain yang berkaitan langsung pengguna dan arus informasi. Akan tetapi,
dengan politik hukum pembentukan rezim sifat dasar dari karakter jaringan membuat
extraterritorial jurisdiction dalam cyberlaw dan klaim tersebut tunduk pada keputusan-
kaitannya dengan konsepsi kedaulatan Negara. keputusan pemilihan hukum yang kompleks.
Penelitian ini berusaha untuk mencari cara Negara-Negara pada umumnya enggan untuk
bagaimana suatu peraturan atau pranata hukum memberlakukan hukumnya pada aktivitas-
dapat menyelesaikan suatu masalah sosial aktivitas yang dilakukan di yurisdiksi asing. Oleh
atau ekonomi, atau bagaimana suatu pranata karena itu, yurisdiksi menjadi suatu hambatan
hukum atau pengaturan suatu pranata sosial yang kritis bagi pembuatan kebijakan informasi
atau ekonomi dapat menghasilkan prilaku yang yang tepat. Hal tersebut dapat dilihat dari
diinginkan. Metode penelitian perbandingan paparan sebagai berikut:
hukum fungsional digunakan untuk mencari “The Information Society poses important
jawaban mengenai bagaimana hukum jurisdictional issues. Network activities
mengatur suatu hubungan atau masalah sosial. may take place on a transnational basis.
Namun demikian, metode ini juga dipakai untuk For the legal regime, various national
meneliti the existing national law in its day to authorities and policymakers may make
day practice, and the law in action dari setiap legitimate claims to regulate users and
sistem atau pranata atau kaidah hukum yang information flows. However, the very

8
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, PT. Alumni, Bandung: 2006, hlm. 171.
9
Ibid, hlm. 146.
48 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018

nature of network behavior makes these Formulasi aturan teknis untuk akses
claims subject to complex choice of law informasi juga dapat menghindari risiko
decisions. States are generally reluctant to kewajiban yang dikenakan oleh aturan-
impose their laws on activities taking place aturan hukum yang saling bertentangan dan
in foreign jurisdictions. Consequently, dapat menawarkan solusi bagi masalah self-
jurisdiction becomes a critical threshold censorship yang didorong oleh regulasi konten
obstacle to sensible information yang bertentangan. Kebijakan teknologi
policymaking.” 10
menawarkan aturan substantif dalam Lex
Dalam hal ini yurisdiksi Lex Informatica Informatica yang menggeser persoalan dari
adalah jaringan itu sendiri. Aturan-aturan penyensoran, atau pemblokiran distribusi,
teknologi dilaksanakan berlaku di seluruh menjadi filterisasi penerimaan informasi.
jaringan yang relevan. Dengan demikian, Pergeseran ini memungkinkan aturan yang
Lex Informatica dapat lintas batas dan tidak berbeda untuk berlaku untuk penerima
menghadapi yurisdiksi yang sama, masalah yang berbeda. Keputusan kebijakan tentang
pilihan hukum yang rezim hukum hadapi ketika penerimaan informasi dapat dilakukan pada
jaringan melewati garis yurisdiksi teritorial atau berbagai tingkatan. Penerima sendiri dapat
negara. Lex Informatica menghadapi konflik memiliki kewenangan/otoritas untuk membuat
aturan di gerbang antar jaringan. Jika standar keputusan tentang konten informasi. Suatu
teknologi di kedua sisi gateway interoperable, komputer tertentu dapat dikonfigurasi dengan
arus informasi dapat melewati gateway tanpa aturan filtering tersendiri. Sebuah jaringan
kesulitan. Ketika standar tidak kompatibel, area lokal mungkin memiliki aturan kebijakan
arus akan terhambat oleh perbedaan dalam jaringan yang luas, sedangkan penyedia jasa/
spesifikasi teknis. Sebagai contoh, modul layanan informasi dapat mengadopsi berbagai
perangkat lunak yang didesain untuk sistem sistem aturan tertentu. Semua Penyedia Jasa
operasi satu komputer biasanya tidak dapat Internet di negara tertentu bahkan mungkin
berfungsi pada sistem operasi lain. Namun, memiliki kebijakan filter yang sama. Fleksibilitas
suatu masalah hukum yang timbul dari suatu ini dan penekanan pada penerimaan berarti
rezim hukum memaksa untuk memilih satu bahwa aturan yang unik tidak diperlukan untuk
hukum yang diberlakukan, sementara kedua distribusi global informasi karena distributor
perangkat aturan teknis yang tidak kompatibel dalam satu yurisdiksi tidak perlu bertentangan
dapat diterapkan melalui penggunaan dengan norma-norma yurisdiksi lain.
terjemahan dan konversi. Pada contoh sistem Respon teknis dan solusi untuk konflik
operasi, program software didesain untuk kebijakan menunjukkan cara-cara baru
menerjemahkan standar antara sistem operasi untuk menetapkan aturan arus informasi.
komputer. Fitur dualitas ini memungkinkan Pembuat kebijakan biasanya, meskipun
fleksibilitas dalam mengakomodasi banyak selalu mengaitkannya dengan elaborasi dan
pilihan aturan kebijakan informasi secara pembuatan hukum melalui proses politik di
simultan. dalam dan di antara negara-negara. Aturan yang

Joel R. Reidenberg, Lex Informatica: “The Formulation of Information Policy Rules Through Technology” , Tax Law Review, Volume 76,
10

Number 3, 1998, hlm. 572-573.


Purna Cita Nugraha 49
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif

ditetapkan dengan motode ini membentuk rezim yang berbeda dari pembuatan aturan di bidang
peraturan hukum konvensional (tradisional). arus informasi (distinct source of information
Dalam konteks arus informasi pada jaringan, flow rule-making) harus mulai dilihat oleh para
solusi teknis mulai menggambarkan bahwa pembuat kebijakan dalam membuat kebijakan-
teknologi jaringan itu sendiri memaksakan kebijakan di masa depan khususnya kebijakan
aturan untuk akses dan penggunaan informasi. yang terkait dengan pembentukan rezim
Arsitektur teknologi dapat melarang tindakan extraterritorial jurisdiction yang terkendala
tertentu pada jaringan, seperti akses tanpa dengan yurisdiksi asing atau negara lain.
izin, atau mungkin mewajibkan arus tertentu, Lex Informatica merupakan suatu alternatif
dan data routing alamat wajib untuk pesan bagaimana Negara-Negara dapat mengatasi
elektronik (mandatory address routing data masalah yurisdiksi tersebut menggunakan
for electronic messages). Teknologi mungkin solusi-solusi dan respon-respon teknis dengan
juga menawarkan pilihan kebijakan aturan menggunakan teknologi.
arus informasi melalui keputusan konfigurasi. Keuntungan dan dampak dari Lex
Akibatnya, seperangkat aturan teknis yang Informatica merefleksikan hubungan yang
mewajibkan informasi mengalir melalui sistem bersinggungan antara Lex Informatica dan
teknologi dan konfigurasi baku menawarkan hukum. Lex Informatica dapat berkerja untuk
dua jenis aturan substantif: 1) kebijakan baku memaksa kemampuan hukum untuk mengatasi
yang terdapat dalam standar teknologi yang suatu masalah. Lex Informatica juga dapat
tidak dapat diubah; dan 2) kebijakan yang menggantikan hukum ketika aturan-aturan
fleksibel terdapat dalam arsitektur teknis yang teknis/teknologi lebih baik untuk menyelesaikan
memungkinkan variasi pada pengaturan baku. masalah-masalah kebijakan. Sebagai contoh, Lex
Lex Informatica memiliki sejumlah fitur Informatica dapat menawarkan solusi filterisasi
bersifat analog yang membedakannya dengan konten (content filtering) daripada pilihan
peraturan hukum dan mendukung perannya kebijakan sensor (distribution censorship).
sebagai sistem aturan yang penting bagi Tentu saja dengan segala kelebihannya,
Masyarakat Informasi. Pada dasarnya, pilihan Lex Informatica juga membutuhkan peran
kebijakan yang tersedia baik melalui teknologi hukum konvensional pada pelaksanaannya.
itu sendiri, melalui hukum/undang-undang yang Hukum dalam hal ini dapat menjatuhkan
menyebabkan teknologi untuk mengecualikan sanksi bagi penghindaran/pelanggaran Lex
kemungkinan opsi, atau melalui undang-undang Informatica. Sebagai ilustrasi, apabila aturan
yang menyebabkan pengguna untuk membatasi baku dari kebijakan informasi diterobos,
tindakan-tindakan tertentu. Kebijakan teknologi maka hukum dapat masuk untuk memulihkan
informasi khusus yang menetapkan aturan pelanggaran ini dengan memaksakan sanksi.
arus informasi menunjukkan pentingnya Lex Sebagai contoh, hukum tentang tindak pidana
Informatica sebagai sistem aturan yang bersifat siber dapat mengatasi masalah dengan pihak
paralel. ketiga yang membuat mekanisme untuk
Lex Informatica merupakan aturan teknis merusak mekanisme filterisasi yang dilekatkan
yang berasal atau didesain sedemikian rupa ke dalam web browsers.
dari jaringan teknologi sebagai suatu sumber
50 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018

Lebih jauh lagi, hukum dapat saja Internet, that means the ability of the
digunakan untuk mendorong pengembangan government to regulate the behavior of
Lex Informatica dengan mewajibkan berbagai (at least) its citizens while on the Net.”11
pemangku kepentingan, dan mungkin Hal tersebut di atas berarti bahwa
saja kedepannya kebijakan hukum dapat regulability adalah kemampuan suatu
memberikan imunitas bagi pelaksanaan Pemerintah untuk mengatur perilaku/tingkah
aturan-aturan teknis. Sebagai contoh, dalam laku sesuai dengan jangkauannya. Dalam
kasus data personal dan aturan-aturan privasi konteks internet, hal itu berarti kemampuan
secara internasional, sebuah situs yang selalu pemerintah untuk mengatur/meregulasi tata
dilaporkan atas aktivitasnya harus tunduk prilaku (paling tidak) warga negaranya ketika
pada klaim-klaim penipuan baik secara beraktifitas di internet.
pidana maupun perdata, tapi bagi situs yang
dilabeli dan disertifikasi oleh pihak ketiga yang Para pembuat kebijakan juga dapat
terakreditasi dapat menikmati praduga bahwa mengatur mengenai standar-standar teknis
mereka telah sesuai dan melaksanakan standar tertentu. Sebagai contoh, Pemerintah
internasional. Indonesia dapat membuat pengaturan bebas
sadap (wiretap safe) terhadap alat-alat dan
Di sisi lain, hukum juga dapat membuat sistem komunikasi Kepala Negara untuk
pendekatan pengaturan aktivitas dan tingkah urusan pemerintahan/resmi dan menghindari
laku. Hal ini feasible dilakukan dengan penyadapan dari Negara lain. Sedangkan untuk
pendekatan pengaturan tingkah laku (the kepentingan penegakan hukum, Pemerintah
regulated-behavior approach). Pendekatan ini dapat mewajibkan bahwa industri harus
akan memberikan stimulus atau rangsangan memastikan bahwa alat-alat komunikasi yang
yang signifikan secara tidak langsung bagi didistribusikan kepada masyarakat umum harus
pembentukan norma dari Lex Informatica. dapat disadap (wiretap ready) dan tentunya
Dalam hal ini, Pemerintah dapat menuntut dan penyadapan harus dilakukan berdasarkan
melarang kegiatan-kegiatan tertentu seperti hukum atau undang-undang.
pendistribusian pornografi atau transaksi
uang secara eletronik yang tidak sah. Aturan Dari segi penegakan hukum, Lex
tingkah laku ini dapat mengarahkan Lex Informatica mempunyai alat penegakan yang
Informatica untuk memastikan cara-cara yang berbeda. Peraturan hukum konvensional
sesuai dengan praktik yang berlaku. Aturan- bergantung hanya kepada para penegak
aturan teknis tersebut dapat menjadi pijakan hukum. Para pelanggar hukum akan diproses ke
terhadap jaminan tersebut. Terkait dengan pengadilan setelah perbuatannya dilakukan (on
regulated-behavior approach, Lawrence Lessig an ex post basis). Sedangkan Lex Informatica
menyatakan bahwa: menawarkan penegakan hukum secara
otomatis (automated) dan eksekusi mandiri
“regulability is the capacity of a (self-executing) sebelum perbuatan dilakukan
government to regulate behavior within (ex ante measures). Aturan-aturan teknis dapat
its proper reach. In the context of the saja didesain sedemikian rupa untuk mencegah

Lawrence Lessig, Code Version 2.0., Basic Books, New Yor:, 2006, hlm. 23.
11
Purna Cita Nugraha 51
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif

pelanggaran ataupun kejahatan terjadi tanpa menggunakan kemampuan dalam memproses


izin terlebih dahulu secara resmi. Hal tersebut di informasi.
atas dapat dilihat dari paparan sebagai berikut: Paparan-paparan tersebut di atas
“Lex Informatica has distinct enforcement melahirkan pemikiran bahwa kedepannya
properties. Legal regulation depends baik rezim hukum dan Lex Informatica dapat
primarily on judicial authorities for saling melengkapi dalam melakukan proses
rule enforcement. Rule violations are pencegahan (ex ante process) terutama
pursued on an ex post basis before the terhadap pelanggaran atau tindak pidana siber.
courts. Lex Informatica, however, allows Pemikiran tersebut dapat melahirkan suatu
for automated and self-executing rule konsep yurisdiksi baru selain dari jurisdiction
enforcement. Technological standards to prescribe, jurisdiction to enforce, dan
may be designed to prevent actions jurisdiction to adjudicate yang disebut dengan
from taking place without the proper Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive
permissions or authority.”12 Jurisdiction) yaitu yurisdiksi untuk melakukan
Sebagai contoh dari penegakan tindakan pencegahan secara hukum dengan
hukum secara otomatis (automated) dan menggunakan arsitektur teknis/teknologi.
eksekusi mandiri (self-executing) sebelum Pada tataran konsepsi, rezim hukum
perbuatan dilakukan (ex ante measures) dapat dapat memberikan kewenangan bagi para ahli
implementasikan dengan pemblokiran transaksi teknologi untuk mengembangkan standar-
jika ternyata credentials dari pelaku transaksi standar teknis yang ditujukan untuk mencegah
tidak terverifikasi dengan benar. Sistem terjadinya pelanggaran atau tindak pidana
manajemen transaksi dapat mengecek keaslian siber, kemudian hukum juga dapat memberikan
dari kunci kriptografik (cryptographic key) kewenangan bagi Penyedia Jasa Internet
sebelum membolehkan permrosesan transaksi, (Internet Service Providers/ISP) dan pihak ketiga
melakukan verifikasi bahwa pemegang password yang terkait yang memfasilitasi penggunaan
tersebut memenuhi kriteria dalam melakukan internet untuk melakukan “pencegahan hukum”
transaksi tersebut. Sistem manajemen transaksi secara otomatis (automated) dan eksekusi
dapat mengecek validitas dari password bagi mandiri (self-executing) sebelum perbuatan
perintah pembayaran secara elektronik dan dilakukan (ex ante measures).
memverifikasi bahwa password tersebut dimiliki Sebagai contoh, untuk menanggulangi
oleh petugas korporasi yang berwenang untuk atau mengantisipasi kejahatan terhadap
mengeluarkan perintah pembayaran tersebut. kartu kredit, Pemerintah membentuk suatu
Apabila password tersebut salah atau pemegang peraturan nasional yang mewajibkan para
password tersebut tidak memiliki kewenangan pelaku perbankan untuk memperkuat sistem
yang membolehkan perintah pembayaran, elektronik kartu kreditnya (pengaturan teknis
sistem manajemen transaksi dapat memblokir di serahkan kepada masing-masing bank).
transaksi tersebut. Proses pencegahan ini (ex Hal ini tentunya dapat memberikan stimulus
ante measures) dimungkinkan pelaksanaannya atau rangsangan secara signifikan bahkan

Joel R. Reidenberg, Op. Cit., hlm. 568.


12
52 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018

memaksa dunia perbankan dan ahli teknologi Interkoneksi Internet (Network Access Point)
sistem perbankan untuk pembentukan dan terkait pengamanan jaringan yang tertuang
pengembangan norma dari Lex Informatica dalam izin penyelenggaraan telekomunikasi,
atau aturan-aturan teknis tertentu guna sebagai berikut:
memperkuat sistem elektronik credit card-nya. “...wajib mengikuti ketentuan-ketentuan
Dalam kasus pelarangan konten pornografi peraturan yang terkait dengan usaha-
misalnya, pemerintah mengingatkan peraturan usaha untuk menjaga keamanan internet,
yang mewajibkan ISP untuk melakukan filterisasi termasuk penyamaan setting waktu (clock
terhadap konten-konten pornografi yang synchronizer), menjaga gangguan hacking,
diakses oleh pelanggannya. Pada praktiknya, spamming, pornografi.”14
hal ini sudah lama diterapkan oleh Pemerintah Surat Edaran tersebut akhirnya melahirkan
Indonesia. Pemerintah RI c.q. Kementerian suatu kebijakan filterisasi yang disebut Trust
Komunikasi dan Informatika RI (Kominfo) dalam Positive yang diterapkan hingga kini oleh semua
kasus filterisasi konten pornografi di tahun 2010 ISP dan NAP di Indonesia. Pada langkah awal,
mengingatkan ISP terhadap kewajibannya untuk Kementerian Komunikasi dan Informatika
patuh (comply) dengan peraturan perundangan menyediakan daftar informasi sehat yang dapat
yang ada dalam memberikan layanan mereka. diunduh di http://www.trustpositif.kominfo.
Kominfo melalui Surat Edaran No. 1598/SE/ go.id. Informasi ini berfungsi sebagai filter
DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tanggal 21 Juli 2010 terhadap konten-konten yang tidak sesuai
yang ditujukan terhadap Penyelenggara Jasa dengan nilai-nilai etika, moral, dan kaedah-
Akses Internet (Internet Service Provider) kaedah Bangsa Indonesia.15
dan Penyelenggara Jasa Interkoneksi Internet
(Network Access Point) yang ada di Indonesia, Sebagai langkah selanjutnya, Kominfo
mengingatkan agar semua ISP dan NAP bekerja sama dengan ahli teknologi kemudian
di Indonesia agar mematuhi peraturan mengembangkan suatu aplikasi yang disebut
perundang-undangan yang terkait dengan dengan TRUS+™ Positif. Pada implementasinya,
pornografi seperti Pasal 21 UU No. 36 Tahun aplikasi ini memanfaatkan penggabungan
1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 27 Ayat (1) antara 2 (dua) aplikasi, yaitu Proxy/Caching
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan System dipadu dengan Content Filtering
Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Pasal 4 Ayat System yang terdiri dari Squid-Cache sebagai
(1) dan Pasal 7 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Proxy/Caching System dan SquidGuard sebagai
Pornografi.13 Content Filtering System16. Cara kerja dari
TRUS+™ Positif dapat dilihat dari bagan di
Surat Edaran tersebut juga menyebutkan bawah ini:17
mengenai kewajiban ISP dan Penyelenggara Jasa

13
Surat Edaran No. 1598/SE/DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tanggal 21 Juli 2010 tentang Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-
Undangan yang terkait dengan Pornografi.
14
Lihat juga Surat Edaran No. 1598/SE/DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tanggal 21 Juli 2010 tentang Kepatuhan Terhadap Peraturan
Perundang-Undangan yang terkait dengan Pornografi, hlm. 2.
15
Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 03/SE/M.KOMINFO/10/2010 mengenai Penggunaan Internet Sehat dan
Aman di Instansi Pemerintah.
16
Paket Aplikasi dan Panduan Teknis TRUS+™ Positif, http://trustpositif.kominfo.go.id/, diakses tanggal 13 Desember 2013.
17
Ibid.
Purna Cita Nugraha 53
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif

konten pronografi, TRUS+™ Positif berfungsi


sebagai filter bagi ISP dan NAP bagi segala
aktivitas yang dilakukan oleh pelanggan jasa
internetnya untuk mengakses konten-konten
yang berbau pornografi.
Pendekatan yang hampir sama dilakukan
Amerika Serikat dengan menetapkan hukum
federal U.S. Children’s Online Privacy Protection
Act of 1998 (COPPA) yang berlaku efektif
tanggal 21 April 2000.20 Undang-undang ini
berlaku untuk pengumpulan informasi online
secara pribadi oleh orang atau badan di bawah
yurisdiksi AS dari anak di bawah usia 13 (tiga
Aplikasi TRUS+™ Positif bertujuan untuk: belas) tahun. Undang-undang ini mengatur
1) menciptakan internet yang aman dan sehat bahwa operator website harus menyertakan
dengan perlindungan terhadap akses internet kebijakan privasi, kapan dan bagaimana untuk
berdasarkan daftar informasi sehat dan meminta verifikasi persetujuan dari orang
terpercaya (TRUST+™ List); 2) perlindungan tua atau wali, dan mengatur apa tanggung
pada masyarakat terhadap nilai-nilai etika, jawab operator dalam melindungi privasi
moral, dan kaedah-kaedah yang tidak sesuai dan keamanan online anak-anak termasuk
dengan citra bangsa Indonesia; 3) penghematan pembatasan pada pemasaran untuk mereka
terhadap pemborosan penggunaan akses yang di bawah (13 tiga belas) tahun. Undang-
internet (internet utilization) di Indonesia.18 undang ini juga mengatur mengenai anak-anak
Aplikasi TRUS+™ Positif ini juga digunakan di bawah 13 (tiga belas) tahun yang secara legal
semua ISP dan NAP di Indonesia untuk: 1) dapat memberikan informasi pribadi dengan
memberikan perlindungan terhadap Top-Level izin orang tua mereka, hal ini mengakibatkan
Domain; 2) memberikan perlindungan terhadap banyak situs yang sama sekali melarang anak
URL; 3) memberikan perlindungan terhadap di bawah umur menggunakan layanan mereka
konten. Sistem TRUS+™ Positif menerapkan karena akan menambah pekerjaan mereka.
mekanisme kerja adanya server pusat yang Secara umum, prinsip jurisdiction
akan menjadi acuan dan rujukan kepada to prevent (yurisdiksi pencegahan) akan
seluruh layanan akses informasi publik (fasilitas menyelesaikan permasalahan yurisdiksi yang
bersama), serta menerima informasi-informasi selama ini menghambat penerapan asas
dari fasilitas akses informasi publik untuk yurisdiksi ekstraterritorial ketika berhadap-
menjadi alat analisa dan profiling penggunaan hadapan dengan yurisdiksi asing atau Negara
internet di Indonesia.19 Khusus untuk masalah lain. Hal ini karena Lex Informatica mempunyai

18
Ibid.
19
Ibid.
20
Jonathan L. Zittrain, The Future of the Internet and How to Stop It, Yale University Press Haven and London, United Stated of America:
2008, hlm. 232.
54 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018

paralel jurisdiction yaitu jaringan (networks) berdasarkan perlindungan kepentingan


yang lintas batas dan sifat eksekusi mandiri (self- negara yang bersifat vital seperti keamanan
executing) dan otomatisasi (automated) dari dan integritas atau kepentingan ekonomi
Lex Informatica yang bersifat ekstraterritorial. negara. Berdasarkan prinsip ini negara
Sebagai ilustrasi dari sifat ekstrateritorial Lex memiliki yurisdiksi terhadap orang asing yang
Informatica, terhadap implikasi dari bentuk melakukan tindak pidana di luar wilayah negara
filterisasi konten pornografi di atas, pelanggan tersebut dan mengancam keamanan dan
dari ISP di Indonesia tidak akan dapat membuka keutuhan negara yang bersangkutan.21 Prinsip
atau mengakses konten pornografi perusahaan ini merupakan prinsip yurisdiksi yang sudah
adult industries yang servernya terdapat di Los mapan dan diterima masyarakat internasional,
Angeles, Amerika Serikat. walaupun dalam praktik tidak ada kepastian
Menurut penulis, prinsip jurisdiction sejauh mana prinsip perlindungan digunakan
to prevent (yurisdiksi pencegahan) ini khususnya mengenai perbuatan-perbuatan apa
dapat diterapkan dengan mengaplikasikan saja yang termasuk di dalam yurisdiksi yang
tautannya dengan prinsip yurisdiksi teritorial dituntut.22
(subjective territorial jurisdiction dan objective Menurut Starke, terdapat 2 (dua) alasan
territorial jurisdiction) yang juga diatur dalam untuk menerapkan yurisdiksi berdasarkan
The Tallinn Manual. Prinsip jurisdiction to prinsip perlindungan adalah: 1) akibat yang
prevent (yurisdiksi pencegahan) ini dapat juga ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut sangat
diterapkan dengan memperhatikan: a) prinsip besar bagi negara; 2) apabila yurisdiksi negara
nasionalitas/kewarganegaraan pelaku tindak tersebut tidak dilaksanakan terhadap tindak
pidana (pihak yang aktif); b) prinsip nasionalitas/ pidana maka pelaku tindak pidana dapat lolos
kewarganegaraan dari korban (pihak penderita); dari peradilan pidana karena di negara tempat
c) ancaman terhadap keamanan nasional dari perbuatan pidana dilakukan (locus delicti)
Negara (prinsip perlindungan/proteksi); dan perbuatan tersebut bukan merupakan tindak
d) pelanggaran terhadap norma internasional, pidana atau ekstradisi akan ditolak dengan
seperti kejahatan perang (yurisdiksi universal). alasan tindak pidana politik.23
Prinsip hukum lain yang dapat digunakan Berdasarkan prinsip perlindungan
untuk mendukung konsepsi kedaulatan negara setiap negara mempunyai kewenangan untuk
untuk membentuk rezim extraterritorial melaksanakan yurisdiksi terhadap tindak pidana
jurisdiction dalam cyberlaw di Indonesia yang menyangkut keamanan dan integritas atau
adalah prinsip/asas perlindungan. Prinsip kepentingan ekonomi yang vital24. Pasal 4 sub1,
Perlindungan adalah prinsip yang digunakan sub 2, dan sub 3 KUHP memberlakukan yurisdiksi
untuk menerapkan yurisdiksi suatu negara ekstrateritorial dengan berdasarkan prinsip

21
Sigid Suseno, Implikasi Yurisdiksi Terhadap Tindak Pidana Siber Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Dihubungkan
dengan Konvensi Dewan Eropa 2001, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum pada Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung,
2011, hlm. 107.
22
Ibid.
23
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta: 2004, hlm. 304.
24
Ibid, hlm. 303-304.
Purna Cita Nugraha 55
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif

perlindungan yaitu hukum pidana berlaku keamanan negara, kedaulatan negara, warga
terhadap pelaku tindak pidana yang berada di negara, serta badan hukum Indonesia.27
luar wilayah Indonesia yang melakukan tindak Prinsip Perlindungan dalam Pasal 2
pidana-tindak pidana tertentu yang merugikan UU ITE terkandung dalam rumusan “di luar
kepentingan-kepentingan Indonesia. Tindak wilayah hukum Indonesia dan merugikan
pidana tersebut meliputi: tindak pidana kepentingan Indonesia”. Prinsip perlindungan
terhadap keamanan negara (Pasal 104, Pasal dalam ketentuan ini lebih luas dari yurisdiksi
106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 111 perlindungan dalam KUHP dan prinsip
bis ke-1, Pasal 127), tindak pidana terhadap perlindungan pada umumnya yaitu melindungi
Presiden dan Wakil Presiden (pasal 131), kepentingan vital suatu negara.28
tindak pidana mata uang, materai, merek yang
Konvensi Dewan Eropa 2001 tentang
dikeluarkan/digunakan Pemerintah Indonesia,
Tindak Pidana Siber tidak menggunakan
pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang
prinsip perlindungan (protective principle)
atau tanggungan Indonesia/daerah Indonesia.25
untuk melaksanakan yurisdiksi ekstra-
Prinsip perlindungan juga terkandung territorial terhadap tindak pidana siber. Prinsip
pada Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2008 Tentang perlindungan sesungguhnya relevan digunakan
Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai untuk perlindungan satelit. Negara-Negara yang
berikut: menempatkan satelit di orbit untuk komunikasi
“Undang-Undang ini berlaku untuk setiap global memerlukan perlindungan baik terhadap
Orang yang melakukan perbuatan hukum propertinya maupun teknologinya dari setiap
sebagaimana diatur dalam Undang- tindak pidana29, namun berdasarkan ketentuan
Undang ini, baik yang berada di wilayah dari Pasal 22 Ayat (4) Konvensi Dewan Eropa
hukum Indonesia maupun di luar wilayah 2001 tentang Tindak Pidana Siber, Negara
hukum Indonesia, yang memiliki akibat Pihak dimungkinkan untuk menentukan
hukum di wilayah hukum Indonesia dan/ yurisdiksi kriminal yang sesuai dengan legislasi
atau di luar wilayah hukum Indonesia dan hukum nasionalnya. Pada intinya, ketentuan
merugikan kepentingan Indonesia.”26 yurisdiksi yang terdapat dalam Konvensi
Dewan Eropa 2001 tentang Tindak Pidana
Pada penjelasan Pasal 2 UU No. 11
Siber tidak meniadakan yurisdiksi kriminal yang
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
telah diterapkan Negara Pihak dalam hukum
Elektronik disebutkan bahwa Undang-Undang
nasionalnya. Pasal 22 Ayat (3) Konvensi Dewan
ini memberikan pengertian “merugikan
Eropa tersebut menyatakan sebagai berikut:
kepentingan Indonesia” adalah meliputi tetapi
tidak terbatas pada merugikan kepentingan “This Convention does not exclude any
ekonomi nasional, perlindungan data strategis, criminal jurisdiction exercised by a Party in
harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan accordance with its domestic law.”

25
Sigid Suseno, Op. Cit, hlm. 18-19.
26
Lihat Pasal 2 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
27
Lihat Penjelasan Pasal 2 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
28
Sigid Suseno, Yurisdiksi terhadap Tindak Pidana Siber dalam Perundang-Undangan Indonesia Dihubungkan dengan Konvensi Dewan
Eropa, dalam Yudha Bhakti, et. al, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Fikahati Aneska, Jakarta: 2012, hlm. 542.
29
Sigid Suseno, Op. Cit, hlm. 414.
56 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018

Untuk itu terkait dengan masalah prinsip Indonesia” mengandung “prinsip perlindungan
perlindungan ini, Sigid Suseno menyarankan pasif”. Hal ini dikarenakan penerapan prinsip
agar prinsip perlindungan diperluas termasuk tersebut didasarkan pada perbuatan/tindak
“kepentingan kepentingan vital negara lainnya” pidana yang sudah terjadi (on an ex post
dan tidak terbatas hanya pada kepentingan basis) sehingga sifatnya pasif. Sedangkan
kepala negara dan keuangan atau ekonomi Lex Informatica menawarkan penerapan
negara serta tindak pidana yang dilakukan di “prinsip perlindungan aktif” secara otomatis
dalam yurisdiksi negara lain tetapi juga untuk (automated) dan eksekusi mandiri (self-
“tindak pidana yang dilakukan di luar yurisdiksi executing) sebelum perbuatan dilakukan (ex
teritorial negara manapun”.30 ante measures). Sebagai ilustrasi dari prinsip
Mengingat sifat dari dunia siber yang perlindungan aktif, Pemerintah Indonesia dapat
transnasional dan borderless, tentu saja membuat suatu standar khusus baik secara
akan terjadi overlapping claim atas yurisdiksi aturan maupun standar teknis untuk melindungi
khususnya yurisdiksi dengan menggunakan komunikasi resmi kepala negara atau dalam hal
prinsip perlindungan. Hal ini terjadi karena ini Presiden RI.
lebih dari satu Negara Pihak mengklaim punya Langkah pembentukan prinsip
kepentingan yang harus dilindungi dan memiliki perlindungan aktif tersebut dapat dimulai
yurisdiksi hukum terhadap tindak pidana siber. dengan dibentuknya peraturan tertentu yang
Untuk itu, perlu kiranya mempertimbangkan akan merangsang dikembangkannya teknologi
yurisdiksi Lex Informatica untuk menyelesaikan tertentu yang bersifat bebas sadap (wiretap-
masalah ini. safe) dari pelaku industri dan ahli teknologi.
Penerapan yurisdiksi Lex Informatica Hal ini terlihat dari paparan sebagai berikut:
ini didasarkan pada perbedaannya dengan “First, the government can use its bully
yurisdiksi hukum konvensional. Yurisdiksi pulpit to cajole and threaten the ICT
hukum utamanya didasarkan pada wilayah. industry to develop technical rules and new
Hukum konvensional/tradisional dapat technology. In the context of wiretapping,
diberlakukan hanya pada tempat yang nyata- government must encourage the industry
nyata dapat ditentukan dimana kedaulatan to provide encryption technologies for
dapat melaksanakan kekuasaannya. Sebaliknya, official state use. Second, the government
yurisdiksi dari Lex Informatica adalah jaringan should work with standarization bodies to
(networks) sehingga dapat menembus batas- develop a standart operating procedure
batas secara fisik (transnasional). Oleh karena for communications. The govenrment can
itu, prinsip perlindungan melalui Lex Informatica work with stakeholders from the industry
dapat diterapkan secara aktif berdasarkan and technology developers to define
jurisdiction to prevent. the standart. Third, the government can
Prinsip perlindungan pada Pasal 2 UU encourage the development of particular
ITE dalam rumusan “di luar wilayah hukum technological capabilities, such as a
Indonesia dan merugikan kepentingan wiretap-safe technology, using public

Ibid, hlm. 545.


30
Purna Cita Nugraha 57
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif

funds and realized under public sector Internet Sehat.”


procurement”.31 Prinsip perlindungan aktif ini juga
Dari paparan di atas diketahui bahwa terkandung secara tegas dalam Reservasi
dalam pembentukan prinsip perlindungan aktif Indonesia pada Final Acts ITU of the
terhadap komunikasi Presiden RI dari tindak Plenipotentiary Conference (Guadalajara,
pidana, dapat diterapkan 3 (tiga) hal, yaitu: 1) 2010) yang diratifikasi oleh Indonesia melalui
Pemerintah dapat menggunakan pengaruh Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2012,
dan kekuasaannya untuk memaksa industri TIK sebagai berikut:
untuk mengembangkan aturan-aturan teknis “The Government of the Republic of
dan teknologi baru. Dalam konteks penyadapan, Indonesia does hereby reserve as follows:
Pemerintah harus mendorong industri a) the right to take any action and
untuk menyediakan teknologi terenkripsi preservation measures it deems necessary
untuk penggunaan negara secara resmi; to safe guard its national interests should
2) Pemerintah harus bekerja sama dengan any provision of the Constitution, the
badan standarisasi, industri, dan pengembang Convention and the Resolutions, as well
teknologi untuk mengembangkan suatu SOP as any decision of the Plenipotentiary
dalam berkomunikasi bagi Kepala Negara; 3) Conference of the ITU (Guadalajara, 2010),
Pemerintah dapat mendorong pengembangan directly or indirectly affect its sovereignty
kapasitas teknologi tertentu seperti teknologi or be in contrantion to the Constitution,
bebas-sadap dengan menggunakan mekanisme Laws and Regulations of the Republic of
pengadaan Pemerintah. Indonesia as well as the existing rights
Prinsip perlindungan aktif ini juga tersirat acquired by the Republic of Indonesia as
dalam Surat Edaran No. 1598/SE/DJPT.1/ a party to other treaties and conventions
KOMINFO/7/2010 tanggal 21 Juli 2010 tentang and any principles of international law;
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang- and b) the right to take any action and
Undangan yang terkait dengan Pornografi, preservation measures it deems necessary
sebagai berikut: to safeguard its national interests should
“dalam rangka memberikan kepastian any Member in any way fail to comply
hukum dan perlindungan bagi with the provisions of the Constitution
warga negara dari pornografi, para and the Convention of the International
penyelenggara Jasa Akses Internet Telecommunication Union (Guadalajara,
(Internet Service Provider) dan 2010) or should the consequences of
Penyelenggara Jasa Interkoneksi (Network reservations by any Member jeopardize its
Access Point/NAP) agar memenuhi telecommunication services or result in an
kewajiban dan tidak melakukan unacceptable increase of its contibutory
pelanggaran terhadap ketentuan- share towards defraying expenses of the
ketentuan sebagaimana tersebut di atas, Union.”32
serta secara aktif menerapkan program

Purna Cita Nugraha, London’s Wiretapping: How Should We Respond?, Artikel yang ditulis di Jakarta Post, tanggal 2 Agustus 2013.
31

Lihat Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengesahan Final Acts of the Plenipotentiary
32
58 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018

Dari paparan di atas dapat diketahui untuk mengamankan kepentingan nasionalnya.


bahwa Pemerintah Indonesia mensyaratkan Sehubungan dengan ini, tindakan dan langkah-
bahwa: a) memiliki hak untuk mengambil langkah pencegahan/penjagaan tersebut dapat
tindakan apapun dan langkah-langkah berarti perlindungan secara aktif (on ex ante
pencegahan/penjagaan yang dinilai perlu basis) ataupun perlindungan secara pasif (on
untuk mengamankan kepentingan nasionalnya ex post basis). Bentuk reservasi Indonesia pada
apabila ada ketentuan dari Konstitusi, Konvensi Final Acts ITU of the Plenipotentiary Conference
dan Resolusi, maupun keputusan apapun dari (Guadalajara, 2010) tersebut merupakan legal
Konferensi Yang Berkuasa Penuh Itu secara policy yang hingga saat ini masih diberlakukan.
langsung atau tidak langsung mempengaruhi Politik hukum untuk mereservasi Final Acts
kedaulatannya atan bertentangan dengan tersebut sudah dilakukan sejak Indonesia
Konstitusi, Hukum dan Aturan Republik menandatangani dan meratifikasi Final Acts
Indonesia maupun hak-hak yang ada yang ITU of the Plenipotentiary Conference (1994),
diperoleh oleh Republik Indonesia sebagai Minneapolis (1998), Marrakesh (2002), dan
kelompok dari traktat-traktat dan konvensi- Antalya (2006).33
konvensi-konvensi serta prinsip-prinsip hukum Dalam tataran konsepsi, prinsip
internasional apapun lainnya; dan b) memiliki perlindungan aktif merupakan prinsip kombinasi
hak untuk mengambil tindakan apapun dan antara rezim hukum dan Lex Informatica yang
langkah-langkah pencegahan/penjagaan yang diterapkan secara otomatis (automated) dan
dinilai perlu untuk mengamankan kepentingan eksekusi mandiri (self-executing) sebelum
nasionalnya apabila ada Anggota dengan perbuatan dilakukan (ex ante measures)
cara apapun gagal memenuhi ketentuan- berdasarkan pertimbangan perlindungan
ketentuan dalam Konstitusi dan Konvensi kepentingan negara yang meliputi tetapi
Perhimpunan Telekomunikasi Internasional tidak terbatas pada merugikan kepentingan
(Guadalajara, 2010) atau apabila konsekuensi ekonomi nasional, perlindungan data strategis,
pensyaratan-pensyaratan pada Anggotan harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan
manapun membahayakan layanan-layanan keamanan negara, kedaulatan negara, warga
telekomunikasinya atau mengakibatkan negara, serta badan hukum Indonesia.
kenaikan saham kontribusi untuk pembayaran
biaya-biaya Perhimpunan yang tidak dapat Berdasarkan prinsip ini negara memiliki
diterima. yurisdiksi ekstrateritorial untuk mencegah
orang/pihak asing yang melakukan tindak
Dalam reservasi tersebut di atas, pidana di luar wilayah negara tersebut dan
Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa mengancam keamanan dan keutuhan negara
Indonesia memiliki hak untuk mengambil yang bersangkutan dengan menerapkan aturan-
tindakan apapun dan langkah-langkah aturan teknis/teknologi.
pencegahan/penjagaan yang dinilai perlu

Conference, Guadalajara, 2010 (Akta-Akta Akhir Konferensi yang Berkuasa Penuh, Guadalajara, 2010), Reservation to the Amendment
of the Constitution and Convention as A Result of the Plenipotentiary Conference, Guadalajara, 2010.
33
Lihat Piagam Pengesahan No. 02/HI/01/2012/IR tanggal 26 Januari 2012.
Purna Cita Nugraha 59
Pembentukan Prinsip Jurisdiction to Prevent (Pre-Emptive Jurisdiction) dan Prinsip Perlindungan Aktif

Syarat untuk menerapkan prinsip Jonathan L. Zittrain, The Future of the Internet
perlindungan aktif ini dapat dilaksanakan and How to Stop It, Yale University Press
dengan mengaktualisasikan konsep Starke Haven and London, United Stated of
dalam konteks kekinian, yaitu dengan melihat America: 2008.
2 (dua) alasan untuk menerapkan yurisdiksi Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes
berdasarkan prinsip perlindungan aktif adalah: Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana,
1) akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana PT. Tata Nusa, Jakarta: 2012.
tersebut sangat besar bagi negara; 2) apabila
yurisdiksi dalam jaringan pada pihak asing/ J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional,
Negara lain tersebut tidak dilaksanakan. Sinar Grafika, Jakarta: 2004.
Lawrence Lessig, Code Version 2.0., Basic Books,
PENUTUP New York: 2006.
Prinsip jurisdiction to prevent (pre- Shinta Dewi, Cyberlaw: Perlindungan Privasi
emptive jurisdiction) dan prinsip perlindungan atas Informasi Pribadi dalam E-Commerce
aktif merupakan prinsip hukum utama yang menurut Hukum Internasional, Widya
dapat digunakan untuk mendukung konsepsi Padjadjaran, Bandung: 2009.
kedaulatan negara guna membentuk rezim Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di
extraterritorial juridiction dalam cyberlaw di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, PT.
Indonesia. Prinsip-prinsip ini dapat dibentuk Alumni, Bandung: 2006.
dengan mengkombinasikan rezim hukum
dengan Lex Informatica sehingga tercipta Yudha Bhakti, et. al, Penemuan Hukum Nasional
hubungan yang saling mengisi (substitusi) dan dan Internasional, Fikahati Aneska,
melengkapi (komplementer). Rezim yurisdiksi Jakarta: 2012.
ektrateritorial yang akan dibentuk di masa
depan juga akan bersifat lebih aktif, responsif, Jurnal
dan pre-emptive. Amit M. Sachdeva, “International Jurisdiction in
Cyberspace: A Comparative Perspective”,
DAFTAR PUSTAKA C.T.L.R., Issue8, 2007.
Buku Ahmad M. Ramli, “The Urgency of Ratification
Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam of Convention on Cybercrime”, Indonesia
Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Law Journal Vol. 2 No. 2, National Law
Bandung: 2006. Development Agency, Mininstry of Law
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, and Human Rights, Jakarta, 2007.
Penyiaran, dan Teknologi Informasi Joel R. Reidenberg, “Lex Informatica: The
(Regulasi dan Konvergensi), Refika Formulation of Information Policy Rules
Aditama, Bandung: 2010. Through Technology”, Tax Law Review,
Darrel C. Menthe, Jurisdiction in Cyberspace: Volume 76, Number 3, 1998.
A Theory of International Spaces, 4 Mich,
Telecomm. Tech. L. Rev. 69 (1998).
60 Jurnal Bina Mulia Hukum
Volume 3, Nomor 1, September 2018

Samuel F. Miller, “Prescriptive Jurisdiction over Surat Edaran No. 1598/SE/DJPT.1/


Internet Activity: The Need to Define and KOMINFO/7/2010 tanggal 21 Juli 2010
Establish the Boundaries of Cyberliberty”, tentang Kepatuhan Terhadap Peraturan
Indiana University School of Law, Digital Perundang-Undangan yang terkait dengan
Repository @Maurer Law, Indiana Journal Pornografi.
of Global Legal Studies, Volume 2, Issue 2,
Surat Edaran Menteri Komunikasi dan
2003.
Informatika Nomor: 03/SE/M.
Svetlana Anggita Prasasti, “Developing KOMINFO/10/2010 mengenai
Indonesia’s Digital Diplomacy Strategy”, Penggunaan Internet Sehat dan Aman di
Jurnal Diplomasi Vol.5 No.1, Jakarta, 2013. Instansi Pemerintah.
Purna Cita Nugraha, Penyelesaian Sengketa
Peraturan Perundang-undangan
Electronic Commerce melalui Online
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor Dispute Resolution dan Penerapannya
5 Tahun 2012 tentang Pengesahan Final di Indonesia, Tesis pada Program
Acts of the Plenipotentiary Conference, Pascasarjana Ilmu Hukum, Magister
Guadalajara, 2010 (Akta-Akta Akhir Hukum BKU Hukum Bisnis, Universitas
Konferensi yang Berkuasa Penuh, Padjadjaran, Bandung, 2010.
Guadalajara, 2010).
Sigid Suseno, Implikasi Yurisdiksi Terhadap
Convention on Cybercrime 2001. Tindak Pidana Siber Berdasarkan
Tallinn Manual on the International Law Peraturan Perundang-Undangan
Applicable to Cyber Warfare 2012. Indonesia Dihubungkan dengan Konvensi
Dewan Eropa 2001, Disertasi, Program
Sumber Lain Doktor Ilmu Hukum pada Pascasarjana
Universitas Padjadjaran, Bandung, 2011.
Paket Aplikasi dan Panduan Teknis TRUS+™
Positif, http://trustpositif.kominfo.go.id/,
diakses tanggal 13 Desember 2013.
Piagam Pengesahan No. 02/HI/01/2012/IR
tanggal 26 Januari 2012.
Purna Cita Nugraha, London’s Wiretapping:
How Should We Respond?, Artikel yang
ditulis di Jakarta Post, tanggal 2 Agustus
2013.

Anda mungkin juga menyukai