Anda di halaman 1dari 10

PENERAPAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERHADAP POTENSI

PERPAJAKAN KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI (KMS) DI INDONESIA

A.Pendahuluan

Pada dasarnya semua kegiatan penyerahan barang dan jasa merupakan objek
dari Pajak Pertambahan Nilai. Namun berdasarkan kewenangannya Undang – Undang
dapat mengatur bahwa untuk penyerahan tertentu pengenaannya diatur tersendiri,
termasuk dalam hal ini adalah atas Kegiatan Membangun Sendiri atau popular disingkat
dengan KMS.
KMS secara umum diatur tersendiri dalam bab VA ketentuan Khusus pasal 16 C
dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 2010 tentang PPN selanjutnya disingkat dengan
Undang-Undang PPN, yang berbunyi “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas KMS
yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan
yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata
caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.” Ini berarti bahwa KMS yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dikenakan PPN dengan
pertimbangan untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan PPN.
Untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari pengenaan PPN
atas KMS, maka diatur batasan KMS dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Berdasarkan amanat Undang – Undang tersebut Pemerintah telah menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan sebagai ketentuan pelaksanaan yaitu dalam PMK Nomor
163/PMK.03/2012 dan aturan turunannya yaitu , Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-
23/P/2012 yang diubah dengan PER-25/PJ/2012 sedangkan pelaksanaan intern di
Direktorat Jenderal Pajak dijabarkan dalam Surat Edaran Nomor SE-53/PJ/2012.

B.Pembahasan

1. Membangun sendiri tersebut dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau


pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunaka sendiri atau
digunakan oelh pihak lain.
2. Bangunan yang dibangun sendiri diperuntukan bagi tempat tinggal, tempat usaha
atau tempat tinggal untuk usaha. Bangunan untuk tempat tinggal adalah bangunan
atau konstruksi yang diperuntukan bagi tempat tinggal, termasuk fasilitas olah raga
atau fasilitas lain. Bangunan untuk tempat usaha adalah keseluruhan bangunan atau
konstruksi yang diperuntukkan bagi tempat usaha termasuk seluruh fasilitas yang
ada. Bangunan tempat tinggal untuk usaha adalah bangunan atau konstruksi tempat
tinggal yang sebagian bangunan atau seluruhnya digunakan untuk kegiatan usaha.

3. Termasuk KMS adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan melalui


kontraktor atau pemborong tetapi atas kegiatan membangun tersebut tidak dipungut
PPN, dan kontraktor atau pemborong tersebut bukan merupakan Pengusaha Kena
Pajak.

4. Batasan bangunan yang dikenakan PPN atas KMS adalah satu atau lebih
konstruksi teknis yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan
tanah dan/perairan dengan kriteria :

a. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan
sejenis, dan atau baja;
b. Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c. Luas keseluruhan paling sedikir 300 m2 (tiga ratus meter persegi).

KMS dikenai PPN apabila memenuhi persyaratan sbb:


Apa batasan cakupan dari KMS itu..?                                                               
KMS adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan
sendiri atau digunakan orang lain. Termasuk dalam kegiatan ini adalah kegiatan
membangun bangunan yang dilakukan melalui kontraktor atau pemborong akan tetapi
atas kegiatan membangun tersebut tidak dipungut PPN dan kontraktor atau pemborong
tersebut bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak. Contoh: Pak Amir seorang dokter
berniat membangun rumah untuk tempat tinggal dan dikerjakan sendiri oleh Pak Amir
dengan mempekerjakan beberapa tukang bukan oleh kontraktor yang merupakan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau dikerjakan oleh kontraktor atau pemborong tapi Non
PKP. Contoh lain PT.Mutiara Hitam bergerak dalam usaha percetakan berniat
membangun gudang dan dilakukan secara swakelola (tanpa kontraktor ber PKP).

a.Tarif Dan Dasar Pengenaan Pajak Atas KMS

PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% dengan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP). Dasar Pengenaan Pajak  adalah 20% dari jumlah biaya yang
dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk
harga perolehan tanah. Pengertian Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual,
Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang. DPP 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan ini
mengindentifikasikan bahwa apabila yang membangun telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak maka atas pembelian (yang didalamnya termasuk Pajak
Masukan) maka atas Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan.
Hal ini dijelaskan kembali dalam pasal 5 KMK-163/PMK.03/2012 disebutkan
bahwa pembayaran PPN terutang atas KMS dilakukan setiap bulan sebesar 10% X 20%
dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya.
Contoh :
Pada bulan Agustus 2013 PT.Nusa Cyber membangun kantor tanpa menggunakan jasa
kontraktor atau pemborong, luas bangunan adalah 450m2, biaya yang dikeluarkan
dalam untuk masa Agustus sebesar Rp.145.000.000,- Atas kondisi tersebut PT.Nusa
Cyber memenuhi kriteria melakukan KMS (luas bangunan melebihi 200m2 serta tidak
dilakukan oleh kontraktor maupun pemborong). Penghitungan PPN atas KMS yang
harus dibayar PT. Nusa Cyber  adalah: 10% x (20% x Rp. 145.000.000) = Rp.
2.900.000,-.
b. Saat Dan Tempat Terutang

Saat terutangnya PPN atas KMS dimulai pada saat dibangunnya bangunan
sampai dengan bangunan selesai, sebagaimana contoh di atas masa pajak terutang
adalah masa Agustus 2013. Dan KMS yang dilakukan secara bertahap dianggap
merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan
tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. Tempat PPN terutang atas KMS adalah di tempat
bangunan tersebut didirikan.

c. Penyetoran Dan Pelaporan

PPN terutang atas KMS  wajib disetor ke kas negara melalui kantor pos atau
bank persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya  setelah berakhirnya masa pajak.
Dalam contoh di atas maka PT. Nusa Cyber paling lambat tanggal 15 September 2013
harus sudah menyetorkan PPN Terutang. Penyetoran PPN terutang  dilakukan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak  (SSP) yang harus diisi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dengan ketentuan :

1. Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan
Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan KMS terdaftar,
kolom NPWP yang tercantum pada Surat Setoran Pajak diisi dengan NPWP
Badan (PT. Nusa Cyber) atau orang pribadi.
2. Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan
Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang
pribadi atau badan yang melakukan KMS terdaftar, Surat Setoran Pajak  diisi
dengan ketentuan sebagai berikut : a). Kolom NPWP diisi dengan angka 0 pada
9 digit pertama; angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah
kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 digit
berikutnya; angka 0 pada 3 digit terakhir.  b). pada kotak “Wajib
Pajak/Penyetor” diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan
yang melakukan KMS.
3. Dalam hal orang pribadi yang melakukan KMS belum memiliki NPWP,
Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut : a). Kolom NPWP
diisi dengan angka 0 pada 9 digit pertama; angka kode Kantor Pelayanan Pajak
Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan
pada 3 digit berikutnya; angka 0 pada 3 digit terakhir.  b). pada kotak “Wajib
Pajak/Penyetor” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan
yang melakukan KMS.

Orang pribadi atau badan yang melakukan KMS telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor
Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang
pribadi atau badan  yang melakukan KMS wajib melaporkannya dalam  Surat
Pemberitahuan Masa PPN dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan KMS telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja
Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat
orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan
KMS selain wajib melaporkan penyetoran PPN terutang, juga  wajib melaporkan KMS
dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga
Surat Setoran Pajak.

d. Potensi Perpajakan KMS


Dalam kegiatan membangun suatu gedung baik itu sebagai kantor, tempat tinggal, atau
apapun maka pekerjaan tersebut dilakukan oleh beberapa diantaranya adalah sbb:

1. Developer (pengembang) yang memiliki lahan dan membangun, pengembang


melakukan pembangunan baik rumah tinggal maupun merangkap toko (ruko)
dengan tujuan dijual kepada konsumen, maka pengembang akan memungut PPN
pada saat penjualan (pajak atas konsumen akhir).
2. Kontraktor, disini pemilik tanah/lahan  meminta untuk dibangunkan suatu
gedung berdasarkan nilai kontrak yang disepakati. Kontraktor tersebut akan
memungut PPN sesuai dengan nilai kontrak.
3. KMS, dalam kegiatan ini tidak melihat apakah gedung tersebut akan disewakan
atau dimiliki sendiri baik sebagai rumah tinggal maupun sebagai gedung kantor
maka yang menanggung PPN adalah pemilik sendiri.

Dokumen Terkait KMS


Dokumen terkait KMS sesungguhnya adalah biaya yang dikeluarkan untuk membangun
sebuah bangunan. Namun tidak semua Wajib Pajak membuat catatan yang didukung
dengan bukti transaksi pembelian dalam rangka membangun bangunan tersebut. Karena
catatan tanpa bukti pendukung dianggap kurang meyakinkan fiskus, adakalanya
bangunan tersebut sudah selesai dibangun, dan pihak fiskus melakukan pemeriksaan
atas PPN KMS.
Ada beberapa cara untuk menilai sebuah bangunan, misalnya:

1. Data Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB, karena di dalamnya


terdapat nilai bangunan.
2. Surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh pihak berwenang
3. Laporan Penilaian oleh pihak fiskus.

Poin-poin tersebut di atas adalah parameter yang dapat dijadikan acuan dalam
menentukan total pengeluaran atas KMS apabila wajib pajak tidak dapat memberikan
bukti pendukung atas biaya yang dikeluarkan untuk membangun bangunan tersebut, hal
ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan yaitu
bahwa Direktorat Jenderal Pajak secara jabatan berhak menetapkan jumlah biaya yang
dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan.
Pengenaan PPN atas KMS dilakukan dengan pertimbangan untuk mencegah
terjadinya penghindaran pengenaan PPN. karena pada dasarnya pengenaan PPN adalah
melalui mekanisme pemungutan. Mereka yang telah diberi kewenangan oleh DJP untuk
melakukan pemungutan, yaitu orang Pribadi atau Badan yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Hal ini menyebabkan KMS yang dilakukan oleh non PKP atau
oleh PKP namun dikerjakan sendiri atau dikerjakan oleh pemborong yang non PKP
tidak bisa dipungut PPNnya. Disamping itu, Pengenaan PPN atas KMS juga untuk
memberikan perlakuan yang sama dan untuk memenuhi rasa keadilan antara pihak yang
membeli bangunan dari Pengusaha Real Estate atau yang menyerahkan pembangunan
gedung kepada pemborong dengan pihak yang membangun  sendiri.  Bagi masyarakat
yang berpenghasilan rendah tidak perlu khawatir karena aturan ini pasti sudah
mempertimbangkan hal itu karena batasan yang diatur memungkinkan tidak akan
membebani masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari pengenaan PPN
atas KMS, maka tidak seluruh KMS dikenakan PPN. Pemerintah beberapa kali
menerbitkan aturan mengenai batasan KMS dan terakhir diatur bahwa PPN atas KMS
dikenakan pada luas keseluruhan bangunan paling sedikit 200m2.
PPN atas KMS terutang pada saat KMS tersebut dimulai sampai dengan
bangunan tersebut selesai, sedangkan pembangunan yang dilakukan secara bertahap
dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu kegiatan tidak
lebih dari 2 tahun. Sebagai tempat PPN terutang atas KMS adalah ditempat bangunan
tersebut didirikan. Hal ini menimbulan konsekuensi bahwa PPN harus disetorkan di
KPP dimana bangunan tersebut didirikan dan apabila Orang Pribadi atau Badan sudah
dikukuhkan sebagai PKP maka KMS harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN Orang
Pribadi atau Badan tersebut.
Pembayaran PPN atas KMS dihitung dengan cara mengalikan tarif 10 % dengan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP), sedangkan DPP untuk PPN KMS adalah 20 % dari
jumlah biaya yang dikeluarkan, dibayarkan setiap bulannya untuk membangun
bangunan tersebut dan tidak termasuk harga perolehan tanah. Dengan kata lain, tarif
efektif PPN atas KMS adalah 2% dari Biaya yang dikeluarkan tiap bulan tidak termasuk
harga perolehan tanah. PPN ini dibayarkan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
dengan menggunakan SSP. Apabila Orang Pribadi atau Badan yang melakukan KMS
tidak melakukan penyetoran PPN atas KMS tersebut atau melakukan penyetoran namun
terdapat indikasi tidak wajar, maka KPP akan menerbitkan surat teguran untuk dipenuhi
dalam jangka waktu 14 hari dan apabila tidak dipenuhi KPP dapat melakukan verifikasi
atau pemeriksaan untuk menetapkan besarnya PPN terutang atas KMS tersebut.
Apabila melalui pemeriksaan atau Verifikasi, Orang Pribadi atau Badan tersebut
tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan maka biaya
tersebut dapat ditetapkan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari Harga Satuan
Bangunan Gedung Negara (HSBGN) masing – masing daerah sesuai Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007. Penetapan besarnya PPN terutang
atas KMS dilakukan dengan mengeluarkan produk hukum berupa Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi. Apabila Orang
Pribadi atau Badan memberikan data jumlah biaya yang dikeluarkan maka penetapan
secara jabatan dihitung berdasarkan nilai yang tertinggi.
Pengenaan PPN atas KMS perlu disikapi secara cermat agar justru tidak
menyebabkan terjadinya penghindaran pajak oleh Wajib Pajak. Mengapa demikian?
Wajib Pajak yang berstatus PKP, kemudian melakukan pembangunan suatu gedung atau
bangunan maka akan lebih menguntungkan baginya untuk menggunakan tenaga
borongan atau kontraktor non PKP atau dilakukan secara swakelola. Dengan hanya
membayar PPN atas KMS sebesar 2% dari biaya yang dikeluarkan, maka Wajib Pajak
ini akan terhindar dari membayar PPN keluaran sebesar 10 % dari Nilai Proyek dan PPh
Final atas jasa konstruksi, disamping itu Pajak Masukan yang terkait dengan
pembangunan gedung atau bangunan itu dapat lolos sebagai kredit pajak jika KPP tidak
cermat dalam melakukan pemeriksaan dan itu juga jika dilakukan pemeriksaan terhadap
Wajib Pajak tersebut.
Sebagai ilustrasi PT. A melakukan pembangunan gedung kantor dengan nilai
proyek sebesar Rp 2,5 M, jika dikerjakan oleh kontraktor maka Pajak yang akan disetor
ke Negara adalah PPh final jasa konstruksi (misal tarif terendah 2%) sebesar Rp 50 juta
setara dengan PPN KMS sebesar 2% dan terdapat Pajak Keluaran sebesar Rp 250 juta
yang akan disandingkan dengan Pajak Masukan untuk mengetahui berapa PPN Kurang
Bayar yang masih harus disetor. Jika Wajib Pajak mengerjakan secara swakelola maka
pajak yang disetor terbatas pada PPN KMS sebesar 2 % dan PPh 21 pekerjanya.
Disamping itu Wajib Pajak bisa tergoda untuk memperhitungkan faktur2 terkait dengan
pembangunan gedung tersebut dalam mekanisme PK-PM, jika biaya yang dapat
diketahui fakturnya pada saat pembangunan gedung itu sebesar Rp 2 M, maka Pajak
Masukan sebesar 200 juta berpotensi disalahgunakan Wajib Pajak untuk diperhitungkan
dengan Pajak Keluaran dalam Laporan PPN.

C.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa potensi


perpajakan yang diamanatkan dalam pasal 16 c Undang – Undang PPN sangat besar.
Hal ini sejalan dengan kondisi bangsa ini dimana masyarakatnya terus – menerus
melakukan pembangunan infrastruktur perumahan dari waktu ke waktu. Peningkatan
taraf hidup masyarakat dan kebutuhan perumahan yang semakin meningkat dari tahun
ke tahun menjadikan potensi pajak atas kegiatan membangun sendiri sangat strategis.
Namun demikian, potensi pajak yang besar tersebut akan terasa sia – sia jika
pihak Direktorat Jenderal Pajak tidak melakukan langkah – langkah pengamanan
penerimaan pajak dari sektor PPN KMS tersebut. Direktorat Jenderal Pajak harus secara
aktif bekerja sama dengan pihak – pihak terkait untuk pengumpulan data yang dapat
digunakan untuk penggalian potensi atas Pajak KMS tersebut, misalnya dengan pihak
yang menerbitkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), dengan pihak notaris yang berisi
transaksi pengalihan tanah dan bangunan, dengan pihak perizinan usaha dan sebagainya.
Disamping itu aparat pajak yang bertugas dalam seksi yang menangani KMS (Account
Representative dan Seksi Ekstensifikasi) selalu turun ke lapangan atau wilayah kerja
untuk mendeteksi adanya perubahan objek pajak rumah atau bangunan dan juga adanya
pembangunan infratrusktur bangunan Wajib Pajak.
DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum


dan  Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang  Nomor 16 tahun 2009

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan


Nilai    Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang sebagaimana telah
beberapa kali    diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

Republik Indonesia, Undang – undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan     Menengah (UMKM)

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK.03/2012 Tentang


Batasan dan  Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan
Membangun Sendiri

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 242/PMK.03/2014 Tentang


Tata  cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER -26/PJ/2014 Tentang Sistem


Pembayaran   Elektronik

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per -25/PJ/2012 Tentang Perubahan atas
Peraturan  Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-23/PJ/2012 Tentang Tata
cara   Penetapan secara jabatan  Atas Jumlah Biaya yang Dikeluarkan dan/atau
yang Dibayarkan untuk Membangun bangunan Dalam Rangka Kegiatan
Membangun Sendiri

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2012 Tentang Pelaksanaan


Peraturan  Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Tentang Batasan dan
Tata cara Pengenaan   Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun
Sendiri

Anda mungkin juga menyukai