Anda di halaman 1dari 20

Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan

dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia

Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Negara hukum ialah negara yang dalam menjalankan pemerintahannya
tunduk pada hukum. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI) Indonesia adalah negara hukum, tidak
berdasarkan pada kekuasaan belaka.1 Menurut I. C Van der Vlies, pada awalnya yang
termuat dalam pengertian “negara hukum” hanya keterikatan pemerintah pada
Undang-undang.2 Dengan mengikatkan pemerintah pada undang-undang maka
perlakuan yang sama oleh pemerintah terhadap tiap orang lebih terjamin, dengan
demikian ada kepastian hukum. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengungkapkan
setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan antara nilai kepastian (certainty,
zekerheid), keadilan (equity, billijkheid), dan keberguanaan (utility).3
Sebagai Negara Hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang
kemsyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.4 karena prinsip
negara hukum yang dianut indonesia adalah negara modern, yaitu negara hukum
pancasila, maka fungsi peraturan perundang-undangan bukan hanya memberi bentuk
kepada nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat, serta bukan juga sekadar
fungsi negara dibidang pengaturan, namun peraturan perundang-undangan adalah
salah satu metode dan instrumen ampuh untuk mengatur dan mengarahkan
kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.Peraturan perundang-
undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dalam
sistem hukum suatu negara.Peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri
terlepas dari sistem huku negara tersebut. Dalam Negara Hukum modern, peraturan
perundang-undangan diharapkan mampu untuk “ berjalan didepan” memimpin dan
memimbing perkembangan serta perubahan masyarakat.5
Pada umumnya, orang sering mengartikan hukum adalah peraturan
perundang-undangan. Sebenarnya, peraturan perundang-undangan hanya merupakan
bagian dari hukum, karena di luar peraturan perundang-undangan, masih banyak
yang dipelajari terkait dengan hukum. Di dalam sistem hukum pun, peraturan
perundang-undangan hanya merupakan salah satu bagian dari sub sistem substansi

1
Lihat Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945
2
I.C Van der Vlies, 2005. Buku Pegangan Perancang Peraturan perundang-undangan.
Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI., hlm 1
3
Jimly Asshiddiqie, 2010. Perihal Undang-undang. Jakarta: Rajawali Pers., hlm 3
4
Penjelasan Umum UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
5
Tim Pengajar Teori Peundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Teori
Perundang-Undangan, dalam laporan akhir penyusunan Naskah Akademik RUU perubahan
atas UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Badan
Pembinaan Hukum Nasional,2009,hlm.12.

1
hukum atau legal substance. Sub sistem yang lain adalah legal structure, dan legal
culture.6
Wilayah Republik Indonesia itu sangat luas, maka tidak memungkinkan jika
segala sesuatunya diurus oleh pemerintah pusat, untuk mengurus penyelenggaraan
negara sampai keseluruh plosok daerah, maka diperlukan peran pemerintahan
daerah.7 Peraturan perundang-undangan terdiri dari beberapa jenis, yang secara garis
besar dapat dibagi menjadi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan
peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah adalah peraturan daerah. Adapun sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia menurut Undang- Undang Dasar 1945, tidak
menganut suatu sistem dari negara manapun tetapi adalah suatu sistem khas
kepribadian Bangsa Indonesia.8
Pengaturan mengenai pembentukan peraturan daerah secara formal
setidaknya diatur di dalam 2 (dua) undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dua kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU
Pemda) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian telah digantikan
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU PPP).
Selain itu, terdapat pula pengaturan dalam 2 (dua) undang-undang yang
terkait dengan pembatalan peraturan daerah, yaitu sebagaimana UU Pemda dan
Undang-Undang 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (UU MA). Sementara itu, terdapat pula pengaturan mengenai penyidikan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara vertikal ke bawah, pengaturan
mengenai pembentukan peraturan daerah juga diatur dalam Permendagri No. 53
Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Pengaturan mengenai peraturan daerah dalam beberapa undang-undang dan
peraturan perundang-undangan dapat mengakibatkan adanya perbedaan penafsiran
atau interpretasi. Perbedaan penafsiran atau disharmoni peraturan perundang-
undangan akan mengakibatkan munculnya permasalahan di dalam implementasinya.
Ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan disharmoni sebagai berikut:9
a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun
waktu yang berbeda;

6
Lawrence M. Friedmann menyatakan ada tiga unsur yang terkait dalam sistem hukum,
yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan kultur hukum (legal culture). Lawrence
M. Friedmann, The Legal System: A Sosial Science Perspektive. New York; Russel Soge
Foundation, 1969, hal 16.
7
Moh.Kusnardi, S.H., Harmaly Ibrahim, S.H., 1980.Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia.Jakarta : FH UI., hlm.250.
8
Joeniarto, S.H., 1982. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Yogyakarta : FH
UGM., hlm.41.
9
AA. Oka Mahendra, Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan,
http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-
undangan.html diakses tanggal 22 Mei 2019.

2
b. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan
berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugas atau
penggantian;

c. Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan


lebih kuat dibanding pendekatan sistem;

d. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-


undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum;

e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan


perundang-undangan masih terbatas;

f. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang
mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-
undangan.
Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan: terjadinya perbedaan
penafsiran dalam pelaksanaannya; timbulnya ketidakpastian hukum; peraturan
perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien, dan disfungsi
hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku
kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana
perubahan sosial secara tertib dan teratur.10
Esensi dari otonomi daerah adalah memberikan kewenangan kepada daerah
otonom untuk mengatur urusan yang menjadi kewenangannya berdasarkan
karakteristik daerah masing-masing. Namun demikian, pengaturan tersebut tetap
tidak diperkenankan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dan kepentingan umum. Berkenaan dengan hal tersebut, maka pengaturan
dalam Perda dihadapkan pada persoalan bagaimana agar Perda dapat mengatur
urusan kewenangan sesuai dengan karakteristik daerahnya, namun tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terkait dengan hal tersebut,
menurut hemat kami analisis terhadap sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan
mengenai Peraturan Daerah menarik untuk dilakukan.
Selain melalui kajian normatif, sinkronisasi peraturan antara peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi, juga
dapat dilakukan melalui pengadilan dengan mekanisme uji materi Peraturan Daerah
terhadap Undang-Undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pengharmonisasian adalah upaya untuk menyalaraskan, menyesuaikan,
memantapkan dan membulatkan konsep sisuatu rancangan peraturan perundang-
undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi,
sederajat, maupun yang lebih rendah, dan hal lain-lain selain peraturan perundang-
undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau
tumpang tindih.11

10
Ibid.
11
Armen Yasir, Hukum perundang-undangan, ( Bandar Lampung; PKKPUU FH
UNILA,2014), hal. 46.

3
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa makna peraturan Perundang-undang dan bagaimana kaitannya dengan


Asas peraturan Perundang-Undangan jika terdapat lebih dari 1 peraturan yang
mengatur hal yang sama?

2. Bagaimanakah harmonisasi dan sinkronisasi mengenai peraturan perundang-


undangan?

3. Bagaimankah harmonisasi dan sinkronisasi mengenai pengaturan peraturan


perundang-undangan daerah secara vertikal dan horizontal?

1.3 Tujuan Masalah

Berdasarkan pernyataan masalah maka tujuan yang ingin dicapai oleh


penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui makna peraturang Perundang-undangan dan kaitannya


dengan Asas peraturang Perundang-Undangan jika terdapat lebih dari 1
peraturan yang mengatur hal yang sama.
2. Untuk mengkaji mengenai harmonisasi dan sinkronisasi mengenai
peraturan perundang-undangan.
3. Untuk mengkaji bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi mengenai
peraturan perundang-undangan daerah secara vertikal dan horizontal.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peraturan Perundang-Undangan

Secara normatif berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 12 Tahun 2011,


peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan. Bagir Manan mengindikasikan banyak kalangan yang
menganggap hukum, peraturan perundang-undangan dan undang-undang adalah hal
yang sama.12 Menurut Bagir Manan, undang-undang adalah bagian dari peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan terdiri dari undang- undang
dan berbagai peraturan perundang-undangan lain, sedangkan hukum bukan hanya
undang-undang, melainkan termasuk juga beberapa kaidah hukum lain seperti
Hukum Adat, Kebiasaan, dan Hukum Yurisprudensi.13
Sementara Solly Lubis menyebutkan adanya istilah lain lagi, yaitu
perundang- undangan. Perundangundangan ialah proses pembuatan peraturan-
peraturan negara. Dengan kata lain, tata cara mulai dari perencanaan (rancangan),
pembahasan, pengesahan atau penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan yang

12
Bagir Manan, 1992. Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia, Cetakan Pertama,
(Jakarta: Ind. Hill. Co) , hal. 2-3
13
Ibid.

4
bersangkutan.14 Solly Lubis tidak sependapat dengan istilah “peraturan perundangan”
atau “peraturan perundang-undangan”, yang menurutnya “peraturan perundangan”
berarti peraturan mengenai tata cara pembuatan peraturan negara,
sedangkanjikayangdimaksudadalah“peraturan yang dilahirkandariperundang-
15
undangan” cukup disebut dengan peraturan saja. Menurut Maria Farida Indrati
Soeprapto, istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung)
mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu:16

1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk


peraturanperaturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil


pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di Tingkat Daerah.

Salah satu peraturan di tingkat daerah adalah Peraturan Daerah yang di dalam
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan berada dalam
urutan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

2.1.1 Asas Peraturan Perundang-undangan


Ketika terdapat dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai hal yang sama, akan berlaku asas atau prinsip peraturan perundang-
undangan. Setidaknya terdapat empat asas hukum terkait dengan peraturan
perundang-undangan:
1. Lex superior derogat legi inferiori.
Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan
perundang-undangan lebih tinggi mengatur halhal yang oleh undang-undang
ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.

2. Lex specialis derogat legi generalis

14
Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung: Mandar maju, 1989,
hlm. 1
15
Ibid
16
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hal. 3.

5
Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan
mengesampingkan aturan hukum yang umum. Ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis:

a) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku,


kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.

b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan- ketentuan lex


generalis (undang-undang dengan undang-undang).

c) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim)


yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum
keperdataan.

3. Asas lex posterior derogat legi priori.


Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum
yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum
yang baru. Asas ini pun memuat prinsip-prinsip:

a. Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang
lama;

b. Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama.

Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak
pastian hukum.
Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur
pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting.
Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan
hukum baru mulai berlaku.

4. Asas Legalitas
Peraturan perundang-undangan tidak dapat berlaku surut.

2.2 Pengertian Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan.

2.2.1 Pengertian Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan


Istilah harmonisasi Perundang-undanganini muncul dalam kajian ilmu hukum
pada tahun 1992 di Jerman. Kajian harmonisasi hukum ini dikembangkan dengan
tujuan untuk menunjukkan bahwa dalam dunia hukum kebijakan pemerintah dan
hubungan diantara keduanya terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan
disharmoni.17 Harmonisasi peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai
suatu proses penyelarasan atau penyerasian peraturan perundang-undangan yang
17
Inche Sayuna, Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan (SKMHT) Ditinjau Dari Otentisitas Akta Menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, Tesis, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, hal. 16.

6
hendak atau sedang disusun, agar peraturan perundang-undangan yang dihasilkan
sesuai prinsip-prinsip hukum dan peraturan perundang-undangan yang baik.18
Dalam hal cakupan harmonisasi hukum, L.M. Gandhi yang mengutip buku
tussen eenheid en verscheidenheid: Opstellen over harmonisatie instaaat en
bestuurecht (1988) mengatakan bahwa harmonisasi dalam hukum adalah mencakup
penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan
hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan
hukum, kepastian hukum, keadilan (justice, gerechtigheid) dan kesebandingan
(equit, billijkeid), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan
mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan. Badan Pembinaan
Hukum Nasional dalam buku yang disusun oleh Moh. Hasan dan kawan-kawan
menyatakan bahwa harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses
pengharmonisasian tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis,
ekonomis maupun yuridis.19
Dalam pelaksanaannya, kegiatan harmonisasi adalah pengkajian yang
komprehensif terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan
tujuan untuk mengetahui apakah rancangan peraturan tersebut, dalam berbagai aspek,
telah mencerminkan keselarasan atau kesesuaian dengan peraturan perundang-
undangan nasional lain, dengan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat,
atau dengan konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral
maupun multilateral, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Rl.20
Harmonisasi memiliki fungsi untuk mencegah dan mengatasi terjadinya
disharmonisasi hukum. Harmonisasi juga dapat menjamin proses pembentukan
rancangan undang-undang yang taat asas demi kepastian hukum. Dari pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah
proses penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundang-undangan sebagai
suatu bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai tujuan
hukum.21

Harmonisasi dibedakan menjadi 2

Harmonisasi Vertikal

Dalam hal asas lex superiori delogat legi inferiori, yang berarti peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah. Sehingga dalam penyusunannya pembentuk peraturan
perundangundangan harus memastikan bahwa materi muatan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan diatasnya.

18
Risky Dian Novita Rahayu Rochim, Harmonisasi Norma-Norma Dalam Peraturan
Perundang-Undangan tentang Kebebasan Hakim, Jurnal Ilmiah, Malang: Universitas
Brawijaya, 2014, hal. 7
19
Suhartono, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pelaksanaan Anggaran
Belanja Negara (Solusi Penyerapan Anggaran Belanja Negara Yang Efisien, Efektif Dan
Akuntabel), Tesis, Jakarta: Universitas Indonesia, 2011, hal. 94.
20
Moh. Hasan Wargakusumah dalam Novianti, Analisis Terhadap Pembuatan Perjanjian
Kerjasama Internasional (Studi di Provinsi Bali), Jakarta: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia
dan Azza Grafika, 2012, hal. 105.
21
Op.Cit., A.A. Oka Mahendra

7
Pembentuk peraturan perundang-undangan wajib menyusun suatu peraturan
perundang-undangan secara selaras dengan pasal-pasal dalam peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi yang merupakan pasal yang menjadi dasar
pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Hal inilah yang disebut
dengan harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan, yakni harmonisasi
peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain dalam
hierarki yang berbeda.

Arti penting harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan ini adalah


bahwa dalam sistem hukum Indonesia peraturan perundang-undangan tersebut dapat
diuji oleh kekuasaan kehakiman (hak uji materil). (UU RI Nomor 5 Tahun 2004 :
Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3) ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 31 A)
(Kementerian Sekretariat Negara, 2004a).

Pasal 24 c UUD-1945 menyatakan: Mahkamah Konstitusi berwenang


mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.

Pasal 24 A ayat (1) UUD-1945, menyatakan bahwa Mahkamah Agung


berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undangundang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang. Selanjutnya Pasal 11 ayat (2) Huruf b UU RI Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan Mahkamah Agung mempunyai
kewenangan:menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang sebagaimana dalam UU RI Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 11
ayat (2) a,b dan c serta ayat (3) (Kementerian Sekretariat Negara, 2004b).

Dengan aturan tersebut maka suatu undang-undang dapat dimintakan


peninjauan kembali kepada Mahkamah Konstitusi sedangkan peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang dapat dimintakan Judicial Review atau pegujian
yudisial kepada Mahkamah Agung jika di dalamnya terdapat suatu ketentuan yang
bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang secara
hierarki lebih tinggi. Terhadap undang-undang apabila Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa benar terdapat suatu ketentuan di dalamnya yang bertentangan
dengan ketentuan dalam UUD-1945, maka Mahkamah Konstitusi dapat
mengeluarkan putusan untuk membatalkan ketentuan yang dimaksud dan
menyatakannya tidak berkekuatan hukum tetap.

Demikian juga peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang


apabila Mahkamah Agung berpendapat bahwa benar terdapat suatu ketentuan di
dalamnya yang bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang, maka
Mahkamah Agung dapat mengeluarkan putusan untuk membatalkan ketentuan yang
dimaksud dan menyatakannya tidak berkekuatan hukum tetap.

Dalam hal inilah harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan


mempunyai peranan yang sangat penting. Selain berfungsi membentuk peraturan

8
perundangundangan yang saling terkait dan tergantung serta membentuk suatu
kebulatan yang utuh, harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan berfungsi
sebagai tindakan preventif guna mencegah terjadinya Judicial Review suatu
peraturan perundang-undangan.

Dengan adanya proses harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan


yang baik maka potensi berbagai kerugian dapat dicegah. Di samping harmonisasi
vertikal tersebut di atas di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus
diperhatikan pula harmonisasi yang dilakukan terhadap peraturan perundang-
undangan dalam struktur hierarki yang sama atau sederajat.

b. Harmonisasi Horisontal

Harmonisasi horisontal berangkat dari asas lex posterior delogat legi priori
yang artinya adalah suatu peraturan perundang-undangan yang baru
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama dan asas lex specialist
delogat legi generalis yang berarti suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat
khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.

Harmonisasi horisontal peraturan perundang-undangan yang dilandasi kedua


asas tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan suatu peraturan perundang-
undangan dikarenakan pada hakikatnya suatu peraturan perundang-undangan
merupakan bentuk pengaturan yang lintas sektor dan tidak dapat berdiri sendiri. Di
dalam peraturan perundang-undangan tersebut terdapat berbagai sektor dan bidang
hukum yang berbedabeda namun saling terkait dan terhubung satu sama lain
sehingga dibutuhkan suatu pengaturan yang komprehensif, bulat dan utuh.
Pembentuk peraturan perundang-undangan dalam hal ini perlu berkoordinasi
dengan insatansi yang terkait dengan substansi yang akan diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersebut. Jika proses Harmoisasi horisontal peraturan
perundangundangan ini gagal dilaksanakan maka akan tercipta kondisi tumpang
tindihnya antar sektor dan bidang hukum dalam sistem hukum suatu negara. Kondisi
ini akan berdampak sangat masif karena dapat menciptakan ketidakpastian hukum
dan ambiguitas dalam penerapan peraturan perundang-undangan tesebut yang pada
akhirnya tujuan hukum untuk mengabdi pada tujuan negara yakni menciptakan
kesejahteraan rakyat.

Harmonisasi horisontal peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan


berdasarkan asas Lex Posterior Delogat Legi Priori terhadap suatu peraturan
perudangundangan yang berada dalam hierarki yang sama dan sederajat dan dalam
prakteknya diatur dalam ketentuan penutup pada suatu peraturan perundang-
undangan. Dalam ketentuan penutup suatu peraturan perundang-undangan diatur
status peraturan perundang-undangan yang sudah ada apakah dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau dinyatakan tidak berlaku sama sekali 22

Sedangkan penerapan Lex Specialist Delogat legi Generalis dalam


harmonisasi horisontal diperlukan guna membentuk suatu peraturan perundang-
undangan yang mempunyai bentuk dan karakteristik khusus dan berbeda (sui

22
Ramon,Tiar.2009 Pengantar Hukum Indonesia (PTHI).Bekasi : Media Grafika

9
generis) dengan peraturan perundang-undangan yang lain guna mencapai tujuan
tertentu.

Akan tetapi betapapun perlunya suatu pembentukan peraturan perundang-


undangan yang bersifat khusus guna mencapai tujuan tertentu, hendaknya perlu
diperhatikan agar pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tetap berada
dalam suatu kesatuan sistem hukum yang ada. Hal ini penting, mengingat peraturan
perundang-undangan merupakan subsistem dari suatu sistem hukum serta guna
menjamin agar suatu peraturan perundang-undangan dapat kompatibel masuk ke
dalam sistem hukum sehingga tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam
penerapan ketentuan peraturan perundangundangan tersebut.

Di samping kedua jenis harmonisasi di atas ketentuan peraturan


perundangundangan juga harus diharmonisasikan dengan asas pembentukan dan asas
materi muatan peraturan perundang-undangan. Asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik ialah asas hukum yang memberikan pedoman dan
bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai
bagi penggunaan metode pembentukan yang tepat, dan bagi proses dan prosedur
pembentukan yang telah ditetapkan (Attamimi, 1991).

Menurut Maria Soeprapto, 2007, membedakan dua kategori asas-asas


pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijk
regelgeving), yaitu asas formal dan asas material. a. Asas-asas formal meliputi: (i)
asas tujuan jelas; (ii) asas lembaga yang tepat; (iii) aass perlunya pengaturan; (iv)
asas dapat dilaksanakan;dan (v) asas Konsensus; b. Asas-asas material meliputi: (i)
asas kejelasan Terminologi dan sistematika; (ii) asas bahwa peraturan perundang-
undangan mudah dikenali; (iii) asas persamaan; (iv) asas kepastian hukum;dan (v)
asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.

Menurut Attamimi (1991), asas-asas pembentukan peraturan perundang-


undangan yang patut, adalah: (i) Cita Hukum Indonesia yang tidak lain merupakan
Pancasila, (ii) Asas Negara Berdasar Atas Hukum dan Asas Pemerintahan Berdasar
Sistem Konstitusi, (iii) asas tujuan yang jelas, asas perlunya pengaturan, asas
organ/lembaga dan materi muatan yang tepat, asas dapatnya dilaksanakan, asas
dapatnya dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum,
asas pelaksanaan hukum sesuai dengan kemampuan individual, (iv) asas kesesuaian
antara jenis dan materi muatan, (v) asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, (vi) asas
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Asas kejelasan rumusan, dan (vii)
asas keterbukaan (Indrawati, 2007).

Melalui asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dapat


ditentukan suatu Ratio Legis dari peraturan perundang-undangan tersebut, yakni
suatu prinsip dasar yang membentuk tujuan umum dibentuknya suatu peraturan
perundang-undangan. Ratio Legis inilah yang menjadi kerangka acuan perumusan
ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan (Mertokusumo, 2012).

Berdasarkan penjelasan dan beberapa pendapat dan pengertian di atas, dapat


saya tarik pemahaman bahwa harmonisasi dilakukan sebagai upaya atau proses
penyesuaian asas dan sistem hukum agar terwujud kesederhanaan/kemanfaatan

10
hukum, kepastian hukum dan keadilan. Harmonisasi hukum sebagai suatu proses
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mengatasi hal-hal yang
bertentangan dan kejanggalan antar norma-norma hukum di dalam peraturan
perundang-undangan, sehingga terbentuk peraturan perundang-undangan nasional
yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan konsisten serta
taat asas.

2.2.2 Pengertian Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan

Sinkronisasi hukum adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan


perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah
ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari
kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-
undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan
semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi
muatannya. Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan
landasan pegaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum
yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tertentu secara efisien dan efektif.23
Endang Sumiarni berpendapat, sinkronisasi adalah dengan melihat kesesuaian
atau keselarasan peraturan perundang-undangan secara vertikal berdasarkan
sistematisasi hukum positif yaitu antara perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Sinkronisasi peraturan
perundang-undangan sering menimbulkan pertentangan mengenai peraturan
perundang-undangan yang lebih tepat digunakan untuk kasus tertentu. Oleh karena
itu para penegak hukum perlu memperhatikan asas-asas berlakunya peraturan
perundang-undangan. Peter Mahmud Marzuki, terkait sinkronisasi peraturan
perundang-undangan terdapat asas lex superiori derogat legi inferiori yang
menjelaskan bahwa apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-
undangan yang secara hierarki lebih rendah, maka peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah itu harus disisihkan.24

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara,


25
yaitu:

a. Sinkronisasi Vertikal Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan


perundangundangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling
bertentangan antara satu dengan yang lain. Di samping harus memperhatikan hierarki
peraturan perundangundangan, sinkronisasi vertikal harus juga diperhatikan
kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.

b. Sinkronisasi Horizontal Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan


perundangundangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait.
23
Inche Sayuna, Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan (SKMHT) Ditinjau Dari Otentisitas Akta Menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, Tesis, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, hal. 17.
24
Ibid, hal.18.
25
http://www.penataanruang.net/ta/Lapan04/P2/SinkronisasiUU/Bab4.pdf diakses pada
tanggal 22 Mei 2019.

11
Sinkronisasi horizontal juga harus dilakukan secara kronologis, sesuai dengan urutan
waktu ditetapkannya peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan. Secara
umum, prosedur sinkronisasi diawali dengan inventarisasi, yaitu suatu kegiatan untuk
mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang peraturan perundang-
undangan terkait. Selanjutnya dilakukan analisa terhadap substansi

Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan


pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang
memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif.26

2.3 Sinkronisasi dan Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Daerah


secara Horizontal

Analisis sinkronisasi secara horizontal dilakukan antara UU No. 32 Tahun2004


tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dengan Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), Undang- Undang
Mahkamah Agung (UU MA) dan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Sinkronisasi tersebut dikaitkan dengan beberapa aspek pengaturan yang
serupa, yaitu:

1. Pengertian atau Definisi

UU Pemda memberikan definisi Perda berdasarkan jenisnya, yaitu Perda


provinsi dan Perda kabupaten/kota, sementara UU PPP mendefinisikan Peraturan
Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/Walikota.
Ketentuan di dalam Pasal 7 ayat (2) UU PPP sebelum diganti dengan UU No. 12
Tahun 2011 terkait dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang- undangan
menjelaskan bahwa Peraturan Daerah meliputi:
1) Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama dengan gubernur;

2) Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah


kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Berdasarkan hal tersebut, terdapat ketidak sinkronan mengenai jenis Perda


sebelum ada perubahan UU PPP. UU Pemda hanya membatasi pada Perda provinsi
dan Perda kabupaten/kota, sementara UU PPP menyatakan Perda meliputi pula
Peraturan Desa. Namun, setelah UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
26
Op. Cit., Suhartono, hal. 39.

12
Peraturan Perundang-undangan diganti dengan UU No.12 tahun 2011, tidak ada lagi
Peraturan Desa.27
2. Asas
Terdapat 2 (dua) pengaturan tentang asas, yaitu asas pembentukan dan asas yang
terkandung dalam materi muatan. Pada dasarnya tidak ada perbedaan mengenai asas
dalam pembentukan Perda dan asas yang terkandung dalam materi muatan Perda,
baik yang diatur dalam UU Pemda maupun UU PPP.

a. Prosedur Pembentukan (ketentuan formal)


Prosedur pembentukan diawali dari perencanaan, pengajuan, pembahasan,
pengesahan, dan terakhir pengundangan.

1) Perencanaan

UU Pemda tidak mengatur ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Perda,


sementara UU PPP menyatakan bahwa perencanaan penyusunan Peraturan Daerah
dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah.

2) Pengajuan

UU Pemda: Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau


Bupati/Walikota. Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan
komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota
menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama maka yang dibahas
adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda
yang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan. Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari
Gubernur atau Bupati/Walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Perda oleh DPRD diatur dalam
Peraturan Tata Tertib DPRD. UU PPP: Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD,
atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, atau kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang berasal dari gubernur atau
bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden. Rancangan Perda dapat
disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD
yang khusus menangani bidang legislasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
mempersiapkan rancangan peraturan daerah diatur dalam Peraturan Tata Tertib
DPRD. Apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan DPRD
menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai materi yang sama, maka yang
dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh dewan perwakilan
rakyat daerah, sedangkan rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh
ketentuan ini ada tidak perbedaan substansial, kecuali apabila Pasal 141 ayat (1) UU

27
Rudy, 2012 . Hukum pemerintahan daerah persfektif konstitualisme Indonesia, (Bandar
Lampung; Indepth Publishing

13
Pemda secara sadar meniadakan kata. “dapat” dan tidak mengatur penyampaian
Perda oleh kepala daerah, maka dapat diartikan titik berat pengajuan Perda ada di
DPRD. Berbeda dengan Pasal 60 ayat (1) UU PPP yang mengatur penyampaian
rancangan Perda semuanya menggunakan kata ‘dapat”. UU Pemda tidak mengatur
ketentuan penyampaian rancangan Perda sebagaimana diatur dalam UU PPP sebagai
berikut: Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau
bupati/walikota disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau bupati/ walikota
kepada DPRD oleh gubernur atau bupati/walikota. Rancangan peraturan daerah yang
telah disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur atau
bupati/walikota.

3) Pembahasan
UU Pemda tidak mengatur mengenai tahapan pembahasan Perda sebagaimana
yang diatur dalam UU PPP sebagai berikut: Pembahasan rancangan Perda di
DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau bupati/walikota melalui
tingkat-tingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat
komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi
dan rapat paripurna. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan
rancangan Perda diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.

4) Penetapan dan Pengesahan


Tidak ada perbedaan substansial, hanya terdapat perbedaan dalam kalimat
pengesahan dimana UU Pemda menyingkat dengan “Perda”, sementara UU PPP
menyebut secara lengkap dengan “Peraturan Daerah”. Meskipun sudah disingkat
di dalam ketentuan umum UU Pemda, namun mengingat kalimat tersebut harus
sama persis tercantum lembar pengesahan, maka seharusnya tidak disingkat.

5) Pengundangan
UU Pemda: Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Perda
diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
diundangkan dalam Berita Daerah. Pengundangan Perda dalam Lembaran
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah, dilakukan oleh
Sekretaris Daerah. UU PPP: Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan
dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah. Peraturan Gubernur,
Peraturan Bupati/Walikota, atau peraturan lain di bawahnya dimuat dalam Berita
Daerah. Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita
Daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah. Tidak ada perbedaan substansial
antara UU Pemda dan UU PPP.

b. Materi Muatan

UU Pemda: Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah


provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda merupakan penjabaran lebih
lanjut dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan
ciri khas masing- masing daerah. UU PPP: Materi muatan Peraturan Daerah adalah
seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

14
pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Perbedaannya, UU Pemda
menyebutkan ‘dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”, sementara
UU PPP menyebutkan “menampung kondisi khusus daerah”

c. Penyebarluasan

1) Penyebarluasan Rancangan Perda


UU Pemda: Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari DPRD
dilaksanakan oleh sekretariat DPRD. Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal
dari Gubernur, atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh sekretariat daerah. UU PPP:
Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan
oleh alat kelengkapan DPRD. Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang
berasal dari Gubernur atau Bupati/ Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Terdapat perbedaan substansial terhadap materi penyebarluasan rancangan perda
yang berasal dari DPRD. Berdasarkan UU Pemda, penyebarluasan dilakukan oleh
sekretariat DPRD, sementara berdasarkan UU PPP dilakukan oleh alat kelengkapan
DPRD.
2) Penyebarluasan Perda
UU Pemda: Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah
diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah
diundangkan dalam Berita Daerah. UU PPP: Penyebarluasan Peraturan Daerah
Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam
Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi
atau Kabupaten/Kota. Terdapat perbedaan substansial terkait dengan masalah
penyebarluasan Perda yang telah diundangkan. Pada UU Pemda, penyebarluasan
wajib dilakukan oleh Pemerintah Daerah, sementara di dalam UU PPP dilakukan
bersama oleh DPRD dan pemerintah daerah.

d. Partisipasi Masyarakat
UU Pemda: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. UU PPP:
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis
dapat dilakukan melalui: rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi;
dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi
Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Untuk memudahkan masyarakat dalam
memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan
Perundangundangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dalam hal
pengaturan mengenai partisipasi masyarakat, UU PPP mengatur dengan lebih rinci.

e. Pembatalan
UU Pemda: Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari
setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.

15
Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60
(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan
Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda, Perda dimaksud dinyatakan berlaku.
Apabila terdapat keputusan pembatalan Perda, paling lama 7 (tujuh) hari setelah
keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan
selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. Apabila
provinsi/kabupaten/ kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan
alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah
dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut
menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum. UU MA: Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang- undang. Mahkamah
Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Putusan
mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat diambil baik
berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan langsung pada Mahkamah Agung. Peraturan perundang-undangan yang
dinyatakan tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada intinya,
terdapat perbedaan dalam hal pembatalan Perda. UU Pemda memungkinkan
pembatalan oleh Pemerintah (Pusat), sementara UU MA mengatur mekanisme
pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang sebagaimana
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Ibrahim R menyatakan bahwa
seharusnya pembatalan Perda tidak dilakukan oleh Pemerintah (Menteri) melainkan
melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung.28

f.Penegakan Perda

UU Pemda: Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan


penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, dibentuk Satuan
Polisi Pamong Praja. Pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong
Praja berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja
dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran
atas ketentuan Perda dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut umum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Dengan Perda dapat juga ditunjuk pejabat
lain yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas
ketentuan Perda. KUHAP: Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia
atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

28
Ibrahim R, Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Studi
terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, makalah disampaikan pada Focus Group
Discussion (FGD), tanggal 3 Agustus 2010, hlm.13.

16
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Syarat kepangkatan
pejabat penyidik akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Penyidik PPNS
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan penyidik pejabat Polri. Intinya, agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi
maka ketentuan mengenai penyidik harus disamakan. Dalam arti pelaksanaan tugas
Satpol PP harus juga sesuai dengan KUHAP. Apabila memang dimungkinkan seperti
yang dimaksud UU Pemda, maka KUHAP juga perlu disempurnakan dengan
mengakomodasi dan mempertimbangkan Satpol PP sebagai penyidik. Mengingat
selama ini pemahaman penyidik PPNS adalah yang terdapat di kementerian-
kementerian.

2.4 Sinkronisasi dan Harmonisasi secara Vertikal


Secara vertikal, analisis sinkronisasi pengaturan mengenai peraturan daerah
akan dilakukan antara Undang-Undang Pemda dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Berdasarkan Permendagri tersebut diatur mengenai ketentuan formil pembentukan
Perda secara rinci mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pembahasan.
Sementara Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur
tahapan pembentukan Perda secara rinci. Berdasarkan Permendagri, penyusunan
Prolegda sebagai bagian dari tahapan perencanaan dilaksanakan oleh pemerintah
daerah dan DPRD. Pada intinya meknisme pelaksanaan penyusunan prolegda
tersebut identik dengan penyusunan prolegnas.
Pada tahapan penyusunan, Permendagri mengatur mekanisme persiapan penyusunan
perda di Pemerintah Daerah dan Persiapan Penyusunan Perda di lingkungan DPRD.
Jika diselaraskan dengan pengaturan di tingkat nasional, persiapan penyusunan di
lingkungan eksekutif memang merupakan domain eksekutif, namun persiapan
penyusunan peraturan perundang-undangan di legislatif merupakan domain legislatif
dan diatur dalam peraturan lembaga legislatif (DPR).
Permendagri juga mengatur mekanisme pembahasan Perda antara DPRD dan
kepala daerah. Norma-norma yang terdapat di dalam Permendagri tersebut identik
dengan bagaimana pembahasan RUU antara DPR dan Presiden, termasuk tingkat-
tingkat pembahasannya. Salah satu permasalahan pokok dari Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah
adalah tidak ada amanat dalam undang-undang agar penjabaran pengaturan mengenai
Pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pasal
140 ayat (3) UU Pemda menyebutkan bahwa Tata cara mempersiapkan rancangan
Perda yang berasal dari Gubernur atau Bupati/ Walikota diatur dengan Peraturan
Presiden. Kemudian Pasal 141 ayat (2) UU Pemda menyebutkan bahwa Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Perda diatur dalam
Peraturan Tata Tertib DPRD.
Berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka
Peraturan Menteri Dalam Negeri ini menyalahi asas kesesuaian antara jenis dan
materi muatan, karena seharusnya substansi tersebut merupakan materi muatan
Peraturan Presiden dan materi muatan Peraturan Tata Tertib DPRD 20 Sinkronisasi
dan Harmonisasi Pengaturan mengenai Peraturan Daerah sebagaimana diamanatkan

17
oleh Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Hal yang sama juga diamanatkan oleh
UU PPP, yaitu dengan Peraturan Presiden dan Peraturan DPRD, bukan Peraturan
Menteri Dalam Negeri.

Bab 3
Kesimpulan dan Saran

3.1 Kesimpulan
1. Mencermati istilah harmonisasi dan sinkronisasi sebagaimana diuraikan di atas
dapat disimpulkan bahwa kedua istilah ini memiliki makna yang hampir sama yaitu
upaya untuk merealisasikan keselarasan dan mengatasi perbedaan atau pertentangan
hukum demi kesatuan sistem hukum, baik terhadap rancangan peraturan perundang-
undangan yang sedang dibuat maupun peraturan perundang-undangan yang telah
berlaku. Harmonisasi dan sinkronisasi hukum sebagai suatu proses dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, mengatasi hal-hal yang bertentangan
antar norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga
terbentuk peraturan perundangundangan yang sinkron, selaras, serasi, seimbang,
terintegrasi dan konsisten serta taat asas.

2. Selain dilakukan pada saat pembentukan suatu produk hukum, harmonisasi dan
sinkronisasi hukum juga dilakukan terhadap produk hukum yang telah terbentuk
karena adanya dinamika hukum atas dibentuk atau diundangkannya suatu peraturan
perundang-undangan baru sehingga menyebabkan beberapa produk hukum tersebut
menjadi tidak harmonis atau tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan
yang baru diundangkan tersebut.

3. Adanya pengaturan mengenai peraturan daerah dalam beberapa peraturan


perundangundangan akan menimbulkan beberapa permasalahan dalam
implementasinya apabila pengaturan tersebut tidak sinkron dan disharmoni. Secara
horizontal terdapat beberapa ketidaksinkronan, yaitu:

a. UU Pemda meniadakan kata “dapat” dan tidak mengatur penyampaian Perda oleh
kepala daerah, maka dapat diartikan titik berat pengajuan Perda ada di DPRD.
Berbeda dengan UU PPP yang mengatur penyampaian rancangan Perda yang
menggunakan kata ‘dapat”.
b. Ketentuan terkait dengan sanksi pidana di dalam Perda bersifat ambigu. Di satu
sisi dilakukan pembatasan, namun di sisi lain diperbolehkan keluar dari batasan
tersebut. Hal ini menjadikan sistem pemidanaan dan konsep kodifikasi yang dianut
KUHP menjadi kabur.
c. Dalam hal pembatalan Perda. UU Pemda memungkinkan pembatalan oleh
Pemerintah Pusat, sementara UU MA mengatur mekanisme pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang sebagaimana kewenangan yang
diberikan oleh UUD 1945.
d. Dalam hal penyebarluasan, baik penyebarluasan rancangan Perda maupun Perda
yang telah diundangkan, yang berwenang menyebarluaskan berdasarkan UUPemda

18
adalah Pemerintah daerah, sementara berdasarkan UU PPP bukan hanya Pemerintah
Daerah, melainkan juga DPRD.

4. Sementara sinkronisasi secara vertikal, hal penting yang perlu dicermati adalah
Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Pembentukan Produk
Hukum Daerah tidak diamanatkan oleh undang- undang, sehingga menyalahi asas
pembentukan peraturan perundang- undangan, yaitu: kesesuaian antara jenis dan
materi muatan. Jenis peraturan yang diamanatkan oleh undang-undang adalah
Peraturan Presiden dan Peraturan DPRD.

3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang ada, terdapat beberapa saran agar makalah
selanjutnya dapat lebih sempurna. Adapun beberapa saran tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Dalam pembentukan Perda harus terlebih dimulaui kegiatan penelitian (Dalam
bentuk Naskah Akademik) untuk mengetahui adanya suatu gambaran yang baik
mengenai situasi yang dihadapi; Membuat suatu analisis tentang penilaian-penilaian
yang ada serta menempatkan dalam suatu urutan hirarkhie. Analisa dalam hal ini
mencakup pula asumsi mengenai apakah metode yang akan digunakan tidak akan
lebih menimbulkan suatu efek yang memperburuk keadaan; Melakukan verifikasi
hipotesis-hipotesis seperti apakah suatu metode yang dipikirkan untuk digunakan
pada akhirnya nanti memang akan membawa kepada tujuan sebagaimana yang
dikehendaki; Pengukuran terhadap efek-efek perundang-undangan yang ada.
2. Untuk menjamin validitas Naskah Akademik, maka Naskah Akademik harus
dibuat oleh orang atau mereka yang sangat menguasai instrumen penelitian hukum
dan penelitian sosial mengenai hukum, sehingga apa yang dihukumkan benar-benar
menjadi kehendak masyarakat. Baru pada saat itu bisa terwujud kedaulatan rakyat
dalam kedaulatan hukum. Itulah konsepsi negara hukum yang sesungguhnya.

19
20

Anda mungkin juga menyukai