Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Negara hukum ialah negara yang dalam menjalankan pemerintahannya
tunduk pada hukum. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI) Indonesia adalah negara hukum, tidak
berdasarkan pada kekuasaan belaka.1 Menurut I. C Van der Vlies, pada awalnya yang
termuat dalam pengertian “negara hukum” hanya keterikatan pemerintah pada
Undang-undang.2 Dengan mengikatkan pemerintah pada undang-undang maka
perlakuan yang sama oleh pemerintah terhadap tiap orang lebih terjamin, dengan
demikian ada kepastian hukum. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengungkapkan
setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan antara nilai kepastian (certainty,
zekerheid), keadilan (equity, billijkheid), dan keberguanaan (utility).3
Sebagai Negara Hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang
kemsyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional.4 karena prinsip
negara hukum yang dianut indonesia adalah negara modern, yaitu negara hukum
pancasila, maka fungsi peraturan perundang-undangan bukan hanya memberi bentuk
kepada nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat, serta bukan juga sekadar
fungsi negara dibidang pengaturan, namun peraturan perundang-undangan adalah
salah satu metode dan instrumen ampuh untuk mengatur dan mengarahkan
kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.Peraturan perundang-
undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dalam
sistem hukum suatu negara.Peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri
terlepas dari sistem huku negara tersebut. Dalam Negara Hukum modern, peraturan
perundang-undangan diharapkan mampu untuk “ berjalan didepan” memimpin dan
memimbing perkembangan serta perubahan masyarakat.5
Pada umumnya, orang sering mengartikan hukum adalah peraturan
perundang-undangan. Sebenarnya, peraturan perundang-undangan hanya merupakan
bagian dari hukum, karena di luar peraturan perundang-undangan, masih banyak
yang dipelajari terkait dengan hukum. Di dalam sistem hukum pun, peraturan
perundang-undangan hanya merupakan salah satu bagian dari sub sistem substansi
1
Lihat Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945
2
I.C Van der Vlies, 2005. Buku Pegangan Perancang Peraturan perundang-undangan.
Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI., hlm 1
3
Jimly Asshiddiqie, 2010. Perihal Undang-undang. Jakarta: Rajawali Pers., hlm 3
4
Penjelasan Umum UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
5
Tim Pengajar Teori Peundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Teori
Perundang-Undangan, dalam laporan akhir penyusunan Naskah Akademik RUU perubahan
atas UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Badan
Pembinaan Hukum Nasional,2009,hlm.12.
1
hukum atau legal substance. Sub sistem yang lain adalah legal structure, dan legal
culture.6
Wilayah Republik Indonesia itu sangat luas, maka tidak memungkinkan jika
segala sesuatunya diurus oleh pemerintah pusat, untuk mengurus penyelenggaraan
negara sampai keseluruh plosok daerah, maka diperlukan peran pemerintahan
daerah.7 Peraturan perundang-undangan terdiri dari beberapa jenis, yang secara garis
besar dapat dibagi menjadi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan
peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah adalah peraturan daerah. Adapun sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia menurut Undang- Undang Dasar 1945, tidak
menganut suatu sistem dari negara manapun tetapi adalah suatu sistem khas
kepribadian Bangsa Indonesia.8
Pengaturan mengenai pembentukan peraturan daerah secara formal
setidaknya diatur di dalam 2 (dua) undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dua kali,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU
Pemda) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian telah digantikan
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU PPP).
Selain itu, terdapat pula pengaturan dalam 2 (dua) undang-undang yang
terkait dengan pembatalan peraturan daerah, yaitu sebagaimana UU Pemda dan
Undang-Undang 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (UU MA). Sementara itu, terdapat pula pengaturan mengenai penyidikan
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara vertikal ke bawah, pengaturan
mengenai pembentukan peraturan daerah juga diatur dalam Permendagri No. 53
Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Pengaturan mengenai peraturan daerah dalam beberapa undang-undang dan
peraturan perundang-undangan dapat mengakibatkan adanya perbedaan penafsiran
atau interpretasi. Perbedaan penafsiran atau disharmoni peraturan perundang-
undangan akan mengakibatkan munculnya permasalahan di dalam implementasinya.
Ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan disharmoni sebagai berikut:9
a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun
waktu yang berbeda;
6
Lawrence M. Friedmann menyatakan ada tiga unsur yang terkait dalam sistem hukum,
yaitu struktur (structure), substansi (substance), dan kultur hukum (legal culture). Lawrence
M. Friedmann, The Legal System: A Sosial Science Perspektive. New York; Russel Soge
Foundation, 1969, hal 16.
7
Moh.Kusnardi, S.H., Harmaly Ibrahim, S.H., 1980.Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia.Jakarta : FH UI., hlm.250.
8
Joeniarto, S.H., 1982. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Yogyakarta : FH
UGM., hlm.41.
9
AA. Oka Mahendra, Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan,
http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-
undangan.html diakses tanggal 22 Mei 2019.
2
b. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan
berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugas atau
penggantian;
f. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang
mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-
undangan.
Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan: terjadinya perbedaan
penafsiran dalam pelaksanaannya; timbulnya ketidakpastian hukum; peraturan
perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien, dan disfungsi
hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku
kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana
perubahan sosial secara tertib dan teratur.10
Esensi dari otonomi daerah adalah memberikan kewenangan kepada daerah
otonom untuk mengatur urusan yang menjadi kewenangannya berdasarkan
karakteristik daerah masing-masing. Namun demikian, pengaturan tersebut tetap
tidak diperkenankan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dan kepentingan umum. Berkenaan dengan hal tersebut, maka pengaturan
dalam Perda dihadapkan pada persoalan bagaimana agar Perda dapat mengatur
urusan kewenangan sesuai dengan karakteristik daerahnya, namun tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terkait dengan hal tersebut,
menurut hemat kami analisis terhadap sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan
mengenai Peraturan Daerah menarik untuk dilakukan.
Selain melalui kajian normatif, sinkronisasi peraturan antara peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi, juga
dapat dilakukan melalui pengadilan dengan mekanisme uji materi Peraturan Daerah
terhadap Undang-Undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pengharmonisasian adalah upaya untuk menyalaraskan, menyesuaikan,
memantapkan dan membulatkan konsep sisuatu rancangan peraturan perundang-
undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang lebih tinggi,
sederajat, maupun yang lebih rendah, dan hal lain-lain selain peraturan perundang-
undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau
tumpang tindih.11
10
Ibid.
11
Armen Yasir, Hukum perundang-undangan, ( Bandar Lampung; PKKPUU FH
UNILA,2014), hal. 46.
3
1.2 Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peraturan Perundang-Undangan
12
Bagir Manan, 1992. Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia, Cetakan Pertama,
(Jakarta: Ind. Hill. Co) , hal. 2-3
13
Ibid.
4
bersangkutan.14 Solly Lubis tidak sependapat dengan istilah “peraturan perundangan”
atau “peraturan perundang-undangan”, yang menurutnya “peraturan perundangan”
berarti peraturan mengenai tata cara pembuatan peraturan negara,
sedangkanjikayangdimaksudadalah“peraturan yang dilahirkandariperundang-
15
undangan” cukup disebut dengan peraturan saja. Menurut Maria Farida Indrati
Soeprapto, istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung)
mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu:16
Salah satu peraturan di tingkat daerah adalah Peraturan Daerah yang di dalam
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan berada dalam
urutan sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
14
Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung: Mandar maju, 1989,
hlm. 1
15
Ibid
16
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hal. 3.
5
Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan
mengesampingkan aturan hukum yang umum. Ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis:
a. Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum yang
lama;
Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak
pastian hukum.
Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur
pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting.
Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan
hukum baru mulai berlaku.
4. Asas Legalitas
Peraturan perundang-undangan tidak dapat berlaku surut.
6
hendak atau sedang disusun, agar peraturan perundang-undangan yang dihasilkan
sesuai prinsip-prinsip hukum dan peraturan perundang-undangan yang baik.18
Dalam hal cakupan harmonisasi hukum, L.M. Gandhi yang mengutip buku
tussen eenheid en verscheidenheid: Opstellen over harmonisatie instaaat en
bestuurecht (1988) mengatakan bahwa harmonisasi dalam hukum adalah mencakup
penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan
hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan
hukum, kepastian hukum, keadilan (justice, gerechtigheid) dan kesebandingan
(equit, billijkeid), kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan
mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan. Badan Pembinaan
Hukum Nasional dalam buku yang disusun oleh Moh. Hasan dan kawan-kawan
menyatakan bahwa harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses
pengharmonisasian tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis,
ekonomis maupun yuridis.19
Dalam pelaksanaannya, kegiatan harmonisasi adalah pengkajian yang
komprehensif terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan
tujuan untuk mengetahui apakah rancangan peraturan tersebut, dalam berbagai aspek,
telah mencerminkan keselarasan atau kesesuaian dengan peraturan perundang-
undangan nasional lain, dengan hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat,
atau dengan konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral
maupun multilateral, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Rl.20
Harmonisasi memiliki fungsi untuk mencegah dan mengatasi terjadinya
disharmonisasi hukum. Harmonisasi juga dapat menjamin proses pembentukan
rancangan undang-undang yang taat asas demi kepastian hukum. Dari pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah
proses penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundang-undangan sebagai
suatu bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai tujuan
hukum.21
Harmonisasi Vertikal
Dalam hal asas lex superiori delogat legi inferiori, yang berarti peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah. Sehingga dalam penyusunannya pembentuk peraturan
perundangundangan harus memastikan bahwa materi muatan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan diatasnya.
18
Risky Dian Novita Rahayu Rochim, Harmonisasi Norma-Norma Dalam Peraturan
Perundang-Undangan tentang Kebebasan Hakim, Jurnal Ilmiah, Malang: Universitas
Brawijaya, 2014, hal. 7
19
Suhartono, Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pelaksanaan Anggaran
Belanja Negara (Solusi Penyerapan Anggaran Belanja Negara Yang Efisien, Efektif Dan
Akuntabel), Tesis, Jakarta: Universitas Indonesia, 2011, hal. 94.
20
Moh. Hasan Wargakusumah dalam Novianti, Analisis Terhadap Pembuatan Perjanjian
Kerjasama Internasional (Studi di Provinsi Bali), Jakarta: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia
dan Azza Grafika, 2012, hal. 105.
21
Op.Cit., A.A. Oka Mahendra
7
Pembentuk peraturan perundang-undangan wajib menyusun suatu peraturan
perundang-undangan secara selaras dengan pasal-pasal dalam peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi yang merupakan pasal yang menjadi dasar
pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Hal inilah yang disebut
dengan harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan, yakni harmonisasi
peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain dalam
hierarki yang berbeda.
8
perundangundangan yang saling terkait dan tergantung serta membentuk suatu
kebulatan yang utuh, harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan berfungsi
sebagai tindakan preventif guna mencegah terjadinya Judicial Review suatu
peraturan perundang-undangan.
b. Harmonisasi Horisontal
Harmonisasi horisontal berangkat dari asas lex posterior delogat legi priori
yang artinya adalah suatu peraturan perundang-undangan yang baru
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama dan asas lex specialist
delogat legi generalis yang berarti suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat
khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
22
Ramon,Tiar.2009 Pengantar Hukum Indonesia (PTHI).Bekasi : Media Grafika
9
generis) dengan peraturan perundang-undangan yang lain guna mencapai tujuan
tertentu.
10
hukum, kepastian hukum dan keadilan. Harmonisasi hukum sebagai suatu proses
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mengatasi hal-hal yang
bertentangan dan kejanggalan antar norma-norma hukum di dalam peraturan
perundang-undangan, sehingga terbentuk peraturan perundang-undangan nasional
yang harmonis, dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan konsisten serta
taat asas.
11
Sinkronisasi horizontal juga harus dilakukan secara kronologis, sesuai dengan urutan
waktu ditetapkannya peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan. Secara
umum, prosedur sinkronisasi diawali dengan inventarisasi, yaitu suatu kegiatan untuk
mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang peraturan perundang-
undangan terkait. Selanjutnya dilakukan analisa terhadap substansi
3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau
nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
12
Peraturan Perundang-undangan diganti dengan UU No.12 tahun 2011, tidak ada lagi
Peraturan Desa.27
2. Asas
Terdapat 2 (dua) pengaturan tentang asas, yaitu asas pembentukan dan asas yang
terkandung dalam materi muatan. Pada dasarnya tidak ada perbedaan mengenai asas
dalam pembentukan Perda dan asas yang terkandung dalam materi muatan Perda,
baik yang diatur dalam UU Pemda maupun UU PPP.
1) Perencanaan
2) Pengajuan
27
Rudy, 2012 . Hukum pemerintahan daerah persfektif konstitualisme Indonesia, (Bandar
Lampung; Indepth Publishing
13
Pemda secara sadar meniadakan kata. “dapat” dan tidak mengatur penyampaian
Perda oleh kepala daerah, maka dapat diartikan titik berat pengajuan Perda ada di
DPRD. Berbeda dengan Pasal 60 ayat (1) UU PPP yang mengatur penyampaian
rancangan Perda semuanya menggunakan kata ‘dapat”. UU Pemda tidak mengatur
ketentuan penyampaian rancangan Perda sebagaimana diatur dalam UU PPP sebagai
berikut: Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau
bupati/walikota disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau bupati/ walikota
kepada DPRD oleh gubernur atau bupati/walikota. Rancangan peraturan daerah yang
telah disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada gubernur atau
bupati/walikota.
3) Pembahasan
UU Pemda tidak mengatur mengenai tahapan pembahasan Perda sebagaimana
yang diatur dalam UU PPP sebagai berikut: Pembahasan rancangan Perda di
DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau bupati/walikota melalui
tingkat-tingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat
komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi
dan rapat paripurna. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan
rancangan Perda diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
5) Pengundangan
UU Pemda: Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Perda
diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
diundangkan dalam Berita Daerah. Pengundangan Perda dalam Lembaran
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dalam Berita Daerah, dilakukan oleh
Sekretaris Daerah. UU PPP: Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan
dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah. Peraturan Gubernur,
Peraturan Bupati/Walikota, atau peraturan lain di bawahnya dimuat dalam Berita
Daerah. Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita
Daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah. Tidak ada perbedaan substansial
antara UU Pemda dan UU PPP.
b. Materi Muatan
14
pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut
Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Perbedaannya, UU Pemda
menyebutkan ‘dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”, sementara
UU PPP menyebutkan “menampung kondisi khusus daerah”
c. Penyebarluasan
d. Partisipasi Masyarakat
UU Pemda: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau
tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. UU PPP:
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis
dapat dilakukan melalui: rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi;
dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi
Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Untuk memudahkan masyarakat dalam
memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, setiap Rancangan Peraturan
Perundangundangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dalam hal
pengaturan mengenai partisipasi masyarakat, UU PPP mengatur dengan lebih rinci.
e. Pembatalan
UU Pemda: Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari
setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
15
Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60
(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan
Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda, Perda dimaksud dinyatakan berlaku.
Apabila terdapat keputusan pembatalan Perda, paling lama 7 (tujuh) hari setelah
keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan
selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. Apabila
provinsi/kabupaten/ kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan
alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah
dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut
menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum. UU MA: Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang- undang. Mahkamah
Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Putusan
mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat diambil baik
berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan langsung pada Mahkamah Agung. Peraturan perundang-undangan yang
dinyatakan tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada intinya,
terdapat perbedaan dalam hal pembatalan Perda. UU Pemda memungkinkan
pembatalan oleh Pemerintah (Pusat), sementara UU MA mengatur mekanisme
pengujian peraturan perundangundangan di bawah undang-undang sebagaimana
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Ibrahim R menyatakan bahwa
seharusnya pembatalan Perda tidak dilakukan oleh Pemerintah (Menteri) melainkan
melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung.28
f.Penegakan Perda
28
Ibrahim R, Sinkronisasi dan Harmonisasi Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Studi
terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, makalah disampaikan pada Focus Group
Discussion (FGD), tanggal 3 Agustus 2010, hlm.13.
16
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Syarat kepangkatan
pejabat penyidik akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Penyidik PPNS
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan penyidik pejabat Polri. Intinya, agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi
maka ketentuan mengenai penyidik harus disamakan. Dalam arti pelaksanaan tugas
Satpol PP harus juga sesuai dengan KUHAP. Apabila memang dimungkinkan seperti
yang dimaksud UU Pemda, maka KUHAP juga perlu disempurnakan dengan
mengakomodasi dan mempertimbangkan Satpol PP sebagai penyidik. Mengingat
selama ini pemahaman penyidik PPNS adalah yang terdapat di kementerian-
kementerian.
17
oleh Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Hal yang sama juga diamanatkan oleh
UU PPP, yaitu dengan Peraturan Presiden dan Peraturan DPRD, bukan Peraturan
Menteri Dalam Negeri.
Bab 3
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan
1. Mencermati istilah harmonisasi dan sinkronisasi sebagaimana diuraikan di atas
dapat disimpulkan bahwa kedua istilah ini memiliki makna yang hampir sama yaitu
upaya untuk merealisasikan keselarasan dan mengatasi perbedaan atau pertentangan
hukum demi kesatuan sistem hukum, baik terhadap rancangan peraturan perundang-
undangan yang sedang dibuat maupun peraturan perundang-undangan yang telah
berlaku. Harmonisasi dan sinkronisasi hukum sebagai suatu proses dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, mengatasi hal-hal yang bertentangan
antar norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga
terbentuk peraturan perundangundangan yang sinkron, selaras, serasi, seimbang,
terintegrasi dan konsisten serta taat asas.
2. Selain dilakukan pada saat pembentukan suatu produk hukum, harmonisasi dan
sinkronisasi hukum juga dilakukan terhadap produk hukum yang telah terbentuk
karena adanya dinamika hukum atas dibentuk atau diundangkannya suatu peraturan
perundang-undangan baru sehingga menyebabkan beberapa produk hukum tersebut
menjadi tidak harmonis atau tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan
yang baru diundangkan tersebut.
a. UU Pemda meniadakan kata “dapat” dan tidak mengatur penyampaian Perda oleh
kepala daerah, maka dapat diartikan titik berat pengajuan Perda ada di DPRD.
Berbeda dengan UU PPP yang mengatur penyampaian rancangan Perda yang
menggunakan kata ‘dapat”.
b. Ketentuan terkait dengan sanksi pidana di dalam Perda bersifat ambigu. Di satu
sisi dilakukan pembatasan, namun di sisi lain diperbolehkan keluar dari batasan
tersebut. Hal ini menjadikan sistem pemidanaan dan konsep kodifikasi yang dianut
KUHP menjadi kabur.
c. Dalam hal pembatalan Perda. UU Pemda memungkinkan pembatalan oleh
Pemerintah Pusat, sementara UU MA mengatur mekanisme pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang sebagaimana kewenangan yang
diberikan oleh UUD 1945.
d. Dalam hal penyebarluasan, baik penyebarluasan rancangan Perda maupun Perda
yang telah diundangkan, yang berwenang menyebarluaskan berdasarkan UUPemda
18
adalah Pemerintah daerah, sementara berdasarkan UU PPP bukan hanya Pemerintah
Daerah, melainkan juga DPRD.
4. Sementara sinkronisasi secara vertikal, hal penting yang perlu dicermati adalah
Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Pembentukan Produk
Hukum Daerah tidak diamanatkan oleh undang- undang, sehingga menyalahi asas
pembentukan peraturan perundang- undangan, yaitu: kesesuaian antara jenis dan
materi muatan. Jenis peraturan yang diamanatkan oleh undang-undang adalah
Peraturan Presiden dan Peraturan DPRD.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang ada, terdapat beberapa saran agar makalah
selanjutnya dapat lebih sempurna. Adapun beberapa saran tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Dalam pembentukan Perda harus terlebih dimulaui kegiatan penelitian (Dalam
bentuk Naskah Akademik) untuk mengetahui adanya suatu gambaran yang baik
mengenai situasi yang dihadapi; Membuat suatu analisis tentang penilaian-penilaian
yang ada serta menempatkan dalam suatu urutan hirarkhie. Analisa dalam hal ini
mencakup pula asumsi mengenai apakah metode yang akan digunakan tidak akan
lebih menimbulkan suatu efek yang memperburuk keadaan; Melakukan verifikasi
hipotesis-hipotesis seperti apakah suatu metode yang dipikirkan untuk digunakan
pada akhirnya nanti memang akan membawa kepada tujuan sebagaimana yang
dikehendaki; Pengukuran terhadap efek-efek perundang-undangan yang ada.
2. Untuk menjamin validitas Naskah Akademik, maka Naskah Akademik harus
dibuat oleh orang atau mereka yang sangat menguasai instrumen penelitian hukum
dan penelitian sosial mengenai hukum, sehingga apa yang dihukumkan benar-benar
menjadi kehendak masyarakat. Baru pada saat itu bisa terwujud kedaulatan rakyat
dalam kedaulatan hukum. Itulah konsepsi negara hukum yang sesungguhnya.
19
20