Anda di halaman 1dari 4

A.

Pengertian Ijma’
Secara bahasa ijma’ berarti kesepakatan terhadap sesuatu, berniat untuk
melakukan suatu pekerjaan, atau membuat keputusan terhadap suatu permasalahan.
Dalam terminologi ushul fiqh, ijma’ dimaknai sebagai suatu kesepakatan para mujtahid
dalam suatu masa tertentu terhadap masalah hukum syariah setelah meninggalnya Nabi
saw.1 Apabila suatu peristiwa terjadi dan memerlukan ketentuan hukum dan peristiwa
tersebut dikemukakan kepada para ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, dan
mereka kemudian mengambil kesepakatan berupa hukum dari peristiwa tersebut, maka
kesepakatan mereka disebut sebagai ijma’. Imam al-Syaukani menyebutkan adanya tiga
unsur dalam ijma’, antara lain: (1) Kesepakatan tersebut dilakukan oleh para ulama
mujtahid dari kalangan umat Islam dari seluruh penjuru dunia, tidak boleh ada yang
tertinggal satu orang pun. (2) Kesepakatan terjadi setelah Nabi saw wafat. (3)
Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan dalam masalah hukum keagamaan.2
Dari definisi tersebut maka dapat diketahui bahwa suatu kesepakatan tentang
hukum dapat disebut sebagai ijma’.
B. Macam – Macam Ijma’
1. Ijma’ Sharih atau ijma Qouli yaitu apabila segenap mujtahid berhimpun pada satu
kesepakatan pendapat dan masing-masing mennyatakan dengan pernyataan lisan; “ini
halal” atau “ini haram”. Ijma’ seperti ini menjadi hujjah tanpa ada perdebatan.
2. Ijma Sukuti adalah apabila suatu pendapat menjadi mashyur di sebagian kelompok
mujtahid; sedang sebagian lain diam tanpa mengingkarinya.1[6]

Para ulama berbeda pendapat dalam menempatkan Ijma’ Sukuti sebagai hujjah mempunyai
kekuatan mengikat untuk seluruh umat.

a.        Imam Syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa ijma’ Sukuti itu bukan ijma’ yang
dipandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat
b. Abu Ali ibn Hurairah (ulama Syafi’iyah) berpendapat bahwa pendapat yang
dikemukakan dan tidak dibantah itu bila diungkapkan dalam bentuk tindakan atau

1
penetapan putusan hukum dalam pengadilan, dan ternyata tidak ada ulama yang
mennyanggahnya, maka diammya ulama itu tidak dapat disebut ijma’.2[7]
c. Dari pembahasan al-Ghazzali muncul persoalan bahwa, jika sebagian sahabat berfatwa,
sedangkan yang lain diam saja (tidak mengeluarkan fatwanya), maka hal itu tidak disebut
ijma‘ (sukuti). Dan tidak dapat dikatakan orang diam telah mengeluarkan ucapan (fatwa).
Menurut sekelompok ulama, apabila suatu fatwa hukum dari seorang mujtahid (sahabat)
telah tersiar luas, sedangkan yang lainnya diam saja, maka diam mereka sama seperti
telah mengeluarkan fatwa yang sama, sehingga kejadian seperti itu disebut juga dengan
ijma‘ (ijma‘ sukuti). Menurut sekelompok ulama lain, hal itu hanya menjadi hujah
(sumber hukum) saja, tetapi tidak dapat dikatakan ijma‘. Menurut sekelompok ulama
lainnya, hal itu tidak dapat dijadikan hujah dan bukan ijma‘ tetapi hanya sebagai dalil
yang membolehkan mereka untuk berijtihad pada suatu masalah yang berkaitan dengan
hukum3[8]
C. Syarat dan Rukun Ijma’
Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma’ adalah (1) yang melakukan ijma’
tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad, (2) kesepakatan itu
muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya), (3)
Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau dari
perbuatan bid’ah. Keiga syarat ini disepakati oleh seluruh ualama.210
Menurut ulama ushul fiqh rukun jma’ itu ada lima: (a). Yang terlibat dalam
pembahasan hukum syara’ melalui ijma’adalah seluruh mujtahid, (b) mujtahid yang
terlibat dalam pembahasan hukum adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
dari berbagai belahan dunia Islam, (c) kesepakatan itu diawali dari masing-masing
mujtahid setelah mereka mengemukan pandangannya, (d), hukum yang disepakati itu
adalah hukum syara’yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya dalam al-qur’an
ataupun dalam hadits Rasulullah SAW.211
D. Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat bahwa rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi,
maka ijma’ tersebut menjadi hujjah qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh

3
mengingkarinya; bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Disamping itu,
permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’ menurut para ahli ushul
fiqh, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hukum
yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i dan menempati
urutan ketiga dalil syara’ setelah Al-Quran dan Sunnah.
Menurut Ibrahim ibn Siyar al-Nazam (tokoh Mu’tazilah), ulama Khawarij dan
ulama Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak mungkin
menghadirkan seluruh mujtahid pada suatu masa dari berbagai belahan dunia Islam untuk
berkumpul dan membahas suatu kasus, dan menyepakati bersama. Selain itu, masing-
masing daerah mempunyai struktur sosial, dan budaya yang berbeda.4[9]

Bukti kekuatan ijma sebagai hujjah antara lain

a. Sebagaimana Allah Swt. Dalam Al-Quran memerintahkan kepada orang-orang


mukmin untuk taat kepada Allah, Rosulnya dan Ulil Amri, seperti
Firman-Nya:
Gambar surah an- nisa ayat 59

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di
antara kamu. (Qs. An-Nisa : 59)

Lafal Al-Amri artinya adalah hal atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah
agama dan dunia. Ulil Amri pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan
penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Ibnu
Abbas menafsirkan kata Ulil Amri dengan ulama, menafsirkan dengan pemimpin dan
penguasa. Yang jelas penafsiran itu mencakup keseluruhan, dan semuanya harus ditaati
dalam ruang lingkup masing-masing. Bila Ulil Amri telah sepakat dalam penetapan
hukum syarak, yakni para mujtahid, maka wajib dan dilaksanakan berdasarkan nash Al-
Quran.

Menurut Ahmad al-Sawi, ayat di atas secara menyeluruh mengisyaratkan kepada


dalil-dalil fiqh yang empat, yakni Alquran, Hadis, ijma‘ dan qiyas. Taat kepada Allah,

4
yakni Alquran, taat kepada Rasul, yaitu Hadis, dan taat kepada uli al-amr adalah ijma‘
(ketetapan hukum yang sudah menjadi kesepakatan)5[10]

b. Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat
Islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya
c. Ijmak atas hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula, karena mujtahid
Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil ijtihadnya tidak di
dukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nashdan makna dari
petunjuk nash yang ada. Bila dalam suatu kejadian tidak terdapat nash, maka
ijtihadnya tidak boleh melewati batas-batas pengambilan hukum, baik dengan cara
yang kias terhadap hukum yang sudah memiliki nash atau penerapan kaidah syariat
dan dasar-dasar hukumnya, atau dengan cara pengambilandalil dari dalil-dalil yang
telah ditetapkan syara.6[11]
E. Contoh Tentang Ijma’

Anda mungkin juga menyukai