Anda di halaman 1dari 3

Penakit Menular Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Bogor

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit akut, bersifat endemik tetapi
secara periodik dapat mendatangkan kejadian luar biasa (KLB) bahkan epidemik. Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi kejadian DBD baik berasal dari aspek vektor (jenis dan kepadatan),
demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, sosial ekonomi penduduk), inang (kerentanan dan
imunitas), maupun lingkungan termasuk cuaca/iklim. Nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama
penyakit DD/DBD memiliki pola hidup di daerah panas sehingga menjadikan penyakit ini
berkembang di daerah perkotaan dibandingkan di daerah perdesaan. Pada saat ini, Aedes sp
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia tidak terkecuali lagi di daerah yang ketinggian yang
dahulu dianggap tidak dapat didatangi oleh nyamuk. Hal ini diduga karena pemanasan global
sehingga daerah pegunungan mulai meningkat suhunya dan memberikan ekosistem baru untuk
nyamuk berkembang (pergeseran ekosistem). Selain itu, faktor kepadatan penduduk
menyebabkan kemampuan kota untuk dapat menyediakan kebutuhan dasar seperti sarana
kesehatan dan air bersih menjadi terbatas sehingga mengurangi kemampuan dalam mendukung
kehidupan penduduk. Kejadian ini sering terjadi di perkotaan karena berkembangnya suatu kota
menyebabkan peningkatan kegiatan di sektor perekonomian yang memicu urbanisasi.
Pertambahan jumlah penduduk ini mengakibatkan keterbatasan akan lahan khususnya lahan
permukiman.
Demam berdarah merupakan salah satu penyakit menular di Indonesia, tidak
terkecuali wilayah Kota Bogor. Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Menular dan Surveilans
(P3MS) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor, Dr. Sari Chandrawati, mengatakan memasuki
musim penghujan di Kota Bogor amat dirasa perlu untuk mewaspadai wabah mematikan penyakit
DBD ini. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bogor tahun 2015, informasi mengenai situasi
penyakit menular seperti kasus demam berdarah mencapai 1107 orang dengan kematian
sebanyak 8 orang. Di sepanjang tahun 2018 , tercatat ada 727 kasus DBD dari 25 puskesmas
yang ada di 68 Kelurahan di Kota Bogor. Pada tahun 2020, Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor
menetapkan status siaga satu kasus demam berdarah. Dalam periode Januari hingga
pertengahan Maret 2020, tercatat 130 kasus DBD. Dari jumlah itu, sebanyak lima orang meninggal
dunia akibat virus tersebut. Para korban meninggal dunia adalah anak-anak dengan rentang usia
empat sampai lima tahun.
Kasus demam berdarah di Kota Bogor menunjukkan adanya Social Determinants of
Health (SDH) sebagai faktor sosial yang memengaruhi kesehatan. SDH dapat dipertimbangkan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. SDH adalah faktor yang memengaruhi fungsi
kesehatan dan kualitas hidup seseorang berdasarkan kondisi lingkungan seseorang lahir, hidup,
belajar, bekerja, bermain, beribadah, dan menua. Beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab
masih tingginya kejadian DBD di Kota Bogor, antara lain edukasi, fasilitas kesehatan, lingkungan
kerja dan tempat tinggal, gaya hidup, dan lain-lain.
Edukasi masyarakat terhadap penanggulangan DBD perlu ditingkatkan. Kegiatan
fogging yang dianggap bisa mengurangi nyamuk yang berperan sebagai vektor dan dapat
menyelesaikan masalah, ternyata semakin tidak efektif. Di beberapa wilayah dilaporkan telah
terjadi resistensi terhadap beberapa obat fogging dikarenakan upaya mandiri masyarakat yang
melakukan upaya pencegahan melalui fogging dengan tidak berkoordinasi dengan puskesmas
setempat sehingga tidak sesuai dengan pedoman. Selain itu, program Juru Pemantau Jentik
(Jumantik) nyamuk penular demam berdarah secara kualitas dan kuantitas masih perlu dibekali
pengetahuan yang cukup baik dalam setiap pelatihan yang dilakukan. Banyak tempat-tempat yang
dimungkinkan menjadi habitat nyamuk terlewatkan, seperti penampungan air buangan kulkas,
penampung air buangan di dispenser, air pada tatakan pot bunga, bak/kamar mandi bekas. Hal ini
dikarenakan masih kurangnya pemahaman tentang lokasi-lokasi yang harus disurvei.
Penanganan kasus demam berdarah sudah dilakukan terhadap seluruh kasus, tetapi
angka insiden dan kematian masih diatas target yang ditetapkan. Fasilitas kesehatan yang diberi
meliputi kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan
keterampilan, diantaranya pelatihan gerakan serentak PSN bagi Guru UKS dan sosialisasi
kelurahan bebas jentik, pemeriksaan jentik berkala, fogging fokus demam berdarah, dan fogging
sebelum masa penularan (SMP) untuk memutus mata rantai penularan di wilayah endemis. Tahun
2020, Dinkes Kota Bogor sudah menginstruksikan masyarakat  melalui kecamatan dan puskesmas
untuk menggalakkan kembali pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di tengah maraknya pandemi
COVID-19. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Bogor, Oki
Kurniawan, mengatakan masyarakat bisa mendapatkan bubuk pembasmi nyamuk aedes
aegypti secara gratis di puskesmas setempat. Dinkes Kota Bogor juga sudah menitipkan bubuk
yang dikenal dengan Abate itu kepada Posyandu agar disebarkan ke masyarakat.
Lingkungan kerja dan tempat tinggal seseorang sangat memengaruhi sehat atau
tidaknya kondisi tubuh. Seseorang yang bekerja di kantoran cenderung mendapatkan fasilitas
yang memadai baik dari kebersihan tempat, air, maupun udara bersih yang didapat. Situasi
tersebut berbeda dengan seseorang yang cenderung bekerja dengan lingkungan berdebu. Mereka
memiliki frekuensi lebih tinggi bertemu banyak orang dengan berbagai kondisi kesehatan, terlebih
lagi air maupun udara yang didapat tidak selalu bersih. Perbedaan kondisi tersebut memberikan
kesempatan penyakit menular merusak kesehatan seseorang. Sama halnya dengan lingkungan
tempat tinggal, rumah yang berada di kawasan kurang bersih, tidak mendukung kesehatan, terlalu
berdempetan dengan rumah lainnya, dan kurang ventilasi akan lebih mudah memberikan tempat
bagi virus berkembang sehingga menyebabkan tingginya kerentanan untuk terkena penyakit
menular, seperti DBD.
Perilaku masyarakat di Kota Bogor untuk hidup bersih dan sehat masih rendah dalam
pencegahan DBD, terutama dalam kegiatan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk). Dilihat dari
data, capaian rumah tangga ber-PHBS sebesar 64% masih berada di bawah target (65%).
Indikator berantas jentik di tempat-tempat umum baru mencapai 64,3% jauh di bawah target
(81,1%). Begitu pula indikator berantas jentik di sekolah baru mencapai 88% masih berada di
bawah target (88,3%). Capaian berantas jentik di tempat kerja sebesar 86,4%, berantas jentik di
sarana kesehatan 91,5%. Sebagai akumulasi pencapaian masyarakat ber-PHBS di Kota Bogor
sebesar 68,5%.
Pendekatan physical environment merupakan salah satu aspek yang dapat dilihat
sebagai penentu kejadian DBD di Kota Bogor. Pertumbuhan penduduk yang amat cepat dan
peningkatan hunian membuat dua per tiga wilayah Kota Bogor memiliki kepadatan penduduk
diatas ambang batas (8.000 orang/km2) secara total. Mobilisasi oleh warga yang terinfeksi di
daerah sebelumnya memungkinkan terjadi penularan virus dengue oleh gigitan nyamuk di lokasi
yang baru. Penyediaan infrastruktur pelayanan bagi penduduk menjadi sangat terbatas, seperti
ketersediaan air bersih, sanitasi, fasilitas kesehatan, dan pengelolaan sampah. Selain itu, kasus
DBD di Kota Bogor dipengaruhi juga oleh faktor iklim. Iklim dapat berpengaruh terhadap pola
penyakit infeksi karena agen penyakit baik virus, bakteri atau parasit, dan vektor bersifat sensitif
terhadap suhu, kelembaban, dan kondisi lingkungan ambien lainnya. WHO (2003) menyatakan
bahwa penyakit yang ditularkan melalui nyamuk antara lain DBD berhubungan dengan kondisi
cuaca yang hangat. Kondisi suhu rata-rata dan kelembaban iklim di kota Bogor pada saat terjadi
peningkatan kasus, berkisar antara 24°C sampai 27°C, sedangkan kelembaban rata-rata berkisar
antara 72% sampai 90%. Faktor iklim di suatu wilayah saling berkaitan dan tidak dapat berdiri
sendiri, sebab faktor curah hujan akan mempengaruhi kondisi suhu dan kelembaban sehingga
mempengaruhi daur hidup nyamuk vektor dilingkungan sekitar. Hal ini berarti bahwa kejadian DBD
di Kota Bogor dipengaruhi curah hujan, hari hujan, suhu dan kelembaban 2 bulan sebelumnya.
SUMBER
Anonim, 2018, Profil Kesehatan Kota Bogor, Dinas Kesehatan Kota Bogor, Jawa Barat.
Anonim, 2019, Musim Penghujan, Pemkot Bogor Waspada DBD, http://bit.ly/Bogorwaspadadbd,
diakses pada tanggal 21 Februari 2020 pukul 08:15 WIB.
Ariati, Jusniar, dan Athena Anwar, Model Prediksi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan Faktor Iklim di Kota Bogor, Jawa Barat, Buletin Penelitian Kesehatan,
Volume 42, No. 4, Desember 2014, hlm: 249-256.
Avisena, Ajie Mulia, dan Krisnawati Bantas, 2016, Manajemen Analisis Situasi Penyakit Menular
Di Kota Bogor Tahun 2016, Universitas Indonesia.
Bempah, Ramdhan, 2020, Kota Bogor Siaga 1 Demam Berdarah Dengue (DBD),
http://bit.ly/siaga1dbd, diakses pada tanggal 21 Februari 2020 pukul 08:00 WIB.
Ganiem, Leila, 2020, Urgensi Social Determinant of Health di Indonesia, Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai