Kasus Kasus Disintegrasi Bangsa
Kasus Kasus Disintegrasi Bangsa
Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) mencuat setelah dokter Rica Tri Handayani
menghilang dan diduga pernah mengikuti organisasi ini. Dokter Rica bersama
anaknya dilaporkan hilang sejak 30 Desember 2015 dan ditemukan di Kabupaten
Mempawah, Kalimantan Barat, Senin (11/1/2016).
"Kenyataan ini membuat kami menjadi terpicu untuk berbuat. Tak bisa duduk diam
tanpa melakukan apa-apa untuk kemajuan dan kejayaan bangsa."
Berbeda dengan kekerasan bermotif agama pada Idul Fitri lalu, ini adalah 'perang adat' yang
berlangsung lebih dari sepekan, dan mestinya bisa dicegah, kata pengamat.
Sedikitnya dua orang tewas, 17 luka berat, dan 15 lainnya luka ringan sementara tak kurang dari 95 rumah
hangus dibakar, sejumlah lahan pertanian rusak, dan hewan ternak dijarah.
Banyak hal masih simpang siur, namun kerusuhan dilaporkan terkait sengketa pembagian dana desa antara
warga distrik Gika dan distrik Panaga, yang masing-masing terdiri dari 10 desa.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tolikara menggambarkan kerusuhan itu sebagai
'perang adat'.
Pengamat Papua dari LIPI, Adriana Elisabeth menyebut, persoalan kecil seperti ini di Papua sering bisa
meledak dan berlarut-larut, karena akar masalahnya sering tidak dituntaskan, dan malah sering ada
rekayasa.
Kepala BPBD Tolikara Feri Kogowa, menyebut, kerusuhan berlangsung begitu lama karena lokasinya sulit
dijangkau aparat. Sekarang, katanya, aparat Pemda Tolikara dan kepolisian sudah berada di lokasi untuk
menengahi, namun suasana masih panas.
Sebelum itu, katanya, berlangsung apa yang digambarkannya sebagai 'perang adat'.
"Warga kedua distrik, bersenjatakan tombak, parang, dan terutama anak panah, saling menyerang. Kedua
belah pihak siaga 24 jam. Masing-masing mungkin berkekuatan setidaknya 500 orang."
"Banyak warga biasa juga mengungsi ke distrik-distrik tetangga. Mungkin lebih dari 3000 orang," kata
Feri Kogowa.
Kasus Singkil Aceh, Minoritas
Makin Arogan dan Kurang Ajar
Kasus pembakaran atau pengrusakan terhadap tempat ibadah di Indonesia tidak hanya menimpa
kepada minoritas tapi juga terhadap tempat ibadah kelompok mayoritas (umat muslim).
Publik tahu bahwa sebelum kasus di Aceh Singkil beberapa waktu lalu terjadi pembakaran tempat
ibadah (Masjid) di Tolikara Papua.
Kata Harits, kasus Aceh Singkil yang terkait terbakarnya gereja Presiden begitu cepat merespon
bahkan meminta kepada Kapolri dan Menkopolhukam untuk follow up atas respon Presiden.
“Dan masyarakat luas di suguhi begitu cepatnya Kapolri menyimpulkan bahwa bentrokan yang
terjadi di Aceh Singkil itu direncanakan. Berbanding terbalik ketika dihadapkan kepada kasus
pembakaran Masjid dan bentrokan di Tolikara Papua. Seolah pemerintah bahkan Pak Presiden gagap
untuk menyikapi. Banyak retorika yang esensinya mengaburkan masalah sebenarnya,” ujar Harits.
“Masyarakat beberapa bulan lalu di suguhkan “mantra2″ untuk memanipulasi kejadian biadab dan
intoleransi pada kasus Tolikara yang menimpa umat muslim,” papar Harits.
Harits mengatakan, sikap kemarahan kelompok mayoritas di Aceh Singkil bisa jadi karena dipicu
lambannya Pemda menyelesaikan kasus gereja yang tidak punya legal formal pendiriannya atau
karena faktor minoritas yang tidak menghormati dan menghargai religiusitas setempat.
Ditanya mengapa massa bisa leluasa mengamuk dan seakan polisi membiarkan, Rina Ginting
menjawab, "Kami masih sedang mendalami, namun tidak betul polisi membiarkan."
Adapun tujuh orang yang sudah 'diamankan' dan masih diinterogasi, terkait dugaan
penjarahan saat kejadian, bukan pada tindakan perusakan dan pembakaran.
Sesudah shalat Isya, sekitar pukul 20.00 sejumlah jemaah dan pengurus mesjid mendatangi
rumah Meliana. Lalu atas prakarsa Kepala Lingkungan, Meliana dan suaminya dibahwa ke
kantor lurah.
Disebutkannya tercatat pembakaran dan perusakan terjadi pada setidaknya enam vihara
dan sejumlah kelenteng dan beberapa bangunan lain, serta sejumlah kendaraan.
Menurut Syaifuddin, konflik di Tanah Rencong yang telah menahun tak hanya mengancam
kehidupan masyarakat, tapi juga telah mengancam integrasi bangsa. Perlu waktu lama untuk
bisa menormalkan kembali kehidupan masyarakat Aceh yang aman dan damai. Jalan terbaik
yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan pendekatan sosial kultural secara
bersamaan [baca: Widodo A.S: Aceh Harus Ditangani Secara Menyeluruh].
OPM di Oxford
Free West Papua Campaign melalui situs websitenya,www.freewestpapua.org mengklaim
juga akan membuka kantor di Papua Nugini dan Jerman beberapa bulan ke depan selain di
Oxford, Inggris. Keberadaan kantor OPM di Oxford ini dipelopori oleh Benny Wenda, tokoh
separatis yang berusaha menjadikan isu pembebasan Papua sebagai isu internasional. Michael
Tene, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, mengatakan bahwa pembukaan kantor OPM di
Oxford ditentang keras oleh pihak Kemenlu dan memprotes kebijakan ini melalui duta besar
Inggris, Mark Canning, di Indonesia. Tene menambahkan, tidak ada satupun negara di dunia
yang mendukung gerakan Free West Papuadan bahkan dalam setiap sidang forum PBB tidak
pernah sekalipun menyinggung masalah Papua. Namun, perlu setrategi bijak yang harus
diimplementasikan oleh pemerintah. Kebijakan yang relevan ialah dengan menyelesaikan
konflik internal dan mensosialisasikannya kepada rakyat Papua secara langsung. Menurut Alex
Jemadu, pakar ilmu politik internasional, yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia harus
merunut ke diplomasi dalam negeri, bukan memprotes keras pihak Inggris karena ini hanya akan
menimbulkan reaksi keras dari pemerintah Inggris tentang Indonesia. Upaya yang harus
dilakukan oleh pemerintah ialah membangun politik hukum yang selama ini terindikasi adanya
diskriminasi dan pelanggaran HAM berat di Papua yang bertujuan agar rakyat Papua
mengurungkan niat memisahkan diri. Ia juga menambahkan ada dualisme perspektif yang harus
dikaji oleh pemerintah , yaitu masalah keutuhan wilayah NKRI dan pelanggaran HAM di Papua.
Artinya harus ada diplomasi domestik, bukan memprotes keras pihak Inggris karena ini hanya
akan memanaskan hubungan harmonis antara Indonesia – Inggris.
Negeri Papua, diperjuangkan lalu dicampakkan
Data yang dilansir oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
menunjukkan bahwa ada 6000 pelanggaran HAM di Papua sepanjang 2013. Selain itu, terdapat
300-an mahasiswa Papua yang mengikuti program pemerintah untuk kuliah di Jawa dan
Sumatera, kini telantar karena tidak memiliki biaya. Ini sebuah fakta di mana diskriminasi radikal
telah dirasakan rakyat Papua. Belum lagi perihal PT Freeport Sulphur. Terkait masalah Freeport,
aksi demonstrasi dan “keringat darah” rakyat Papua seperti diabaikan pemerintah Indonesia.
Mereka merasa alam yang mereka miliki dieksploitasi habis-habisan. Pada 1 Mei 1963 Irian
Barat diakui secara de jure sebagai bagian dari wilayah NKRI melalui perjanjian New York yang
mengakhiri konflik dengan Belanda. Namun tampaknya kemenangan Indonesia dalam
memperebutkan negeri Papua hanya sebatas euforia yang berlebihan. Setelah diperjuangkan,
negeri Papua seolah diabaikan begitu saja. Saat pertemuan mahasiswa Hubungan Internasional
se-Indonesia di Padang bulan April kemarin, seorang mahasiswa yang menjadi delegasi dari
Papua mengklaim bahwa rakyat Papua akan memisahkan diri secepatnya jika pemerintah tidak
kunjung memperhatikan nasib mereka, terutama masalah PT Freeport. Meskipun kasus OPM ini
belum mendapat respon di forum internasional, bukan berarti pemerintah Indonesia berdiam diri.
Strategi dan usaha radikal OPM ini adalah untuk menarik perhatian PBB agar kemudian
dijadikan isu internasional di forum PBB dan ketika kasus ini menjadi isu internasional di forum
PBB, probabilitas lebih besar berada di tangan OPM mengingat masifnya tingkat pelanggaran
HAM dan ketidakadilan di Papua di mana pelanggaran HAM merupakan hal yang tabu bagi PBB
dan dunia internasional.
Statemen mengejutkan juga datang dari pihak Kanada yang ternyata mendukung
pelepasan diri negeri Papua menjadi negara Papua dengan otoritas pemerintahan sendiri. Pada
7 Mei 2013 yang lalu,Political Counsellor of Embassy of Canada, Mr. Jonathan Yendall,
memberikan kuliah umum di Auditorium Sutan Balia FISIP Universitas Riau bagi mahasiswa
Hubungan Internasional. Pada saat itu, ada pertanyaan terkait kasus OPM dan Yendall
mengungkapkan bahwa Kanada, Amerika Serikat, dan Australia sempat membahas isu ini dan
mereka sepakat tentang rencana besar Free West Papua Campaign yang gencar memisahkan diri
dari NKRI dengan alasan tingginya jumlah pelanggaran HAM disana. Yendall menambahkan,
jika pertumpahan darah dan diskriminasi masih berlanjut di negeri Papua, bukan tidak mungkin
isu ini akan diangkat menjadi isu internasional dan besar kemungkinan forum internasional akan
berkonsensus tentang pembentukan negara Papua dengan kedaulatan sendiri. Pemerintah
seharusnya melakukan diplomasi domestik dan mengupayakan kesejahteraan serta keadilan di
tanah air Papua adalah variabel penentu keberhasilan dalam penyelesaian kasus ini. Karena
Integrasi nasional adalah hal mutlak.