Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

Perkembangan dan Klasifikasi Akuntansi


Internasional

Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa diharapkan mampu:
1. Memahami dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh signifikan
terhadap perkembangan akuntansi didunia.
2. Memahami dan mengidentifikasi dimensi nilai akuntansi Gray dan dimensi
kultural Hofstede.
3. Memahami dan mengidentifikasi pengaruh dimensi kultural Hofstede dalam
sistem perpajakan.
4. Memahami dan mengidentifikasi masalah yang timbul dalam perbedaan
akuntansi internasional.

Akuntansi seharusnya dapat merespon setiap perubahan yang dibutuhkan oleh


lingkungan sosial dan merefleksikan kondisi kultur, ekonomi, hukum, sosial dan
politik dimana akuntansi tersebut beroperasi. Mengapa kita perlu untuk
mengetahui bagaimana dan mengapa perkembangan akuntansi? Jawabannya
adalah sama dengan perkembangan ilmu-ilmu dan studi-studi yang lain. Jika kita
dapat mengidentifikasikan penyebab terjadinya perkembangan akuntansi, maka
kita dapat mempengaruhi atau mengantisipasi arah dari
perubahan/perkembangan akuntansi. Lebih jauh lagi, kita akan lebih dapat
memahami akuntansi negara lain dengan mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan akuntansi suatu negara. Akuntansi secara jelas
akan berbeda diseluruh dunia, dan pengetahuan terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan akuntansi akan membantu kita melihat mengapa
terjadi perbedaan akuntansi di seluruh dunia. Dengan kata lain, perbedaan yang
dapat diobservasi, begitu juga persamaan-persamaan yang dapat diobservasi
dapat menjelaskan faktor-faktor tersebut.
Perbedaan akuntansi diseluruh dunia ini berdampak pada perlunya
klasifikasi terhadap perkembangan akuntansi di dunia. Mengapa kita perlu
melakukan klasifikasi sistem akuntansi keuangan nasional atau regional?
Klasifikasi adalah pemahaman dan analisis fundamental mengapa dan
bagaimana sistem akuntansi nasional berbeda. Kita dapat juga menganalisa
apakah sistem tersebut konvergen atau divergen. Tujuan klasifikasi adalah
mengkelompokkan negara-negara berdasarkan karakteristik-karakteristik khusus
terkait dengan sistem akuntansi keuangan negara-negara. Klasifikasi
mengungkapkan struktur fundamental anggota kelompok yang memiliki
kesamaan dan yang membedakan antara satu kelompok dengan kelompok yang
lain. Klasifikasi adalah cara untuk memandang dunia. Klasifikasi juga memiliki
beberapa manfaat praktis, yaitu:
1. Negara-negara dalam kelompok khusus seringkali bereaksi terhadap
keadaan atau perubahan baru dengan cara yang sama. Negara-negara
mungkin akan memperoleh keuntungan dari pengalaman negara lain pada
kelompok yang sama. Misalnya: pembuat standar di Australia, Kanada, New
Zealand, Inggris dan Amerika Serikat merupakan negara-negara yang dapat
bekerjasama dan menemukan solusi umum secara efektif dan efisien terkait
isu-isu akuntansi khusus.
2. Perbedaan antar kelompok merupakan hambatan harmonisasi regional dan
seluruh dunia. Agar harmonisasi berhasil, anggota yang terlibat (seperti:
International Accounting Standards Board pada level internasional dan Uni
Eropa pada level regional) harus memahami perbedaan untuk mengatasi
perbedaan yang ada dan apakah pola perkembangan akuntansi berubah
sepanjang waktu.
3. Negara berkembang biasanya memiliki kesenjangan dalam hal sumber daya
untuk mengembangkan standar akuntansi mereka. Negara-negara tersebut
mungkin akan mengembangkan standar mereka jika sudah ada standar pada
negara lain yang mengatur.
Masalah-masalah komunikasi semakin parah ketika laporan keuangan
perusahaan kepada penggunanya yang tidak familiar dengan standar akuntansi
negara perusahaan asal. Hal ini berdampak perusahaan perlu untuk menyajikan
informasi tambahan kepada pengguna. Masalah yang sama dapat muncul terkait
komunikasi internasional pada perusahaan multinasional. Akuntan
mengkomunikasikan laporan perusahaan pada negara lain harus menggunakan
dengan “bahasa” yang sama.

A. Perkembangan Akuntansi Internasional


Standard akuntansi dan praktik akuntansi setiap negara merupakan hasil dari
interaksi kompleks dari faktor-faktor ekonomi, histori, institusional dan kultural.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan akuntansi nasional juga
dapat membantu menjelaskan perbedaan akuntansi antar negara.
Terdapat 8 faktor-faktor menurut Choi dan Meek (2011) yang berpengaruh
secara signifikan terhadap perkembangan akuntansi, yaitu:
1. Sumber Daya Keuangan. Pada negara-negara yang memiliki pasar modal
yang kuat, seperti Amerika Serikat dan Inggris, fokus akuntansi pada
seberapa baik manajemen menjalankan perusahaan (memperoleh
profitabilitas) dan membantu investor menilai arus kas masa depan
perusahaan yang berhubungan dengan risiko. Pengungkapan adalah
persyaratan penting bagi perusahaan yang berorientasi pada kepemilikan
publik. Sebaliknya, bagi negara-negara yang berbasis kredit dimana
perbankan adalah sumber utama keuangan, fokus akuntansi adalah
memproteksi kepentingan kreditur sampai dengan pengukuran akuntansi
yang lebih konservatif. Karena institusi keuangan memiliki akses langsung
terhadap berbagai macam informasi yang mereka inginkan, pengungkapan
kepada publik menjadi pertimbangan yang tidak penting. Jepang dan Swiss
adalah contoh negara yang memberikan proteksi kepada kreditur.
2. Sistem Hukum. Sistem hukum menentukan bagaimana individu dan institusi
berinteraksi. Terdapat dua orientasi hukum pada negara-negara barat, yaitu:
legalistik (hukum perdata atau perusahaan/code atau civil law) dan non
legalistik (hukum umum/common atau case law). Code law berasal dari
Roman Law dan Code Napoleon. Pada negara-negara yang berbasis pada
code law, hukum mencakup seluruh persyaratan-persyaratan dan
prosedur-prosedur. Kodifikasi standar dan prosedur akuntansi adalah natural
dan tepat. Sehingga, pada negara-negara code law, peraturan akuntansi
tergabung dalam hukum nasional dan cenderung memiliki sifat menentukan
dan prosedural yang tinggi. Sebaliknya, common laws mengembangkan
hukumnya berdasarkan kasus per kasus tanpa mencoba untuk mencakup
seluruh kasus. Hal ini berdampak, undang-undang tetap ada, tetapi
cenderung kurang detail dan lebih fleksibel dibandingkan dengan sistem code
law. Common law berasal dari Inggris. Pada umumnya negara-negara
common law, peraturan akuntansi ditetapkan oleh organisasi profesi sektor
privat. Hal ini memungkinkan organisasi tersebut membuat standar
akuntansinya lebih adaptif dan inovatif.
3. Perpajakan. Pada beberapa negara, keefektifan peraturan perpajakan
ditentukan standar akuntansi karena perusahaan-perusahaan harus
mencatat pendapatan dan beban untuk menentukan berapa besarnya pajak,
misalnya: Jerman dan Swedia. Dinegara lain, seperti Belanda, akuntansi
keuangan dan akuntansi pajak adalah hal yang terpisah: pendapatan yang
dikenakan paak adalah laba akuntansi keuangan yang disesuaikan dengan
perbedaan hukum pajak. Tentu saja meskipun akuntansi keuangan dan pajak
terpisah, hukum pajak kadang-kadang mempersyaratkan beberapa aplikasi
prinsip-prinsip akuntansi tertentu.
4. Hubungan Politik dan Ekonomi. Ide-ide akuntansi dan teknologi dapat
ditransfer melalui perebutan kekuasaan negara lain ataupun perdagangan
antar negara. Pembukuan double entry pertama kali dilakukan di Italia pada
tahun 1400an, secara bertahap meluas di Eropa. Kolonial Inggris
menerapkan konsep-konsep akuntansi sampai pada negara-negara jajahan.
Pendudukan negara Jerman selama perang dunia ke-2 menyebabkan
Perancis mengadopsi Plan Comptable. Amerika Serikat memaksakan
regulasi akuntansi di Jepang setelah perang dunia ke-2. Beberapa negara
dengan perekonomian berkembang menggunakan sistem akuntansi yang
dikembangkan oleh negara lain baik karena dipaksakan kepada mereka
(misalnya: India) atau karena pilihan mereka sendiri (misalnya:
negara-negara Eropa Timur mengembangkan sistem akuntansi mereka
setelah regulasi European Union).
5. Inflasi. Inflasi mendistorsi akuntansi biaya historis dan berdampak pada
tendensi memasukkan standar perubahan harga kedalam sistem
akuntansinya. Israel, Meksiko dan beberapa negara-negara di Amerika
Selatan menggunakan akuntansi General Price-Level karena pengalaman
mereka terhadap hiperinflasi. Pada akhir tahun 1970, sebagai respon atas
tingkat inflasi yang tinggi, baik Amerika Serikat dan Inggris mencoba untuk
melaporkan efek perubahan harga.
6. Level Perkembangan Ekonomi. Faktor ini mempengaruhi tipe transaksi
bisnis yang digunakan dan menentukan mana yang lebih lazim. Tipe
transaksi, sebaliknya, menentukan masalah-masalah akuntansi yang akan
dihadapi. Misalnya, kompensasi eksekutif berbasis saham atau asset
securitization berdampak kecil pada negara-negara perekonomian yang
memiliki pasar modal yang sedang berkembang. Saat ini, beberapa
perekonomian industrial menjadi perekonomian jasa. Isu-isu akuntansi
seperti penilaian aktiva tetap
dan pencatatan depresiasi, menjadi relevan pada manufaktur menjadi kurang
penting. Tantangan akuntansi saat ini, seperti penilaian aset tidak berwujud
dan sumber daya manusia menjadi berkembang.
7. Level Pendidikan. Standard akuntansi dan praktik akuntansi yang baik akan
tidak bermanfaat jika tidak mudah dipahami dan tidak dapat digunakan.
Misalnya, laporan teknis yang kompleks terkait varians perilaku biaya akan
tidak bermanfaat kecuali jika pembaca dapat memahami akuntansi biaya.
Pengungkapan tentang risiko sekuritas derivatif menjadi tidak informatif
kecuali jika mereka memiliki kompetensi untuk menganalisis risiko sekuritas
derivatif.
8. Kultur. Kultur adalah nilai-nilai dan sikap yang berkembang dilingkungan
atau masyarakat. Variabel-variabel kultur mendasari pengaturan institusional
suatu negara (seperti peraturan hukum suatu negara).
Doupnik dan Perera (2014) menyatakan bahwa dalam sebuah survei literatur
yang relevan telah mengidentifikasi lima item berikut sebagai yang diterima
secara umum sebagai faktor yang mempengaruhi praktik pelaporan keuangan
suatu negara: (1) sistem hukum, (2) perpajakan, (3) penyedia pembiayaan, (4)
inflasi, dan (5) ikatan politik dan ekonomi.

1. Sistem Hukum
Ada dua jenis sistem hukum utama yang digunakan di seluruh dunia: Common
law dan hukum Romawi yang dikodifikasi. Hukum umum dimulai di Inggris dan
terutama ditemukan di negara-negara berbahasa Inggris di dunia. Negara hukum
umum bergantung pada undang-undang undang-undang dalam jumlah terbatas,
yang kemudian ditafsirkan oleh pengadilan. Keputusan pengadilan menetapkan
preseden, dengan demikian mengembangkan hukum kasus yang melengkapi
undang-undang tersebut. Sebuah sistem hukum kode, diikuti di sebagian besar
negara yang tidak berbahasa Inggris, berasal dari peradaban jus Romawi dan
dikembangkan lebih lanjut di universitas-universitas Eropa selama Abad
Pertengahan. Negara hukum kode cenderung memiliki undang-undang yang
relatif lebih banyak atau undang-undang terkodifikasi yang mengatur lebih
banyak kegiatan manusia.
Apa hubungan sistem hukum suatu negara dengan akuntansi? Code Law
umumnya memiliki hukum korporasi (kadang-kadang disebut hukum komersial)
yang menetapkan parameter hukum dasar yang mengatur perusahaan bisnis.
Undang-undang korporasi seringkali menetapkan laporan keuangan mana yang
harus dipublikasikan sesuai dengan format yang ditentukan. Pengukuran
akuntansi tambahan dan aturan pengungkapan termasuk dalam undang-undang
akuntansi yang diperdebatkan dan disahkan oleh badan legislatif nasional. Di
negara-negara dimana peraturan akuntansi diundangkan, profesi akuntansi
cenderung memiliki pengaruh yang kecil terhadap perkembangan standar
akuntansi. Di negara-negara dengan tradisi common law, meskipun hukum
korporasi yang meletakkan kerangka dasar untuk akuntansi mungkin ada (seperti
di Inggris), aturan akuntansi khusus ditetapkan oleh profesi atau oleh badan
nonpemerintah independen yang mewakili berbagai konstituen . Dengan
demikian, jenis sistem hukum di suatu negara cenderung menentukan apakah
sumber utama aturan akuntansi adalah pemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat.
Di negara code law, hukum akuntansi cenderung agak umum, tidak
memberikan banyak detail mengenai praktik akuntansi tertentu, dan mungkin
tidak memberikan panduan sama sekali di bidang tertentu. Jerman adalah contoh
yang bagus untuk negara jenis ini. Hukum akuntansi Jerman yang disahkan pada
tahun 1985 hanya sepanjang 47 halaman dan tidak ada hubungannya dengan
masalah-masalah seperti sewa guna usaha, penjabaran mata uang asing, dan
laporan arus kas. Jika tidak ada pedoman yang disediakan dalam
undang-undang, perusahaan Jerman merujuk ke sumber lain, termasuk
undang-undang perpajakan, opini profesi audit Jerman, dan standar yang
dikeluarkan oleh Komite Standar Akuntansi Jerman, untuk memutuskan
bagaimana melakukan akuntansi mereka. Yang cukup menarik, sumber penting
dari praktik akuntansi di Jerman adalah buku teks dan komentar yang ditulis oleh
akademisi akuntansi.
Di negara-negara common law, di mana terdapat organisasi non-legislatif
yang mengembangkan standar akuntansi, aturan yang jauh lebih rinci
dikembangkan. Kasus ekstrim mungkin Financial Accounting Standards Board
(FASB) di Amerika Serikat, yang memberikan sejumlah besar pedoman
implementasi dalam Accounting Standards Codification (ASC) dan pembaruan
dan telah dituduh menghasilkan "standards overload."
Untuk menggambarkan hal ini, pertimbangkan aturan yang terkait dengan
akuntansi untuk sewa yang ditetapkan oleh FASB di Amerika Serikat dan dalam
hukum akuntansi Jerman. Di Amerika Serikat, sewa harus menggunakan huruf
besar jika salah satu dari empat kriteria yang sangat spesifik terpenuhi. Panduan
tambahan menetapkan aturan untuk situasi tertentu, seperti penjualan dengan
sewa kembali, sewa jenis penjualan real estat, dan perubahan sewa yang
dihasilkan dari pengembalian utang bebas pajak. Sebaliknya, hukum akuntansi
Jerman diam terkait sewa. Satu-satunya pedoman dalam hukum dapat
ditemukan di paragraf 285, yang secara sederhana menyatakan bahwa semua
kewajiban harus dicatat

2. Perpajakan
Di beberapa negara, laporan keuangan yang diterbitkan menjadi dasar
perpajakan, sedangkan di negara lain, laporan keuangan disesuaikan untuk
keperluan perpajakan dan disampaikan kepada pemerintah secara terpisah dari
laporan yang dikirim ke pemegang saham. Melanjutkan fokus pada Jerman, yang
disebut prinsip kongruensi (Massgeblichkeitsprinzip) di negara tersebut
menetapkan bahwa laporan keuangan yang diterbitkan menjadi dasar untuk
penghasilan kena pajak. Dalam kebanyakan kasus, agar suatu biaya dapat
dikurangkan untuk tujuan perpajakan, itu juga harus digunakan dalam
perhitungan laba rugi laporan keuangan. Perusahaan Jerman yang terkelola
dengan baik berupaya meminimalkan pendapatan untuk tujuan perpajakan,
misalnya, melalui penggunaan penyusutan yang dipercepat, untuk mengurangi
kewajiban pajak mereka. Sebagai hasil dari prinsip kongruensi, depresiasi yang
dipercepat juga harus diperhitungkan dalam penghitungan pendapatan
akuntansi.
Sebaliknya, di Amerika Serikat, kesesuaian antara laporan pajak dan
laporan keuangan hanya diperlukan terkait dengan penggunaan asumsi aliran
biaya persediaan last-in, first-out (LIFO). Perusahaan A.S. diizinkan untuk
menggunakan depresiasi dipercepat untuk tujuan perpajakan dan depresiasi
garis lurus dalam laporan keuangan. Semuanya sama, karena pengaruh prinsip
kongruensi, perusahaan Jerman kemungkinan akan melaporkan pendapatan
yang lebih rendah daripada perusahaan A.S.
Perbedaan antara pajak dan pendapatan akuntansi menimbulkan
kebutuhan untuk memperhitungkan pajak penghasilan tangguhan, masalah
utama di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir. Pajak penghasilan
tangguhan tidak terlalu menjadi masalah di Jerman; bagi banyak perusahaan
Jerman, mereka tidak ada sama sekali. Ini juga benar di negara hukum kode lain
seperti Prancis dan Jepang.

3. Penyedia Pembiayaan
Penyedia utama pembiayaan untuk perusahaan bisnis adalah anggota keluarga,
bank, pemerintah, dan pemegang saham. Di negara-negara di mana pendanaan
perusahaan didominasi oleh keluarga, bank, atau negara, tekanan terhadap
akuntabilitas publik dan keterbukaan informasi akan berkurang. Bank dan negara
sering kali diwakili dalam dewan direksi dan oleh karena itu akan dapat
memperoleh informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan dari dalam
perusahaan. Ketika perusahaan menjadi lebih bergantung pada pendanaan dari
masyarakat umum melalui penawaran umum saham, permintaan akan lebih
banyak informasi yang tersedia di luar perusahaan menjadi lebih besar. Tidaklah
layak bagi perusahaan untuk mengizinkan ratusan, ribuan, atau ratusan ribu
pemegang saham mengakses catatan akuntansi internal. Kebutuhan informasi
para pengguna laporan keuangan tersebut hanya dapat dipenuhi melalui
pengungkapan ekstensif dalam laporan akuntansi.
Ada juga perbedaan dalam orientasi laporan keuangan, dengan pemegang
saham lebih tertarik pada keuntungan (penekanan pada laporan laba rugi) dan
bank lebih tertarik pada solvabilitas dan likuiditas (penekanan pada neraca).
Bankir cenderung lebih memilih perusahaan untuk mempraktikkan akuntansi
yang agak konservatif sehubungan dengan aset dan kewajiban.

4. Inflasi
Negara-negara yang mengalami tingkat inflasi tinggi yang kronis merasa perlu
untuk mengadopsi aturan akuntansi yang mensyaratkan penyesuaian inflasi dari
jumlah biaya historis. Hal ini terutama terjadi di Amerika Latin, yang sebagai
kawasan memiliki inflasi yang lebih tinggi daripada bagian dunia lainnya.
Misalnya, sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an, tingkat inflasi tahunan rata-rata
di Meksiko adalah sekitar 50 persen, dengan tertinggi 159 persen pada tahun
1987. Tingkat inflasi dua dan tiga digit membuat biaya historis menjadi tidak
berarti. Sepanjang sebagian besar paruh kedua abad ke-20, faktor ini terutama
membedakan Amerika Latin dari bagian dunia lainnya dalam hal akuntansi.
Namun, inflasi telah berhasil dikendalikan di sebagian besar negara, dan faktor
ini tidak lagi penting dalam menjelaskan keragaman akuntansi seperti dulu.
Menyesuaikan catatan akuntansi untuk hasil inflasi dalam penulisan aset
dan oleh karena itu terkait biaya penyusutan dan amortisasi. Menyesuaikan
pendapatan karena inflasi sangat penting di negara-negara di mana laporan
akuntansi berfungsi sebagai dasar untuk perpajakan; jika tidak, perusahaan akan
membayar pajak atas keuntungan fiktif.

5. Ikatan Politik dan Ekonomi


Akuntansi adalah teknologi yang relatif mudah dipinjam dari atau
diterapkan di negara lain. Melalui hubungan politik dan ekonomi, aturan
akuntansi telah disampaikan dari satu negara ke negara lain. Misalnya, melalui
kolonialisme sebelumnya, baik Inggris maupun Prancis telah mentransfer
kerangka akuntansi mereka ke berbagai negara di seluruh dunia. Sistem
akuntansi gaya Inggris dapat ditemukan di negara-negara sejauh Australia dan
Zimbabwe. Penghitungan Prancis lazim di bekas koloni Prancis di Afrika barat.
Baru-baru ini, diperkirakan bahwa hubungan ekonomi dengan Amerika Serikat
berdampak pada akuntansi di Kanada, Meksiko, dan Israel.

B. Dimensi Nilai Akuntansi Gray dan Dimensi Kultur

1. Dimensi Nilai Akuntansi Gray (1988)


Gray (1988) mengembangkan rerangka kerja yang menghubungkan antara kultur
dan akuntansi. Gray mengembangkan empat dimensi nilai akuntansi yang
mempengaruhi praktik pelaporan akuntansi suatu negara, yaitu:
1. Professionalism vs. Statutory Control. Nilai ini merefleksikan preferensi
penilaian berdasarkan profesionalisme individu dan profesionalisme
pengaturan diri sebagai lawan dari ketaatan terhadap persyaratan hukum
preskriptif.
2. Uniformity vs. Flexiblity. Nilai ini mencerminkan preferensi untuk penggunaan
praktek akuntansi yang sama antara perusahaan dan untuk konsistensi dari
praktek-praktek akuntansi dari waktu ke waktu, dan bertentangan dengan
nilai fleksibilitas yang menyesuaikan dengan kondisi yang dihadapi oleh
masing-masing perusahaan.
3. Conservatism vs. Optimism. Nilai ini merefleksikan preferensi untuk
pendekatan berhati-hati untuk pengukuran yang memungkinkan seseorang
untuk mengatasi ketidakpastian peristiwa masa depan dibandingkan dengan
pendekatan yang lebih optimis, laissez-faire, berani mengambil risiko.
4. Secrecy vs. Transparancy. Nilai ini mencerminkan preferensi untuk
kerahasiaan dan pengungkapan informasi tentang bisnis hanya untuk pihak
yang berhubungan erat terlibat dengan manajemen dan pembiayaan,
dibandingkan dengan pendekatan yang lebih transparan, terbuka, dan
menekankan tanggungjawab kepada publik.

2. Dimensi Nilai Akuntansi Gray (1988)


Terdapat empat dimensi kultural yang dikembangkan oleh Hofstade (1984), yaitu:
1. Individualism vs. Collectivism. Individualisme merupakan preferensi untuk
rerangka kerja sosial yang lebih longgar dimana individu bertanggungjawab
pada dirinya sendiri dan keluarganya. Sebaliknya, kolektivisme merupakan
preferensi untuk rerangka kerja sosial yang lebih ketat dimana individu
bertanggungjawab pada kelompoknya.
2. Large vs. Small Power Distance. Power Distance adalah sejauh mana
anggota masyarakat menerima gagasan bahwa kekuasaan di
lembaga-lembaga dan organisasi didistribusikan tidak merata. Hal ini
mempengaruhi perilaku kurang kuat serta yang lebih kuat dari anggota
masyarakat. Orang-orang di masyarakat Large Power Distance menerima
perintah hirarkis di mana setiap orang tidak membutuhkan pembenaran lebih
lanjut. Orang-orang di masyarakat Small Power Distance berjuang untuk
pemerataan kekuasaan dan justifikasi ketidakadilan kekuasaan.
3. Strong vs. Weak Uncertainty Avoidance. Uncertainty Avoidance adalah
tingkat dimana anggota masyarakat merasa tidak nyaman dengan
ketidakpastian dan ambiguitas. Strong Uncertainty Avoidance
mempertahankan hukum yang kaku untuk keyakinan dan perilaku; dan tidak
toleran terhadap orang-orang yang memiliki ide menyimpang. Weak
Uncertainty Avoidance memiliki lingkungan yang lebih relaks dan jika terjadi
penyimpangan dapat ditoleransi.
4. Masculinity vs. Femininity. Maskulinitas merupakan preferensi dalam
masyarakat untuk berprestasi, bersikap seperti pahlawan, ketegasan, dan
kesuksesan materi. Kebalikannya, Feminitas, preferensi dalam masyarakat
untuk hubungan, kesopanan, peduli yang lemah dan kualitas hidup.

C. Hasil Penelitian Pengaruh Kultur terhadap Sistem


Perpajakan
Richardson (2007) menguji kerangka kerja kultur Hofstede dan Gray untuk
mengembangkan model teoritis pengaruh kultur dalam sistem perpajakan.
Richardson (2007) menggunakan konsep 4 kultur Hofstade, yang dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Individualism: dimensi ini berfokus pada sejauh mana masyarakat
mendukung prestasi individu atau kolektif dan hubungan interpersonal.
Tingkat individualisme yang tinggi menunjukkan bahwa individualitas dan hak
individu yang dominan dalam masyarakat. Individu dalam masyarakat ini
cenderung untuk membentuk sejumlah besar hubungan longgar. Tingkat
individualisme yang rendah menunjukkan masyarakat yang lebih bersifat
kolektif dengan hubungan dekat antara individu. Masyarakat ini memperkuat
keluarga besar dan kolektif di mana setiap orang bertanggung jawab untuk
sesama anggota kelompok mereka.
2. Power Distance: dimensi ini berfokus pada tingkat kesetaraan pada
ketidaksetaraan antara orang-orang dalam suatu masyarakat. Tingkat power
distance yang tinggi menunjukkan bahwa ketidaksetaraan kekuasaan dan
kekayaan diperbolehkan tumbuh dalam masyarakat. Masyarakat tersebut
biasanya mengikuti sistem kelas yang tidak memungkinkan mobilitas ke atas
yang signifikan bagi warganya. Tingkat power distance yang rendah
menunjukkan sebuah masyarakat yang tidak menekankan perbedaan antara
kekuasaan dan kekayaan warga. Dalam masyarakat ini, kesetaraan dan
kesempatan bagi semua orang lebih ditekankan.
3. Uncertainty Avoidance: dimensi ini berfokus pada tingkat toleransi terhadap
ketidakpastian dan ambiguitas dalam masyarakat. Tingkat uncertainty
avoidance yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat memiliki toleransi
yang rendah untuk ketidakpastian dan ambiguitas. Hal ini menciptakan
sebuah masyarakat aturan yang berorientasi lembaga hukum, aturan, dan
peraturan untuk mengurangi jumlah ketidakpastian. Tingkat uncertainty
avoidance yang rendah menunjukkan bahwa masyarakat memiliki
kekhawatiran yang rendah tentang ambiguitas dan ketidakpastian dan
memiliki lebih toleransi untuk berbeda pendapat. Hal ini tercermin dalam
sebuah masyarakat yang kurang berorientasi aturan, lebih mudah menerima
perubahan, dan mengambil lebih banyak dan lebih besar risiko.
4. Masculinity: dimensi ini berfokus pada cara di mana masyarakat
mengalokasikan peran sosial (sebagai lawan biologis) untuk kedua jenis
kelamin. Tingkat maskulinitas yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat
menempatkan lebih penting pada prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan
keberhasilan material. Di sisi lain, tingkat maskulinitas yang rendah
menunjukkan bahwa masyarakat lebih menekankan pada hubungan,
kesederhanaan, merawat yang lemah, dan kualitas hidup.
Richardson (2007) juga menggunakan 4 konsep nilai pajak, yaitu:
1. Equity: preferensi untuk sistem pajak yang adil dan merata sehubungan
dengan distribusi beban pajak antara orang-orang, dan didasarkan pada
kemampuan mereka untuk membayar.
2. Simplicity: preferensi untuk hukum pajak yang tidak rumit dalam sistem pajak
sehingga penerapannya jelas dan dapat diprediksi.
3. Neutrality: preferensi untuk sistem pajak yang tidak memiliki efek besar pada
keputusan sektor swasta dan tidak terlalu mendistorsi alokasi sumber daya.
4. Visibility: preferensi untuk sistem pajak yang transparan dan akuntabel publik
yang mengungkapkan ukuran sebenarnya dan pembebanan pajak pada
individu.
Richardson (2007) menguji bagaimana pengaruh kultur terhadap nilai-nilai pajak.
Argumentasi dan hasil penelitian Richardson (2007) akan dibahas untuk
masing-masing nilai-nilai pajak berikut ini.
1. Equity Tax Value (Nilai Pajak Keadilan)
Prinsip yang paling banyak digunakan untuk equity tax atau nilai pajak keadilan
disebut "kemampuan membayar", dimana, orang-orang dengan jumlah
pendapatan yang berbeda harus membayar pajak pada tingkat yang berbeda.
Prinsip kemampuan untuk membayar memiliki dua dimensi: keadilan horizontal
dan keadilan vertikal. Keadilan horisontal dicapai ketika orang-orang dalam
kelompok pendapatan yang sama dikenakan pajak pada tingkat yang sama.
Keadilan vertikal dicapai ketika orang-orang dalam kelompok pendapatan yang
berbeda membayar pajak yang berbeda. Pajak progresif dari semua pendapatan
merupakan kondisi penting dari ekuitas vertikal. Nilai pajak keadilan
memanifestasikan dirinya dalam sistem pajak dengan cara di mana beban pajak
didistribusikan di antara orang melalui tarif pajak. Sejauh bahwa sistem pajak
didasarkan pada kemampuan membayar, beban pajak seharusnya secara adil
didistribusikan.
Pada dimensi budaya Hofstade adalah memungkinkan jika individualisme,
power distance, dan uncertainty avoidance terkait dengan ekuitas pajak. Di
negara-negara dengan tingkat individualisme yang tinggi, standar nilai yang
sama harus berlaku untuk semua orang atau universalisme. Ini berarti bahwa
aturan dan prosedur diterapkan secara universal untuk memastikan keadilan dan
konsistensi. Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut cenderung
merata dan sesuai dengan prinsip kemampuan untuk membayar karena
undang-undang pajak berlaku bagi orang-orang dengan cara yang sama,
sehingga distribusi beban pajak cukup menyebar. Sebaliknya, di negara-negara
dengan tingkat individualisme yang rendah, standar nilai berbeda baik didalam
kelompok maupun diluar kelompok atau partikularisme. Ini berarti bahwa
fleksibilitas dalam aturan dan prosedur harus disesuaikan dengan situasi
tertentu. Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut cenderung tidak
adil dan melanggar prinsip kemampuan untuk membayar karena undang-undang
pajak berlaku bagi orang-orang dengan cara yang berbeda, sehingga beban
pajak tersebar secara tidak adil.
Di negara-negara dengan tingkat power-distance tinggi, harus ada urutan
ketidaksetaraan di mana semua orang memiliki tempat yang selayaknya. Hirarki
dalam keadaan seperti itu berarti ketidaksetaraan eksistensial, dimana,
pemegang kekuasaan berhak terhadap hak istimewa. Selain itu, sistem pajak
dalam negara dengan power-distance tinggi, negara melindungi orang kaya dan
meningkatkan perbedaan pendapatan. Oleh karena itu, sistem pajak di
negara-negara tersebut cenderung tidak adil dan bertentangan dengan prinsip
kemampuan untuk membayar (the ability-to-pay principle). Di negara-negara
dengan tingkat power-distance rendah, ketimpangan dalam masyarakat harus
diminimalkan. Hirarki berarti ketidaksetaraan peran yang ditetapkan untuk
memudahkan saja, dan semua orang harus memiliki hak yang sama. Selain itu,
sistem pajak di negara-negara dengan tingkat power-distance rendah bertujuan
mendistribusikan kekayaan dan mengurangi perbedaan pendapatan. Oleh
karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut cenderung merata dan sesuai
dengan prinsip kemampuan untuk membayar.
Di negara-negara dengan uncertainty-avoidance yang tinggi, konflik dan
kompetisi dapat dan seharusnya melepaskan agresi, karena itu, harus dihindari.
Selain itu, individu yang memiliki kepedulian terhadap keamanan dalam
kehidupan. Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut kemungkinan
akan mencakup banyak insentif pajak (misalnya, pengurangan pajak khusus,
pembebasan, dan kredit pajak) untuk membantu individu terkait dengan konflik,
agresi, dan keamanan. Namun, insentif pajak melanggar prinsip kemampuan
untuk membayar. Sebaliknya, di negara-negara dengan uncertainty-avoidance
yang rendah, konflik dan kompetisi dapat muncul. Oleh karena itu, sistem pajak
di negara-negara tersebut memiliki insentif pajak yang lebih sedikit karena
individu kurang mendukung situasi yang berusaha untuk menghadapi konflik dan
persaingan. Hal ini memastikan bahwa prinsip kemampuan untuk membayar
tidak dilanggar dan meningkatkan keadilan dalam sistem pajak.
Berdasarkan argumentasi diatas, Richardson (2007) memprediksikan
bahwa: (1) terdapat hubungan positif antara individualisme dengan nilai pajak
keadilan, (2) terdapat hubungan negatif antara power distance dengan nilai pajak
keadilan, (3) terdapat hubungan negatif antara uncertainty avoidance dan nilai
pajak keadilan. Hasil penelitian Richardson (2007) memberikan bukti bahwa
negara-negara dengan tingkat individualisme yang tinggi dan power distance
yang rendah cenderung memiliki sistem pajak keadilan yang tinggi.

2. Simplicity Tax Value (Nilai Pajak Kemudahan/Kesederhanaan)


Konteks nilai pajak kemudahan, prinsip dasar perpajakan adalah bahwa orang
hanya dapat memahami dasar atas mana mereka sedang dikenakan pajak.
Ketika undang-undang pajak dan peraturan yang kompleks, akuntan dan
pengacara mencari celah, mendorong munculnya ketidakadilan, dan
meningkatkan biaya kepatuhan pajak. Orang-orang memahami bahwa, dengan
pajak yang sederhana, orang lain juga bertindak adil. Hal ini meningkatkan
legitimasi sistem pajak dan dapat meningkatkan kepatuhan. Nilai pajak
kesederhanaan memanifestasikan dirinya dalam sistem pajak dengan cara di
mana pajak diukur, yang dirumuskan dalam ekspresi hukum pajak. Ketika sistem
pajak yang sederhana, hukum pajak lebih jelas dan lebih terstruktur, dan biaya
kepatuhan pajak cenderung lebih rendah.
Dimensi budaya Hofstade memungkinkan bahwa individualisme,
power-distance dan uncertainty-avoidance terkait dengan kesederhanaan pajak.
Di negara-negara dengan tingkat individualisme yang tinggi, standar nilai yang
sama harus berlaku untuk semua orang atau universalisme. Ini berarti bahwa
aturan dan prosedur yang diterapkan secara seragam. Oleh karena itu, sistem
pajak di negara-negara tersebut cenderung sederhana karena undang-undang
pajak harus diterapkan secara konsisten, menyebabkan peraturan pajak kurang
rumit. Sebaliknya, di negara-negara dengan tingkat individualisme yang rendah,
standar nilai berbeda baik didalam kelompok dan diluar kelompok atau
partikularisme. Ini berarti bahwa fleksibilitas dalam aturan dan prosedur didorong
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan tertentu. Oleh karena itu,
sistem pajak di negara-negara tersebut cenderung kompleks karena
undang-undang pajak harus fleksibel dan menyesuaikan diri dengan situasi yang
spesifik, yang mengarah ke undang-undang pajak yang lebih rumit.
Di negara-negara dengan power-distance tinggi, fokus utama adalah
menjaga ketertiban dalam masyarakat, dan faktor yang mendukung adalah
keseragaman. Selain itu, pengenaan hukum yang seragam diharapkan akan
diterima oleh orang-orang dalam masyarakat dengan power-distance tinggi. Oleh
karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut cenderung sederhana karena
kebutuhan untuk keseragaman dalam undang-undang pajak. Sebaliknya, di
negara-negara dengan power-distance rendah, kurang penting memfokuskan
pada menjaga ketertiban dalam masyarakat, yang juga harus menjadi faktor
dalam mendukung fleksibilitas. Selain itu, pengenaan hukum yang bersifat
fleksibel diharapkan akan diakui oleh orang-orang dalam masyarakat dengan
power-distance jarak rendah. Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara
tersebut kemungkinan akan kompleks karena kebutuhan fleksibilitas dalam
undang-undang pajak.
Di negara-negara dengan uncertainty-avoidance tinggi, ada toleransi yang
rendah untuk ketidakpastian dan ambiguitas. Hal ini menciptakan masyarakat
berorientasi aturan, di mana ada banyak undang-undang dan peraturan tertulis.
Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut cenderung kompleks
karena ketidakpastian dan ambiguitas dikurangi dengan cara banyak
undang-undang dan peraturan perpajakan tertulis. Di negara-negara dengan
uncertainty-avoidance rendah, ada kekhawatiran yang rendah tentang
ketidakpastian dan ambiguitas. Kenyataannya terdapat sedikit hukum dan
peraturan tertulis. Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut
cenderung sederhana karena tidak ada banyak kebutuhan untuk banyak
undang-undang dan peraturan perpajakan tertulis.
Berdasarkan argumentasi diatas, Richardson (2007) memprediksikan
bahwa: (1) terdapat hubungan positif antara individualisme dengan nilai pajak
kemudahan, (2) terdapat hubungan positif antara power distance dengan nilai
pajak kemudahan, (3) terdapat hubungan negatif antara uncertainty avoidance
dan nilai pajak kemudahan. Hasil penelitian Richardson (2007) memberikan bukti
bahwa negara-negara dengan tingkat individualisme yang tinggi dan uncertainty
avoidance yang rendah cenderung memiliki sistem pajak yang lebih mudah atau
lebih sederhana.

3. Neutrality Tax Value (Nilai Pajak Netralitas)


Netralitas pajak adalah atribut dasar lain dalam sistem pajak. Hal ini mengacu
pada efek (atau tidak adanya mereka) bahwa sistem pajak mempengaruhi
keputusan ekonomi. Konsep ini berpendapat bahwa sistem pajak seharusnya
tidak memaksakan hambatan khusus (misalnya, tarif pajak tinggi) atau
memberikan keuntungan khusus (misalnya, insentif pajak) kepada orang-orang
ketika mereka memutuskan untuk menggunakan sumber daya mereka dengan
cara tertentu. Sebaliknya, sistem pajak harus netral di antara semua pengguna
sumber daya, yang memungkinkan pasar untuk menentukan penggunaan yang
paling produktif dari semua sumber daya yang tersedia. Nilai pajak netralitas
memanifestasikan efisiensi sistem pajak. Sejauh bahwa sistem pajak yang netral,
sangat kecil kemungkinan bahwa tarif pajak atau insentif mendistorsi keputusan
ekonomi, dengan demikian, sistem pajak yang lebih efisien harus dikembangkan.
Dari segi dimensi budaya Hofstede, adalah memungkinkan bahwa
individualisme, power distance, uncertainty avoidane, dan maskulinitas yang
berpengaruh terhadap netralitas pajak. Di negara-negara dengan tingkat
individualisme tinggi, orang-orang diharapkan untuk mengurus diri sendiri.
Kepentingan individu lebih tinggi diatas kepentingan bersama, dan pemerintah
tidak memiliki peran yang besar dalam mengendalikan perekonomian. Oleh
karena itu, sistem pajak netral cenderung berkembang di negara-negara seperti
itu karena kebutuhan untuk kemerdekaan, pemeliharaan pada kepentingan
individu dan peran nonintervensi pemerintah dalam sistem pajak. Sebaliknya, di
negara-negara individualisme rendah, orang-orang memiliki kebutuhan untuk
ketertiban dan keamanan. Kepentingan kolektif lebih tinggi diatas kepentingan
individu, dan pemerintah cenderung berkembang di negara-negara tersebut
karena kebutuhan untuk pemeliharaan kepentingan kolektif, dan peran
intervensionis pemerintah dalam sistem pajak.
Di negara-negara dengan power-distance yang tinggi, orang-orang
berkuasa memiliki hak istimewa. Selain itu, perbedaan pendapatan yang besar
dalam masyarakat akan terus meningkat dengan adanya sistem pajak. Oleh
karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut cenderung kurang netral
karena orang kuat melindungi hak-hak mereka dengan memberlakukan
undang-undang pajak yang mencakup insentif pajak untuk memastikan bahwa
perbedaan pendapatan di masyarakat meningkat. Sebaliknya, di negara-negara
dengan power-distance yang rendah, semua orang harus memiliki hak yang
sama. Selain itu, setiap perbedaan pendapatan dalam masyarakat akan
dikurangi dengan sistem pajak. Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara
tersebut cenderung netral karena orang-orang berkuasa tidak memiliki hak
istimewa langsung: semua orang diperlakukan sama, dan sistem pajak tidak
digunakan sebagai alat untuk mendukung perbedaan pendapatan yang besar.
Hal ini konsisten dengan peraturan pajak minimal terkait dengan insentif pajak.
Di negara-negara dengan uncertainty-avoidance yang tinggi, memiliki
tingkat kekhawatiran yang tinggi tentang masa depan, dan orang-orang memiliki
tingkat kecemasan dan stres yang tinggi. Pada negara-negara dengan
uncertainty-avoidance tinggi, terdapat intervensi pemerintah dalam
perekonomian untuk menjaga kepentingan umum. Oleh karena itu, sistem pajak
di negara-negara tersebut cenderung kurang netral karena kebutuhan untuk
intervensi pemerintah dalam perekonomian melalui sistem pajak. Atau, di
negara-negara dengan uncertainty-avoidance yang rendah, ada kesiapan yang
lebih besar untuk hidup dari hari ke hari, dan orang-orang menunjukkan tingkat
kecemasan dan stres yang rendah. Pada negara-negara dengan
uncertainty-avoidance rendah, pemerintah tidak melakukan intervensu dalam
perekonomian. Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut
cenderung netral karena ada sedikit kebutuhan untuk intervensi pemerintah
dalam perekonomian dengan cara sistem pajak.
Di negara-negara dengan tingkat maskulinitas tinggi pertumbuhan ekonomi
dipandang sebagai masalah yang lebih penting daripada pelestarian lingkungan.
Selain itu, negara-negara tersebut memiliki pendekatan korektif untuk
masyarakat. Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut cenderung
kurang netral karena sistem pajak digunakan sebagai sarana untuk
mempertahankan pertumbuhan ekonomi melalui pemberian insentif pajak dan
tarif pajak disesuaikan, dan sistem pajak digunakan sebagai alat untuk
mengoreksi ketidaksempurnaan pasar. Sebaliknya, di negara-negara dengan
tingkat maskulinitas yang rendah, pertumbuhan ekonomi memiliki prioritas yang
lebih rendah dibandingkan dengan pelestarian lingkungan. Selain itu,
negara-negara tersebut memiliki pendekatan permisif terhadap masyarakat. Oleh
karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut cenderung netral karena
sistem pajak tidak digunakan untuk tujuan mempertahankan pertumbuhan
ekonomi atau sebagai alat untuk mengoreksi ketidaksempurnaan pasar.
Sebaliknya, sistem pajak memungkinkan pasar untuk memutuskan pemanfaatan
yang paling produktif dari sumber daya suatu negara.
Berdasarkan argumentasi diatas, Richardson (2007) memprediksikan
bahwa: (1) terdapat hubungan positif antara individualisme dengan nilai pajak
netralitas, (2) terdapat hubungan negatif antara power distance dengan nilai
pajak netralitas, (3) terdapat hubungan negatif antara uncertainty avoidance dan
nilai pajak netralitas, dan (4) terdapat hubungan negatif antara maskulinitas dan
nilai pajak netralitas. Hasil penelitian Richardson (2007) memberikan bukti bahwa
negara-negara dengan tingkat individualisme yang tinggi dan uncertainty
avoidance yang rendah dan power distance yang rendah cenderung memiliki
sistem pajak yang lebih netral.

4. Visibility Tax Value (Nilai Pajak Visibilitas)


Visibilitas pajak adalah fitur mendasar dari sistem pajak. Hal ini mengacu pada
gagasan bahwa individu harus menyadari adanya pajak dan bagaimana dan
kapan pajak dikenakan. Masyarakat mempersepsikan negatif tentang
perpajakan, sehingga pemerintah menyembunyikan keputusan pajak untuk
menyamarkan ukuran dan beban pajak sebenarnya. Nilai pajak visibilitas dalam
sistem pajak dimanifestasikan dengan tingkat pengungkapan pajak yang berbeda
kepada publik.
Dari segi dimensi budaya Hofstede, memungkinkan bahwa individualisme,
power distance, uncertainty avoidance dan maskulinitas terkait dengan visibilitas
pajak. Di negara-negara dengan tingkat individualisme yang tinggi setiap orang
memiliki hak untuk memiliki pendapat dan kebebasan pers adalah lazim, serta
kekuasaan politik dilakukan oleh pemilih. Oleh karena itu, sistem pajak di
negara-negara tersebut cenderung lebih visibel/nyata, transparan, dan akuntabel
kepada publik karena kebutuhan lingkungan terbuka. Sebaliknya, di
negara-negara dengan tingkat individualisme rendah, pendapat telah ditentukan
oleh kelompok, kebebasan pers kurang, dan kekuasaan politik dilaksanakan oleh
kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan. Oleh karena itu, sistem
pajak di negara-negara tersebut cenderung kurang visible dan transparan, dan
tidak bertanggung jawab kepada publik karena kebutuhan untuk lingkungan
tertutup.
Di negara-negara dengan tingkat power-distance tinggi, orang-orang kuat
seperti politisi berusaha untuk memberikan kesan sebaik mungkin, dan informasi
dibatasi oleh hirarki. Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut
cenderung kurang visibel/nyata sehingga politisi dapat mengenakan pajak besar
pada publik tanpa dicurigai oleh publik. Sebaliknya, di negara-negara dengan
power-distance rendah, orang-orang kuat seperti politisi mencoba kurang
berpengaruh, dan ada keterbukaan informasi. Oleh karena itu, sistem pajak
negara-negara tersebut lebih visibel/nyata dan transparan kepada publik.
Di negara-negara dengan uncertainty-avoidance tinggi, konflik dan
persaingan menghasilkan agresi dan harus dihindari. Selain itu, orang memiliki
kekhawatiran keamanan dalam kehidupan. Akibatnya, ada kebutuhan di
negara-negara dengan uncertainty-avoidance tinggi untuk membatasi
pengungkapan informasi untuk menghindari konflik dan kompetisi dan untuk
mempertahankan keamanan. Sebaliknya, di negara-negara dengan
uncertainty-avoidance rendah, individu lebih bersedia untuk mengambil risiko.
Dengan demikian, ada sedikit kebutuhan untuk membatasi pengungkapan
informasi untuk mencegah konflik dan persaingan, dan untuk menjaga
keamanan. Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut
kemungkinan akan lebih visibel, dengan pengungkapan yang lebih besar dari
undang-undang perpajakan dan peraturan kepada publik.
Di negara-negara maskulinitas yang tinggi, kinerja dan pertumbuhan
dianggap penting, dan berorientasi pada uang dan materi. Selain itu, individu
akan memberikan apresiasi pada individu yang berprestasi dan sukses. Oleh
karena itu, negara-negara tersebut akan cenderung lebih tertutup, khususnya
dalam hal informasi sosial. Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara
tersebut cenderung akan visibel/nyata, dengan pengabaikan pengungkapan
hukum pajak kepada masyarakat. Sebaliknya, di negara-negara dengan tingkat
maskulinitas rendah, kualitas hidup dan lingkungan dianggap penting, dan
berorientasi pada manusia/individu. Dengan demikian, negara-negara tersebut
akan cenderung lebih terbuka terutama yang berkaitan dengan informasi sosial.
Oleh karena itu, sistem pajak di negara-negara tersebut lebih cenderung
visibel/nyata, dengan pengungkapan undang-undang pajak yang lebih besar
kepada masyarakat.
Berdasarkan argumentasi diatas, Richardson (2007) memprediksikan
bahwa: (1) terdapat hubungan positif antara individualisme dengan nilai pajak
visibilitas, (2) terdapat hubungan negatif antara power distance dengan nilai
pajak visibilitas, (3) terdapat hubungan negatif antara uncertainty avoidance dan
nilai pajak visibilitas, dan (4) terdapat hubungan negatif antara maskulinitas dan
nilai pajak visibilitas. Hasil penelitian Richardson (2007) memberikan bukti bahwa
negara-negara dengan tingkat individualisme yang tinggi dan uncertainty
avoidance yang rendah dan power distance yang rendah cenderung memiliki
sistem pajak visibilitas yang lebih tinggi.

D. Masalah Akibat Perbedaan Akuntansi


Berikut ini adalah beberapa masalah yang muncul akibat adanya perbedaan
akuntansi pada beberapa negara yaitu: penyusunan laporan keuangan
konsolidasi, akses ke pasar modal asing,
1. Penyusunan Laporan Keuangan Konsolidasi
Keberagaman dalam praktik akuntansi antar negara menyebabkan
permasalahan yang dapat menjadi cukup serius bagi beberapa pihak. Satu
masalah berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan konsolidasi oleh
perusahaan dengan operasi luar negeri. Pertimbangkan General Motors
Corporation, yang memiliki anak perusahaan di lebih dari 50 negara di seluruh
dunia. Setiap anak perusahaan yang didirikan di negara tempatnya berada
diwajibkan untuk menyiapkan laporan keuangan sesuai dengan peraturan
setempat. Peraturan ini biasanya mengharuskan perusahaan untuk melakukan
pembukuan dalam mata uang lokal menggunakan prinsip akuntansi lokal. Jadi,
General Motors de Mexico menyiapkan laporan keuangan dalam peso Meksiko
menggunakan aturan akuntansi Meksiko, dan General Motors Japan Ltd.
menyiapkan laporan keuangan dalam yen Jepang menggunakan standar
Jepang. Untuk menyusun laporan keuangan konsolidasian di Amerika Serikat,
selain menerjemahkan laporan keuangan valuta asing ke dalam dolar AS,
perusahaan induk juga harus mengubah laporan keuangan operasi luar
negerinya menjadi US GAAP. Entah setiap operasi asing harus memelihara dua
set buku yang disiapkan sesuai dengan GAAP lokal dan A.S. atau, seperti yang
lebih umum, rekonsiliasi dari GAAP lokal ke A.S. GAAP harus dilakukan pada
tanggal neraca. Dalam kedua kasus tersebut, banyak upaya dan biaya yang
terlibat; personel perusahaan harus mengembangkan keahlian di lebih dari satu
standar akuntansi negara.

2. Akses ke Pasar Modal Asing


Masalah kedua yang disebabkan oleh keragaman akuntansi berkaitan dengan
perusahaan yang mendapatkan akses ke pasar modal asing. Jika sebuah
perusahaan ingin memperoleh modal dengan menjual saham atau meminjam
uang di luar negeri, mungkin diperlukan untuk menyajikan satu set laporan
keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi di negara tempat
modal tersebut diperoleh. Pertimbangkan kasus produsen semikonduktor
STMicroelectronics, yang berbasis di Jenewa, Swiss. Pasar ekuitas di Swiss
sangat kecil (ada kurang dari 8 juta Swiss) dan kebutuhan modal ST sangat
besar sehingga perusahaan merasa perlu untuk memiliki saham biasa yang
terdaftar di bursa saham Euronext-Paris dan Borsa Italiana di Eropa dan di Bursa
Efek New York (NYSE) di Amerika Serikat. Untuk memiliki saham yang
diperdagangkan di Amerika Serikat, perusahaan asing harus menyiapkan
laporan keuangan menggunakan standar akuntansi A.S. atau memberikan
rekonsiliasi pendapatan bersih GAAP lokal dan ekuitas pemegang saham ke
U.S. GAAP. Ini bisa sangat mahal. Dalam mempersiapkan pencatatan Bursa
Efek New York pada tahun 1993, pembuat mobil Jerman Daimler-Benz
memperkirakan menghabiskan $ 60 juta untuk awalnya menyiapkan laporan
keuangan US GAAP; itu diharapkan menghabiskan $ 15 juta hingga $ 20 juta
setiap tahun sesudahnya. Lampiran bab ini menjelaskan kasus Daimler-Benz
menjadi perusahaan Jerman pertama yang terdaftar di NYSE-U.S. SEC
menghapus persyaratan rekonsiliasi U.S. GAAP untuk perusahaan asing yang
menggunakan IFRS untuk menyiapkan laporan keuangan mereka. Namun,
perusahaan asing yang tidak menggunakan IFRS terus perlu memberikan
informasi US GAAP.

3. Perbandingan Laporan Keuangan


Masalah ketiga berkaitan dengan kurangnya komparabilitas laporan keuangan
antara perusahaan dari berbagai negara. Hal ini secara signifikan dapat
mempengaruhi analisis laporan keuangan luar negeri untuk pengambilan
keputusan investasi dan pemberian pinjaman. Pada tahun 2003 saja, investor AS
membeli dan menjual saham asing senilai hampir $ 3 triliun, sementara investor
asing memperdagangkan lebih dari $ 6 triliun sekuritas ekuitas AS. 10 Dalam
beberapa tahun terakhir telah terjadi ledakan reksa dana yang ditanamkan pada
saham perusahaan asing. Sebagai contoh, jumlah dana saham internasional
meningkat dari 123 pada tahun 1989 menjadi 534 pada akhir tahun 1995. 11 T.
Rowe Price's New Asia Fund, misalnya, berinvestasi secara eksklusif pada
saham dan obligasi perusahaan yang berlokasi di negara-negara Asia selain
Jepang . Tugas memutuskan perusahaan asing mana yang akan diinvestasikan
diperumit oleh fakta bahwa perusahaan asing menggunakan aturan akuntansi
yang berbeda dari yang digunakan di Amerika Serikat, dan aturan tersebut
berbeda dari satu negara ke negara lain. Sangat sulit jika bukan tidak mungkin
bagi calon investor untuk langsung membandingkan posisi keuangan dan kinerja
pabrikan mobil di Jerman (Volkswagen), Jepang (Nissan), dan Amerika Serikat
(Ford) karena ketiga negara ini memiliki keuangan yang berbeda. standar
akuntansi dan pelaporan. Menurut Ralph E. Walters, mantan ketua komite
pengarah Komite Standar Akuntansi Internasional, "baik investor internasional
harus sangat berpengetahuan tentang berbagai metode pelaporan atau mereka
harus bersedia mengambil risiko yang lebih besar."
Kurangnya komparabilitas laporan keuangan juga dapat berdampak buruk
pada perusahaan saat membuat keputusan akuisisi asing. Sebagai contoh
kasus, pertimbangkan pengalaman investor asing di Eropa Timur. Setelah
jatuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989, perusahaan Barat diundang untuk
mengakuisisi perusahaan yang baru diprivatisasi di Polandia, Hongaria, dan
negara-negara lain di bekas blok komunis. Konsep laba dan akuntansi untuk aset
di negara-negara di bawah komunisme sangat berbeda dari praktik akuntansi di
Barat sehingga sebagian besar investor Barat menemukan laporan keuangan
tidak berguna dalam membantu menentukan perusahaan mana yang menjadi
target akuisisi yang paling menarik. Dalam banyak kasus, perusahaan akuntan
publik internasional diminta untuk mengubah laporan keuangan menjadi basis
Barat sebelum akuisisi perusahaan dapat dipertimbangkan secara serius.
Ada alasan yang sangat bagus mengapa akuntansi di negara-negara
komunis Eropa Timur dan Uni Soviet sangat berbeda dengan akuntansi di
negara-negara kapitalis. Laporan keuangan tidak disiapkan untuk kepentingan
investor dan kreditor untuk digunakan dalam pengambilan keputusan investasi
dan pinjaman. Sebaliknya, laporan keuangan disiapkan untuk memberikan
informasi kepada pemerintah untuk menentukan apakah rencana ekonomi pusat
terpenuhi. Laporan keuangan yang disiapkan untuk tujuan perencanaan pusat
memiliki nilai yang terbatas dalam pengambilan keputusan investasi.

4. Kurangnya Informasi Akuntansi Berkualitas Tinggi


Masalah keempat yang terkait dengan keragaman akuntansi adalah
kurangnya standar akuntansi berkualitas tinggi di beberapa bagian dunia. Ada
kesepakatan umum bahwa kegagalan banyak bank dalam krisis keuangan Asia
Timur 1997 disebabkan oleh tiga faktor: sektor korporasi yang memiliki leverage
yang tinggi, ketergantungan sektor swasta pada hutang mata uang asing, dan
kurangnya transparansi akuntansi. 13 Yang pasti, pengungkapan yang tidak
memadai tidak menyebabkan kehancuran Asia Timur, tetapi hal itu berkontribusi
pada kedalaman dan keluasan krisis. Seperti yang dijelaskan Rahman: “Adalah
fakta yang diketahui bahwa ancaman pengungkapan mempengaruhi perilaku dan
meningkatkan manajemen, terutama manajemen risiko. Tampaknya kurangnya
persyaratan pengungkapan yang sesuai secara tidak langsung berkontribusi
pada kurangnya kontrol internal dan praktik manajemen risiko yang tidak hati-hati
dari perusahaan dan bank di negara-negara yang dilanda krisis. ” 14 Investor dan
kreditor internasional tidak dapat menilai risiko secara memadai karena laporan
keuangan tidak mencerminkan tingkat eksposur risiko karena kekurangan
pengungkapan berikut:
1. Besarnya utang yang sebenarnya disembunyikan oleh transaksi pihak terkait
yang dirahasiakan dan pembiayaan off-balance-sheet.
2. Tingkat eksposur risiko nilai tukar mata uang asing yang tinggi tidak terbukti.
3. Informasi tentang sejauh mana investasi dan pinjaman dilakukan pada aset
yang sangat spekulatif (seperti real estat) tidak tersedia.
4. Kewajiban kontinjensi untuk menjamin pinjaman, seringkali pinjaman dalam
mata uang asing, tidak dilaporkan.
5. Pengungkapan yang tepat tentang provisi kerugian pinjaman tidak dilakukan.
Karena masalah yang terkait dengan keragaman akuntansi di seluruh dunia,
upaya untuk mengurangi perbedaan akuntansi di berbagai negara telah
berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Proses ini dikenal sebagai
harmonisasi. Tujuan akhir dari harmonisasi adalah untuk memiliki satu set
standar akuntansi internasional yang diikuti oleh semua perusahaan di seluruh
dunia.

PERTANYAAN DISKUSI
1. Jelaskan bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
akuntansi di dunia berdasarkan Choi dan Meek (2011)?
2. Jelaskan bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
akuntansi di dunia berdasarkan Doupnik dan Perera (2014)?
3. Jelaskan apa yang membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan akuntansi di dunia menurut Choi dan Meek (2011) dan
Doupnik dan Perera (2014)?
4. Jelaskan bagaimana dimensi nilai akuntansi Gray (1988) yaitu
“Professionalism vs. Statutory Control” mempengaruhi perkembangan
akuntansi di dunia?
5. Jelaskan bagaimana dimensi nilai akuntansi Gray (1988) yaitu “Uniformity
vs. Flexiblity” mempengaruhi perkembangan akuntansi di dunia?
6. Jelaskan bagaimana dimensi nilai kultur Hofstade (1984) yaitu “Large vs.
Small Power Distance” mempengaruhi perkembangan akuntansi di dunia?
7. Jelaskan bagaimana dimensi nilai kultur Hofstade (1984) yaitu “Individualism
vs. Collectivism” mempengaruhi perkembangan akuntansi di dunia?
8. Jelaskan bagaimana dimensi nilai akuntansi Gray (1988) yaitu
“Conservatism vs. Optimism” mempengaruhi perkembangan akuntansi di
dunia?
9. Jelaskan bagaimana dimensi nilai kultur Hofstade (1984) yaitu “Strong vs.
Weak Uncertainty Avoidance” mempengaruhi perkembangan akuntansi di
dunia?
10. Jelaskan bagaimana dimensi nilai akuntansi Gray (1988) yaitu “Secrecy vs.
Transparancy” mempengaruhi perkembangan akuntansi di dunia?
11. Jelaskan bagaimana dimensi nilai kultur Hofstade (1984) yaitu “Masculinity
vs. Femininity” mempengaruhi perkembangan akuntansi di dunia?
12. Jelaskan masalah-masalah yang timbul dengan adanya perbedaan
akuntansi di dunia?

Referensi

Choi, Frederick D.S. dan Meek, Gary K. (2011). International Accounting.


Pearson
Doupnik, Timothy S. dan Perera, Hector. (2014). International Accounting.
McGraw-Hill Education.

Anda mungkin juga menyukai