Anda di halaman 1dari 20

Makalah farmakologi Obat 

asma

A. Latar Belakang

Salah satu penyakit yang sering dijumpai pada anak-anak yaitu penyakit asma. Kejadian
asma meningkat di hampir seluruh dunia, baik Negara maju maupun Negara berkembang
termasuk Indonesia. Peningkatan ini diduga berhubungan dengan meningkatnya industri
sehingga tingkat polusi cukup tinggi. Walaupun berdasarkan pengalaman klinis dan berbagai
penelitian asma merupakan penyakit yang sering ditemukan pada anak, tetapi gambaran
klinis asma pada anak sangat bervariasi, bahkan berat-ringannya serangan dan sering-
jarangnya serangan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Akibatnya kelainan ini kadang kala
tidak terdiagnosis atau salah diagnosis sehingga menyebabkan pengobatan tidak adekuat.

Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar
dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia.
SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab kesakitan
bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis
kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun
1995,  prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk, dibandingkan bronkitis
kronik 11  per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000 penduduk.

Beberapa anak menderita asma sampai mereka usia dewasa; namun dapat disembuhkan.
Kebanyakan anak-anak pernah menderita asma. Para Dokter tidak yakin akan hal ini,
meskipun hal itu adalah teori. Lebih dari 6 % anak-anak terdiagnosa menderita asma, 75 %
meningkat pada akhir-akhir ini. Meningkat tajam sampai 40 % di antara populasi anak di
kota.

Karena banyaknya kasus asma yang menyerang anak terutama di Negara kita Indonesia maka
kami dari kelompok mencoba membahas mengenai asma yang terjadi pada anak ini, sehingga
orang tua dapat mengetahui bagaimana pencegahan dan penatalaksanaan bagi anak yang
terserang asma.

 
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari asma?


2. Apa saja golongan dan jenis obat asma?
3. Bagaimana mekanisme kerja obat asma?
4. Bagaimana efek samping, dosis, farmakologi dan farmakokinetik obat asma?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian dari asma.


2. Untuk mengetahui golongan dan jenis obat asma.
3. Untuk mengetahui mekanisme kerja obat asma.
4. Untuk mengetahui efek samping, dosis, farmakologi dan farmakokinetik obat asma.

 
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi

Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi
berspon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Smeltzer, 2002). Asma adalah
obstruksi jalan nafas yang bersifat reversibel, terjadi ketika bronkus mengalami
inflamasi/peradangan dan hiperresponsif. (Reeves, 1999).

Asma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh
periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996).
Asma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan  bronkospasme
yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996). Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif
intermiten, reversibel dimana trakea dan  bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap
stimulasi tertentu. (Smeltzer, 2002).

Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronik saluran napas menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi (nafas
berbunyi ngik-ngik), sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam
menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan nafas yang
luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Seperti
diketahui, saluran napas manusia bermula dari mulut dan hidung, lalu bersatu di daerah leher
menjadi trakea (tenggorok) yang akan masuk ke paru. Di dalam paru, satu saluran napas
trakea itu akan bercabang dua, satu ke paru kiri dan satu lagi ke paru kanan. Setelah itu,
masing-masing akan bercabang-cabang lagi, makin lama tentu makin kecil sampai 23 kali
dan berujung di alveoli, tempat terjadi pertukaran gas, oksigen (O 2) masuk ke pembuluh
darah, dan karbon dioksida (CO 2 ) dikeluarkan (Anonim).

B. Gejala Klinis
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi yang lebih
pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang
disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma, keluhan tersebut
dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin
lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat.
Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing tergantung cepat atau
lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau
kelelahan otot pernapasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau tidak terdengar sama
sekali. Batuk hampir selalu ada, bahkan seringkali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain
itu, makin kental dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat.

Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk membungkuk
dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini didapati juga pada pasien
dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Tanda lain yang menyertai sesak
napas adalah pernapasan cuping hidung yang sesuai dengan irama pernapasan. Frekuensi
pernapasan terlihat meningkat (takipneu), otot bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita
tampak gelisah. Pada fase permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan
PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan
memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan
PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-
130/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam darah akibat respons
hipoksemia.

Asma atau bengek adalah suatu penyakit alergi yang bercirikan peradangan steril kronis yang
disertai serangan napas akut secara berkala, mudah sengal-sengal dan batuk (dengan bunyi
khas). Ciri lain adalah hipersekresi dahak yang biasanya lebih parah pada malam hari dan
meningkatnya ambang rangsang (hipereaktivitas) bronchi terhadap rangsangan alergis.
Faktor-faktor genetis bersama faktor lingkungan berperan pada timbulnya gejala-gejala
tersebut (Tjay dan Rahardja, 2007).

C. Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori sudah diajukan,
akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan parasimpatis (hiperaktivitas saraf
kolinergik), gangguan simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor
alfa adrenergik).Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3
tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik,
seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin), dan spora
jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi
2. Intrinsik (nonalergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap penctus yang tidak spesifik
atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi
saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan
dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronis dan emfisema.
Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari  bentuk alergik dan
non-alergik. Berdasarkan keparahan penyakit (derajat asma):
a) Asma intermiten
Gejala muncul < 1 kali dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam beberapa jam atau
hari, gejala asma malam hari terjadi < 2 kali dalam 1 bulan, fungsi paru normal dan
asimtomatik di antara waktu serangan, Peak Expiratory Flow (PEF) dan Forced
Expiratory Value in 1 second (FEV1) > 80%.
b) Asma ringan
Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari, eksaserbasi
mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi > 2 kali dalam 1
bulan, PEF dan FEV1 > 80% .
c) Asma sedang (moderate)
Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma
malam hari terjadi >1 kali dalam 1 minggu, menggunakan inhalasi beta 2 agonis kerja
cepat dalam keseharian, PEF dan FEV1 >60% dan < 80% .
d) Asma parah (severe)
Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala asma malam hari sering
terjadi, aktifitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan FEV1 < 60% .
D. Klasifikasi

Derajat Gejala Gejala malam Faal paru


Gejala kurang dari
1x/minggu Kurang dari 2 kali dalam
Intermiten APE > 80%
sebulan
Asimtomatik
Gejala lebih dari
1x/minggu tapi
kurang dari 1x/hari
Lebih dari 2 kali dalam
Mild persistan APE >80%
sebulan
Serangan dapat
menganggu aktivitas
dan tidur
Setiap hari,

Serangan 2
kali/seminggu, bisa
berhari-hari.
Moderate
Lebih 1 kali dalam seminggu APE 60-80%
persistan
Menggunakan obat
setiap hari

Aktivitas & tidur


terganggu
Gejala Kontinyu

Severe
Aktivitas terbatas Sering APE <60%
persistan

Sering serangan

E. Manifestasi Klinik
Manifestasi kinik pada pasien asma adalah batuk, dyspne, dari wheezing. Dan pada sebagian
penderita disertai dengan rasa nyeri dada pada penderita yang sedang bebas serangan tidak
ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam,
gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot  bantu pernafasan
bekerja dengan keras. Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu:
1. Tingkat I
Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru. Timbul  bila ada
faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test provokasi  bronkial di
laboratorium.
2. Tingkat II
Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan adanya tanda-
tanda obstruksi jalan nafas. Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
3. Tingkat III
Tanpa keluhan. Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan
nafas. Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali.
4. Tingkat IV
Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing. Pemeriksaan fisik dan
fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
5. Tingkat V
Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang berat
bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai. Asma pada dasarnya
merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel. Pada asma yang berat dapat
timbul gejala seperti : Kontraksi otot-otot  pernafasan, cyanosis, gangguan kesadaran,
penderita tampak letih, takikardi.

F. Patofisiologi
Serangan asma terjadi karena adanya gangguan pada aliran udara akibat penyempitan pada
saluran napas atau bronkiolus. Penyempitan tersebut sebagai akibat adanya arteriosklerosis
atau penebalan dinding bronkiolus, disertai dengan peningkatan ekskresi mukus atau lumen
kental yang mengisi bronkiolus, akibatnya udara yang masuk akan tertahan di paru-paru
sehingga pada saat ekspirasi udara dari paru-paru sulit dikeluarkan, sehingga otot polos akan
berkontraksi dan terjadi peningkatan tekanan saat bernapas. Karena tekanan pada saluran
napas tinggi khususnya pada saat ekspirasi, maka dinding bronkiolus tertarik kedalam
(mengerut) sehingga diameter bronkiolus semakin kecil atau sempit, dapat dilihat seperti
pada Gambar. (Cunningham, 2003).

Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar
bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda
asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai
berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi
Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi
dengan antigen spesifikasinya.

Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru
yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup
alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang
telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient),
faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua factor-faktor ini akan
menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang
kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan
tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.

Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi
karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar
bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah
akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.
Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi
sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional
dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran
mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest (dada
berbentuk tong). Dada tong adalah akibat pembesaran volume paru karena obstruksi aliran
udara (Damgraad, 2000).
G. Pencegahan
5. Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi
6. Menghindari kelelahan
7. Menghindari stress psikis
8. Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin
9. Olahraga renang, senam asma.

H. Pengobatan
1. Anti Alergerika
Adalah zat – zat yang bekerja menstabilkan mast cell, hingga tidak pecah dan
melepaskan histamin. Obat ini sangat berguna untuk mencegah serangan asma dan
rhinitis alergis (hay fever). Termasuk kelompok ini adalah kromoglikat. β-2
adrenergika dan antihistamin seperti ketotifen dan oksatomida juga memiliki efek ini.
2. Bronkodilator
Mekanisme kerja obat ini adalah merangsang sistem adrenergik sehingga
memberikan efek bronkodilatasi. Termasuk kedalamnya adalah :
3. Agonis Reseptor Beta-2 Adrenergik
Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang mempunyai durasi
kerja panjang lebih dari 12 jam. Mekanisme kerja obat beta2-agonis adalah melalui
aktivasi reseptor beta2-adrenergik yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase
yang meningkatkan konsentrasi siklik AMP. Beta2-agonis long acting inhalasi
menyebabkan relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan klirens mukosiliar,
menurunkan permeabilitas vaskuler dan dapat mengatur pelepasan mediator dari sel
mast dan basofil. Juga menghambat reaksi asma segera dan lambat setelah terjadi
induksi oleh alergen, dan menghambat peningkatan respon saluran nafas akibat
induksi histamin. Walaupun posisi beta2-agonis inhalasi long acting masih belum
ditetapkan pasti dalam penatalaksanaan asma, studi klinis mendapatkan bahwa
pengobatan kronis dengan obat ini dapat memperbaiki skor gejala, menurunkan
kejadian asma nokturnal, memperbaiki fungsi paru dan mengurangi pemakaian
beta2-agonis inhalasi short acting.
Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler, tremor otot skeletal dan
hipokalemi. Mekanisme aksi dari long acting beta2-agonis oral, sama dengan obat
inhalasi. Obat ini dapat menolong untuk mengontrol gejala nokturnal asma. Dapat
dipakai sebagai tambahan terhadap obat kortikosteroid inhalasi, sodium kromolin
atau nedokromil kalau dengan dosis standar obat-obat ini tidak mampu mengontrol
gejala nokturnal. Efek samping bisa berupa stimulasi kardiovaskuler, kelemahan dan
tremor otot skeletal.Contoh obat:
 Salbutamol
Dosis. Aerosol: 90mcg (base)/ actuation (equivalent to 108mcg albuterol sulfate).
Syrup: 2mg/5ml. Tablet: 2-4mg.
Farmakokinetik. Absorpsi: Onset: 25 menit (Ventolin HFA); 0,5-2 jam
(nebulization); 2-3 jam (PO). Durasi: 4-6 jam (PO). Peak plasma time: 2-5 jam
(inhalasi); 2-2,5 jam (PO). Distribusi: Ikatan protein 10%. Metabolisme: di hati.
Eliminasi: T½: 3-8 jam (inhalasi); 3,7-5 jam (PO). Ekskresi: melalui urin.
 Terbutalin
Dosis. Tablet: 2,5-5 mg. Cairan injeksi: 1mg/ml.
Farmakokinetik. Onset: 30-45 menit (PO); 6-15 menit (SC). Durasi: 90 menit – 4
jam. Peak plasma time: 30-60 menit. T½: 11-16 jam. Ikatan protein: 25%.
Absorbtion: 33-50%. Metabolisme: Sebagian di hati. Ekskresi: 60% melalui urin,
hingga 3% feses via bili.
 Salmeterol
Dosis. Serbuk: 50mcg/inhalasi.
Farmakokinetik. Peak serum time: 20 menit. T½: 5,5 jam. Onset: 30-48 menit.
Durasi: 12 jam. Ikatan protein: 96%. Metabolisme: di hati. Ekskresi: 60% melalui
feses; 25% melalui urin.
4. Golongan Theophylline
Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada penatalaksanaan
asma. Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi
mungkin karena teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase (PDE)
isoenzim PDE IV, yang berakibat peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan
bronkodilatasi.
Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek
antiinflamasi. Teofilin secara bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat
segera setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan teofilin
berpengaruh baik terhadap inflamasi kronis pada asma. Banyak studi klinis
memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin lepas lambat efektif
dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena mempunyai
masa kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol gejala nokturnal yang
menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi. Efek sampingnya adalah
intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem organ yang berlainan.
Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang paling sering. Pada
anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan kematian. Efek kardiopulmoner
adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat pernafasan.
Contoh obat:
 Teofilin
Dosis. Dewasa 130-150 mg, jika diperlukan dapat dinaikkan menjadi 2 kalinya. Anak
6-12 tahun: 65-150 mg, kurang dari 1 tahun: 65-75 mg, 3-4 kali sehari sesudah
makan.
Indikasi. Obstruksi saluran napas reversibel, asma akut berat.
Efek Samping. Takikardia, palpitasi, mual dan gangguan saluran cerna yang lain,
sakit kepala, stimulasi sistem saraf pusat, insomnia, aritmia, dan konvulsi terutama
bila diberikan melalui injeksi intravena cepat.
Farmakokinetik. Absorpsi: Onset: Bervariasi. Durasi: Bervariasi. Peak plasma time:
1-2 jam. Distribusi: Ikatan protein: 40-55%. Metabolisme: di hati oleh CYP1A2 dan
CYP3A4. T½: 8 jam (nonsmoker), 4-5 jam (smoker). Ekskresi: melalui urin.
5. Antikolinergik
Obat antikolinergik (contohnya atropin dan ipratropium bromida) bekerja dengan
menghalangi kontraksi otot polos dan pembentukan lendir yang berlebihan di dalam
bronkus oleh asetilkolin. Lebih jauh lagi, obat ini akan menyebabkan pelebaran
saluran udara pada penderita yang sebelumnya telah mengonsumsi agonis reseptor
beta2-adrenergik.
 Ipratropium Bromida
Mekanisme kerja Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik
(parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis
kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu
dan tidak bersifat sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat
antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan
seromukus mukosa hidung.
Dosis. Aerosol: 2 inhalasi (36 mcg) empat kali sehari. Larutan: Dosis yang umum
adalah 500 mcg (1 unit dosis dalam vial), digunakan dalam 3 sampai 4 kali sehari
dengan menggunakan nebulizer oral, dengan interval pemberian 6-8 jam. Larutan
dapat dicampurkan dalam nebulizer jika digunakan dalam waktu satu jam.
Indikasinya adalah digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan
bronkodilator lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam
pengobatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif
kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema. Kontra indikasi. Hipersensitif
terhadap ipratropium bromida, atropin dan turunannya.
Farmakokinetik. Absorpsion: Onset: 15 menit. Durasi: 3-4 jam. Peak plasma time:
1-3 jam. Distribusi: Ikatan protein: 0,9%. Metabolisme: di hati. Eliminasi: T½: 2 jam.
Ekskresi: 46% melalui urin.
 Tiotropium Bromida
Mekanisme kerja Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya
digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan
efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga
terjadi bronkodilasi.
Indikasi dari Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis dan
emfisema.
Farmakokinetik. Absorpsi: Bioavailabilitas: 19,5%. Onset: 30 menit. Durasi: >24
jam. Time to peak effect: 1-4 jam. Distribusi: Ikatan protein: 72%. Metabolisme: di
hati melalui oksidasi CYP450-dependent dan glutathione konjugasi. T½: 5-6 hari.
Ekskresi: melalui urin.
6. Penstabil Sel Mast
 Kromolin Natrium
Mekanisme kerja kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak
mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau
aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin
dan SRS-A ( Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
Dosis. Larutan nebulizer: dosis awal 20 mg diinhalasi 4 kali sehari dengan interval
yang teratur. Oral. Dewasa : 2 ampul, 4 kali sehari, 30 menit sebelum makan dan
saat menjelang tidur. Anak – anak 2 – 12 tahun: satu ampul, 4 kali sehari, 30 menit
sebelum makan dan saat menjelang tidur.
Indikasi. Asma bronkial (inhalasi, larutan dan aerosol) : sebagai pengobatan
profilaksis pada asma bronkial. Kromolin diberikan teratur, harian pada pasien
dengan gejala berulang yang memerlukan pengobatan secara reguler.
Kontra Indikasi. Hipersensitif terhadap kromolin atau komponen sediaan.
Farmakokinetik. Bioavailabilitas: 0.5-2%. Peak plasma time: 15 menit. T½: 80-90
menit. Onset: 2-6 minggu (PO). Durasi: 6 jam. Ekskresi: 98% melalui feses
(unabsorbed drug), <0,5% melalui urin.
Efek Samping. Efek samping yang paling sering terjadi berhubungan dengan
penggunaan kromolin (pada penggunaan berulang) meliputi saluran pernapasan:
bronkospasme (biasanya bronkospasma parah yang berhubungan dengan penurunan
fungsi paru-paru/FEV1), batuk, edema laringeal (jarang), iritasi faringeal dan napas
berbunyi.
 Nedokromil Natrium
Mekanisme kerja. Nedokromil akan menghambat aktivasi secara in vitro dan
pembebasan mediator dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk
eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil
menghambat perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut
terhadap antigen terinhalasi.
Indikasi. Nedokromil diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai terapi
pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih pada asma
ringan sampai sedang.
Dosis. 2 inhalasi , empat kali sehari dengan interval yang teratur untuk mencapai
dosis 14 mg/hari.
Efek Samping. Efek samping yang terjadi pada penggunaan nedokromil bisa berupa
batuk, faringitis, rinitis, infeksi saluran pernapasan atas, bronkospasma, mual, sakit
kepala, nyeri pada dada dan pengecapan tidak enak.
Kontra Indikasi. Hipersensitif terhadap nedokromil atau komponen sediaan.
7. Agonis Leukotrien
Contoh obat ini ; montelucas, zafirlucas dan zileuton merupakan obat terbaru untuk
membantu mengendalikan asma. Obat ini mencegah aksi atau pembentukan
leukotrien (bahan kimia yang dibuat oleh tubuh yang menyebabkan terjadinya gejala-
gejala asma).
 MONTELUCAS
Farmakokinetik. Absorpsi: Bioavailabilitas: 64%. Peak plasma time: 3-4 jam
(tablet); 2-2,5 jam (tablet kunyah); 1-3 jam (granul). Distribusi: Ikatan protein:
>99%. Metabolisme: oleh CYP3A4 dan CYP2C9. Eliminasi: T½: 2,7-5,5 jam.
Ekskresi: 86% melalui feses, 0,2% melalui urin.
 Kortikosteroid
Mekanisme kerja antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara pasti.
Beberapa yang ditawarkan adalah meniadakan efek mediator seperti peradangan.
Daya antiradang ini berdasarkan blokade enzim fosfolipase A2 sehingga membentuk
mediator peradangan prostaglandin dan leukotrien dari asam arakhidonat tidak
terjadi. Kortikosteroid menghambat mekanisme kegiatan alergen yang melalui IgE
dapat menyebabkan degranulasi sel mast juga akan meningkatkan reseptor
β2sehingga efek βmimetik diperkuat. Studi tentang kortikosteroid inhalasi
menunjukkan kegunaannya dalam memperbaiki fungsi paru, mengurangi
hiperrespon saluran nafas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan beratnya
eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Dosis tinggi dan jangka panjang
kortikosteroid inhalasi bermanfaat untuk pengobatan asma persisten berat karena
dapat menurunkan pemakaian koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi
efek samping sistemik.
Indikasi Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang
memerlukan kortikosteoid sistemik, pasien yang mendapatkan keuntungan dari
penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan asma dan terapi profilaksis pada
anak usia 12 bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien asma
yang dapat diterapi dengan bronkodilator dan obat non steroid lain, pasien yang
kadang-kadang menggunakan kortikosteroid sistemik atau terapi bronkhitis non
asma.
Contoh obat:
 Metilprednisolon
Dosis: Tablet. Dewasa: 2-60 mg dalam dosis terbagi. Anak-anak: 0,117-1,60 mg/kg
BB setiap hari dalam dosis terbagi.
Farmakokinetik. Absorpsi: Onset: 1-2 jam (PO); 4-8 hari (IM); 1 minggu
(Intraarticular). Durasi: 30-36 jam (PO); 1-4 minggu (IM). Peak plasma time: 31
menit (IV). Distribusi: Vd: 0,7-1,5 L/kg. Metabolisme: di hati secara ekstensif.
Eliminasi: T½: 3-3,5 jam. Ekskresi: utamanya melalui urin, sedikit melalui feses.
 Inhalasi Flutikason
Dosis. Aerosol. Usia ≥ 12 tahun: Pasien yang sebelumnya menjalani terapi asma
dengan bronkodilator saja : 88 mcg dua kali sehari. Pasien yang sebelumnya
menjalani terapi asma dengan kortikosteroid inhalasi : 88 – 220 mcg sehari. Pasien
yang sebelumnya menjalani terapi asma dengan kortikosteroid oral, dosis maksimum
880 mcg dua kali sehari.
Farmakokinetik. Absorpsi: Bioavailabilitas: 30%. Onset: 24 jam (maksimal, 1-2
minggu). Distribusi: Ikatan protein: 99%. Vd: 4,2 L/g. Metabolisme: di hati oleh
CYP3A4. Eliminasi: T½: 11-12 jam. Ekskresi: melalui feses (parent drug), <5%
melalui urin.
Efek samping terjadi pada 3% atau lebih pasien seperti sakit kepala, faringitis,
kongesti hidung, sinusitis, rhinitis, infeksi saluran pernapasan atas, influenza,
kandidiasis oral, diare, disfonia, gangguan menstruasi, hidung berair, rhinitis alergi
dan demam.
8. Antihistamin (Ketotifen, Oksatomida, Tiazinamium dan Deptropin)
Obat ini memblokir reseptor histamin sehingga mencegah bronchokonstriksi. Banyak
antihistamin memiliki daya antikolinergika dan sedatif.
9. Ekspektoransia (KI, NH4Cl, Bromheksin, Asetilsistein)
Efeknya mencairkan dahak sehingga mudah dikeluarkan. Pada serangan akut, obat
ini berguna terutama bila lendir sangat kental dan sukar dikeluarkan. Mekanisme
kerja obat ini adalah merangsang mukosa lambung dan sekresi saluran napas
sehingga menurunkan viskositas lendir. Sedangkan Asetilsistein mekanismenya
terhadap mukosa protein dengan melepaskan ikatan disulfida sehingga viskositas
lendir berkurang.
I. Interaksi Obat

Interaksi Efek
Perangsangan sistem saraf pusat berlebihan disertai
gelisah, agitasi, tremor, takhikardia, palpitasi jantung,
demam, hilangnya koordinasi otot, pernapasan yang
Obat asma kelompok epinefrin dan
cepat dan dangkal, insomnia, pada kasus yang berat
teofillin -stimulan lain
dapat terjadi kenaikan tekanan darah yang berbahaya,
ditandai sakit kepala, gangguan penglihatan, atau
kebingungan.
Efek epnefrin akan meningkat. Akibatnya dapat
Kelompok epinefrin – antidepresan terjadi aritmia jantung atau kenaikan tekanan darah
jenis siklik yang berbahaya. Gejalanya kelainan jantung, sakit
kepala, demam, gangguan penglihatan
Kelompok epinefrin – obat jantung Merangsang jantung berlebihan akibatnya
digitalis kemungkinan terjadi aritmia jantung
Efek teofilin meningkat. Akibatnya terjadi efek
Kelompok teofilin – simetidin
samping merugikan yang banyak.
Efek teofilin meningkat akbatnya efek samping
Kelompok teofilin- vaksin influenza
merugikan banyak.
Kelompok teofilin-antibiotik Efek teofilin meningkat. Akibatnya efek samping
eritromisin merugikan terlalu banyak
Efek teofilin meningkat akibatnya efek samping yang
merugikan akibat teofilin. Gejalanya mual, pusing,
Kelompok teofilin – allupurinol
mudah terangsang, tremor, insomnia, takhikardia,
aritmia jantung, kejang.
Efek teofilin meningkat akibatnya terjadi efek
Kelompok teofilin – troleondomisisn
samping merugikan yang banyak
Menyebabkan penurunan tekanan darah yang
Kelompok epinfrin – antipsikotika berbahya. Akibatnya pusing, lemah, pingsan,
kemungkinan terjadi kejang atau syok.
Efek epinefrin akan dilawan. Akibatnya saluran
Kelompok epinefrin – obat jantung
bronkhus paru-paru kurang terbuka sehingga tidak
pemblok beta
dapat menanggulangi asma
Kelompok epinefrin – obat diabetes Efek obat diabetes berkurang. Akibatnya kadar gula
darah tetap tinggi. Gejalanya haus dan lapar
berlebihan, pengeluaran urin yang tak banyak seperti
biasa, mengantuk, lelah, berat badan menurun
Kelompok epinefrin – obat Efek obat hipertensi diantagonis. Akibatnya tekanan
hipertensi darah tidak dapat dikendalikan dengan baik
Efek teofilin berkurang. Akibatnya asma tidak
Kelompok teofilin – alkohol
terkendali dengan baik.
Efek teofilin berkurang. Akibatnya asma tidak
kelompok teofilin – barbiturat
terkendali baik.
Efek teofilin berkurang. Akibatnya asma tidak
Kelompok teofilin – rokok
terkendali baik
Efek fenitoin berkurang. Akibatnya kemungkinan
Kelompok teofilin – fenitoin
terjadi aritmia jantung
Efek litium berkurang. Litium adalah antipsikotika
yang digunakan untuk mengobati kelainan manik
Kelompok teofilin – litium
depresif. Akibatnyua kondisi yang ditangani tidak
terawasi baik
Efek obat teofilin berkurang. Akbatnya asma tidak
Kelompok teofilin – trankuilansia
terkendali baik

(Harkness, 1989)

J. Interaksi Obat dengan Makanan

No Obat Makanan Interaksi Efek


1. Teofilin Kopi Efek obat asma dapat meningkat. Sinergis
2. Aminofilin Coklat Sinergis
3. Difilin      Kola dan Obat asma melebarkan jalan udara dan Sinergis
Minuman memudahkan pernapasan penderita asma.
Ringan
Akibatnya: mungkin terjadi efek samping
merugikan karena terlalu banyak teofilin
disertai gejala mual, pusing, sakit kepala,
Bunga
Kembang
4. Epinefrin Sepatu Efek obat asma dapat meningkat. Sinergis
(Hibiscus rosa
sinensis L)
Asam Jawa
5. Epinefrin (Tamarindus Efek obat asma dapat meningkat. Sinergis
indica,Linn.)

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

 Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronik saluran napas menyebabkan


peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi (nafas berbunyi ngik-ngik), sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-
batuk terutama malam menjelang dini hari.
 Golongan obat asma antara lain golongan Bronkodilator yang terdiri dari Agonis
Reseptor Beta-2 Adrenergik; Golongan Theophylline; Antikolinergik; Penstabil Sel
Mast; dan Agonis Leukotrien, Kortikosteroid, Antihistamin, dan Ekspektoran.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Makalah (Asma). http://www.academia.edu. Diakses tanggal 16 Mei 2015


Anonim. 2009. Asma Bronkial. http://www.scribd.com. Diakses tanggal 16 Mei 2015.
Anonim. 2011. Sekilas Tentang Penyakit Asma. http://www.majalahkesehatan.com. Diakses :
19 Mei 2015.
Anonim. 2013. Asma Kronis & Nonkronis. http://www.asma.web.id. Diakses tanggal 16 Mei
2015.
Anonim. 2013. 3.1.1 Teofilin. http://www.pionas.pom.go.id. Diakses tanggal 19 Mei 2015.
Cunningham, Gary. 2003. Williams Obstetrics 21 Edition. McGraw-Hill Companies : USA.
Joseph, Dipiro. Pharmacoteraphy a Pathophisiologic Approach, 5th edition. Mc Grow-Hill
Medical Publishing Division.
Harkness, R. 1989. Interaksi Obat. Diterjemahkan oleh: Goeswin Agoes. Penerbit ITB:
Bandung.
Reeves, C. J. dkk. 1999. Keperawatan Medikal Bedah. Salemba Medika: Jakarta.
Sharma, Girish D.2014. Pediatric Asthma Medication. www.emedicine.medscape.com.
Diakses 14 Juni 2015.
Smeltzer, Suzanne C, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth edisi 8 vol. 1,2. Alih bahasa oleh Agung Waluyo dkk. EGC: Jakarta.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. edisi 6. Penerbit Gramedia:
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai