0 Gayo Lues
0 Gayo Lues
Etnik Gayo
Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam
Penulis :
1. Yunita Fitrianti
2. Fahmi Ichwansyah
3. Ari Wahyudi
4. Saifullah
5. Niniek Lely Pratiwi
Editor :
1. Niniek Lely Pratiwi
ISBN : 978-602-235-234-1
Katalog :
No. Publikasi :
Ukuran Buku :
Diterbitkan oleh :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam iii
iv Buku Seri Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak 2012
KATA PENGANTAR
Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dila
kukan ?
Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di
Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional,
sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan
rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan,
maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi
salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat.
Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif
mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan
berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous
knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan
inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan
masyarakat dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Dengan
demikian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa
kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan
meningkatkan status kesehatan di Indonesia.
Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri
hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan
di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna
menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar
dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak
dengan memperhatikan kearifan lokal.
Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan.
Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah
pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih
kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam v
penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian
Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora
untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012,
sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan, karena hanya dengan
rahmat dan karuniaNya Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012
ini dapat diselesaikan. Buku seri merupakan hasil paparan dari penelitian
etnografi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang merupakan langkah konk-
rit untuk memberikan gambaran unsur budaya terkait KIA yang berbasis
ilmiah.
Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi prioritas utama
Program pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia. Penyelesaian
masalah KIA belum menunjukkan hasil sesuai harapan yaitu mencapai
target MDGs berupa penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi
102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 23/1000
kelahiran hidup pada tahun 2015. Upaya medis sudah banyak dilakukan,
sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap
status Kesehatan Ibu dan Anak. Faktor non medis tidak terlepas dari
faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada.
Melalui penelitian etnografi ini, diharapkan mampu menguak sisi
budaya yang selama ini terabaikan. Budaya memiliki kekhasan tertentu,
sehingga pemanfaatan hasil penelitian ini memerlukan kejelian pelak-
sana atau pengambil keputusan program kesehatan agar dapat berdaya
guna sesuai dengan etnik yang dipelajari. Kekhasan masing-masing etnik
merupakan gambaran keragaman budaya di Indonesia dengan berbagai
permasalahan KIA yang juga spesifik dan perlu penanganan spesifik pula.
Harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk mema-
hami budaya setempat dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mengurai
dan memecahkan permasalahan KIA pada etnik tertentu.
Ucapan terimakasih khususnya kepada tim peneliti dan seluruh pihak
terkait merupakan hal yang sudah selayaknya. Kerja keras dan cerdas,
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam vii
tanpa kenal lelah, merupakan bukti integritasnya sebagai peneliti Badan
Litbangkes.
Akhir kata, bagi tim peneliti, selamat berkarya untuk kemajuan ilmu
pengetahuan dan keejahteraan masyarakat. Semoga buku ini bermanfaat
bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Wabillahitaufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ix
9. Bapak Kepala Desa Tetingi, sekretaris desa, tokoh masyarakat,
kader kesehatan, bidan kampung, dukun kampung, dan seluruh
masyarakat Desa Tetingi yang telah memberikan banyak informasi
dan menjadikan kami “keluarga” selama penelitian berlangsung;
10. Bidan Desa Tetingi yang telah sangat membantu dalam melan
carkan proses penelitian;
11. Ibu Siti Luksitasari sebagai penanggung jawab administrasi dan
birokrasi; serta
12. Bapak, ibu, dan handai taulan lain yang tidak dapat kami sebut
kan satu per satu.
Tim peneliti
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam xi
3.6 Perawatan Bayi........................................................................................................................... 94
3.7 Makanan Bayi dan Masa Menyusui.................................................................. 99
3.8 Balita dan Anak.......................................................................................................................... 102
3.9 Health Seeking Behavior dalam Kesehatan
Ibu dan Anak................................................................................................................................. 108
BAB IV TENAGA KESEHATAN DI MATA MASYARAKAT DESA TETINGI..... 111
BAB V POTENSI DAN KENDALA DALAM PEMBANGUNAN
KESEHATAN IBU DAN ANAK DI DESA TETINGI............................................ 115
5.1 Masa Hamil..................................................................................................................................... 116
5.2 Persalinan. ........................................................................................................................................ 118
5.3 Pasca-persalinan....................................................................................................................... 120
5.4 Intisari.................................................................................................................................................... 121
BAB VI SIMPULAN................................................................................................................................................ 123
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................................... 125
Glosarium............................................................................................................................................................... 127
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam xiii
DAFTAR GRAFIK
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam xv
DAFTAR TABEL
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 1
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara holistik
aspek sejarah, geografi, dan sosial budaya yang terkait dengan kesehatan
ibu dan anak pada etnis Gayo di Desa Tetingi, Kecamatan Blang Pegayon,
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Untuk mencapai tujuan tersebut,
penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi. Dalam metode
penelitian etnografi peneliti secara langsung terjun ke lapangan mencari
fenomena dan informasi dari informan, melalui observasi partisipatori
(Ratna, 2010:88). Menurut LeCompte dan Schensul (1999 dalam Emzir,
2011:18) etnografi adalah sebuah metode penelitian yang bermanfaat
untuk menemukan pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu budaya
dan komunitas. Oleh sebab itulah, metode etnografi digunakan dalam
penelitian ini, untuk mengungkapkan dan menemukan pengetahuan yang
tersembunyi dalam budaya masyarakat DesaTetingi, khususnya penge
tahuan tentang kesehatan ibu dan anak.
Pemeriksaan Tempat
Jumlah Persalinan Persalinan
Kehamilan
No. Puskesmas Ibu oleh Tenaga
(ANC) Non-
Bersalin Kesehatan Faskes
K1 Faskes
1. Kuta Panjang 90,05% 201 89,55% 180 0
2. Blang Jerango 93,60% 165 88,48% 146 0
3. Blang Kejeren 95,10% 641 86,12% 552 0
4. Gumpang 100% 177 97,18% 171 1
5. Dabun Gelang 93,98% 127 91,34% 116 0
6. Pining 90,91% 74 81,08% 60 0
7. Pintu Rime 97,56% 39 84,62% 28 0
8. Cinta Maju 82,14% 134 79,10% 106 0
9. Rikit Gaib 100% 103 85,44% 88 0
10. Kenyaran 94,34% 102 87,25% 88 1
11. Terangun 96,73% 204 83,33% 170 0
12. Rerebe 100% 132 80,30% 106 0
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues
Grafik 1.1 Jumlah bidan dan jumlah dukun yang terdapat di Kabupaten Gayo Lues
menurut puskesmas tahun 2011.
(Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues)
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 3
Puskesmas Cinta Maju yang terdapat di Kecamatan Blang Pegayon
memiliki 12 desa yang menjadi wilayah kerjanya. Salah satu desa tersebut
adalah Desa Tetingi. Desa ini dipilih berdasarkan pertimbangan jumlah ibu
hamil yang terdapat di desa tersebut pada bulan Mei-Juni tahun 2012 lebih
banyak daripada di desa lain. Banyaknya jumlah ibu hamil di lokasi peneli-
tian diharapkan dapat memberikan banyak informasi mengenai kesehatan
ibu dan anak dan peneliti dapat melihat secara langsung aktivitas ibu hamil
dan bagaimana persalinan yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Metode pengumpulan data menggunakan metode observasi partisi
pasi, yaitu peneliti mengalami hidup bersama dengan objek penelitian dan
menjadi bagian keluarga dari masyarakat di suatu etnis (Ratna, 2010:218).
Oleh sebab itu, pada saat pengumpulan data, tim peneliti tinggal bersama
(live in) dengan masyarakat Desa Tetingi untuk mengamati perilaku masya
rakat, khususnya perilaku yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak.
Live in ini dilakukan selama kurang lebih dua bulan untuk mendapatkan
informasi, khususnya informasi yang tersembunyi tentang kesehatan ibu
dan anak.
Selain melakukan pengamatan atau observasi, pada saat tinggal ber
sama dengan masyarakat, peneliti juga melakukan wawancara dengan
beberapa warga masyarakat setempat untuk mendapatkan informasi
yang lebih mendalam. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan infor
man yang mengetahui materi yang ingin ditanyakan. Misalnya, perta
nyaan mengenai sejarah desa ditanyakan kepada tetua masyarakat
setempat; pertanyaan tentang metode persalinan oleh dukun kampung
ditanyakan kepada dukun kampung atau pasiennya; pertanyaan tentang
remaja ditanyakan kepada orang tua remaja dan remaja itu sendiri; dan
pertanyaan tentang kehamilan dan persalinan ditanyakan kepada ibu
hamil, ibu bersalin, bidan desa, kader kesehatan, dukun kampung, dan
keluarganya. Pada intinya, wawancara dilakukan dengan informan yang
dianggap mengetahui materi atau konteks yang ingin ditanyakan.
Penentuan informan dilakukan secara snowball sampling, yaitu
mencari suatu informasi dari satu informan ke informan lain sampai akh-
irnya key informant (informan kunci) tersebut ditemukan. Wawancara
dengan key informant bukan hanya dilakukan sekali, tetapi berulang kali
untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan lengkap. Peneliti juga
melakukan teknik probing dalam wawancara untuk mengeksplorasi infor-
masi yang diperoleh.
Demi validitas data, dilakukan triangulasi, yaitu proses penguatan
bukti dari individu-individu yang berbeda, jenis data (misalnya catatan
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 5
6 Buku Seri Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak 2012
BAB II
GAYO LUES, PESONA NEGERI SERIBU BUKIT
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 7
Banyak tulisan menceritakan tentang sejarah Kabupaten Gayo Lues
baik dipublikasikan melalui dunia internet maupun dalam bentuk cetak,
seperti profil kabupaten, BPS, dan sebagainya. Sejarah yang diceritakan
hampir sama, yaitu sejarah Gayo Lues dari zaman Kerajaan Aceh, zaman
Belanda, zaman Jepang, zaman kemerdekaan, sampai terbentuknya
Gayo Lues menjadi kabupaten sendiri. Namun, tulisan ini hanya akan
menceritakan tentang sejarah terbentuknya Kabupaten Gayo Lues karena
menceritakan sejarah Gayo Lues dari zaman Ke rajaan Aceh sampai ter
bentuknya Kabupaten Gayo Lues dianggap terlalu panjang. Cerita me
ngenai terbentuknya Kabupaten Gayo Lues dianggap penting dalam
tulisan ini karena peneliti ingin menggambarkan bagaimana kondisi
Kabupaten Gayo Lues sebagai kabupaten yang baru lahir di Provinsi Aceh
berpengaruh terhadap sistem pemerintahan dan sistem sosial, termasuk
sistem kesehatan.
Sebelum menjadi kabupaten sendiri, Gayo Lues termasuk dalam
wilayah administratif Kabupaten Aceh Tenggara. Karena luasnya daerah
yang harus dikoordinasi dan minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Aceh Tenggara, muncul kesan bahwa kemajuan pembangunan Gayo
Lues dianaktirikan (BPS Gayo Lues, 2005). Untuk itu, pada akhir tahun
1997 beberapa orang tua bermusyawarah di Blang Kejeren untuk mem
perjuangkan Gayo Lues menjadi kabupaten administratif (BPS Gayo Lues,
2005). Melalui proses dan perjuangan yang panjang, akhirnya pada tahun
2002 Gayo Lues menjadi kabupaten sendiri. Kabupaten Gayo Lues dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 20021 yang diresmikan pada
tanggal 2 Juli 2002 oleh Menteri Dalam Negeri (BPS Gayo Lues, 2005).
Namun, menurut pemerintah setempat, sistem pemerintahan Gayo Lues
baru berjalan pada tahun 2005. Jadi, terhitung pada tahun 2012, Kabu
paten Gayo Lues berusia 10 tahun. Dalam usia 10 tahun tersebut masih
banyak permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Gayo Lues, termasuk
masalah kesehatan, terutama kesehatan ibu dan anak.
Orang Gayo. Penduduk Gayo Lues berasal dari etnis yang beragam,
seperti etnis Gayo, Batak, Jawa, Karo, Aceh, dan sebagainya. Namun,
tidak ada data statistik yang dapat menjelaskan jumlah penduduk
Gayo Lues berdasarkan etnis. Namun menurut perkiraan salah seorang
pegawai Badan Pusat Statistik Kabupaten Gayo Lues yang juga merupakan
orang Gayo, hampir 80% penduduk Gayo Lues berasal dari etnis Gayo,
sedangkan 20% lagi berasal dari etnis lain, seperti Jawa, Batak, Karo, Aceh,
dan sebagainya.
Sebelum melanjutkan ke pembahasan selanjutnya, deskripsi menge
nai orang Gayo akan dijelaskan terlebih dulu agar orang Gayo yang di
maksud dapat dimengerti. Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan siapa
yang dimaksud dengan orang Gayo, terutama orang Gayo yang ada di
Kabupaten Gayo Lues. Penjelasan ini berdasarkan pada cerita masyarakat
setempat (folklore) dan berdasarkan beberapa literatur tentang Gayo.
Namun, literatur atau dokumen yang menjelaskan tentang orang Gayo
masih sangat terbatas.
Berdasarkan cerita tetua masyarakat setempat (folklore), seperti
Empun (kakek) Za dan Empun (kakek) Sa, kata gayo berasal dari bahasa Karo
yang berarti “kepiting besar”. Menurut sejarah atau dongeng masyarakat
setempat (folklore), dulu terdapat lubang kepiting besar yang terletak
tidak jauh dari Desa Porang (sebuah desa di Kabupaten Gayo Lues). Oleh
sebab itu, orang Karo yang pada saat itu juga merupakan penghuni Tanah
Gayo menyebut orang yang tinggal di sekitar lubang kepiting tersebut
sebagai orang Gayo. Pendapat ini hampir mirip dengan pendapat M.Z.
Abidin (1969:1 dalam Tantawi, 2011:1) yang mengatakan bahwa dalam
bahasa Batak Karo kata gayo berarti “kepiting”. Sementara itu, kata karo
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 9
sendiri juga berasal dari bahasa Gayo, yaitu ikaro yang berarti diburu atau
dikejar. Menurut cerita masyarakat setempat (folklore), orang Karo dulu
berasal dari Tanah Gayo. Namun karena mereka tidak mau masuk Islam,
mereka ikaro atau diburu. Oleh sebab itu, mereka pindah ke suatu tempat
yang sekarang diberi nama Tanah Karo yang terdapat di Sumatera Utara.
Namun cerita tersebut di atas berbeda dengan versi yang diungkapkan
oleh Melalatoa dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Gayo. Menurut
Melalatoa (1982:35), dalam berbagai tulisan dikatakan bahwa orang Gayo
adalah sekelompok orang di daerah pantai yang tidak mau masuk Islam,
karena itu mereka melarikan diri ke pedalaman. Kata gayo itu berasal dari
kata kayo yang berarti “takut” atau “melarikan diri” (lihat Said, 1961:17;
Zainuddin, 1961:26 dan 99; Team Monografi Daerah, 1975:59-60; dan
lain-lain, dalam Melalatoa, 1982:35). Berdasarkan penjelasan tersebut,
terdapat perbedaan dengan versi folklore masyarakat setempat. Menurut
folklore, orang Karo adalah orang yang tidak mau masuk Islam, sedang
kan menurut berbagai literatur seperti yang dijelaskan oleh Melalatoa,
orang Gayo-lah yang tidak mau masuk Islam. Namun, dua versi pendapat
tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena masih kurangnya
literatur yang kami temukan untuk mengungkapkan tabir sejarah orang
Gayo. Namun terlepas dari perbedaan tersebut dapat diasumsikan bahwa
orang Gayo dan orang Karo mempunyai hubungan dan keterkaitan dalam
sejarah, meskipun pada saat ini terlihat berbeda.
Orang Gayo mendiami Tanah Gayo yang meliputi pusat Pegunungan
Bukit Barisan bagian utara, yang merupakan dataran tinggi dengan keting
gian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (Wiradnyana, 2011:4).
Pegunungan Bukit Barisan yang sangat luas tersebut membuat orang Ga
yo terbagi menjadi beberapa kelompok masyarakat. Secara tradisional,
wilayah Tanah Gayo terbagi menjadi empat bagian, yaitu wilayah Lut Tawar,
wilayah Deret (daerah Jambu Aye), wilayah Gayo Lues dan Gayo Tanyo,
serta wilayah Serbejadi (Hurgronje, 1996:2-7 dalam Wiradnyana, 2011:4).
Sementara itu, Melalatoa (1982:34) membagi kelompok masyarakat orang
Gayo menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok yang terdapat di Daerah
Tingkat II (Kabupaten) Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Aceh Timur
(Gayo, 1975:1 dalam Melalatoa, 1982:34).
Orang yang berdiam di Kabupaten Aceh Tengah masih terbagi men
jadi Orang Gayo Lut dan Orang Gayo Deret, kelompok yang mendiami
Kabupaten Aceh Timur terbagi menjadi Gayo Serbejadi dan Gayo Kalul,
sedangkan kelompok yang mendiami Aceh Tenggara adalah orang Gayo
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 11
Gambar 2.2.Kondisi jalan Desa Tetingi.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)
Tetingi berasal dari kata kutetingi yang berarti kampung yang ting
gi. Mendengar namanya saja sudah dapat dibayangkan bahwa desa ini
terletak di dataran yang tinggi. Desa Tetingi terletak pada ketinggian
1.205 m dpl. Letak Desa Tetingi di dataran tinggi menyebabkan cuaca yang
dingin, tetapi surga bagi tanaman pangan sehingga hamparan sawah dan
perkebunan membentang luas di Desa Tetingi.
Adapun batasan wilayah Desa Tetingi adalah sebagai berikut. Di
sebelah timur, Desa Tetingi berbatasan dengan Desa Tebukit, di sebelah
barat berbatasan dengan Desa Kong Bur, di sebelah selatan berbatasan
dengan pengunungan, dan di sebelah utara berbatasan dengan Desa
Cinta Maju.
Sejarah Desa Tetingi. Tidak ada dokumen atau tulisan yang men
jelaskan tentang sejarah Desa Tetingi. Namun, berdasarkan cerita tetua
di Desa Tetingi yang telah hidup berpuluh-puluh tahun di sana, seperti
Empun (Kakek) Mn, Empun (Kakek) Za, dan Empun (Nenek) Ar, sebelum
menjadi sebuah desa, Tetingi adalah sebuah perladangan dan persawahan
tempat orang bekerja. Mulanya perladangan dan persawahan tersebut
hanya menjadi tempat bekerja pada siang hari, dan menjelang malam
pemilik sawah atau ladang tersebut kembali ke kampungnya yang mayo
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 13
Gambar 2.3. Denah Desa Tetingi.
(Sumber: Desain Tim Peneliti, Juni 2012)
Dua dusun ini dipisahkan oleh Sungai Aih Sekat. Namun, sejak tahun 2008
terdapat titih (jembatan) yang menghubungkan dua dusun tersebut.
Jembatan tersebut dibangun oleh pemerintah melalui PNPM. Keberadaan
jembatan tersebut memudahkan masyarakat Dusun Arul Sirep untuk
bertandang ke Dusun Tamak Nunang, begitu pula sebaliknya.
Panjang jembatan tersebut kurang lebih 40 meter, dengan lebar
1,5 meter. Di bawah jembatan tersebut mengalir Sungai Aih Sekat yang
digunakan oleh masyarakat setempat untuk memandikan jenazah. Oleh
sebab itu, sungai tersebut tidak digunakan untuk MCK karena diyakini
akan berpengaruh pada kesehatan, seperti sakit perut, sakit mata, dan
sebagainya. Hal ini seperti yang terjadi pada Je, seorang bocah laki-laki
yang berumur sekitar 10 tahun yang mengalami kebutaan pada mata
kirinya. Menurut ibunya, kebutaan yang dialami oleh Je terjadi pada saat
Je berumur sekitar 6 tahun karena mandi di bawah jembatan setelah dua
hari orang memandikan mayat di sana.
“... jangan mandi di sungai itu, apalagi di bawah jembatannya.
Kalau mau (mandi) juga, tempatnya agak ke atas sedikit. Di
bawah jembatan itu tempat orang mandiin mayat. Nanti kena
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 15
“... kira-kira tahun 70 ke bawah, kebanyakan sebagian bambu
dan 80-an ke atas, udah mulai ada sinso ..,.” jelas Aman MID.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 17
yang dilakukan oleh Kak Se, yang sempat menjadi pengasuh anak tenaga
kesehatan yang ada di sana. Meskipun tinggal di poskesdes yang telah
memiliki jamban di dalam rumah, Kak Se tetap memilih membuang air
besar di parit yang ada di depan poskesdes. Menurutnya, ada kepuasan
tersendiri ketika membuang air besar di parit.
Selain rumah penduduk, terdapat juga bangunan lain yang berdiri
di antara pemukiman penduduk. Bangunan tersebut antara lain masjid,
poskesdes, poskamling, meunasah, dan rangkang. Meunasah adalah ba
ngunan tinggi berbentuk rumah panggung yang digunakan untuk kegiatan
keagamaan, seperti tempat anak-anak mengaji, tempat merayakan Isra’
Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Acara keagamaan
tersebut dilakukan di meunasah agar semua warga masyarakat dapat
hadir, termasuk perempuan yang sedang haid. Jika acara diselenggarakan
di masjid, perempuan yang sedang haid tidak dapat masuk sehingga
tidak dapat mengikuti acara keagamaan tersebut. Oleh sebab itu, acara
keagamaan sering kali dilakukan di meunasah, sedangkan masjid digu
nakan hanya untuk shalat jumat dan shalat ied.
Di samping meunasah terdapat rangkang. Rangkang adalah ba
ngunan memanjang yang dibentuk bilik-bilik berukuran kira-kira 2 meter
x 3 meter. Terdapat enam bilik di bangunan rangkang tersebut. Salah satu
bilik rangkang tersebut dihuni oleh sebuah keluarga kecil. Pada mulanya
rangkang tersebut didirikan untuk anak laki-laki yang belajar mengaji di
meunasah. Namun, rangkang tersebut tidak lagi dihuni oleh anak laki-laki
sejak ada pesantren di Desa Cinta Maju. Di pesantren tersebut sebagian
anak laki-laki dan anak perempuan Desa Tetingi yang duduk di bangku
SMP belajar mengaji dan menimba ilmu agama, sepulang sekolah pada
siang hari sampai usai shalat Isya. Sementara itu, anak laki-laki dan juga
anak perempuan yang sedang duduk di bangku SD belajar mengaji di
meunasah setelah sholat magrib usai. Anak laki-laki dan anak perempuan
yang duduk di bangku SMP dan tidak nyantri di pesantren Cinta Maju, juga
ikut belajar mengaji di meunasah. Kadang kala mereka juga ikut mengajar
anak-anak yang baru belajar mengaji.
Selain meunasah, rangkang, dan masjid, juga terdapat poskesdes di
Desa Tetingi. Poskesdes tersebut terletak di “pojok” pemukiman warga.
Di poskesdes tersebut terdapat satu bidan desa yang tinggal bersama
dengan keluarga kecilnya. Di poskesdes inilah masyarakat Desa Tetingi
bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.
2.3.3 Kependudukan
Berdasarkan data kependudukan yang terdapat di poskesdes pada
tahun 2011, jumlah penduduk Desa Tetingi adalah 305 jiwa, yang terdiri
atas 164 laki-laki dan 141 perempuan. Mereka menghuni area pemukiman
yang terdapat di Dusun Arul Sirep dan Dusun Tamak Nunang. Tidak ada
data yang tersedia di monografi desa atau di poskesdes yang menyatakan
luas pemukiman penduduk yang dihuni oleh masyarakat Desa Tetingi.
Namun, berdasarkan perkiraan hasil observasi dan pernyataan masyarakat
setempat, hanya seperempat dari luas Desa Tetingi yang dijadikan lahan
pemukiman penduduk, sedangkan tiga per empat lainnya merupakan
lahan persawahan, perkebunan, perladangan, dan lahan kosong yang
ditumbuhi oleh rumput-rumput liar dan pohon-pohon yang menjulang
tinggi
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 19
Grafik 2.1 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur
Desa Tetingi tahun 2011.
(Sumber: Poskesdes Tetingi)
Dari 305 jiwa yang menghuni Desa Tetingi, masih banyak individu
yang buta aksara. Hal ini terlihat dari data poskesdes tahun 2011 yang
menunjukkan bahwa dari 115 perempuan yang berusia di atas 10 tahun
di Desa Tetingi, hanya ada 43 orang yang melek huruf. Sementara itu, dari
129 laki-laki yang berusia di atas 10 tahun yang ada di Desa Tetingi, hanya
ada 22 orang yang melek huruf. Tingginya jumlah buta aksara di Desa
Tetingi disebabkan oleh tidak adanya sekolah di Desa Tetingi, mulai dari
SD sampai SMA. Anak-anak di Desa Tetingi bersekolah di Desa Cinta Maju
yang jaraknya kira-kira dua kilometer dari Desa Tetingi. Tingginya angka
buta aksara di Desa Tetingi tentu berdampak pada kesehatan, apalagi
promosi kesehatan sering kali menggunakan teks tertulis yang ditempel di
tempat-tempat tertentu, seperti di fasilitas kesehatan.
Berdasarkan etnis, mayoritas masyarakat Desa Tetingi adalah etnis
Gayo. Mereka datang dari desa-desa yang terdapat di Kabupaten Gayo
Lues, seperti Desa Kuta Panjang, Kong, Pining, Terangon, Porang, dan
sebagainya. Mereka datang ke Desa Tetingi karena perkawinan. Mayoritas
pendatang adalah perempuan. Hal ini terjadi karena adanya sistem juelen
dalam perkawinan, yang akan dijelaskan pada bagian sistem perkawinan
pada bab berikutnya. Selain etnis Gayo, ada juga etnis lain yang menghuni
Desa Tetingi, seperti etnis Alas yang berasal dari Kabupaten Aceh Teng
gara dan etnis Sunda yang berasal dari Jawa Barat. Etnis Alas datang ke
Desa Tetingi karena adanya perkawinan dengan masyarakat setempat,
sedangkan etnis Sunda datang ke Desa Tetingi karena sengaja merantau
ke Gayo Lues. Berdasarkan pengamatan kami dan pernyataan masyarakat
setempat, hanya ada dua orang yang berasal dari etnis Sunda tersebut.
2.4.1 Pertanian
Berbagai jenis tanaman ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi dalam
pertanian mereka. Jenis tanaman tersebut dapat dikategorikan menjadi
dua, yaitu tanaman pangan dan tanaman non-pangan. Tanaman pangan
adalah tanaman yang dapat dimakan oleh masyarakat sebagai pangan
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 21
mereka, seperti padi, jagung, bawang merah, kacang panjang, kacang
tanah, dan cabai. Sementara itu, tanaman non-pangan adalah tanaman
yang tidak dapat dikonsumsi oleh masyarakat sebagai pangan mereka,
seperti tembakau dan serai wangi.
Sebagian tanaman pangan, seperti padi, jagung, bawang merah,
kacang panjang, kacang tanah, dan cabai dikonsumsi dan disimpan untuk
kebutuhan keluarga, dan sebagian lagi dijual ke peukan dan pajak pagi.
Peukan adalah pasar mingguan yang diadakan pada hari Sabtu di Desa
Cinta Maju, sedangkan pajak pagi adalah pasar yang diadakan setiap hari
di Blang Kejeren (ibukota Kabupaten Gayo Lues).
Hasil tanaman pangan tersebut biasanya dijual oleh ibu-ibu. Apabila
ada hasil tanaman pangan, ibu-ibu berangkat ke puekan atau pajak pagi
pada pukul 06.00 pagi hari sampai siang hari. Setelah berjualan, mereka
kembali ke rumah sambil membawa bahan makanan lain yang dapat di
konsumsi, seperti ikan, daging, ayam, telur, dan buah-buahan. Bahan
makanan tersebut dibeli dari hasil penjualan tanaman pangan. Selain
membeli bahan makanan, uang hasil penjualan sebagian juga digunakan
untuk membeli kebutuhan rumah tangga lainnya, dan sebagian lain di
tabung untuk biaya hidup lainnya serta untuk memenuhi kebutuhan
sekolah anak-anak. Mereka biasanya menginvestasikan hasil kebun ke
dalam bentuk lain, seperti emas atau sapi.
“... kalau di sini kebanyakan kerja kayak gitu ya kan, uang hasil
kebun. Itulah kalo udah dapat hasil kebunnya, sebagian kalo
ada beras, ada dia nanam padi, itu kemungkinan disimpan
ataupun dibelikannya benda atau emas, kayak sapi, supaya
disimpan, apabila keperluan dijual …,” jelas Aman Mi.
Selain dijual, hasil tanaman pangan tersebut ada yang disimpan un
tuk kebutuhan keluarga, apalagi hasil tanaman yang bisa disimpan dalam
jangka waktu lama, seperti padi. Selain disimpan, hasil tanaman pangan
tersebut juga ada yang dikeringkan untuk dijadikan bibit agar bisa ditanam
lagi, seperti bawang merah, kacang panjang, cabai, dan kacang tanah.
Berbeda dengan tanaman pangan, tanaman non-pangan ditanam
untuk dijual, seperti serai wangi dan tembakau. Serai wangi adalah salah
satu tanaman yang ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi. Setelah ber
usia 6 bulan dan menua, daun serai wangi tersebut dipotong dengan
menggunakan sabit. Orang yang memotong serai wangi tersebut adalah
pemilik dan petani upahan. Petani upahan diberi upah per hari sebesar
Rp40.000.00. Setelah dipotong, daun serai tersebut dibiarkan satu
atau dua hari untuk menghilangkan air embun yang menempel di daun
serai. Lama waktu untuk menghilangkan air embun tersebut tergantung
pada panas matahari. Air embun yang menempel di daun serai harus
dihilangkan. Jika daun serai masih dalam keadaan basah, minyak yang
dihasilkan hanya sedikit.
Setelah daun-daun serai tersebut kering dari tetesan air embun,
selanjutnya dikukus. Untuk itu, para petani serai harus menyiapkan banyak
kayu bakar untuk mengukus serai. Setelah dua jam dikukus, minyak serai
wangi tersebut akan keluar dari pipa yang mengalir dari “pucuk” drum
ke wadah yang telah disiapkan di ujung pipa. Dua drum serai yang di
kukus dapat menghasilkan satu kilogram minyak serai wangi. Minyak
tersebut dijual ke pengepul dengan harga sekitar Rp150.000,00 sampai
Rp160.000,00 per kilogram. Jika seorang petani memiliki lahan pertanian
serai sekitar dua hektar, minyak yang dihasilkan dapat mencapai 40
kilogram atau senilai sekitar Rp6.000.000,00. Namun, ketika ditanyakan
mengenai kegunaan minyak serai, para petani tersebut tidak tahu. Hal
yang terpenting bagi mereka adalah menghasilkan minyak serai lalu dijual
kepada pengepul minyak serai dan mendapatkan uang.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 23
Selai serai, tanaman non-pangan lain yang ditanam oleh masyarakat
Desa Tetingi adalah tembakau. Setelah menua dan menguning, daun-
daun tembakau tersebut dipetik lalu digulung, beberapa helai daun tem-
bakau digulung menjadi satu. Setelah digulung, daun tembakau dijepit
pada jangka. Jangka adalah alat penjepit daun tembakau yang terbuat
dari bambu. Jangka tersebut sengaja dibuat oleh petani tembakau agar
mudah memotong gulungan daun tembakau. Setelah dijepit dengan
jangka, gulungan tembakau tersebut lalu dipotong dengan menggunakan
parang yang tajam. Namun, menurut Aman So, tidak semua petani tem-
bakau pandai memotong daun tembakau, termasuk dirinya. Menurutnya,
memotong daun tembakau membutuhkan keahlian.
Setelah daun tembakau dipotong halus, selanjutnya dijemur di ba
wah sinar matahari selama kurang lebih dua atau tiga hari, tergantung
pada sinar matahari. Harga tembakau pada saat ini (bulan Juni 2012)
sekitar Rp20.000,00 per kilogram. Menurut Aman So, harga tersebut
termasuk rendah karena harga tembakau pernah mencapai Rp50.000,00
per kilogram. Satu kali panen, petani tembakau bisa menghasilkan sekitar
500 kilogram tembakau, bahkan bisa sampai berton-ton, tergantung
pada luasnya kebun tembakau. Setelah dijemur, tembakau tersebut dijual
kepada pengepul tembakau atau dijual sendiri ke pasar. Bagi perokok
rokokulung, tembakau tersebut dapat dikonsumsi bersama daun nipah.
Rokokulung adalah rokok daun nipah yang di dalamnya terdapat tembakau
yang digulung sendiri oleh si perokok.
Selain jenis tanaman tersebut di atas, ada juga buah-buahan yang
ditanam oleh masyarakat Desa Tetingi, seperti avokad dan terung belanda.
Buah-buahan tersebut ada yang dikonsumsi oleh keluarga dan ada pula
yang dijual ke pasar atau pengepul buah-buahan.
2.4.2 Peternakan
Selain pertanian, masyarakat Desa Tetingi juga memiliki ternak, se
perti ikan air tawar, sapi, ayam, dan bebek. Ternak tersebut dibeli dari hasil
penjualan tanaman pangan dan non-pangan. Hewan ternak dirawat oleh
mereka sendiri, seperti ikan air tawar di dalam kolam ikan. Di Desa Tetingi
ada banyak kolam ikan yang terbentang luas di sekitar area pemukiman
penduduk. Ikan tersebut ada yang dikonsumsi sendiri oleh keluarga pemilik
kolam dan ada pula yang dijual ke pasar atau pengepul ikan.
Selain ikan air tawar, ada juga masyarakat yang memelihara sapi.
Sapi biasanya dimasukkan di kandang di belakang rumah pada malam
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 25
membawa hasil ladang, seperti cabai, kacang panjang, dan sebagainya.
Selain membawa hasil ladang, para perempuan juga membawa kayu bakar
yang digunakan untuk memasak. Mayoritas masyarakat Desa Tetingi masih
menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak. Pada saat
tiba di rumah, dapur adalah ruang aktivitas mereka untuk memasak bagi
anggota keluarga.
Masyarakat Desa Tetingi memiliki sistem kerja sama atau gotong
royong dalam pekerjaan pertanian. Mereka menyebutnya dengan istilah
pang lo. Geuchik dan Aman MID memberikan penjelasan yang tidak jauh
berbeda mengenai pang lo tersebut. Menurut mereka, pang lo adalah
sebuah bentuk kerja sama dalam melaksanakan pekerjaan di sawah atau
di kebun, yang dilakukan secara bergantian. Misalnya, pada suatu hari kel-
uarga A membantu keluarga B memanen padi maka pada hari lain keluarga
B akan membantu keluarga A, jika keluarga A membutuhkan orang untuk
menyelesaikan pekerjaan di sawah atau di kebun. Namun, berbeda halnya
jika orang yang membantu tidak mempunyai sawah atau kebun. Misalnya,
Ibu A tidak mempunyai sawah, tetapi dia membantu Ibu B memanen padi.
Dalam hal ini Ibu A akan mendapat upah dari Ibu B atau mendapat pem-
bagian hasil panen sebagaimana yang telah disepakati bersama.
2
Lemang adalah makanan tradisional Gayo Lues yang terbuat dari beras ketan. Beras ketan tersebut
dimasukkan ke dalam bambu yang di dalamnya sudah ada daun pisang sebagai pembungkusnya.
Bambu yang sudah diisi ketan dibakar dengan menggunakan api dari kayu bakar.
3
Lepat adalah nama makanan tradisional Gayo Lues yang terbuat dari tepung beras. Tepung beras
tersebut dibentuk dan diisi parutan kelapa yang telah dicampur dengan gula merah. Setelah itu,
tepung beras tersebut dibungkus dengan menggunakan daun pisang, kemudian dikukus.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 27
percaya bahwa hal tersebut disebabkan oleh pengaruh hal gaib, seperti
blis (setan). Hal ini seperti yang dialami dan diceritakan oleh seorang
warga setempat yang berperan sebagai tenaga kesehatan berikut ini.
“Suatu ketika, anaknya selalu menangis pada saat menjelang
magrib hingga larut malam. Ia menangis sambil melihat ke
atas. Melihat kejadian tersebut, lalu bidan kampung pun da
tang dan memberikan benang pancorana yang diikat ke ping
gang anaknya. Sebelum diikat ke pinggang anaknya, benang
pancarona terlebih dulu didoakan oleh bidan kampung. Menurut
bidan kampung, ada jin yang mengganggu anaknya sehingga
ia selalu menangis pada saat menjelang magrib hingga larut
malam. ‘Memang katanya di sini (poskesdes) dulu angker se
belum dibangun,’ cerita bidan desa. Setelah diberi benang pan
corana tersebut, anaknya pun berhenti menangis. Hal ini tentu
di luar dugaan dan kepercayaan bidan desa. Menurut bidan
kampung, benang yang diikat di pinggang anaknya tidak boleh
dilepas hingga anaknya berumur dua tahun. Benang tersebut
dirancang dengan pelonggar dan pengencang tali sehingga
bisa menyesuaikan bentuk tubuh si anak.”
Masyarakat
Bagan 2.1 Sistem pemerintahan Desa Tetingi.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 29
Menurut beberapa tokoh masyarakat setempat, walaupun struktur
desa telah ditetapkan dengan Qanun dan Surat Keputusan Bupati, tetapi
budaya kepemimpinan desa masih tetap menggunakan sistem dalam
budaya Gayo yang biasa disebut jema opat. Jema opat pada masa sekarang
sudah disesuaikan dengan struktur baru, seperti reje disamakan dengan
geuchik, pegawe disamakan dengan sekdes, kaur, dan kadus, orang tue
disamakan dengan imam dan BPK, dan saudere disamakan dengan cerdik
pandai dan tokoh masyarakat.
Pendapat ini dipertegas juga oleh Pak Am yang merupakan salah
seorang pegawai BPS Kabupaten Gayo Lues, yang juga menulis tentang
sejarah Gayo Lues dalam skripsinya. Beliau menambahkan bahwa gelar
pejabat disebut kejuron. Istilah kejuron berbeda dalam setiap masyarakat.
Dalam masyarakat Gayo Lues dinamakan kejuron pejabah, dalam
masyarakat Takengon (Aceh Tengah) disebut kejuron sibanyak linge, dalam
masyarakat Lokop disebut kejuron nabok, dan dalam masyarakat Kutacane
(Aceh Tenggara) disebut kejuron nampak. Pak Am juga menjelaskan
tentang semboyan jema opat yang mempunyai makna sebagai berikut.
1. Saudere
“Saudere pong mupakat, lepas berule taring beraing, salah ber
tegak benar berpapah.” Artinya, saudara merupakan tempat bermu
syawarah, tempat meminta, dan saling membantu.
2. Urang tue
“Urang tue musidik sasat.” Artinya, orang tua akan menganggap anak
sendiri apabila menemukan ada anak yang salah. Untuk itu, mereka
akan menyelidiki dan memberi nasihat, kemudian dikembalikan pada
orang tuanya.
3. Pegawe
“Pegawe mu perlu sunet.” Artinya, orang yang mengetahui hukum
adat, pemerintahan, haram, halal, dan lain-lain.
4. Reje
Fungsi reje adalah mengawasi, berlaku adil, kasih, benar, dan suci.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 31
oleh masyarakat setempat, yang berarti kakek atau nenek Sultan. Namun,
panggilan Inen Mayak, Aman Mayak, Inen Dewi, Aman Dewi, atau Empun
Sultan hanya boleh dilakukan oleh orang yang lebih tua daripada mereka.
Apabila ada orang yang lebih muda memanggil dengan istilah tersebut
maka dianggap tidak sopan oleh masyarakat setempat. Namun, panggilan
tersebut sering digunakan dalam penyebutan secara tidak langsung (bu
kan panggilan) oleh masyarakat setempat, meskipun usianya lebih muda.
Berdasarkan istilah tersebut dapat diketahui warga masyarakat yang sudah
mempunyai anak atau cucu dan yang belum mempunyai anak atau cucu.
Selain panggilan dalam keluarga inti (nuclear family), juga ada pang
gilan dalam keluarga luas (extended family) yang terdiri atas adik dan kakak
bapak dan ibu. Adik perempuan ibu dipanggil yu dan suami yu dipangil
pakcik, sedangkan adik laki-laki ibu dipanggil pun dan istri pun dipanggil
inepun. Kakak perempuan ibu dipanggil we’ dan suami we’ dipanggil we’,
sedangkan kakak laki-laki ibu dipanggil pun dan istri pun dipanggil inepun.
Adik perempuan bapak dipanggil ebik dan suami ebik dipanggil kail,
sedangkan adik laki-laki bapak dipanggil ujang dan istri ujang dipanggil
makcik. Kakak perempuan bapak dipanggil ebik dan suami ebik dipanggil
kail. Kakak laki-laki bapak dipanggil we’ dan istri we’ dipanggil we’.
Selain terminologi panggilan dalam hubungan kekerabatan, juga
ada terminologi status dalam hubungan kekerabatan, misalnya hubung
an kakak-adik yang mempunyai jenis kelamin yang sama disebut se
rinen, sedangkan jika berbeda jenis kelamin disebut impal. Serinen juga
merupakan istilah untuk menyebutkan hubungan sepupu yang mempunyai
jenis kelamin yang sama, sedangkan hubungan jenis kelamin yang berbeda
disebut dengan.
Dalam sistem perkawinan, anak dari hubungan impal boleh menikah.
Perkawinan tersebut disebut perkawinan impal. Sebagai contoh, Ardi
mempunyai seorang adik perempuan bernama Dewi. Hubungan Ardi
dan Dewi tersebut disebut impal. Setelah dewasa, Ardi menikah dengan
pasangannya dan Dewi pun menikah dengan pasangannya. Setelah me
nikah, Ardi dan istrinya mempunyai anak laki-laki, dan Dewi dan suaminya
mempunyai anak perempuan. Hubungan anak Dewi dan anak Ardi disebut
dengan. Anak Dewi dan Ardi tersebut boleh menikah, disebut perkawinan
impal. Untuk lebih lanjut, sistem perkawinan akan dibahas pada bab
selanjutnya.
tidakboleh
Keterangan:
: Laki-laki : Perempuan
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 33
Tabel 2.1 Beberapa Perbedaan Istilah Bahasa Gayo Lues
dan Gayo Takengon
4
Sumber: http://www.bbc.co.uk diunduh pada tanggal 6 November 2012.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 35
“... orang dapat dikatakan sehat dia itu ya, bisa dia melakukan
segala aktivitas dengan lancar, terlihat segar, misal dia itu sakit,
entah flu ato batuk dia, tapi dia masih berangkat ke sawah atau
kerja walaupun jalan dia pelan-pelan, masih bisa itu dikatakan
sehat. Kalo dia di rumah tiduran, tambah sakit dia. Kalau dia itu
di rumah hanya tiduran tidak bisa bergerak, baru sakit dia ...,”
jelas Empun (Kakek) Ar, suami bidan kampung di Desa Tetingi.
“... tambah sakit gitu terus, lantaran apa, lantaran kalo orang
kayak gitu ya kan, kemungkinan pikirannya itu di rumah itu gak
cukup tambah parah penyakitnya. Kayak aku kalo aku sakit, kalo
udah tidur aku, itu dah parah. Kalo ga pergi lagi aku ke kebun,
itu dah parah.Tapi kalo bisa, bawa parang lagi, bawa cangkul
lagi, itu sedang saja.Tapi kalo orang yang sehat, dikatakan
orang yang sehat jasmani, rohani baru dikatakan orang sehat.
Walaupun banyak uang dia, kalo ga sehat jasmani atau rohani,
itu ga dikatakan sehat ...,” ungkap Aman Mi.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 37
Faktor yang ketiga adalah ulah alam gaib. Faktor ini mempunyai
persamaan dengan faktor yang kedua, yaitu sama-sama disebabkan oleh
ulah makhluk di alam gaib atau blis dalam istilah masyarakat setempat.
Namun, ada perbedaan dalam dua katergori ini. Pada faktor kedua suatu
penyakit disebabkan oleh pelanggaran suatu aturan yang dapat menye
babkan datangnya setan, sedangkan dalam faktor ketiga seseorang sakit
karena adanya gangguan dari alam gaib tanpa melanggar suatu aturan
yang ada. Sebagai contoh adalah penyakit peneni’an yang diderita oleh
Empun (nenek) Za. Peneni’an dalam bahasa Gayo Lues diartikan ditusuk
oleh setan pada bagian punggung belakang hingga menembus bagian
dada.
Selain peneni’an ada juga penyakit yang disebabkan oleh kelamun
(pelangi). Menurut masyarakat setempat, jika ada kelamun yang menghiasi
langit dengan warna-warninya, berarti pada saat itu ada makhluk gaib
yang sedang minum di suatu tempat yang tidak dapat dilihat secara kasat
mata. Menurut mitos masyarakat setempat, makhluk gaib tersebut dapat
berbentuk apa saja, seperti ular atau makhluk lain. Jika makhluk gaib
tersebut sedang minum di suatu tempat dan ada seseorang yang berada di
dekatnya pada saat dia minum, orang tersebut dapat menderita penyakit
gatal pada tubuhnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Empun (kakek) Za
pada cerita berikut ini.
Pada suatu malam, ketika usai makan malam bersama keluarga
Empun (kakek) Za, Empun (kakek) Za mengeluh sakit gatal-gatal pada
badannya.
“Ini badan saya gatal semua. Kenapa ya, Nak?” tanya Empun
(kakek) Za salah seorang peneliti.
“Gatalnya di bagian mana, Pak?” tanya peneliti kepada Empun
(kakek) Za.
“Rasanya gatal semua.Tadi saya sudah berobat ke Mentri
(mantri) di Cinta Maju, terus disuntik, dikasih obat dan salep,”
lanjut Empun (kakek) Za.
Kemudian suami Inen Za menimpali lagi, “Itu kena miang. Bapak kan
kerjanya di bawah pohon tembakau. Itu kan banyak miangnya. Kalau udah
kena miangnya itu gatal sekali,” jelasnya.
Selain tiga faktor seperti yang dijelaskan di atas, ada juga faktor
ulah manusia yang sengaja menyebabkan seseorang menjadi sakit. Hal
ini disebut tube oleh masyarakat setempat, yang artinya diguna-guna.
Tube dapat dilakukan oleh manusia melalui makanan atau minuman
yang disajikan khusus untuknya. Selain itu, tube juga dapat terjadi tanpa
media apa pun, yaitu hanya dengan mengingat wajah yang ingin disakiti.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 39
Penyakit yang disebabkan oleh tube ini seperti yang dialami oleh saudara
Kak S. Pada saat itu, saudara Kak S mempunyai penyakit pada kelaminnya.
Untuk menyembuhkan penyakit tersebut, saudara Kak S dibawa ke rumah
sakit, tetapi tak kunjung sembuh. Menurut Kak S, pihak rumah sakit
menyatakan bahwa saudara Kak S terkena penyakit kampung dan harus
diobati dengan cara kampung. Akhirnya, saudara Kak S tersebut dibawa
ke pengobat tradisional untuk mendapatkan penyembuhan. Pada saat ini,
kondisi saudara Kak S sudah membaik meskipun secara psikologis masih
belum sembuh total seperti keadaan sebelum dia sakit.
5
Kontener adalah istilah dalam masyarakat Gayo Lues untuk menyebutkan rumah sakit.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 41
Akhirnya, Empun (nenek) Za diobati dengan cara tradisional, yaitu dengan
semburan sirih oleh dukun kampung yang juga menantu Empun (nenek) Za.
Keesokan hari, seorang peneliti menjenguk keadaan Empun (nenek) Za dan
dia tampak lebih sehat daripada hari sebelumnya dan sudah melakukan
aktivitas sehari-hari seperti membuat tikar dari daun pandan duri.
Selain Empun (nenek) Za, ada juga Empun (kakek) Ar yang mengalami
penyakit benjolan besar pada pantatnya yang mirip dengan bisul. Untuk
menyembuhkan penyakitnya tersebut, Empun (kakek) Ar berobat ke
dukun kampung karena dianggap merupakan penyakit kampung yang
disebabkan oleh blis atau setan. Menurutnya, penyakit yang demikian
tidak dapat disembuhkan oleh tenaga medis di pelayanan kesehatan.
“… bawa ke kontener, enggak cocok. Enggak sembuh-sembuh. Kan
gitu-gitu aja. Enggak tau sakitnya. Kalau di kontener kan cuma diinfus …,”
jelas Empun (Kakek) Ar.
Selain dengan semburan sirih, pengobatan tradisional Gayo juga ada
dengan cara mengunjungi makam orang yang dulu adalah seorang dukun
kampung. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Empun (Nenek) Ar kepada
pasiennya yang meminta pengobatannya. Empun (nenek) Ar seorang
bidan kampung, dia mengajak pasiennya untuk melakukan pengobatan
di makam ibunya yang dulu juga merupakan seorang dukun kampung.
Berikut cerita Empun (nenek) Ar dengan pasiennya.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 43
44 Buku Seri Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak 2012
BAB III
PEREMPUAN GAYO,
DARI REMAJA SAMPAI DI BALIK BARA
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 45
dikhususkan dan diutamakan untuk beberu dan bebujang. Oleh sebab itu,
apabila ada seberu atau sebujang tidak bisa mengikuti tari Saman atau tari
Bines pada suatu acara, dia akan didenda sesuai dengan jumlah yang telah
disepakati bersama. Namun karena jumlah beberu dan bebujang di Desa
Tetingi semakin sedikit, para pelajar yang sudah remaja pun diajak untuk
menari tari Saman dan tari Bines apabila penarinya kurang.
“… tapi kalau seperti adikmu tadi yang kuliah di Jogja, misalnya
dia pulang kemari, dia kan tinggal di desa ini. Itu dicatat orang
ini menjadi sebujang dia dalam buku saja. Kalau misalnya pigi
(pergi) ke daerah mana untuk tari saman, kalau bisa dia ikut,
ikutlah. Kalau nggak, nggak apa-apa. Kalau nggak sekolah itu,
kalau nggak ikut, didenda itu …,” jelas Empun (kakek) Mn.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 47
“… alasannya kebanyakan dia kawin lari, itu penyebabnya
terutama ya kan, dia punya hp. Kalau menurut aturan, dari
umur dia sekitar 18, 17, 20 sampai ke atas. Yang kebanyakan
kalo di sini sekarang ya kan, itu ga sampe pun 14, 12, kan gitu
…,” jelas Aman Mi.
Tidak ada dokumen atau arsip desa yang menjelaskan tentang rata-
rata usia perkawinan masyarakat Desa Tetingi. Namun, berdasarkan peng
amatan dan wawancara mendalam dengan beberapa warga masyarakat
setempat, dapat diketahui usia perkawinan masyarakat Desa Tetingi
berkisar dari umur 14 tahun sampai 20 tahun, yaitu pada saat seorang
anak duduk di bangku SMP atau SMA.
Usia pernikahan yang masih dikatakan sangat muda menyebabkan
mereka (yang menikah) masih hidup bersama orang tuanya atau berada
dalam satu atap dengan orang tua mereka. Orang tua pun secara tidak
langsung bertanggung jawab untuk mengajari mereka untuk menjadi
keluarga yang mandiri. Misalnya, orang tua mengajak mereka untuk
turun ke sawah bersama, bekerja bersama dengan bapak dan ibunya, dan
memasak bersama. Untuk itu, dalam satu rumah di Desa Tetingi dapat
dihuni oleh beberapa rumah tangga. Apabila rumah tangga anak sudah
dianggap mampu untuk berdiri sendiri, orang tua akan men-jawe-kan
(memisahkan) mereka dengan cara mendirikan rumah bagi anaknya dan
menyerahkan sebagian tanah sawahnya untuk dikelola oleh anaknya.
“… itulah makanya dia kalo sekarang kayak umur gitu kawin,
itu harus tanggung jawab orang tua, kenapa-kenapa pasti
anak itu belum dapat mendirikan apanya itu, orang tua harus
tanggung jawab apa yang kekurangannya harus diapakan, ya
kan, dan lakinya itu harus cepat dia suruh mencari pekerjaan,
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 49
“… kalau makin tinggi pangkatnya, makin tinggi pula maharnya.
Kayak di bawah itu kana da pangkatnya udah tinggi. Udah
bidan. Itu diminta 25 juta dan 25 mayam …,” jelas Inen Je.
Selain unyuk, ada juga istilah teniron dalam perkawinan juelen. Dua
istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Unyuk adalah permintaan
keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki, sedangkan teniron adalan
permintaan khusus dari pengantin perempuan kepada pengantin laki-laki.
Dalam masyarakat Desa Tetingi, teniron biasanya berbentuk emas atau
benda lain yang diinginkan oleh pengantin perempuan.
“… kalau mahar untuk walinya, kalau teniron untuk yang ber
sangkutan (pengantin perempuan) …,” jelas Empun (kakek) Ar.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 51
seorang pemuda mengajak seorang perempuan ke rumah imam atau
tokoh masyarakat setempat, biasanya si pemuda bermaksud menikahi
perempuan tersebut tanpa izin dari pihak keluarga perempuan terlebih
dulu. Apabila hal ini terjadi dan perempuan tersebut menolak untuk
dinikahkan, nama baik perempuan tersebut sudah tidak ada lagi karena
dianggap telah melakukan hubungan suami istri. Dalam masyarakat Desa
Tetingi, sistem perkawinan kerje naik sering terjadi di Desa Tetingi karena
dianggap lebih murah dan lebih mudah, tidak harus melalui proses yang
panjang seperti pinangan dan pertunangan.
“… kawin lari itu cepat prosesnya. Enggak ada acara pinang
meminang, tunangan. Kalau kawin biasa (bejejeroh) kan lama,
ada pinangan, tunangan. Itu kan perlu banyak biaya. Kalau
kawin lari kan murah. Sekarang itu udah banyak yang kawin
lari. Udah biasa. Sekarang itu udah enggak sekuno dulu lagi …,”
jelas Inen Je yang merupakan pendatang dari desa tetangga.
6
Mitoni adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa yang dilaksanakan saat usia kehamilan seseorang
berusia 7 bulan dan pada kehamilan pertama kali. Maknanya adalah bahwa pendidikan bukan
saja setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim sang ibu (Bratawidjaja,
1988:21).
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 53
Tidak adanya upacara atau pesta kehamilan dalam masyarakat Gayo
tentu disebabkan oleh suatu faktor. Menurut hemat kami, faktor tersebut
berkaitan dengan pengetahuan masyarakat setempat bahwa kehamilan
seseorang harus ditutupi atau dirahasiakan agar tidak diketahui oleh orang
lain. “Merahasiakan kehamilan” inilah yang menyebabkan tidak adanya
upacara atau pesta kehamilan dalam masyarakat Gayo.
“Merahasiakan kehamilan” dalam masyarakat Gayo dilaku
kan dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah me
lalui pakaian. Pada saat hamil, si ibu akan menggunakan
sarung sebagai rok. Selain itu, ada sehelai kain panjang yang
dilingkarkan pada leher dan menjulur sampai ke perut. Hal ini
senada dengan pendapat Melalatoa (1982:89), bahwa dalam
masyarakat Gayo ada kebiasaan menyelimuti bagian tubuh
sedemikian rupa sehingga bagian perut tidak mudah dilihat
orang. Namun, menurut hemat kami, kebiasaan menyelimuti
bagian tubuh sedemikian rupa tersebut sudah mulai pudar,
khususnya dalam masyarakat Desa Tetingi. Di Desa Tetingi,
sebagian besar ibu hamil tidak lagi menyelimuti tubuhnya
sedemikian rupa untuk menutupi kehamilannya. Mereka juga
mengenakan pakaian layaknya yang dikenakan oleh kaum
perempuan pada umumnya, seperti daster, celana panjang,
dan rok sehingga kehamilan mereka pun terlihat.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 55
Gajah dapat dilihat dari pemukiman penduduk, tetapi untuk mencapai
area tersebut harus melewati tanjakan, turunan, dan kadang kala jalan
yang licin jika musim hujan. Perjalanan ditempuh kurang lebih selama 30
menit sampai 2 jam. Keadaan jalan yang demikian juga harus dilewati oleh
ibu hamil. Meskipun dalam keadaan hamil, si ibu tetap berangkat bekerja
ke ladang atau sawah yang ada di Bur Gajah. Hal ini seperti yang dilakukan
oleh Inen Ar. Meskipun kehamilannya sudah masuk bulan kedelapan,
tetapi Inen Ar tetap berangkat ke ladangnya yang terletak di Bur Gajah.
Dia berangkat pada pagi hari sekitar pukul 07.00 dan pulang pada sore
hari sekitar pukul 17.30. Pada saat pulang ke rumah, Inen Ar tidak kembali
dengan tangan hampa. Dia membawa kayu bakar dari kebunnya untuk
keperluan memasak.
Gambar 3.1. Seorang Ibu hamil sedang bejangkat kayu bakar. Hal ini dipercaya
oleh masyarakat setempat dapat melancarkan proses persalinan.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)
Selain Inen Ar, ada juga Kak Fa, seorang inen mayak yang sedang
hamil. Kak Fa berusia 20 tahun. Sama halnya dengan Inen Ar, Kak Fa juga
bekerja di ladang atau sawah untuk menanam atau memanen padi dan
tanaman lainnya. Pada sore hari, Kak Fa pulang dengan menggendong kayu
bakar di belakang punggungnya, yang dikenal dengan istilah bejangkat
dalam bahasa Gayo. Menurut Inen Mi yang juga berperan sebagai kader
kesehatan di Desa Tetingi, ketika usia kehamilan menginjak delapan bulan,
ibu hamil disarankan untuk bejangkat agar mudah melahirkan. Jika dia
tidak bisa melakukan jangkat, bisa dijunjung, yaitu kayu bakar diletakkan
di atas kepalanya.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 57
ibu hamil tidak boleh menyakiti orang lain selama hamil dan tidak boleh
melihat burung sedang terbang.
“… ibu hamil itu nti berates lo (jangan main panas hari), nti
beriyo (jangan main senja), niri nti yoyo (jangan mandi pada
waktu senja), nti beruren (jangan bermain hujan) …,” jelas
Empun (nenek) Ar, seorang bidan kampung di Desa Tetingi.
Selain Empun (Nenek) Ar, masih ada lagi bidan kampung atau dukun
kampung yang biasa mengatasi permasalahan kehamilan dan menolong
persalinan seorang ibu di Desa Tetingi, misalnya Aman Yu. Aman Yu ada
lah seorang dukun kampung berjenis kelamin laki-laki yang juga sering
membantu persalinan dan menangani masalah kehamilan. Aman Yu
bukan warga Desa Tetingi, tetapi dia sering datang ke Desa Tetingi karena
keluarga mertuanya berasal dari Desa Tetingi dan masih menetap di Desa
Tetingi. Aman Yu juga sering dipanggil oleh keluarga mertuanya untuk
menyembuhkan penyakit jika ada keluarganya yang sakit, termasuk mem
beri benang penangkal setan kepada Kak Se, adik iparnya yang sedang
hamil. Menurut Kak Se, dia diberi benang penangkal oleh Aman Yu sejak
usia kehamilannya menginjak dua bulan.
Berbeda dengan Empun (Nenek) Ar yang menggunakan benang lima
warna (pancarona), Aman Yu hanya menggunakan satu benang putih
saja. Bahan-bahan yang digunakan pun berbeda dengan yang digunakan
oleh Empun Ar. Aman Yu menggunakan rempah bungli, kencur, jerango,
kulit buah mungkur (jeruk purut), dan bungkusan kemenyan. Sama halnya
dengan Empun Ar, rempah-rempah tersebut juga dirangkai dengan benang,
kemudian diikatkan di pinggang ibu hamil. Sebelum diikat, benang anti-
hantu tersebut didoakan terlebih dulu agar setan tidak mengganggu ibu
hamil dan janinnya.
Benang pancarona atau benang anti-hantu yang digunakan oleh
ibu hamil diyakini oleh masyarakat setempat sebagai penangkal blis
(setan) yang dapat mengganggu kehamilan seorang ibu dan janinnya.
Namun kadang kala gangguan kehamilan tersebut masih terjadi, seperti
keluar darah sebelum melahirkan, sakit perut yang tak tertahankan,
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 59
dan sebagainya, padahal si ibu sudah menggunakan benang pancarona
atau benang anti-hantu. Hal ini seperti yang dialami oleh Kak Se. Pada
saat kehamilan Kak Se berusia 7 bulan, ada darah yang keluar pada saat
Kak Se buang air kecil, padahal Kak Se sudah menggunakan benang anti-
hantu di pinggangnya. Selain itu, pada usia kehamilan delapan bulan, Kak
Se juga sering mengalami sakit perut. Penyakit yang diderita oleh Kak Se
tersebut disebut rampat oleh masyarakat setempat, yaitu ada setan yang
mengganggu kehamilan Kak Se. Untuk itu, keluarga Kak Se memanggil
Aman Yu untuk mengobati Kak Se, bukannya memanggil tenaga kesehatan,
meskipun ada tenaga kesehatan di Desa Tetingi.
Obat yang digunakan untuk mengobati penyakit Kak Se tersebut
adalah obat tradisional Gayo yang dianggap dapat mengusir setan. Ada
dua macam obat rampat yang digunakan oleh masyarakat Gayo Lues, yaitu
obat air rampat dan daun kayu atau dirin kayu. Obat air rampat terdiri
atas kerpih rampat atau sesampih, air jeruk nipis, kulit pinang masak,
dan kilat jih (pucuk batang ilalang). Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke
dalam air mendidih. Setelah itu didoakan oleh bidan kampung atau dukun
kampung, kemudian diminumkan kepada ibu hamil yang sedang terkena
rampat.
Selain air rampat, obat rampat lainnya adalah daun kayu. Daun
kayu adalah sekumpulan daun-daun yang terdiri atas daun bebesi, daun
dedingin, rumput batang teguh, daun pelulut, rumput jejerun, rumput
sesampih, dan kulit batang pisang abu. Bahan-bahan tersebut dicuci dan
diikat, kemudian dimasukkan ke dalam teko. Di dalam teko tersebut sudah
ada air dan beras sebanyak setengah genggam. Teko yang berisikan daun
kayu tersebut diletakkan di atas kemenyan yang sudah dibakar. Asap yang
keluar dari kemenyan dan daun kayu tersebut diusapkan ke wajah ibu
hamil yang kena rampat sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan agar setannya
hilang. Selanjutnya air yang ada di dalam teko diusapkan ke perut ibu
hamil.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 61
kehamilan seperti yang telah diceritakan sebelumnya. Apabila seorang
ibu hamil mengalami gangguan kehamilan, mereka cenderung datang
ke bidan kampung daripada bidan desa. Hal ini berhubungan dengan
kepercayaan mereka bahwa ada setan yang mengganggu ibu hamil dan
janinnya, dan hanya bidan kampung yang dianggap bisa menghilangkan
setan dari tubuh ibu hamil tersebut.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 63
Inen Ar ditolong oleh bidan kampung yang adalah ibu kandungnya sendiri.
Meskipun jarak rumah Inen Ar dengan poskesdes sama dekatnya dengan
jarak rumahnya dengan rumah ibunya, namun Inen Ar lebih memilih dito-
long oleh ibunya karena ibunya adalah seorang bidan kampung yang telah
menolong persalinan selama bertahun-tahun. Demikian pula dengan Inen
So. Dia ditolong oleh bibinya yang tinggal di Desa Kong Bur yang jaraknya
kira-kira tiga kilometer dari rumahnya, padahal jarak poskesdes dengan
rumahnya jauh lebih dekat, hanya sekitar 500 meter. Selain Inen Ar dan
Inen So, ada juga Inen Sa, Kak My, dan Ka Su yang ditolong oleh bidan
kampung. Mereka memanggil bidan kampung untuk menolong persali-
nan karena masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka.
Hubungan kekerabatan antara ibu bersalin dan bidan kampung ini
lah tampaknya yang menjadi faktor utama mengapa bidan kampung atau
dukun kampung dipilih oleh masyarakat sebagai penolong persalinan
daripada bidan desa. Hal ini berbeda dengan bidan desa yang notabene
adalah seorang pendatang di Desa Tetingi dan tidak mempunyai hubungan
kekerabatan dengan masyarakat Desa Tetingi. Hampir setiap keluarga luas
(extended family) di Desa Tetingi mempunyai bidan kampung atau dukun
kampung. Sebagai contoh, berikut akan ditampilkan pohon kekerabatan
antara ibu bersalin dan bidan kampung dalam beberapa keluarga berikut
ini.
Keterangan :
: Laki-laki : Dukun/Dukun kampung : Balita
: Perempuan : Ibu Hamil/Bersalin
Bagan 3.1. Pohon kekerabatan antara ibu hamil atau ibu bersalin dengan dukun kampung dalam
beberapa keluarga di Desa Tetingi.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 65
Untuk mengurangi rasa sakit itu, Inen Ar pun mengambil
balsam untuk dioleskan ke perutnya yang sudah membesar
agar rasa sakit itu berkurang. Namun, ternyata rasa sakit itu
tetap terasa. Inen Ar pun mengambil air hangat yang ditaruh di
dalam botol. Botol air hangat tersebut ditaruh di atas perutnya
untuk mengurangi rasa sakit. Namun, rasa sakit itu tetap belum
berkurang. Akhirnya, dia pun membangunkan suaminya yang
sedang tidur lelap. Melihat istrinya mengeluh sakit di bagian
perut, suaminya pergi ke rumah Empun (Nenek) Ar, seorang
bidan kampung yang juga ibu kandung Inen Ar. Pada saat
suaminya pergi ke rumah ibunya tersebut, Inen Ar berjuang
sendiri untuk melawan rasa sakit itu. Tak lama berselang
setelah suaminya pergi memanggil ibunya, lahirlah seorang
bayi mungil dari rahim Inen Ar. Untungnya, tak lama setelah
bayi tersebut lahir, Empun (Nenek) Ar pun datang bersama
suaminya. Melihat si bayi telah lahir, Empun (Nenek) Ar pun
segera memotong tali pusar bayi tersebut dengan semilu
(sebilah bambu).
Keesokan harinya, salah satu anggota keluarga Inen Ar da
tang ke poskesdes yang letaknya tak jauh dari rumah Inen
Ar, kira-kira 100 meter, untuk memberitahukan kepada bidan
desa bahwa Inen Ar telah melahirkan. Setelah mendapatkan
informasi mengenai kelahiran anak keempat Inen Ar, bidan
desa pun bergegas datang ke rumah Inen Ar untuk memeriksa
keadaan Inen Ar dan menimbang bayinya. Berat bayi Inen Ar
yang berjenis kelamin perempuan tersebut adalah 3,4 kilogram.
Setelah menimbang bayinya, bidan desa pun menyuntik bagian
paha Inen Ar dan memberikan obat dan kassa untuk pusar si
bayi kepada Inen Ar. Kemudian bidan desa pun pamit untuk
pulang.
Selain Inen Ar, ada juga Inen So yang melakukan persalinan sendiri
tanpa dibantu oleh bidan kampung atau bidan desa. Pada saat itu dia
mengira anak yang dikandungnya belum tiba waktunya untuk lahir, karena
menurut perhitungannya, usia kandungannya baru berusia tujuh bulan.
Hal ini seperti yang diceritakan pada cerita berikut ini.
Inen So yang berusia sekitar 30-an tahun telah melahirkan anak
keempatnya pada bulan Mei 2012. Ia tidak menyangka anaknya akan lahir
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 67
bibinya yang tinggal di Desa Kong Bur mempunyai hubungan kekerabtan
lebih dekat daripada dengan Empun (Nenek) Ar, meskipun rumah Empun
(Nenek) Ar lebih dekat daripada rumah bibinya.
Keesokan harinya atau pada hari ketiga setelah Inen So melahirkan,
salah satu anggota tim peneliti bertandang ke poskesdes untuk mena
nyakan keadaan Inen So kepada bidan desa. Namun rupanya Bidan desa
tidak mengetahui bahwa Inen So telah melahirkan tiga hari yang lalu,
bahkan dia baru mendapatkan kabar tentang Inen So dari tim peneliti pada
saat itu. Setelah mendapat informasi mengenai kelahiran anak Inen So
dari tim peneliti, bidan desa tersebut pun datang ke rumah Inen So untuk
memeriksa Inen So dan anaknya. Ketika tiba di rumah Inen So, bidan desa
memeriksa Inen So, menyuntiknya, dan memberinya obat-obatan. Selain
itu, bidan desa juga menimbang anak Inen So. Setelah ditimbang, berat
bayi Inen So 2,8 kilogram. Bidan desa tersebut hanya menimbang bayi
Inen So, karena menurutnya pada saat dia ingin merawat tali pusar bayi
tersebut dan memberinya kassa, Inen So berkata bahwa anaknya sedang
buang air besar. Akhirnya, bidan desa tersebut mengurungkan niatnya
untuk memeriksa bayi dan memberi kassa pada pusar bayi Inen So. Oleh
sebab itu, bidan desa tersebut hanya memberikan perlengkapan kassa
untuk pusar bayi dan menjelaskan pada Inen So cara menggunakan kassa
tersebut.
Setiba di poskesdes, peneliti pun bertanya kepada bidan desa apa
kah benar usia kehamilan Inen So belum mencapai 7 bulan seperti yang
telah dijelaskan oleh Inen So sebelumnya pada peneliti. Bidan desa
tersebut menjawab bahwa usia kehamilan Inen So tersebut sudah 9
bulan dan memang sudah waktunya melahirkan. Menurut bidan desa
tersebut, memang masih banyak ibu hamil yang salah menghitung usia
kehamilannya. Untuk itu, pada saat pemeriksaan pertama atau pada saat
bertemu dengan ibu hamil, bidan desa bertanya kapan terakhir kali si ibu
mengalami menstruasi.
Inen So telah melahirkan empat orang anak. Menurutnya, empat
orang anaknya tersebut tidak ada yang dilahirkan dengan bantuan bidan
desa, bahkan anaknya yang ketiga yang sekarang berumur 6 tahun tidak
dibantu oleh bidan desa maupun bidan kampung, melainkan dibantu
oleh tetangganya, karena pada saat itu bibinya yang berada di Desa Kong
terlambat datang untuk memotong tali pusar anaknya. Tetangga Inen So
yang membantu persalinan anak ketiganya adalah Inen NA yang rumahnya
di depan rumah Inen So. Inen NA bukanlah seorang bidan kampung dan
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 69
3.4.2 Metode Bidan Kampung Menolong Persalinan
Bidan kampung di Desa Tetingi mempunyai cara atau metode tersendiri
untuk menolong persalinan. Cara atau metode tersebut dipelajari secara
turun-temurun dari ibunya, neneknya, dan nenek moyangnya, seperti
menggunakan kunyit dan minyak goreng untuk mengurut atau memijat
perut ibu hamil, menggunakan semilu untuk memotong tali pusar bayi,
dan sebagainya. Namun, kadang kala cara pertolongan persalinan satu
bidan kampung dengan bidan kampung yang lain berbeda, begitu pula
antara bidan kampung dan dukun kampung.
Menurut Empun (Nenek) Ma, salah seorang bidan kampung
yang terkenal di Desa Tetingi, apabila ibu hamil sudah sering sakit dan
diperkirakan sudah tiba waktunya untuk melahirkan, ia diberi air kopi yang
dicampur kuning telur untuk diminum. Air kopi dan kuning telur tersebut
merupakan “suntikan pemanas” atau perangsang agar cepat melahirkan.
Pendapat Empun (Nenek) Ma tersebut sama dengan yang disampaikan
oleh Empun (Kakek) Sn pada saat istrinya akan melahirkan anak-anaknya
yang kini telah dewasa. Pada saat itu, istrinya diberi air kopi yang telah
dicampur kuning telur oleh dukun kampung.
Selain kopi dan kuning telur sebagai perangsang agar cepat me
lahirkan, Empun (Nenek) Ma juga menjelaskan bahwa ada bawang
putih, mungkur (jeruk perut), dan minyak goreng yang dioleskan pada
lubang pintu lahir (vagina). Sebelum dioleskan, bahan-bahan tersebut
dicampur terlebih dulu. Ramuan ini diberikan agar vagina cepat melebar
sehingga bayi dapat keluar dengan mudah. Setelah mengoleskan bawang
putih, mungkur, dan minyak goreng tersebut, Empun (Nenek) Ma akan
menggoyang-goyangkan pinggang ibu yang akan melahirkan dengan kain
panjang agar bayi cepat keluar.
Berbeda dengan Empun (Nenek) Ma, Empun (Nenek) Ar, seorang
bidan kampung terkenal di Desa Tetingi, mempunyai cara yang berbeda
untuk membantu persalinan. Pada saat seorang ibu hamil akan mela
hirkan, Empun (Nenek) Ar akan mengurut perut ibu tersebut dengan
menggunakan minyak goreng dan bawang putih yang sudah didoakan
terlebih dulu, kemudian dioleskan ke perut ibu hamil yang akan melahirkan.
Minyak goreng dan bawang putih digunakan sebagai minyak urut untuk
membantu persalinan karena diyakini dapat menghilangkan blis (setan)
yang dapat masuk ke dalam tubuh ibu bersalin. Oleh sebab itu, menurut
Empun (Nenek) Ar, minyak goreng tidak bisa diganti dengan minyak yang
lain, seperti minyak telon dan minyak kayu putih, karena minyak-minyak
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 71
dulu dari perut ibu sebelum tali pusar si bayi dipotong. Jadi, tali pusar si
bayi tidak akan dipotong sebelum tembuni keluar. Hal ini dilakukan karena
menurut bidan kampung, bayi dan tembuni mempunyai satu kesatuan
nyawa. Oleh karena itu, jika tembuni belum keluar maka tali pusar bayi
belum bisa dipotong karena nyawa si bayi baru ada satu, sedangkan yang
satu lagi berada di tembuni yang masih di dalam perut sang ibu. Tali pusar
bayi akan dipotong setelah tembuni keluar.
“… keluar dulu (ari-ari) baru dipotong tali pusatnya. Kalau
belum keluar nggak dipotong. Satu napasnya kalau tembuni
belum keluar, satu napasnya …,” jelas Empun (Nenek) Ar.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 73
temurun. Semua yang dilakukan oleh Empun (Nenek) Ar sama dengan
yang dilakukan oleh Empun (Nenek) Ma, hanya saja kunyit dan arang dialas
dengan kapas. Pada saat pemotongan, bidan kampung mengucap doa
Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad sampai tali pusar tersebut
putus terpotong.
Gambar 3.3 Semilu untuk memotong tali pusar bayi. Di bawah semilu terdapat arang dan kunyit
sebagai penyanggah dan juga dipercaya oleh masyarakat setempat untuk mencegah datangnya
setan yang dapat mengganggu ibu bersalin dan bayinya.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)
Setelah tali pusar terpotong, tali pusar yang tersisa pada ari-ari akan
dioleskan ke bagian ketiak kiri dan kanan, pusar, dan pangkal paha kiri
dan kanan si bayi dengan tujuan agar bayi tersebut tidak mempunyai
napas yang tidak sedap, tidak ingusan, tidak ada kotoran pada matanya,
dan tidak terjadi infeksi pada telinganya. Setelah itu, bayi dimandikan
oleh bidan kampung dengan menggunakan mungkur (jeruk purut) dan air
dingin yang mengalir. Hal ini dilakukan karena menurut bidan kampung,
memandikan bayi dengan menggunakan air dingin merupakan ajaran
Nabi Muhammad yang telah diajarkan secara turun-temurun.
Setelah si bayi dimandikan, sisa potongan tali pusar yang masih
melekat pada tubuh bayi disembur dengan sirih. Caranya, sirih dan
rempah-rempah, seperti tekur (kencur), bunge lawang (bunga cengkeh),
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 75
Tidak semua ibu bersalin mengalami kemudahan dalam melahirkan
seperti Inen Ar dan Inen So pada cerita sebelumnya. Apabila ibu bersalin
mengalami masalah dalam persalinan, seperti bayi sesak (sungsang), ibu
mengeluarkan banyak darah sebelum bayi keluar, ketuban belum pecah,
dan persalinan lama, bidan kampung mempunyai cara dan obat tersendiri
untuk menanganinya.
Apabila bidan kampung mengetahui bahwa bayi di dalam perut ibu
bersalin dalam keadaan sungsang atau sesak dalam bahasa Gayo, dia akan
menggoncang-goncangkan perut ibu hamil untuk memindahkan letak
kepala si bayi. Perut ibu bersalin tersebut digoncangkan atau digoyang dari
pinggul belakang menuju ke perut depan. Hal ini dilakukan agar kepala
bayi berada di posisi bawah.
Apabila ibu bersalin mengeluarkan banyak darah tetapi bayinya
belum keluar, bidan kampung akan memberikan air beras dan air mungkur
(jeruk purut) kepada ibu yang akan melahirkan. Setelah mungkur tersebut
diperas dan mengeluarkan air, kemudian disatukan dalam sebuah wadah
dengan air beras. Air beras dan air mungkur tersebut kemudian diminum
oleh ibu bersalin, setelah didoakan terlebih dulu oleh dukun kampung.
Berdasarkan pengetahuan bidan kampung, air beras dan mungkur
tersebut berfungsi untuk menghilangkan blis (setan) yang dianggap sedang
masuk di dalam tubuh ibu bersalin atau dengan kata lain “burung sedang
bela”. Blis (setan) yang masuk ke dalam tubuh ibu bersalin tersebutlah
yang menyebabkan banyak darah yang keluar dari rahim ibu bersalin,
sedangkan si bayi belum keluar.
Selain air beras dan mungkur, ada juga obat lain yang digunakan
oleh bidan kampung untuk mengatasi pendarahan. Obat tersebut adalah
beras, kunyit, mungkur (jeruk purut), bawang putih, lebe, baing (jahe), dan
bungli. Bahan-bahan tersebut diremas-remas sampai mengeluarkan air.
Setelah itu, airnya diminum oleh ibu bersalin. Sebelum diminum, bahan-
bahan tersebut didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung. Setelah
airnya diminum, bahan-bahan tersebut diusapkan ke wajah dan seluruh
badan ibu bersalin. Fungsi obat tersebut adalah agar darah berhenti dan
setan keluar sehingga ibu yang akan melahirkan menjadi sehat.
“… kati (agar) berhenti darahnya. Beluh blis (keluar setannya).
Sehat we (sehat dia) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.
Selain dua macam obat tersebut di atas, ada obat lain lagi yang dapat
digunakan untuk menghentikan perdarahan ibu bersalin, yaitu semburan
Apabila ketuban ibu bersalin belum pecah pada saat akan melahirkan,
dukun kampung akan menusuk selaput dengan menggunakan biji padi.
“… beginilah, padi beginilah (sambil menunjukan kukunya),
masuklah ke dalam puset (vagina) itu, sunteklah rum rom
(suntiklan dengan menggunakan padi) …,” jelas Empun (Nenek)
Ar.
Namun apabila ketuban sudah pecah tetapi usia kehamilan ibu kurang
dari sembilan bulan, sang ibu dianggap terkena setan atau rampat. Apabila
hal ini terjadi maka si ibu hamil akan diberi obat ujung jih (pucuk ilalang)
dan kilet (tunas ilalang) dengan jumlah masing-masing tujuh buah. Obat
tersebut akan didoakan terlebih dulu oleh bidan kampung. Sementara itu
anak yang ada di dalam kandungan si ibu harus segera dilahirkan.
Pada saat persalinan, sang suami tidak boleh masuk ke dalam ruang
bersalin, meskipun hanya untuk sekadar menemani istrinya melahirkan.
Menurut masyarakat setempat, persalinan merupakan urusan vagina,
sehingga laki-laki akan merasa malu menemani istrinya melahirkan. Oleh
sebab itu, pada saat proses persalinan, seorang suami tidak boleh me
nemani istrinya.
7
Awasacih berasal dari kata “awas Aceh”. Awas dalam bahasa Gayo Lues berarti rempah-rempah.
Jadi awasacih adalah rempah-rempah aceh yang terdiri dari sapu laga, cengkeh keling, ketumbar,
merica, dan buah pala.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 77
seorang warga Desa Porang Ayu yang menikah dengan salah seorang
perempuan Desa Tetingi. Aman Yu sering mengobati orang sakit dan
orang yang melahirkan, contohnya Inen An, adik iparnya sendiri. Pada saat
melahirkan An, Inen An ditolong oleh Aman Yu. Namun, cara pertolongan
persalinan Aman Yu berbeda dengan bidan kampung. Bidan kampung bisa
leluasa membantu membuka vagina ibu bersalin dan mengambil bayinya
dari lubang vaginanya, namun dukun laki-laki hanya bisa membantu
dengan doa atau gerakan secara simbolik saja. Sementara itu, mengambil
bayi dan memotong tali pusar tetap dilakukan oleh perempuan yang ada
pada saat ibu itu bersalin, seperti ibunya atau ibu mertuanya.
Menurut Aman Yu, ada dua cara yang dilakukannya untuk membantu
proses persalinan seorang ibu, yaitu (1) dukun kampung akan mendoakan
kepala tepat pada ubun-ubun ibu bersalin, kemudian meniupnya, dan
(2) dukun kampung akan meletakkan kain panjang menyelimuti perut
sampai bawah lutut ibu bersalin, kemudian dukun kampung tersebut
akan mendoakan kain tersebut. Setelah didoakan, kain tersebut akan
ditarik cepat oleh dukun kampung sebagai simbol agar bayinya cepat
keluar. Sementara itu, perempuan yang ada di sekitar ibu bersalin akan
membantu mengurut perut ibu bersalin dan membuka lubang vagina agar
bayinya cepat keluar.
Berdasarkan penjelasan Aman Yu tersebut, dukun kampung hanya
bisa membantu proses persalinan dengan doa-doa dan gerakan simbolik,
sedangkan urusan perut dan vagina dilakukan oleh perempuan yang ada
di sana saat persalinan. Hal serupa juga dikatakan oleh Empun (Kakek)
Ar yang juga bisa membantu persalinan. Namun, berhubung istrinya juga
seorang bidan kampung, Empun (Kakek) Ar jarang membantu persalinan.
Menurut Empun (Kakek) Ar, seorang dukun laki-laki membantu persalinan
hanya dengan doa-doa saja, misalnya jika seorang ibu bersalin sulit
melahirkan, dukun kampung tersebut akan mendoakan segelas air putih
atau ramuan lain di luar ruangan persalinan. Kemudian air putih atau
ramuan tersebut diminum oleh ibu bersalin agar mudah bersalin.
3.5 Nite Ibu Nifas, 44 Hari Bersama Api dan Ramuan Gayo
Setelah melahirkan, ibu nifas di Desa Tetingi akan melaksanakan
prosesi nite. Dalam kamus umum Bahasa Gayo-Indonesia (Bahry, 2009:258),
nite adalah istirahat setelah melahirkan. Pada masa nite, seorang ibu nifas
akan duduk di dekat api dengan posisi duduk membelakangi api selama
44 hari. Duduk di dekat api ini disebut bedaring, dalam istilah masyarakat
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 79
Setelah siap digunakan untuk nite, dapur diletakkan di dalam ruangan
yang disepakati oleh keluarga untuk nite. Ada yang menggunakan kamar,
ada juga yang menggunakan dapur (ruang untuk memasak) untuk tempat
nite. Apabila dapur (ruang untuk memasak) disepakati sebagai tempat
nite, ibu nifas tersebut akan pindah ke dapur dan melakukan nite selama
44 hari di dapur tersebut. Namun apabila kamar disepakati sebagai ruang
untuk nite, dapur tersebut akan diangkat ke dalam ruang kamar.
Jendela yang ada di ruang nite ditutup sehingga tidak ada udara
atau angin yang masuk ke dalam ruangan tersebut. Namun, udara ma
sih bisa masuk ke dalam ruangan melalui celah-celah dinding papan
rumah. Menurut masyarakat setempat, jendela ditutup pada saat nite
agar blis tidak masuk ke dalam ruang nite, yang dapat mengganggu ibu
nifas dan bayinya. Selain itu, jendela ditutup karena kondisi alam Desa
Tetingi, biasanya angin bertiup kencang. Angin kencang dapat meniup api
nite sehingga dapat menyambar ibu nifas dan benda-benda yang ada di
sekitarnya.
Semakin dingin suhu udara di Desa Tetingi, semakin besar pula api
yang menyala. Hal ini biasanya terjadi pada malam hari atau pada saat
menjelang fajar. Begitu pula sebaliknya, apabila suhu udara di Desa
Tetingi panas, hanya baranya saja yang menyala, bahkan kadang kala tidak
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 81
bagus daripada obat dokter. Menurut mereka, obat dokter bisa mengobati
rasa sakit pada saat itu saja, sementara ramuan-ramuan tradisional
tersebut dapat menyehatkan badan sehingga dapat memberikan kekuatan
pada seorang ibu untuk bekerja, apalagi pekerjaan mayoritas masyarakat
setempat adalah berkebun yang harus menyangkul, memotong padi,
mengangkat kayu, dan sebagainya.
“… lebih jeroh wak kampung daripada wak dokter. Kene jema
tue, sebab e kite bebuet, nyangkul, bekebun, jangkat. Memang
obat dokter peh tir sehat, tapi sijep we dang idapure (Lebih
bagus obat kampung daripada obat dokter. Kata orang tua,
karena kita bekerja, menyangkul, berkebun, membawa kayu
bakar di atas punggung. Memang obat dokter juga cepat sem
buhnya, tapi sebentar Cuma waktu bedapur saja (masa nifas
saja) …,” jelas Kak Se.
Gambar 3.6 Bedak matah yang digiling dengan menggunakan gelas dengan alas piring kaca.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 83
rempah yang terdiri atas tepung beras atau tepung ketan, kunyit, baing
(jahe), mungkur (jeruk purut), bungle, dan jire item.
Biasanya tampal dibuat pada masa hamil. Semua bahan digoreng
sangrai sampai berwarna hitam. Setelah itu, bahan-bahan tersebut di
haluskan sampai berbentuk seperti kopi. Pada hari pertama pasca-
persalinan, ibu nifas sudah menggunakan tampal. Bubuk tampal tersebut
dicairkan dengan menggunakan air atau air mungkur (jeruk purut). Setelah
cair, tampal tersebut dioleskan pada seliben (dahi), tuyuh kemiring (di
bawah daun telinga), dan di bawah mata kaki. Sama halnya dengan bedak
matah, tampal digunakan setiap pagi dan sore hari setelah mandi. Menurut
pengetahuan masyarakat setempat, tampal ini mempunyai fungsi untuk
mencegah sakit kepala pada saat bekerja di kebun, mencegah masuk
angin, dan menghambat sakit pinggang.
“… fungsi tampal nanti kalau kita kerja di kebun biar gak mudah
sakit kepala, gak masuk angin, gak cepat sakit pinggang …,”
jelas Inen NA.
Gambar 3.7 Tampal yang telah dicairkan dengan air jeruk purut dioleskan pada dahi,
bawah daun telinga, dan bawah mata kaki ibu nifas selama 44 hari. Fungsi tampal ini
adalah untuk menghilangkan rasa sakit kepala dan mencegah masuk angin.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Mei 2012)
Selain bedak matah dan tampal, ada juga ramuan lain yang digunakan
ibu nifas, yaitu bedak param. Berbeda dengan bedak matah dan tampal
yang digunakan sejak hari pertama pasca-persalinan, bedak param
digunakan pada hari ketiga pasca-persalinan. Bedak param ini menjadi
Selain ramuan yang dioleskan pada bagian luar tubuh seperti yang
disebutkan sebelumnya, ada juga ramuan yang dikonsumsi oleh ibu nifas
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 85
Gambar 3.8 Bedak param yang belum dikeringkan.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)
untuk mengobati luka dalam. Salah satu obat tersebut dikenal dengan
nama wak kuning. Wak dalam bahasa Gayo Lues berarti “obat”, dan
kuning berarti “kunyit”. Jadi, wak kuning adalah obat yang terbuat dari
kunyit. Meskipun namanya wak kuning, bukan hanya kunyit yang terdapat
dalam ramuan wak kuning, melainkan ada juga rempah-rempah lain.
Bahan-bahan untuk membuat wak kuning terdiri atas kunyit, baing (jahe),
lempuyang, tekur (kencur), kulit manis, gule ilang (gula merah), awasacih,
lada pedih (merica), bunga lawang, jire manis, asam jawa, dan serai.
Ada dua cara untuk membuat wak kuning, yaitu dengan cara
dikeringkan atau direbus. Apabila ingin membuat wak kuning dengan cara
dikeringkan, bahan-bahan tersebut dipotong halus lalu dijemur, kecuali
gula merah, asam jawa, dan serai. Ketiga bahan tersebut tidak digunakan
dalam pembuatan wak kuning yang dikeringkan. Setelah dijemur, lalu
bahan-bahan tersebut ditumbuk halus seperti membuat serbuk minu
man instan, misalnya serbuk jahe. Pembuatan wak kuning dengan cara
dikeringkan biasanya dilakukan pada usia kehamilan delapan bulan.
Setelah melahirkan, wak kuning diminum dengan cara dicairkan dengan
air panas, dicampur dengan gula.
Cara yang kedua adalah rempah-rempah tersebut direbus tanpa
dikeringkan terlebih dulu. Sebelum direbus, rempah-rempah tersebut
dihaluskan. Gula merah, asam jawa, dan serai kemudian ditambahkan ke
dalam rebusan rempah-rempah tersebut. Pembuatan wak kuning dengan
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 87
juga berfungsi untuk menyembuhkan luka dalam. Obat tersebut dikenal
dengan istilah wak tuyuh atau wak kunul dalam bahasa Gayo. Wak me
rupakan bahasa Gayo Lues yang berarti “obat”, sedangkan tuyuh berarti
“bawah”. Jadi, wak tuyuh berarti “obat bawah”. Istilah “obat bawah” ini
digunakan untuk menyebutkan vagina agar terdengar lebih sopan. Se-
mentara itu, kunul mempunyai arti “duduk”. Dengan kata lain, wak kunul
berarti “obat duduk”. Istilah “obat duduk” ini digunakan karena setelah
melahirkan ibu nifas disarankan untuk duduk dengan cara merapatkan
kedua pahanya agar luka yang terdapat pada vagina cepat sembuh.
Ada dua jenis wak tuyuh atau wak kunul, yaitu obat yang digunakan
di luar vagina dan obat yang dimasukkan ke dalam vagina. Obat yang
digunakan di luar vagina adalah kunyit yang dicampur dengan minyak
goreng. Kunyit tersebut ingengal (dikunyah) terlebih dulu oleh ibu nifas,
kemudian dicampurkan dengan minyak goreng. Setelah kunyit dan minyak
goreng tersebut sudah tercampur rata, kemudian dioleskan di bagian luar
vagina ibu nifas. Menurut masyarakat setempat, fungsi kunyit dan minyak
goreng tersebut adalah untuk membuat vagina menjadi sempit kembali
dan menyehatkan badan ibu nifas. Hal ini dilakukan karena bidan kampung
tidak melakukan hecting atau penjahitan pada luka yang terdapat di luar
vagina setelah melahirkan. Selain dioleskan di bagian luar vagina, kunyit
dan minyak goreng tersebut juga bisa dimasukkan ke dalam vagina sesuai
dengan keiginan ibu nifas itu sendiri.
“… ngengalnye halus (kunyah halus). Begini (diludahkan).
Dituang minyak goreng, sapu terus (ke vagina). Kati sempit
pusete (agar sempit vaginanya). Kati temas badannya ya (biar
enak badannya ya) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.
Selain kunyit dan minyak goreng, ada juga yang menggunakan ra
muan lain yang dimasukkan ke dalam vagina. Ramuan tersebut meliputi
berbagai macam jenis. Setiap bidan kampung mempunyai jenis wak tuyuh
yang berbeda. Namun, menurut informasi dari dua bidan kampung yang
terkenal di Desa Tetingi, terdapat enam jenis wak tuyuh, yaitu (1) asam
kuyun yang dibelah menjadi dua, kemudian di tengah belahan tersebut
diberi garam, (2) awasacih yang dihaluskan, (3) sirih yang dikunyah
dicampur dengan abu dapur, (4) daun keruku yang diberi garam, (5)
minyak kayu putih yang dibasahkan pada kapas, dan (6) kapur barus.
Masing-masing bahan tersebut dibungkus dengan kapas, lalu dimasukkan
ke dalam vagina sedalam 5 cm.
Setelah itu dibungkus dengan kapas, lalu dimasukkan ke dalam vagina ibu bersalin.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)
Gambar 3.10 Asam kuyun dikupas kulitnya dan dibelah menjadi dua.
Belahan bagian tengah tersebut diberi garam, kemudian dibungkus
dengan kapas dan dimasukkan ke dalam vagina ibu bersalin.
(Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, Juni 2012)
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 89
Tidak semua bidan kampung menggunakan kapur barus sebagai
wak tuyuh, misalnya Empun (Nenek) Ar yang tidak menyarankan ibu nifas
untuk menggunakan kapur barus sebagai wak tuyuh. Menurutnya, meng
gunakan kapur barus sebagai wak tuyuh dapat menyebabkan daya tahan
tubuh ibu nifas menjadi lemah. Misalnya, apabila setelah melewati masa
nifas ibu tersebut terkena hujan, badannya akan mudah menggigil. Selain
itu, dia juga akan mengalami sakit perut. Untuk itu, Empun (Nenek) Ar
tidak menyarankan ibu nifas untuk menggunakan kapur barus sebagai
wak tuyuh. Jenis wak tuyuh yang disarankan Empun (Nenek) Ar adalah
asam kuyun dan kunyahan sirih yang dicampur dengan abu dapur.
“… iyalah. Kecutlah. Sawah (sampai) 44 hari ya, jatuh hujannya
ya, begini dia (memperagakan badannya menggigil). Sakit
perutnya kalau pakai kapur barus. Kalau ini (sambil pegang
jeruk nipis), nggak. Tegaplah badannya. Mari oya tangkuh ari
dapur, kecut ya, using ya, bak mayat, nggak cantik ya. Kurus
(habis itu berhenti dari dapur, kering dan kuning dia, seperti
mayat, nggak cantik lagi. Kurus) …,” jelas Empun (Nenek) Ar.
Ibu nifas dapat memilih dari berbagai jenis wak tuyuh tersebut di atas,
sesuai dengan saran bidan kampung yang menolong persalinannya dan
sesuai dengan kecocokan yang dirasakan oleh ibu nifas saat menggunakan
wak tuyuh tersebut. Apabila si ibu merasa tidak cocok dengan salah satu
jenis wak tuyuh, dia bisa mencoba jenis wak tuyuh yang lain. Namun,
apabila semua jenis wak tuyuh telah dicobanya namun dia merasa tidak
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 91
seorang tim peneliti datang ke rumah Kak My untuk melihat keadaannya.
Sesampainya di rumah Kak My, dia melihat Kak My sedang makan nasi
hanya dengan lauk bawang. Melihat Kak My hanya makan dengan lauk
bawang goreng, peneliti tersebut bertanya “Kok nggak ada lauknya, Kak?
Nggak ada sayurnya? Kenapa, Kak? Nggak boleh makan sayur?” Kak My
pun menjawab “Boleh, tapi jangan pedas.”
Keesokan harinya peneliti tersebut pun datang lagi pada jam yang
sama. Untuk kedua kalinya peneliti menemukan Kak My sedang ma
kan. Namun, pada saat itu Kak My makan dengan lauk ayam goreng
dicampurkan dengan bawang goreng tanpa sayur. Keesokan harinya lagi,
peneliti datang lagi, tetapi pada jam yang berbeda, yaitu jam 11.00 siang
hari. Pada saat berkunjung ke sana, lagi-lagi peneliti menemukan Kak My
sedang makan dengan lauk ayam dan bawang goreng tanpa sayur. Pada
saat itu, peneliti tersebut bertanya lagi mengapa Kak My hanya makan
dengan lauk ayam goreng tanpa sayur. Kak My pun menjawab “Ini nggak
boleh kita makan sayur, soalnya dia (bayi) lagi ada bintik-bintik merah di
badannya,” jelas Kak My. Sakit bintik-bintik merah di badan dikenal dengan
istilah uris dalam masyarakat Gayo Lues.
Menurut Kak My dan bibinya, pada masa nifas ada makanan yang
tidak boleh dimakan oleh ibu nifas, seperti buah-buahan, kecuali buah
labu. Menurutnya, ibu nifas dilarang makan buah-buahan karena khawatir
nanti anaknya mengalami sakit perut.
“… kalau pakai obat kampung itu nggak boleh makan buah,
nanti anaknya sakit perut. Kalau obat dokter kan boleh …,”
jelas bibi Kak My.
Menurut bidan kampung, sebenarnya semua makanan boleh
dimakan oleh ibu nifas, kecuali makanan tersebut merupakan
pantangan baginya untuk dimakan, seperti anaknya sedang
menderita sakit uris di badannya. Maka pada saat itu, ibunya
tidak boleh makan sayur-sayuran.
“… enti pantang, berarti tan keluar peh, nguk nye pan meh
(tidak ada pantangan, berarti waktu bayinya telah keluar lang
sung boleh makan semuanya). Neba ha pantangie, gi nguk pan
nggih (sebagian memang dilarang, gak bisa makan). Kakakmu
gere mupantang ya (kakakmu nggak ada pantangan) …,” kata
Empun (Nenek) Ar.
Pendapat yang serupa pun diutarakan oleh Aman So, seorang laki-laki
warga Tetingi yang istrinya baru saja melahirkan pada pertengahan Mei
2012. Aman So mengatakan bahwa pascamelahirkan seorang suami tidak
dapat bersetubuh dengan istrinya selama 44 hari lamanya. Istri memasak
nasi untuk suaminya pun tidak diperbolehkan. Hal yang serupa juga di
katakan oleh Kak My, seorang wanita nifas. Selama nifas, Kak My tidak
memasak untuk suaminya,karena jika dia memasak untuk suaminya, dia
akan berdosa. Untuk itu, suaminya memasak sendiri untuk makanannya
selama Kak My dalam keadaan nifas, bahkan kadang kala suaminya yang
memasak makanan untuk Kak My.
Berhubung ibu nifas tidak boleh memasak untuk suaminya, peran ibu
di dapur kadang kala digantikan oleh ibu atau ibu mertuanya. Ibu mertua
mempunyai peran yang penting bagi ibu nifas. Hal ini berhubungan dengan
sistem perkawinan juelen yang terdapat dalam masyarakat Gayo. Dalam
pernikahan juelen, pengantin perempuan akan tinggal bersama dengan
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 93
keluarga suaminya. Untuk itu, ibu mertua mempunyai peran dalam ke
hamilan sampai masa nifas seorang ibu, misalnya memasak untuk ibu
nifas, suami, dan anak-anaknya.
3.5.3 Pasca-nite
Setelah 44 hari melewati masa nite, seorang ibu nifas akan mandi
suci dengan menggunakan mungkur (jeruk purut). Sementara itu, anak
nya akan dicukur rambutnya oleh bidan kampung, bapaknya, atau keluar
ganya. Namun, ada juga bidan kampung yang mempunyai ritual yang
berbeda untuk pasca-nite selain mandi dan mencukur rambutnya, seperti
Empun (Nenek) Ma. Menurut Empun (Nenek) Ma, pada hari ke 44, daun
geluni dibakar di dapur dan ibu nifas diminta untuk berdiri di sekitar dapur
tersebut. Asap yang keluar akan mengenai seluruh tubuh ibu nifas sampai
mengalami malak (keluar keringat). Setelah keringatnya keluar, barulah ibu
nifas tersebut diperbolehkan mandi. Namun, Empun (Nenek) Ar sebagai
bidan kampung tidak melakukan ritual ini. Menurutnya, setelah 44 hari,
ibu nifas hanya dimandikan dengan mungkur.
Pada saat usai nite, bidan kampung akan diberi seperangkat alat
shalat, seperti mukena, oleh ibu yang melahirkan, sebagai ucapan terima
kasih. Namun, apabila proses persalinannya dulu dengan rai (bayi atau
tembuninya diambil dari perut si ibu dengan menggunakan tangan bidan
kampung), ibu yang melahirkan akan memberikan piring, gelas, dan
sendok sebagai tambahan.
Setelah mandi suci pasca-nite, segala pantangan untuk ibu nifas boleh
dilakukan lagi, seperti memasak untuk suami dan keluarganya. Setelah nite,
si ibu sudah boleh bekerja, namun pekerjaan yang dapat dilakukan oleh
seorang istri setelah dia melewati masa 44 harinya hanyalah pekerjaan
yang ringan-ringan saja, seperti mencuci piring atau baju.
“… itupun kerja ga terus berat, misal biasanya bisa dia dua
kaleng, ini setengah, baru satu, baru satu setengah. Kalu gak,
itu bisa apa itu bilang orang tua zaman, bisa putus urat-urat
yang kecil itu, karena dia terlalu bekerja, itu termasuk adat …,”
jelas Aman Mi, salah seorang tokoh masyarakat setempat.
3.6 Perawatan Bayi
3.6.1 Perawatan Tali Pusar
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa setelah dipotong dengan meng
gunakan semilu, tali pusar yang masih melekat pada tubuh si bayi diberi
Sementara itu, tali pusar yang sudah lepas dari tubuh bayi akan
disimpan di dinding rumah atau di tempat lain. Tali pusar tersebut sengaja
disimpan karena suatu saat bisa menjadi obat bagi si bayi apabila bayinya
sakit, misalnya si bayi mengalami sakit mata. Pada saat mata si bayi sakit,
tali pusar tersebut direndam dengan air, kemudian air rendaman tali pusar
tersebut diteteskan ke mata si bayi agar cepat sembuh. Selain sakit mata,
sakit pada telinga juga dapat diobati dengan menggunakan air rendaman
tali pusar. Tali pusar tersebut dapat digunakan sampai waktu tak terhingga,
bahkan sampai usia puluhan tahun.
“… disimpan di sini, di rering pik anu dapur e (di antara dinding
dapur). Apa namanya, sakit mata, berair mata ya, rendam di
sini tetes kone (diteteskan ke situ),” jelas Empun (Nenek) Ar.
“… iya, tali pusok tadi (tali pusar tadi). Sakit mata ya. Apa
namanya sebangsa maih kemiringe (berair telinganya). Tep
kone (diteteskan di situ) (tangannya sambil memperagakan
seolah-olah menetes air ke telinga). Oya gune e (itulah gunanya)
…,” jelas Empun (Nenek) Ar.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 95
pada saat bayi berusia sekitar 7 sampai 28 hari. Selain itu, upacara turun
mani biasanya dilakukan pada pagi hari, yaitu sekitar pukul 07.00 atau
08.00, pada saat matahari mulai menampakkan sinarnya.
Pada saat turun mani, banyak bahan dan peralatan yang disiapkan
oleh dukun kampung. Peralatan pertama yang dibuat oleh bidan kampung
adalah benang yang akan dikenakan di beberapa bagian tubuh bayi. Be
nang tersebut terdiri atas lima warna, yaitu merah, hitam, putih, kuning,
dan hijau. Lima warna benang tersebut disatukan dalam satu ikatan. Ada
lima ikatan benang lima warna yang dibuat oleh dukun kampung. Empat
ikatan mempunyai ukuran yang sama, yaitu kira-kira sepanjang 15 cm,
sedangkan satu ikatan lagi mempunyai ukuran yang berbeda, yaitu sekitar
25 cm.
Setelah menyelesaikan ikatan benang lima warna tersebut, kemudian
bidan kampung menyiapkan bahan-bahan dan peralatan yang akan
dibawa dan dibutuhkan pada saat berada di tempat pemandian si bayi.
Bahan-bahan tersebut terdiri atas beras satu bambu (2 liter), mungkur
(jeruk purut) sebanyak dua buah, kacu (gambir), pinang, sisir, cermin, sirih,
konyel, sabun mandi, kerenem (kapur sirih), dubang (parang), dan kelapa
yang sudah dikupas (tanpa serabut). Bahan-bahan tersebut diletakkan dan
ditata rapi di dalam sebuah wadah, seperti baskom kecil. Bahan-bahan
tersebut diletakkan di depan bidan kampung.
Pada saat bahan-bahan tersebut diletakkan di depan bidan kampung,
bidan kampung mengambil lima ikatan benang yang telah dibuatnya. Lima
ikatan benang tersebut lalu didoakan olehnya. Setelah didoakan, satu
ikatan yang paling panjang yang berukuran kira-kira 25 cm, diikatkan pada
pinggang si bayi yang pada saat itu telah berada di pangkuan neneknya
yang duduk di sebelah bidan kampung. Empat ikatan benang yang lain
diikatkan pada bagian pergelangan kaki kanan, kaki kiri, tangan kanan, dan
tangan kiri si bayi.
Setelah mengikat benang-benang tersebut di beberapa bagian tubuh
si bayi, bidan kampung mengambil sirih yang telah disiapkan sebelumnya.
Sirih tersebut dioles dengan kapur sirih, setelah itu dibentuk seperti
kerucut. Setelah sirih dibentuk menjadi kerucut, lalu ditaruh konyel dan
pinang yang sudah dibelah kecil. Ada dua kerucut sirih yang dibuat oleh
bidan kampung. Setelah itu, kerucut sirih tersebut diletakkan kembali di
atas beras yang berada di dalam baskom bersama dengan bahan-bahan
yang lain.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 97
kerucut sirih tersebut diletakkan di pinggir air. Hal ini dilakukan karena
adanya pengetahuan masyarakat setempat bahwa ada nabi air yang
bernama Khairil. Untuk itu, diletakkanlah kerucut sirih tersebut sebagai
bentuk izin kepada nabi air. Selain nabi bumi dan nabi air, ada juga nabi
kayu dan nabi batu dalam pengetahuan masyarakat setempat. Nabi kayu
bernama Gusut, sedangkan nabi batu bernama Yati.
Setelah meletakkan kerucut sirih tersebut di pinggir parit, bidan
kampung membelah mungkur yang telah disediakan. Air mungkur (jeruk
purut) dimasukkan di dalam sebuah wadah yang telah berisikan cairan
tepung dan kunyit. Ramuan tersebut dikenal dengan istilah pangir. Setelah
membelah mungkur, bidan kampung meletakkan dubang (parang) di
dalam air, sambil diinjak. Ritual memandikan bayi pun dimulai. Pertama-
tama bidan kampung akan mengusap bagian kepala bayi dengan pangir.
Selanjutnya seluruh tubuh bayi diusap dengan pangir. Setelah itu, bayi
langsung dicelupkan ke dalam air dingin yang mengalir.
Setelah dicelupkan ke dalam air yang dingin, si bayi akan diangkat lagi.
Pada saat diangkat, buah kelapa yang telah disediakan dipecahkan dengan
menggunakan dubang (parang) oleh seorang ibu. Air kelapa yang keluar
dari buah kelapa tersebut disiramkan ke seluruh badan bayi. Pemecahan
buah kelapa di dekat si bayi dilakukan agar bayi tidak takut petir pada saat
sudah besar nanti. Sementara itu, memandikan bayi dengan air kelapa
juga dipercaya agar bayi tidak takut air hujan.
Setelah selesai mandi, si bayi akan dibalut dengan kain baru. Kain
baru yang membalut si bayi melambangkan semangat baru bagi si bayi.
Sebelum dibalut dengan kain, si bayi disisir rambutnya dan disuruh
mengaca pada cermin yang telah disediakan. Pada saat mengaca, ibu-ibu
dan orang-orang yang ada di sekitarnya berkata “biar gagah nanti”. Sambil
mengaca, si bayi dibedaki dengan bedak yang telah disediakan dan bidan
kampung mencumbunya bahwa dia adalah laki-laki yang tampan. Setelah
itu, bayi dibalut dengan kain baru, lalu digendong kembali oleh bidan
kampung untuk dibawa ke rumah.
Pada saat tiba di rumah, si bayi masih tetap dalam pangkuan bidan
kampung. Tak lama kemudian, ibu si bayi datang mendekati bidan kampung
sambil membawa beras penebus yang telah disiapkan sebelumnya.
Beras penebus tersebut diberikan kepada bidan kampung. Pada saat
memberikan beras penebus tersebut, si ibu bayi berkata kepada bidan
kampung “Ini bi, oros ku bibi, win ke aku (Ini bi, beras untuk bibi, bayinya
untukku).” Hal tersebut melambangkan bahwa sebelum upacara turun
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 99
“… kalau manis tawon kata orang nanti melawan orang tuanya
…,” jelas Kak My.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 101
getah yang berbentuk busa yang keluar dari daun tersebut dioleskan pada
payudara yang bengkak. Setelah itu, tai ketol yang telah dicampur dengan
air beras dioleskan pada payudara yang bengkak. Terakhir, abu bengkoang
kering dioles bersama minyak goreng. Menurut Kak My, melalui pengobat
an tradisional tersebut, rasa sakit pada payudaranya agar berkurang. “Ada
kurang sikit (sedikit). Kurang sakitnya pun,” jelas Kak My. Sementara itu,
untuk mengobati sakit panas yang diderita oleh Kak My, dukun kampung
memberikan dedingin (sejenis cocor bebek) yang dicampur dengan beras,
kemudian diremas. Setelah diremas, air dedingin dan beras tersebut di
minum oleh ibu nifas dan dioleskan ke seluruh badannya.
3.8.1 Imunisasi
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, di Desa Tetingi sudah ada
poskesdes yang berdiri di tengah pemukiman penduduk. Di Poskesdes
inilah imunisasi melalui posyandu dilakukan. Posyandu di Desa Tetingi
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 103
perempuan dalam masyarakat Gayo Lues. Sunat perempuan dilakukan
pada saat anak berusia sekitar 7 bulan sampai 1 tahun, atau pada saat si
anak sudah bisa duduk. Sementara itu, sunat laki-laki dilakukan pada saat
anak berusia sekitar 8 tahun sampai 12 tahun. Selain itu, seorang anak
perempuan hanya boleh disunat oleh perempuan dan anak laki-laki oleh
seorang laki-laki pula.
Seorang anak perempuan disunat pada usia sekitar 7 bulan sampai
satu tahun. Anak perempuan disunat oleh seorang perempuan pula, baik
oleh bidan kampung maupun tenaga kesehatan, seperti bidan atau dokter.
Alasan bidan kampung masih dipilih sebagai orang untuk menyunat
anaknya karena bidan kampung dianggap mempunyai mantra, sedangkan
tenaga kesehatan tidak memilikinya. Namun, ada juga masyarakat Desa
Tetingi yang menyunatkan anak perempuan ke bidan desa yang tinggal di
desa tetangga. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Inen Je. Alasan Inen Je
memilih tenaga kesehatan tersebut karena menurutnya, meskipun orang
tersebut adalah bidan desa (tenaga kesehatan), ia juga bisa mengucapkan
mantra layaknya bidan kampung sebelum menyunat seorang anak
perempuan. Selain itu, adat sebelum menyunatkan anak perempuan tetap
dilakukan oleh bidan desa tersebut, misalnya dia menyarankan agar anak
perempuan dimandikan terlebih dulu oleh neneknya sebelum disunat.
Selain faktor mantra dan adat yang juga bisa dilakukan oleh tenaga
kesehatan, alasan lain yang menyebabkan seorang ibu menyunatkan anak
perempuannya ke tenaga kesehatan adalah keamanan dan keselamatan.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Inen Wa yang akan menyunatkan
anak perempuannya yang berusia delapan bulan. Inen Wa berencana
menyunatkan anak perempuannya kepada tenaga kesehatan yang ada
di desa tetangga karena dia merasa nyaman dan aman, sebab tenaga
kesehatan tersebut muda dan penglihatannya lebih tajam daripada bidan
kampung.
“… kalau bidan kampung kan udah tua. Takutnya udah nggak
keliatan,” jelas Inen Wa.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 105
Pukul 11.00 siang hari saat matahari menyinari bumi dengan ter-
iknya, anak-anak tersebut kembali ke rumah mereka di Desa Tetingi. Terik
matahari dan tanjakan jalan harus mereka lalui. Kadang-kadang mereka
berhenti sejenak di bawah pohon yang rindang untuk melepaskan lelah.
Keringat pun mengucur di wajah mereka. Baju mereka pun tampak basah
oleh keringat. Perjalanan tersebut harus mereka lalui tiap hari.
Setiba di rumah, mereka langsung mengganti baju seragam mereka.
Rasa lapar pun sudah mulai menyerang. Piring yang bertengger di rak
piring pun segera diambil. Nasi putih dan lauk yang tersedia di atas
meja pun langsung diambil. Setelah makan, mereka langsung bermain
dengan teman-teman mereka. Banyak permainan yang sering dimainkan
oleh anak-anak di Desa Tetingi. Salah satu permainan tradisional yang
dimainkan oleh anak-anak di Desa Tetingi adalah permainan simang.
Simang dalam bahasa Gayo berarti “batu”. Permainan simang ini adalah
permainan menghitung batu. Bila dihitung, ada sekitar ratusan batu yang
disiapkan untuk bermain simang. Batu tersebut diletakkan di atas lantai.
Masing-masing anak mengambil sekitar tiga puluhan batu yang diletakkan
di depannya. Satu batu dijadikan patakon untuk mengambil batu yang lain,
dengan cara batu tersebut dilemparkan ke atas. Setelah batu tersebut
dilempar ke atas dengan menggunakan tangan kanan, tangan kanan
dengan sigap mengambil batu-batu lain yang berserakan di lantai, sebelum
batu yang dilemparkan ke atas tadi jatuh. Batu yang dilemparkan ke atas
tidak boleh jatuh menyentuh tanah sehingga setelah mengambil batu di
lantai, tangan kanan dengan sigap pula mengambil batu yang dilemparkan
ke atas agar tidak jatuh ke bawah. Anak-anak tersebut mengambil batu
di atas lantai sambil berhitung “sara (satu), rowa (dua), tulu (tiga), opat
(empat), lime (lima), onom (enam), pitu (tujuh), walu (delapan), siwa
(sembilan), sepuluh, dan seterusnya”.
Selain simang, masih banyak lagi permainan lain yang dimainkan
oleh anak-anak di Desa Tetingi, di antaranya batok kelapa yang dijadikan
alas kaki yang bertali, permainan tali karet, permainan tutup limun,
dan sebagainya. Permainan tersebut dimainkan oleh anak-anak setelah
pulang sekolah sampai sore hari. Tidak ada perbedaan antara permainan
anak laki-laki dan anak perempuan. Setiap permainan selalu ada anak
perempuan dan anak laki-laki, bahkan permainan lompat karet yang di
daerah lain, seperti Bengkulu, menjadi permainan anak perempuan, di
Desa Tetingi anak laki-laki pun ikut bermain.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 107
Terdapat perbedaan dalam tradisi tidur ini antara anak laki-laki dan
anak perempuan. Anak perempuan tidur di rumah tetangganya pada
saat usianya menginjak 8 tahun, sedangkan anak laki-laki menginjak usia
12 tahun. Selain itu, tempat tidur anak perempuan adalah rumah salah
satu penduduk setempat, sedangkan anak laki-laki biasanya di rangkang.
Rangkang adalah sebuah bangunan yang dibangun untuk anak laki-
laki yang mengaji di meunasah. Usai mengaji, mereka tidur bersama di
rangkang tersebut. Namun sekarang rangkang di Desa Tetingi tidak di
fungsikan lagi untuk anak laki-laki yang mengaji. Beberapa ruangan
rangkang dipakai oleh sebuah keluarga kecil, sedangkan ruangan yang lain
dibiarkan terbengkalai. Oleh sebab itu, anak laki-laki di Desa Tetingi pada
saat ini tidak tidur di rangkang lagi, tetapi tidur di rumah temannya atau
di rumahnya sendiri.
Sekarang anak laki-laki dan anak perempuan di Desa Tetingi pada
saat duduk di bangku SMP tinggal di sebuah pesantren yang terdapat
di Desa Cinta Maju. Setelah pulang dari SMP pada siang hari, anak-anak
tersebut pergi ke pesantren untuk mengaji dan belajar ilmu agama hingga
larut malam.
Namun, tidak semua orang tua di Desa Tetingi menyetujui anaknya
untuk tidur di rumah orang lain, meskipun di rumah bibinya. Hal ini seperti
yang dilakukan Inen NA. Inen NA tidak menyuruh anak-anaknya untuk
tidur di rumah orang lain karena dia ingin lebih dekat dengan anaknya dan
dapat mengontrol belajar anaknya pada malam hari. Bukan hanya Inen
NA, salah seorang tokoh masyarakat pun tidak menyetujui anaknya tidur
di rumah tetangganya karena dapat mengganggu sekolah dan belajar
anaknya.
“… itulah masalahnya orang tua, kalau dia mau disekolahkan,
jangan pun dibiarkan tidur kayak itu dia ya kan, tidur di situ,
tidur di sana, dia kan ga belajar. Kalau ga sekolah, ya enggak
papa, tidur sana, kalau sekolah susah dia, gimana dia mau
belajar …,” jelasnya.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 109
110 Buku Seri Etnografi Kesehatan
Ibu dan Anak 2012
BAB IV
TENAGA KESEHATAN DI MATA MASYARAKAT
DESA TETINGI
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 111
Tetingi sekitar 2 kilometer. Tidak ada transportasi umum yang tersedia dari
Desa Tetingi menuju Desa Cinta Maju. Masyarakat setempat harus berjalan
kaki dan melewati jalanan yang berbatu dan menanjak. Namun, hanya di
Desa Cinta Maju itulah masyarakat bisa mendapatkan pengobatan oleh
tenaga kesehatan pada saat itu. Pengobatan kepada tenaga kesehatan
yang terdapat di desa tersebut masih dilakukan oleh sebagian masyarakat
Desa Tetingi hingga saat ini, meskipun sudah ada bidan desa di Desa Tetingi.
Menurut masyarakat setempat, hal ini dilakukan karena faktor kecocokan
dan kenyamanan yang mereka alami sendiri, seperti yang diungkapkan
oleh Aman Mrw berikut ini.
“… serasi kalau berobat ke sana. Udah biasa berobat di sana
…,” jelas Aman Mrw.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 113
bagian yang tinggi dari dusun Arul Sirep. Di depan poskesdes membentang
lembah persawahan yang luas. Apabila angin bertiup dari arah lembah
menuju Dusun Arul Sirep, laju angin yang kencang akan langsung ke arah
poskesdes dan masuk ke dalam rumah bila pintu terbuka sehingga pasir
dan debu yang ada di depan poskesdes juga ikut masuk ke dalam. Hal inilah
yang menyebabkan pintu poskesdes selalu tertutup. Berikut penuturan
bidan desa
“… di sini anginnya kencang, apabila angin bertiup, maka pasir
dan debu akan masuk ke dalam rumah .…”
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 115
pula. Sebagai contoh, masyarakat di Hulu Lembah Mississippi tidak
menganggap malaria sebagai suatu penyakit yang dapat mengganggu
kesehatan (Foster, 2011:51). Hal ini tentu berbeda dalam dunia medis yang
menganggap bahwa malaria merupakan suatu penyakit yang berdampak
pada kesehatan manusia.
Perbedaan pemahaman kesehatan antara dunia medis dengan suatu
masyarakat juga terlihat dalam masyarakat Gayo di Desa Tetingi. Dalam
masyarakat Gayo, permasalahan kesehatan pada umumnya dipercaya
karena adanya pengaruh setan atau magis. Hal ini berbeda dengan dunia
medis yang melihat permasalahan kesehatan berkaitan dengan bakteri,
virus, dan mental seseorang atau masyarakat.
Pemahaman masyarakat mengenai kesehatan tersebut berpengaruh
pada cara pengobatan yang dilakukan, yaitu dengan magis juga untuk
mengusir setan. Oleh sebab itu, dukun kampung masih mempunyai
peranan penting dalam pengobatan suatu penyakit, termasuk dalam
kesehatan ibu dan anak, seperti pengobatan pada masa kehamilan sampai
pasca-persalinan.
8
Sumber: http://johana.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/buletin-psikologi.pdfdiunduh pada
tanggal 28 Juni 2011.
9
Sumber:http://dennyhendrata.wordpress.com/2007/07/30/stres-dan-sistem-imun-tubuhsuatu-
pendekatan-psikoneuroimunologi-2/. diunduh pada tanggal 28 Juni 2011.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 117
yang telah didoakan oleh bidan kampung. Mengonsumsi sirih ini diyakini
oleh masyarakat setempat dapat melancarkan persalinan. Namun, hal
ini belum dapat dijelaskan secara ilmiah. Selama ini sirih diketahui hanya
sebagai obat hidung berdarah, obat bisul, obat batuk, obat sariawan,
dan obat sakit mata (Syamsuhidayat, 1991:454). Oleh sebab itu, perlu
adanya penelitian lebih lanjut untuk mengungkapkan misteri sirih dalam
melancarkan persalinan.
Terlepas dari itu, mengonsumsi sirih yang dianjurkan oleh masya
rakat setempat kepada ibu hamil merupakan bentuk kepedulian mereka
terhadap persiapan persalinan. Selain itu, mengonsumsi sirih juga meru
pakan tindakan preventif yang dilakukan oleh ibu hamil dalam menghadapi
permasalahan persalinan. Nilai memakan sirih tersebut dapat “ditiru” dan
diadopsi oleh tenaga kesehatan dalam menanamkan nilai mengonsumsi
vitamin bagi ibu hamil.
Selain mengonsumsi ramuan tradisional untuk melancarkan per
salinan, ibu hamil di Desa Tetingi juga dianjurkan untuk bekerja di sa
wah, kebun, dan ladang, serta bejangkat (mengangkat kayu). Menurut
pemahaman masyarakat setempat, aktivitas tersebut dapat melancarkan
proses persalinan. Namun, apabila pekerjaan tersebut terlalu “berat” bagi
ibu hamil, dikhawatirkan dapat berdampak kurang baik bagi kehamilan
dan rahim seorang ibu sehingga berisiko pada kehamilannya. Oleh sebab
itu, peran tenaga kesehatan untuk mengontrol ibu hamil tersebut sangat
diperlukan agar kehamilan dan persalinan berisiko dapat dihindari.
5.2 Persalinan
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, masih ada ibu
bersalin di Desa Tetingi yang belum mengetahui tanda-tanda persalinan
sehingga masih banyak ibu bersalin yang melakukan persalinan sendiri
tanpa pertolongan bidan desa atau bidan kampung. Hal ini tentu mem
punyai dampak yang kurang baik bagi ibu bersalin tersebut, apalagi
persalinan tersebut adalah persalinan berisiko tinggi dan bermasalah.
Oleh sebab itu, peran tenaga kesehatan dan pemerintah setempat sangat
diperlukan untuk menanamkan pengetahuan tanda-tanda persalinan
kepada ibu sejak kehamilan.
Menjelang persalinan, masih banyak ibu di Desa Tetingi yang mencari
pertolongan persalinan ke bidan kampung atau dukun kampung, seperti
yang telah diceritakan pada bab sebelumnya. Hal ini terjadi karena karena
adanya hubungan kekerabatan antara keduanya. Hal ini tentu menjadi
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 119
5.3 Pasca-persalinan
Setelah persalinan, ibu nifas di Desa Tetingi menggunakan api yang
diletakkan di belakang punggung yang dikenal dengan istilah bedapur atau
nite. Penggunaan api tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat dapat
melancarkan darah kotor yang terdapat di punggung ibu hamil.
Penggunaan api pasca-persalinan tersebut sama dengan masyarakat
di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang
melakukan sei pasca-persalinan. Sei merupakan tradisi memanaskan ibu
nifas dalam rumah adat dengan asap selama 40 hari (Soerachman, 2009:3).
Pembakaran kayu bakar biasanya mengeluarkan bahan pencemar berupa
partikel debu (supended particulate matter) dan gas berupa karbon
dioksida (CO2), formaldehid (HCHO), oksida nitrogen (NOx), dan oksida
belerang (SOx). Terhirupnya bahan-bahan tersebut dapat menimbulkan
gangguan kesehatan, berupa iritasi saluran pernapasan sampai gangguan
paru-paru (Soerachman, 2011:8-9). Akibat tersebut juga dapat terjadi
pada ibu nifas dan bayi di Desa Tetingi pada saat melakukan nite. Oleh
sebab itu, perlu adanya penelitian tindak lanjut untuk membangun ruang
nite yang sehat, seperti yang telah dilakukan di Kabupaten Timor Tengah
Selatan.
Selain menggunakan api, pada saat nite ibu nifas di Desa Tetingi
juga menggunakan ramuan tradisional yang digunakan di seluruh tubuh,
dimasukkan ke dalam vagina, dimakan, dan diminum. Ramuan-ramuan
tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat dapat menyehatkan ba
dan, menyembuhkan luka dalam, dan memberi “kekuatan” pada saat
bekerja nantinya. Penggunaan ramuan tersebut menunjukkan bagaimana
kepedulian masyarakat setempat terhadap kesehatan seorang ibu dalam
masa nifas.
Ramuan yang digunakan pada umumnya adalah rempah-rempah
dapur, seperti kunyit dan sirih. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
sirih biasanya digunakan sebagai obat hidung berdarah, obat bisul, obat
batuk, obat sariawan, dan obat sakit mata, sedangkan kunyit berkhasiat
sebagai obat demam, obat mencret, obat sesak napas, obat radang
hidung, dan penurun panas. Selain itu, kunyit juga mengandung saponin,
flavonoida, dan polifenol, selain minyak asiri (Syamsuhidayat, 1991:189).
Ramuan-ramuan tradisional yang digunakan oleh ibu nifas merupakan
ramuan yang dipelajari secara turun-temurun dalam masyarakat Gayo di
Desa Tetingi. Tanaman obat dan obat tradisional tersebut bermanfaat dan
aman jika digunakan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya
5.4 Intisari
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil sebuah intisari bahwa
pembangunan kesehatan ibu dan anak di Desa Tetingi dapat melibatkan
empat unsur, yaitu (1) bidan desa selaku tenaga kesehatan, (2) bidan
kampung selaku penyembuh dan penolong persalinan yang dipercaya
oleh masyarakat setempat, (3) pemerintah setempat selaku pemegang
kebijakan, dan (4) masyarakat Desa Tetingi sebagai sasaran pembangunan
kesehatan ibu dan anak. Empat unsur tersebut saling berkaitan.
Bidan desa yang mempunyai peran sebagai tenaga kesehatan ber
ada di posisi yang belum dipercaya sepenuhnya oleh masyarakat se
bagai penyembuh dan penolong persalinan. Oleh sebab itu, bidan desa
hendaknya memahami dan mengikuti budaya dan kearifan lokal setempat,
misalnya mengikuti cara pengobatan yang dilakukan oleh bidan kampung.
Sebab, cara pengobatan yang dilakukan oleh bidan kampung telah
dipercaya oleh masyarakat setempat selama bertahun-tahun, karena
hal tersebut sesuai dengan pengetahuan masyarakat setempat tentang
konsep sehat dan sakit.
Selain bidan desa, ada juga bidan kampung yang mempunyai pe
ngaruh yang besar terhadap pembangunan kesehatan ibu dan anak di
Desa Tetingi. Bidan kampung yang lahir dan besar di Desa Tetingi telah
bertahun-tahun menjadi penyembuh dan penolong persalinan masyarakat
setempat. Hal ini tentu tidak mengherankan apabila bidan kampung lebih
dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai penyembuh atau penolong
persalinan daripada tenaga kesehatan yang baru dua tahun berada di Desa
Tetingi. Oleh sebab itu, bidan kampung hendaknya dibina dan dirangkul
oleh pemerintah setempat untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak
di Desa Tetingi. Pemerintah juga merupakan elemen penting dalam pem
bangunan kesehatan ibu dan anak di Desa Tetingi.
Elemen yang terakhir yang berpengaruh dalam kesehatan ibu dan
anak adalah masyarakat. Masyarakat sebagai suatu sistem yang mempu-
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 121
nyai kebudayaan dan kearifan lokal mempunyai peran dan pengaruh ter-
hadap kesehatan ibu dan anak.Sebagai contoh, dalam persalinan seorang
ibu, masyarakat yang ada di sekitar ibu bersalin tersebut juga ikut ber-
peran, seperti menjenguk ibu bersalin, bahkan ada juga yang ikut mem-
bantu pada saat persalinan. Hal ini menunjukkan kontribusi masyarakat
terhadap kesehatan ibu dan anak. Oleh sebab itu, masyarakat sebagai
suatu sistem perlu mendapatkan perhatian pula dari pemerintah setem-
pat selaku “penggerak” sistem masyarakat Desa Tetingi. Potensi yang baik
dalam masyarakat bisa menjadi media untuk melibatkan masyarakat da-
lam pembangunan kesehatan ibu dan anak, misalnya membuat kelom-
pok-kelompok sosial yang membuat tikar atau tape dari daun pandan
duri, yang umumnya dilakukan oleh perempuan di Desa Tetingi di rumah
masing-masing. Kelompok sosial tersebut bisa menjadi kelompok belajar
masyarakat untuk memahami kesehatan ibu dan anak, yang dibimbing
oleh tenaga kesehatan dan kader kesehatan setempat.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 123
agar mengetahui permasalahan kesehatan yang ada dalam masyarakat
tersebut. Selain itu, provider pelayanan kesehatan hendaknya bisa ber
bahasa masyarakat setempat agar mudah dalam berkomunikasi dan
berinteraksi. Apabila tenaga kesehatan tersebut dapat berbahasa lokal,
dia dapat “bersahabat” dan “belajar” bersama masyarakat setempat,
termasuk dengan bidan kampung, sehingga “rahasia” pengobatan bidan
kampung yang diyakini oleh masyarakat dapat diketahui dan diadopsi
oleh tenaga kesehatan. Harapannya, hal itu bisa menjadi media penarik
masyarakat untuk melakukan pengobatan dan meminta pertolongan
persalinan kepada tenaga kesehatan.
Selain faktor provider pelayanan kesehatan, perubahan juga dilakukan
dari dalam diri masyarakat itu sendiri, seperti peningkatan pendidikan
melalui pemberantasan buta aksara yang dilakukan oleh dinas terkait.
Pemberantasan buta aksara ini perlu dilakukan untuk memudahkan pro
mosi kesehatan yang sering kali menggunakan bahasa tulis, termasuk buku
KIA yang harus dimiliki oleh ibu hamil. Apabila ibu hamil tersebut tidak bisa
bahasa tulis, pesan-pesan kesehatan tersebut tidak dapat tersampaikan
dengan baik dan mereka tidak dapat membaca buku KIA tersebut.
Pembangunan infrastruktur juga perlu dilakukan, seperti jalan yang
menjadi media untuk mengakses pelayanan kesehatan. Apabila jalan
sudah diperbaiki, kendaraan umum untuk menuju Desa Tetingi dapat
masuk sehingga masyarakat tidak perlu berjalan kaki untuk mengakses
pelayanan kesehatan, seperti puskesmas, rumah sakit, atau pelayanan
kesehatan lainnya.
Dua faktor tersebut, provider pelayanan kesehatan dan masyarakat,
harus berjalan secara sinergis untuk mencapai tujuan peningkatan kese
hatan ibu dan anak. Ibaratnya, provider pelayanan kesehatan adalah
magnet dan masyarakat adalah besi. Magnet dan besi harus berjalan ke
satu arah, yaitu peningkatan kesehatan ibu dan anak agar target yang
diinginkan dapat tercapai.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 125
Melalatoa, 1982. Kebudayaan Gayo. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Prawitasari, Johana E., 1997. “Psikoneuroimunologi: Penelitian Antar Di
siplin Psikologi, Neurologi, dan Imunologi” dalam Buletin Psikologi,
Tahun V, Nomor 2.
http://johana.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/buletin-psikologi.pdf
(diunduh pada tanggal 28 Juni 2011).
Ratna, Nyoman Kutha, 2010. Metodologi Penelitian, Kajian Budaya dan Il
mu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soekanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Soerachman, Rachmalina, 2009. Studi Kejadian Kesakitan dan Kematian
Pada Ibu dan Bayi yang Melakukan Budaya Sei di Kabupaten Timor
Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan (belum dipublikasikan).
Syamsuhidayat, Sri Sugati, dkk., 1991. Inventaris Tanaman Obat Indo
nesia (I). Jakarta: Departemen Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Tantawi I, S. Buniyamin, 2011. Pilar-Pilar Kebudayaan Gayo Lues, Medan:
Usupress.
Winkelman, Michael, 2009. Culture and Health; Applying Medical Anthro
pology. San Fransisco: Jossey-Bass.
Wiradnyana, Ketut, dan Taufikurrahman Setiawan, 2011. Merangkai
Identitas Gayo. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
_____________., 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.
_____________, 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
_____________, 2011. Gayo Lues dalam Angka 2011. Gayo Lues: Badan
Pusat Statistik (BPS).
_____________, 2005. Gayo Lues dalam Angka 2005. Gayo Lues: Badan
Pusat Statistik (BPS).
_____________, 2011. Blang Pegayon dalam Angka 2011. Gayo Lues:
Badan Pusat Statistik (BPS).
_____________, 2011. Profil Kesehatan Provinsi Aceh. Banda Aceh: Dinas
Kesehatan Provinsi Aceh.
Etnik Gayo Desa Tetingi Kecamatan Blang Pegayon
Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 127
Kuning : Kunyit.
Kunul : Duduk.
Meunasah : Bangunan tinggi yang berbentuk rumah panggung yang
digunakan untuk kegiatan keagamaan
Mungkur : Jeruk purut.
Matah : Mentah.
Nite : Istirahat setelah melahirkan.
Peukan : Pasar yang diadakan seminggu sekali.
Pajak : Pasar yang diadakan setiap hari.
Panglo : Pekerjaan yang dilakukan dengan cara bergantian atau de
ngan saling menolong.
Pancarona : Ikatan benang yang terdiri atas lima warna, yaitu hijau,
merah, kuning, putih, dan hitam.
Peneni’an : Tusukan pada bagian perut yang disebabkan oleh setan.
Param : Bedak yang dioleskan pada tubuh ibu yang baru mela
hirkan.
Rangkang : bangunan memanjang yang dibentuk bilik-bilik berukuran
kira-kira 2 x 3 meter.
Rai : Jemput.
Rampat : Jenis penyakit yang disebabkan oleh jin, bisa menimpa
hewan dan manusia.
Semilu : Sembilu.
Sangkal : Benda tumpuan untuk memotong benda lain.
Tape : Sumpit, wadah yang berbentuk tas terbuat dari daun
pandan duri.
Titih, titi : Jembatan.
Tube : Racun (biasanya disebabkan oleh guna-guna).
Tembuni : Ari-ari.
Tampal : Bedak hitam (yang dioleskan pada pada dahi ibu
pascamelahirkan).
Tuyuh : Bawah.
Teniron : Permintaan.
Tangkuh : Berhenti, keluar.
Ulung : Daun.
Unyuk : Maskawin.
Win : Sapaan kepada anak laki-laki yang lebih muda daripada
penyapa.
Wak : Obat.