Anda di halaman 1dari 5

1.

  UU No. 22 Tahun 1999


Terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 sekaligus menandai pergeseran yang signifikan atas
posisi dan kewenangan desa, kaitannya dengan unit pemerintahan di atasnya (negara).
Pergeseran itu terutama pada bagaimana otonomi desa mulai ditekankan kembali setelah
sekian lama di bawah sentralisme politik dan penyeragaman desa. (baca : Pengaturan Desa
era Orde Baru). Desa, dalam konteks UU No. 22/1999, didefinisikan sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam
sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintahan desa menurut UU ini


adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan
masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab kepada Badan
Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati.
Badan Perwakilan Desa (BPD) - atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang
berkembang di Desa yang bersangkutan - yang dibentuk di samping Kepala Desa
mempunyai posisi sangat kuat. BPD berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan
dalam pelaksanaan Peraturan Desa (Perdes), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes) dan Keputusan Kepala Desa.

Kepada desa diberikan kewenangan eksplisit yang mencakup: (a) kewenangan yang sudah
ada berdasarkan hak asal-usul desa, (b) kewenangan yang oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah, serta (c) tugas
pembantuan, yang diberikan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten. Ruang kosong kewenangan pemerintahan yang belum diisi oleh pemerintah
daerah dan oleh pemerintah pusat, menurut UU ini sebenarnya boleh diambil oleh desa.
Kenyataannya ruang ini tidak mudah diisi. Bahkan, kewenangan besar yang ditransfer ke
desa-desa lebih banyak dinilai menimbulkan keguncangan atau instabilitas dari pada karya-
karya produktif yang pantas dibanggakan.

2.  UU No. 32 Tahun 2004

UU No. 32 Tahun 2004 memperbaiki rumusan pengertian tentang desa. Rumusan yang
sebelumnya menyebutkan,“desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan ..." diperbaiki dengan menambakan dimensi teritorial, sehingga rumusannya
menjadi, “desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk ...". Perbaikan rumusan ini memberi dasar pijakan
pengembangan desa bukan sekadar sebagai "komunitas yang memerintah sendiri"(self-
governing community), melainkan juga "pemerintahan lokal yang mandiri" (local self
goverenment).
Namun demikian, pada saat yang sama UU No. 32 Tahun 2004 memperkenalkan konsep
urusan pemerintahan. Yang dibagi-bagi adalah urusan pemerintahan, bukan kewenangan
pemerintahan. Kewenangan mengikuti urusan yang diberikan. Dengan demikian, sangat
bisa jadi pemerintahan pada tingkat tidak memiliki kewenangan utuh atas suatu bidang
permasalahan. Karena, bidang itu boleh jadi harus diurus bersama oleh berbagai tingkatan
pemerintahan. Akibatnya, bidang otonomi di tingkat lokal itu bisa menyempit. Istilah otonomi
desa dalam konteks UU No. 32 Tahun 2004 didefinisikan secara terbatas, yaitu
dilaksanakan dengan prinsip otonorni seluas-Iuasnya, nyata bertanggung jawab yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan perimbangan keuangan. Penegasan
tersebut membatasi otonomi selalu terikat dengan kepentingan nasional.

Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah/desa diberikan kewenangan mengurus


dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah/Desa, memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah/desa untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan
berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan
daerah/Desa. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian
otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah/Desa, termasuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan dalam pasal 10 bahwa terdapat dua prinsip utama
pembagian kewenangan, yaitu: kewenangan yang secara absolut tidak dapat dilimpahkan
kepada daerah/desa karena menyangkut kepentingan kelangsungan hidup bangsa dan
negara, antara lain meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal nasional serta agama. Kedua, tidak ada urusan pemerintah yang sepenuhnya dapat
diserahkan kepada daerah/desa. Sedangkan bagian-bagian kewenangan pemerintahan
yang diserahkan kepada daerah/desa hanya kewenangan yang menyangkut kepentingan
masyarakat setempat, dan atas dasar prinsip ini, kewenangam yang dimiliki desa secara
otonom hanya akan terjadi pada kewenangan asal-usul saja sebagaimana dalam pasal 206
huruf a.

Dalam pengertian itu, otonomi desa yang dikandung dalam semangat UU No. 32 Tahun
2004 bersifat "pemberian" dan bukannya "bawaan". Pengertian "hak berian" dipahami
sebagai kewenangan yang diperoleh oleh satu unit pemerintahan pada tinglat tertentu atas
dasar pemberian oleh unit pemerintatran yang lebih tinggi. Sedangkan “hak bawaan”
merupakan serangkaian hak yang muncul dari suatu proses sosial, ekonomi, politik dan
budaya dari suatu masyarakat hukum tertentu, termasuk hasil dari proses interaksi dengan
persekutuan-persekutuan masyarakat hukum lainnya. Otonomi sebagai "hak berian" itu
secara implisit masih menggambarkan bahwa desa pada dasarnya masih belum otonom
sejauh tidak diberikan otonomi oleh pemerintahan di atasnya (negara).
Tinjauan Konstitusi Negara Republik Indonesia memuat dua nilai dasar, yaitu nilai kesatuan
dan nilai otonomi. Nilai kesatuan memberikan indikasi bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintah lain di dalamnya pada magnitude negara. Artinya, pemerintah nasional
adalah satu-satunya pemegang kedaulatan rakyat, bangsa, dan negara. Nilai dasar otonomi
diwujudkan dalam bentuk permerintahan daerah yang berwenang menyelenggarakan
otonomi daerah dalam batas-batas kedaulatan negara. Untuk menghindari adanya negara
dalam negara yang sesuai dengan prinsip eenheidstaat dalam UUD 1945 maka
pembentukan daerah (termasuk desa) otonom dalam kerangka pelaksanaan otonomi
dipersyaratkan eiri sebagai berikut:

1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara
federal;
2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan atau
penyerahan urusan dan atau bagian dari urusan pemerintahan;
3. Penyerahan urusan dan atau bagi dari urusan pemerintahan terkait dengan
pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Semangat otonomi terbatas (pemberian) dijelaskan secara lebih detail dalam PP No. 72
Tahun 2005. Pasal 7 PP itu menyatakan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
desa mencakup: (a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
(b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
pengaturannya kepada desa; (e) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan (d) urusan pemerintahan Iainnya yang oleh peraturan
perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Dalam hal pemerintahan desa, UU No. 32 Tahun 2004 menjelaskan pemerintahan desa
terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa
mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa
kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada
BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
masyarakat. Kepala Desa tidak lagi bertanggung jawab kepada BPD sebagaimana
ketentuan pada UU sebelumnya. Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di
tingakt desa, ditegaskan bahwa sekretaris desa (Sekdes) diisi oleh Pegawai Negeri Sipil
(PNS), yang artinya seorang pejabat/pegawai karier

3.  UU No.6 Tahun 2014

Lahirya UU No. 6 Tahun 2014 didasarkan dan disusun atas landasan semangat penerapan
amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal
18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18
ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai
pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang- undangan sektoral
yang berkaitan. Lebih lanjut juga disebutkan, "Dengan konstruksi menggabungkan
fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan
masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata
sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat."
Pengakuan atas keanekaragaman desa merupakan salah satu hal yang sangat kuat
ditonjolkan dalam undang-undang ini. Kalimat konsiderannya sangat tegas,:

"bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang


dalam berbagai bentuk, sebingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat,
maju, mandiri, dan demokratis, sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera."

Selain memberikan posisi yang kuat kepada kepala desa, UU ini memperkenalkan lembaga
baru yang disebut musyawarah desa yang merupakan sebuah forum permusyawaratan
yang diikuti oleh BPD, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat desa untuk
memusyawarahkan hal yang bersifat strategis. Artinya, setiap desa harus menghidupkan
sebuah forum politik yang inklusif di mana persoalan strategis dimusyawarahkan bersama.
Secara demikian diharapkan masyarakat desa akan berkembang menjadi komunitas yang
kohesif.

Semangat ini  juga tecermin dalam pengelolaan pembangunan, di mana UU No. 6 Tahun


2014 menegaskan penggunaan dua pendekatan yang
disebut "Desamembangun" dan "membangun Desa". Penggabungan pendekatan itu
dimaksudkan agar  pembangunan desaefektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat
desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan
pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan
potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan. Untuk itu, Desa harus menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan
kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota.
Dokumen rencana pembangunan desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di
desa dan sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Perencanaan pembangunan desa diselenggarakan dengan mengikut sertakan masyarakat


desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa, yang menetapkan prioritas,
program, kegiatan dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat desa, dan/ atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah kabupaten/Kota. Pembangunan desa dilaksanakan dengan semangat
gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam desa. Sementara
itu, pelaksanaan program sektor yang masuk ke desa diinfonnasikan kepada pemerintah
desa dan diintegrasikan dengan reneana pembangunan desa.

Kebersamaan dan kohesivitas akan lebih mudah direalisasikan jika ditegakkan dengan
transparansi. Masyarakat desa berhak mendapatkail info dan melakukan pemantauan
mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa. Menyadari sangat pentingnya
tranparansi, UU ini mengharuskan dikembangkannya sistem informasi desa yang bisa
diakses oleh masyarakat desa dan semua pemangku kepentingan.

Anda mungkin juga menyukai