Anda di halaman 1dari 5

PERPAJAKAN LANJUTAN

“ANALISA KETENTUAN RASIO HUTANG DAN MODAL (DER) DALAM KETENTUAN


PERPAJAKAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP WAJIB PAJAK DAN PENERIMA
PAJAK”

Hak pemegang saham di CG dan Fungsi Kepemilikan Kunci


Kasus: The (Un)Social Network

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Kelompok 1
TATA Magdalena
KELOLA /Octaviani – 123011901032
CORPORATE GOVERNANCE
Mahda Karina– 123011811033
Disusun –Oleh
Megawaty Elisabeth :
123011901035
Resnawati – 123011901055
Bangkit Puji Pratama
Ronaldy Faisal – 123011901056
Vinda Khaerunnida

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMIAKUNTANSI
PROGRAM MAGISTER DAN BISNIS
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS DAN BISNIS
TRISAKTI
UNIVERSITAS
2018TRISAKTI
Juni 2020
DER pertama kali diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984.
Keputusan ini menetapkan debt equity ratio (dalam KMK tidak pakai “to“) setinggi- tingginya tiga
dibanding satu (3 : 1). Sayangnya, ketentuan DER ini tahun berikutnya ditunda pelaksanaannya
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985. Baru kemudian ditentukan kembali
tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.010/2015. Aturan ini
membatasi DER setinggi-tingginya empat dibanding satu (4 : 1).
Jika ketentuan tahun 1984 tidak ada pengecualian Wajib Pajak, maka aturan DER tahun 2015
ini memberikan pengeculian bagi :
a. Wajib Pajak bank;
b. Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
c. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
d. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya,
atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian
dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang
dan modal; dan
e. Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
f. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.
Artinya, Wajib Pajak yang disebutkan diatas tidak terkena ketentuan DER. Masih bebas seperti
sebelum terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015. Bagi Wajib Pajak di
bidang pertambangan dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang dalam
kontrak atau perjanjian tidak mengatur DER, maka berlaku ketentuan DER 4:1.

Utang Kepada Pemegang Saham


Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.03/2015 memasukkan utang tanpa bunga kepada
pemegang saham (lebih tepatnya “memiliki hubungan istimewa”) termasuk saldo modal. Saldo modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi ekuitas sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi
keuangan yang berlaku dan pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Termasuk biaya pinjaman adalah:
 Bunga pinjaman;
 Diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
 Biaya tambahan yang terjadi terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings);
 Beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
 Biaya imbalah karena jaminan pengembalian utang; dan
 Selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam valuta asing.
Biaya pinjaman diatas dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (biaya) sepanjang besarnya tidak
melebihi ketentuan DER. Artinya, kelebihan dari nisbah 4 bukan biaya.

Perlu diperhatikan bahwa:


 Besarnya biaya pinjaman juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-
undang PPh.
 Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang kepada pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa,
maka besarnya biaya pinjaman juga harus memenuhi tingkat biaya pinjaman sesuai Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha.

Selain dari kelebihan dari nisbah 4 kali, biaya pinjaman juga tidak dapat dibiayakan jika:
 Selisih antara biaya pinjaman atas utang kepada pihak yang memiliki Hubungan Istimewa yang
dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak dengan biaya pinjaman yang
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (jumlah yang tidak wajar dan tidak lazim);
 Biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak; dan
 Biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang dikenai pajak bersifat final.

Biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan menurut pajak (warna
hijau).
Jadi, walaupun nisbah utang masih dibawah 4, tetapi jika biaya pinjaman tersebut tidak
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha maka selisih lebih dari yang tidak wajar harus
dikoreksi fiskal. Pada prakteknya, Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha biaya dipakai oleh
pemeriksa pajak pada saat dilakukan pemeriksaan.
Begitu juga jika pinjaman dipergunakan untuk kegiatan yang menghasilkan penghasilan yang
PPh-nya dikenai final atau menghasilkan penghasilan tetapi penghasilan tersebut bukan objek pajak,
maka atas biaya pinjaman tersebut tetap harus disingkirkan dalam perhitungan.
Jika pinjaman tersebut dipergunakan untuk kegiatan PPh final dan bukan final dan tidak dapat
dipisahkan pembukuannya, maka pemisahannya dapat dilakukan dengan cara proporsional antara
penghasilan final dan bukan final.
Termasuk biaya pinjaman yang tidak boleh dibiayakan adalah biaya pinjaman yang disebutkan
diatas dan dikapitalisasi (dimasukkan sebagai harga perolehan harta). Maka atas penyusutan biaya
pinjaman yang dikapitalisasi tersebut tidak boleh dibiayakan.
Dan seluruh biaya pinjaman (100%) tidak boleh dibiayakan dalam hal nilai ekuitas (modal)
perusahaan nihil atau minus.

Cara Menghitung DER


Nisbah utang terhadap modal ini bukan utang saldo akhir tahun. Utang yang digunakan adalah
saldo rata-rata tiap akhir bulan. Baik untuk saldo utang maupun untuk saldo modal. Setiap akhir bulan
harus dilihat, dimasukkan dalam tabel dan dibagi.

Ada tiga jenis utang yang dianggap bukan utang untuk penghitungan DER, yaitu:
1. Utang yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
2. Utang yang digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan penghasilan yang dikenai PPh
Final, dan yang menghasilan penghasilan bukan objek.
3. Utang dari fihak afiliasi yang tidak dikenai biaya bunga (utang ini dimasukkan sebagai ekuitas).

Saldo rata-rata utang dihitung berdasarkan rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada satu Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak menurut pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak. Dalam
hal rata-rata saldo utang tiap akhir bulan tidak dapat diketahui berdasarkan pembukuan yang
diselenggarakan oleh Wajib Pajak, rata-rata saldo utang tersebut dihitung menurut dokumen yang
dapat menunjukkan posisi utang pada tiap akhir bulan.
Modal yang diperhitungkan dalam DER adalah modal yang dicatat sesuai dengan standar
akuntansi Indonesia, dan ditambah dengan dengan pinjaman tanpa bunga dari pihak afiliasi (memiliki
hubungan istimewa). Jika ada penambahan modal pada tahun tersebut, maka modal yang
diperhitungkan adalah saldo rata-rata modal pada tahun tersebut. Atau pada periode akuntansi tersebut
jika tidak genap 12 bulan.
Saldo rata-rata modal dihitung berdasarkan rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada satu
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak menurut pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak.
Dalam hal rata-rata saldo modal tiap akhir bulan tidak dapat diketahui berdasarkan pembukuan yang
diselenggarakan oleh Wajib Pajak, rata-rata saldo modal tersebut dihitung menurut dokumen yang
dapat menunjukkan posisi modal pada tiap akhir bulan.
Kewajiban Menyampaikan Perhitungan DER Dalam Lampiran SPT Tahunan PPh
Perhitungan DER merupakan salah satu lampiran SPT Tahunan PPh Badan. Ketentuan ini
diatur di Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER- 25/PJ/2017.
Wajib Pajak Badan yang:
1. didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
2. modalnya terbagi atas saham-saham
3. memiliki utang, dan
4. mengurangkan biaya pinjaman dalam penghitungan penghasilan kena pajak
wajib menyampaikan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagai
lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

Dalam hal Wajib Pajak tidak:


1. menyampaikan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal
melaksanakan ketentuan diatas, dan
2. tidak menggunakan format laporan seperti contoh PER-25/PJ/2017
Maka SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang disampaikan dinyatakan tidak
lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan.

Kewajiban Menyampaikan Laporan Utang Swasta Luar Negeri Dalam Lampiran SPT
Tahunan PPh
Wajib Pajak yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib menyampaikan laporan
besarnya utang swasta luar negeri tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan ini tercantum di
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015. Peraturan Direktur Jenderal
nomor PER-25/PJ/2017 mengatur bahwa Wajib Pajak Badan yang memiliki utang swasta luar negeri,
Wajib Pajak juga wajib menyampaikan laporan utang swasta luar negeri sebagai lampiran SPT
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

Dalam hal Wajib Pajak tidak:


1. menyampaikan laporan utang swasta luar negeri sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan, dan/atau
2. tidak menggunakan format laporan seperti contoh PER-25/PJ/2017,
maka SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang disampaikan dinyatakan tidak
lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan biaya
pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak.

Anda mungkin juga menyukai