Anda di halaman 1dari 4

KAJIAN ILMU SOSIAL DAN PERILAKU UNTUK MENDUKUNG RESPONS

PANDEMI COVID-19

Pandemi COVID-19 tercatat sebagai kejadian luar biasa di hampir seluruh

bagian dunia dan menjadi ancaman bagi kesehatan secara global. Terkait dengan

berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi pandemi ini,

diperlukan data dan informasi dasar untuk menentukan kebijakan. Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah melakukan berbagai kajian sosial mengenai

dampak pandemi COVID-19 mulai sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

hingga masa kenormalan baru (new normal).

Sudah hampir delapan bulan pandemi COVID-19 melanda Indonesia sejak

kasus positif pertama ditemukan pada 2 Maret 2020. Hingga kini jumlah kasusnya

terus bertambah. Per 16 Mei lebih dari 17 ribu orang dinyatakan positif COVID-19.

Wabah ini telah menyebar di 34 provinsi dan memukul berbagai sendi kehidupan

masyarakat. Memunculkan masalah kesehatan, sosial, hingga ekonomi. Kebiasaan

masyarakat perlahan berubah. Interaksi fisik berkurang seiring pemberlakukan

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pemerintah pun melakukan berbagai

upaya untuk mengatasi COVID-19. Kampanye pencegahan penyebaran virus gencar

dikomunikasikan. Bantuan sosial digulirkan. Di sisi lain, masyarakat mencoba

beradaptasi dengan situasi yang berkembang. Proses sosial mendorong terciptanya

inovasi sosial untuk mencari jalan keluar agar tetap produktif dan aman dari wabah.

Bagaimana dengan respon pemerintah dalam menghadapi pandemik ini?

Apakah sudah mencukupi dengan pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala


Besar) di daerah Jabodetabek (yang merupakan epicenter COVID 19 di Indonesia)?

Walaupun sudah diberlakukan, terjadi semacam tindakan non-compliance dari

masyarakat umum Indonesia dalam bentuk tidak menaati PSBB yang telah ditetapkan

dan tetap bersosialisasi meskipun hal tersebut sebenarnya berbahaya bagi mereka.

Melihat ini, maka kita perlu menerapkan pendekatan behavioralis dalam

melihat sisi perilaku masyarakat Indonesia yang sulit berubah ketika menghadapi

dengan kondisi baru. Sebelum melihat lebih dalam, kita harus mengetahui apa yang

dimaksud dari pendekatan behavioralis. Dikutip dari John Guy (salah seorang

proponents dari pendekatan ini), behavioralis merupakan pendekatan yang melihat

bahwa perilaku (atau behavior) dalam masyarakat adalah hasil dari pola dan sejarah

yang terkait dengan masyarakat tersebut. Dalam arti ini, pola membentuk perilaku

dari masyarakat, terutama apabila terdapat dukungan dari pemerintah dalam

mempromosikan perilaku tertentu ini.

Perilaku yang harus diubah adalah kebiasaan (atau folkways) masyarakat

Indonesia dari berbagai kalangan untuk berkumpul, bersosialisasi, dan

bercengkerama dalam sebuah tatanan sosial yang cenderung berupa keramaian

(seperti pasar, hajatan, dan kondangan). Kebiasaan ini harus diubah dalam arti

melakukan hal tersebut tetapi secara daring (online meeting, online shopping, dan

online events). Perilaku yang harus diubah juga adalah pemberian jarak antar orang

sekitar 1 meter atau lebih. Hal ini agar membantu mengurangi kemungkinan

terjadinya infeksi antar orang. Walaupun begitu, diperlukan waktu agar masyarakat

dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan ini.


Saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan sosialisasi 3M yaitu

Memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, berbagai cara dan stackholder

digerakkan dalam rangka mendukung adaptasi baru ini. Sementara masyarakata

terlihat acuh tak acuh saja dengan peraturan atau kebiasaan baru ini. Bahkan di

seputaran jalan saja Pemerintah menggerakkan kepolisian untuk memantau kepatuhan

masyarakat dengan melakukan operasi yustisi (menggunakan masker saat keluar

rumah/beraktivitas) meskipun sudah diberlakukan sangsi dengan denda uang sebesar

Rp. 250.000 tetapi ada saja masyarakat yang melanggar ketentuan adaptasi baru ini.

Jika masyarakat bisa patuh dan dengan kebiasaan baru ini maka perubahan

perilaku masyarakat umum tersebut juga tentu akan membantu menyelamatkan

nyawa dari mereka yang terancam terinfeksi dan tentunya, sesuai dengan inisiatif dari

berbagai negara di dunia, flatten the curve (mengurangi jumlah infeksi sehingga total

orang sakit berada di dalam kemampuan sistem kesehatan negara) sehingga

mengurangi beban di rumah sakit (akibat keterbatasan beds dan ventilator dalam

setiap Rumah Sakit) dan menyelamatkan nyawa.

Selain itu, bagi tenaga kesehatan garis depan (termasuk perawat, dokter,

pengemudi ambulans, petugas identifikasi kasus, dan lainnya) dapat menambah stres

tambahan selama wabah COVID-19. Terhadap orang yang menangani pasien

COVID-19 dan jenazahnya .

Tuntutan pekerjaan yang lebih tinggi, termasuk waktu kerja yang lamaj umlah

pasien yang meningkat dan praktik terbaik yang terus berubah seiring perkembangan
informasi tentang COVID-19. Semakin sulit mendapatkan dukungan sosial karena

jadwal kerja yang padat dan adanya stigma masyarakat terhadap petugas garis depan.

Selanjutnya diperlukan kesadaran dari masyarakat dalam rangka mendukung kinerja

pemerintah dan tenaga Kesehatan dalam menghadapi pandemic Covid-19 ini.

Dukungan masyarakat dan PHBS dapat mencegah covid-19 menular dan tertular.

Referensi

“Coronavirus Cases:” Worldometer, www.worldometers.info/coronavirus/

Philanthropic merupakan orang yang melakukan aktivitas  bagi kebaikan manusia

https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/catatan-tentang-

aspek-kesehatan-jiwa-dan-psikososial-wabah-covid-19-feb-2020-indonesian.pdf?

sfvrsn=ebae5645_2

Anda mungkin juga menyukai