PENDAHULUAN
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan Umum dari penulisan ini adalah mengetahui pelaksanaan MDGs dan SDGs
pada Agregat Tuborculosis
1.2.2 Tujuan Khisus
1. Mengatauhi Konsep MDGs dan SDGs pada agregat Tuborkulosis
2. Mengetahui tujuan MDGs dan SDGs pada agregat Tuborkulosis
3. Mengetahui pelaksanaan MDGs dan SDGs pada agregat Tuborkulosis
4. Mengetahu Hasil dari pelaksanaan MDGs dan SDGs pada agregat Tuborkulosis
5. Mengetahu pelaksanaan MDGs dan SDGs pada agregat Tuborkulosis
6. Mengetahui hambatan pelaksanaan MDGs dan SDGs pada agregat Tuborkulosis
7. Mengetahu masukan yang layak laksana untuk keberhasilan pelaksanaan MDGs dan SDGs
pada agregat Tuborkulosis
BAB II
Pengendalian Tuberculosis merupakan indicator keberhasilan dari pelaksanaan MDGs
dan SDGs. Millennium Development Goals (MDGs) merupakan sebuah paradigma
pembangunan global, dideklarasikan Konferensi Tingkat Tinggi Milenium oleh 189 negara
anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bulan September 2000. Dasar
hukum dikeluarkannya deklarasi MDGs adalah Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa
Bangsa Nomor 55/2 Tangga 18 September 2000, (A/Ris/55/2 United Nations Millennium
Development Goals).Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berkomitmen untuk
mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam upaya
menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak
asasi dan kebebasan. Deklarasi berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional
untuk mencapai 8 buah tujuan pembangunan dalam Milenium ini (MDGs). Sebanyak delapan butir yang
telah disepakati untuk dicapai oleh negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
agar pada tahun 2015 negara-negara tersebut mengalami peningkatan kesejahteraan di masyarakatnya.
Delapan butir tujuan pembangunan millennium (MDGs) tersebut salah satunya adalah , Memerangi
HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya tidak lain adalah tuberculosis. MDGs memberikan
tanggung jawab yang besar pada target capaian pembangunan bagi negara berkembang dan
kurang berkembang, tanpa memberikan peran yang seimbang terhadap negara maju. Secara
proses MDGs juga memiliki kelemahan karena penyusunan hingga implementasinya
eksklusif dan sangat birokratis tanpa melibatkan peran stakeholder non-pemerintah, seperti
Civil Society Organization, Universitas/Akademisi, sektor bisnis dan swasta, serta kelompok
lainnya. MDGs berakhir pada tahun 2015, namun hingga kini belum ada konsep final yang akan
meneruskan program MDGs. Untuk itu, ilmuwan dan berbagai kalangan berusaha mendalami
konsep Sustanable Development Goals (SDGs) sebagai penerus MDGs. SDGs merupakan
kelanjutan Millennium Development Goals (MDGs) yang disepakati oleh negara anggota
PBB pada tahun 2000 dan berakhir pada akhir tahun 2015. Namun keduanya memiliki
perbedaan yang mendasar, baik dari segi substansi maupun proses penyusunannya. MDGs
yang disepakati lebih dari 15 tahun lalu hanya berisi 8 Tujuan, 21 Sasaran, dan 60 Indikator.
Sasarannya hanya bertujuan mengurangi separuh dari tiap-tiap masalah pembangunan yang
tertuang dalam tujuan dan sasaran. SDGs mengakomodasi masalah-masalah pembangunan
secara lebih komprehensif baik kualitatif (dengan mengakomodir isu pembangunan yang
tidak ada dalam MDGs) maupun kuantitatif menargetkan penyelesaian tuntas terhadap setiap
tujuan dan sasaranya. SDGs juga bersifat universal memberikan peran yang seimbang kepada
seluruh negara baik negara maju, negara berkembang, dan negara kurang berkembang untuk
berkontribusi penuh terhadap pembangunan, sehingga masing-masing negara memiliki peran
dan tanggung jawab yang sama antara satu dengan yang lain dalam mencapai SDGs. SDGs
berisi 17 tujuan dan 169 sasaran pembangunan yang diharapkan dapat menjawab
ketertinggalan pembangunan negara–negara di seluruh dunia, baik di negara maju dan negara
berkembang. Salah satu indicator SDGs dalam bidang kesehtan. 1
1. Pelaksanaan MDGs dan SDGs pada pengendalian Tuberculosis
Dalam laporan terakhirnya Global Tuberculosis Report 2016, WHO
menjabarkan beban penyakit tuberkulosis di seluruh dunia, pada tahun 2015, insidens
TB mencapai sekitar 10,4 juta kasus baru, 60% di 6 negara, yakni India, Indonesia,
Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan. Indonesia menjadi negara dengan
insidens TB tertinggi kedua pada tahun 2015 dengan estimasi sekitar 1 juta kasus
baru. Angka ini relatif tidak berubah dari tahun sebelumnya.Namun meningkat lebih
dari dua kali lipat dari tahun 2013 saat Indonesia masih menjadi negara dengan urutan
tertinggi kelima. Indonesia juga menjadi negara dengan urutan keempat tertinggi
dengan kasus multi-drug resistant (MDR)-TB dan urutan kelima tertinggi dalam
insidens kasus TB dengan HIV.
Poin 6 Target 8 pada MDGs menjadi dasar di cetuskannya program
pengendalian TB yaitu “STOP TB” yang di mulai pada tahun 2001. Program ini
mempunyai dua tujuan, yakni berkurangnya prevalensi dan angka mortalitas TB
sebanyak 50% pada tahun 2015 dibandingkan tahun 1990 dan mengeradikasi TB
sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2015. Memperkuat strategi DOTS
yang telah dicanangkan sejak awal 1990. Hasil dari program ini adalah Seluruh
pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia telah menerapkan DOTS, selanjutnya
untuk capaian angka mortalitas juga berhasil mencapai target 50% dari tahun 1990.
Disini bias di katakana pelaksanaan MDGs pada agregat Tuberkulosis dikatakan
berhasil, namun bukan berarti Indonesia telah berhasil dalam keseluruhan, masih ada
beberapa target dalam penangulangan Tuberkulosis yang belum tercapai.
Keberhasilan MDGS di Indonesia sejalan dengan pelaksanaan MDGs di
tingkat Provinsi, pada Provinsi Riau pelaksaan MDGs pada agregat Tuberkulosis juga
mengalami keberhasilan dimana pada laporan untuk keberhasilan pengobatan
tuberkulosis di kabupaten/kota wilayah Dinas Kesehatan Provinsi Riau terlihat dari
Angka Success Rate yang dicapai. Kabupaten/Kota yang melampaui target Angka
Success Rate ada 6 kabupaten/kota atau sekitar 50%, sedangkan Angka Success Rate
TB terendah terdapat di Kota Pekanbaru (71,94%) dan Kab. Siak (81,62%) .
Sedangkan Angka Success Rate pada tahun 2016 (83.74%) lebih rendah dari tahun
2015 (86,75%) dan Tahun 2014 (87,2%) ini menunjukan bahwa angka keberhasilan
pengobatan tuberkulosis belum mencapai target strategi Dinas Kesehatan Provinsi
Riau yaitu 90%. Hal ini membuktikan pelaksanaan MDGs belum sepenuhnya berhasil
di tingkat provinsi.
Ketidakberhasilan pada pelaksanaan MDGs ini disebabkan oleh terlalu
jauhnya Pelayanan Kesehatan seperti puskesmas dengan tempat tinggal msayarakat,
selain itu juga belum optimlanya pelaksanaan puskesmas Pembantu di wilayah kerja
Dinas Kesehatan Provinsi Riau.
Dengan berakhirnya MDGs pada tahun 2015 dan di ganti dengan SDGs maka
berkahir pula program STOP TB dan di ganti dengan Program END TB memiliki satu
tujuan, yakni mengakhiri epidemi TB di seluruh dunia. Program ini memiliki tiga
indikator keberhasilan, yakni berkurangnya insidens TB di dunia sebanyak 80% pada
tahun 2030 dibandingkan tahun 2015, berkurangnya angka mortalitas sebanyak 90%
pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2015, dan 0 (nol) biaya yang perlu dikeluarkan
oleh penderita TB dalam rangka pengobatan penyakitnya.
Program END TB dari SDGs ini memiliki tiga pilar yaitu pilar yang pertama
adalah penanganan dan pencegahan TB yang terintegrasi dan berbasis pasien, dimana
disini mencakup diagnasa dini penyakit TB, Mengobati semua penderita TB, Uji
kepekaan obata, kolaborasi TB-HIV dan komorbiditasnya, serta pengobatan preventif
pada penderita risiko tinggi serta vaksinasi terhadap TB. Pilar kedua adalah system
pendukung srta kebijakan-kebijakan yang tegas dan berani, disini penggaulangan TB
melibatkan segala sector , peran aktif komunitas, komitmen politik serat sumber daya
yang adekuat, organisasi sipil, sara kesehtan umum dan swasta. Pilar terakhir, inovasi
dan penelitian yang intens. Hal ini mencakup penemuan, pengembangan, dan
penerapan cepat dari alat, sarana diagnostik, serta strategi penanganan TB yang baru.
Pilar ini juga menekankan pentingnya penelitian dalam mengoptimalkan
implementasi dan dampak dari hal-hal tersebut di atas dalam menyediakan inovasi
dalam penanggulangan TB.
Pelaksaan SDGs saat ini di Indonesia 20.994 kasus pada tahun 2017 (data per
17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada
laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan
Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi
dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini
terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya
merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa
dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7%
partisipan perempuan yang merokok. Selajutnya angaka keberhasilan pengobatan TB
pada pelaksanaan SDGs ini mengalami penurunan, pada tahun 2013 87,0% saat ini
angka keberhasilan pengobatan 85,1%