Anda di halaman 1dari 9

Hukum adalah aturan-aturan atau norma-norma menurut ajaran agama Islam Adat adalah

norma-norma menurut leluhur, kebiasan lama atau tradisi yang dipandang pantas atau patut
oleh rakyat di daerah yang bersangkutan

Pengertian Hukum adat

Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, yang merupakan pedoman bagi sebagian besar
orang-orang Indonesia dan dipertahankan dalam pegaulan hidup sehari-hari baik di kota
maupun di desa.
Hukum Adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup nyata, cara hidup dan pandangan
hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu
berlaku.
Hukum adat adalah merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu
dengan mempelajari hukum adat berarti kita telah mempelajari sebagian dari kebudayaan
bangsa kita.
Orang mencampur-adukkan antara pengertian adat yang mengandung sanksi yaitu hukum
adat dengan pengertian adat yang tidak mengandung sanksi yaitu kebiasaan saja.

Ciri ciri hukum adat


hukum adat umumnya hukum yang tidak tertulis – peraturan-peraturan hukum adat
tertuang dalam petuah-petuah
yang memuat asas-asas perikehidupan dalam masyarakat - asas-asas itu
dirumuskan dalam bentuk pepatah-pepatah,
petitih-petitih, seloka-seloka, cerita-cerita perumpamaan – kepala adat selalu
dimungkinkan ikut campur tangan dalam
segala urusan faktor-faktor dari segala kepercayaan atau agama sering tidak dapat
dipisahkan karena erat terjalin dengan segi hukum dalam
arti sempit – faktor pamrih sukar dilepaskan dari faktor bukan pamrih - ketaatan
dalam melaksanakan lebih disadarkan pada rasa harga
diri setiap anggota masyarakat

Sifat Hukum Adat


- Tradisional Bersifat turun-temurun, dari jaman nenek moyang sampai ke anak cucu
sekarang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat
bersangkutan.
- Keagamaan (magis religius), Perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukumnya
berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang ghaib dan atau didasarkan pada
ajaran Ketuhanan yang Maha Esa.
- Kebersamaan (komunal) Lebih mengutamakan kepentingan bersama, dimana
kepentingan pribadi itu, diliputi oleh kepentingan bersama.
- Konkret dan visual Konkret yaitu jelas, nyata, berwujud dan visual artinya dapat
dilihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi.
– Terbuka dan sederhana Terbuka artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur
yang datang dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu
sendiri. Sederhana artinya bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasinya,
bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasar
saling mempercayai.
- Dapat berubah dan menyesuaikan Dapat berubah menurut keadaan, waktu dan
tempat.
- Tidak dikodifikasi Kebanyakan tidak tertulis, walaupun ada juga yang dicatat dalam
aksara daerah, bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang tidak sistematis,
namun hanya sekadar sebagai pedoman bukan mutlak, harus dilaksanakan, kecuali
yang bersifat perintah Tuhan.
- Musyawarah dan mufakat Mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat.

Sistem Hukum Adat

Pembidangan Hukum Adat


1.       Hukum keluarga
2.       Hukum perkawinan
3.       Hukum waris
4.       Hukum tanah
5.       Hukum hutang piutang
6.       Hukum pelanggaran

Hukum Keluarga
a.       Keturunan
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan darah antara
seseorang dengan orang lain. Keturunan merupakan unsur yang penting bagi
suku ataupun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang
menghendaki supaya ada generasi penerus.
Individu sebagai keturunan mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban
tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga, misalnya
boleh ikut menggunakan nama keluarga, saling bantu membantu dan saling
mewakili dalam suatu perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan
sebagainya.
Dikenal juga keturuanan garis bapak (keturunan patrilineal), yaitu hubungan
darahnya dilihat dari segi laki-laki/ bapak. Dan keturuanan garis ibu
(keturunan matrilineal), yaitu hubungan darahnya dilihat dari garis
perempuan/ibu. Suatu masyarakat yang mengakui keturunan patrilineal
(contoh di daerah Minangkabau) atau matrilineal (contoh di daerah Tanapuli)
saja, disebut unilateral. Sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua
belah pihak disebut bilateral.
Lazimnya untuk kepentingan keturunannya dibuat “silsilah” yaitu bagan
dimana digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang dari
suami/ isteri baik yang lurus ke atas maupun yang lurus ke bawah, ataupun
yang menyimpang.
b.      Hubungan Anak dengan Orangtua
Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam keluarga yaitu:
sebagai penerus generasi, sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian
hari, sebagai pelindung orang tua kemudian haris apabila orang tuanya
sudah tidak mampu baik secara fisik ataupun orang tuanya tidak mampu
bekerja lagi.
Oleh karena itu, sejak anak itu masih dalam kandungan hingga ia
dilahirkan, kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat
adat diadakan banyak upacara-upacara adat yang sifatnya relegio-magis serta
penyelenggaraannya berurut-urutan mengikuti perkembangan fisik anak
yang semuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibunya dari segala
macam bahaya dan gangguan-gangguan serta kelak anak dilahirkan, agar
anak tersebut menjadi seorang anak dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Wujud upacara setiap daerah berbeda satu dengan daerah yang lainnya.
Misalnya upacara-upacara daerah Priangan, masyarakat adat Priangan
mengadakan upacara secara kronologis sebagai berikut :
1)      Anak masih dalam kandungan : bulan ke 3, 5, bulan ke 7
dan ke 9, dan pada bulan ke 7 upacara adat khusus disebut
“Tingkep”.
2)      Pada saat lahir : penanaman “bali” atau kalau tidak
ditanam diadakan upacara penganyutan ke laut.
3)      Pada saat “tali ari” diputus, diadakan sesajen dan tali ari
yang diputus disimpan di dalam “gonggorekan”-nya
(kantong obat), serta pada saat itu juga pemberian nama
kepada bayi.
4)      Setelah anak berumur 40 hari, upacara cukur yang
diteruskan dengan upacara “nurunkeun” (pertama kalinya
kaki bayi disentuhkan pada tanah)
Tetapi dalam kenyataan, tidak semuanya berjalan dengan
normal seperti berikut:.
1)      Anak Lahir diluar Perkawinan
Bagaimana pandangan masyarakat adat terhadap
peristiwa ini dan bagaimana hubungan antara si anak
dengan wanita yang melahirkan dan bagaimana dengan pria
yang bersangkutan?
Pandangan beberapa daerah tidak sama, ada yang
menganggap biasa (Mentawai, Timor, Minahasa dan
Ambon); yang mencela dengan keras di buang di luar
persekutuan, bahkan dibunuh dipersembahkan sebagai
budak (seperti di daerah kerajaan-kerajaan dahulu).
Dilakukan pemaksaan kawin dengan pria yang
bersangkutan (oleh rapat marga di Sumatra), atau
mengawinkan dengan laki-laki lain, dengan laki-laki lain
dimaksudkan agar anak tetap sah seperti di Jawa
disebut nikah tambelan dan di suku Bugis disebut pattongkog
sirig. Meskipun demikian, anak tersebut di Jawa disebut anak
haram jadah dan di Bali disebut astra.
2)      Anak Lahir Karena Hubungan Zinah
Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan
gelap dengan seorang pria lain bukan suaminya, maka
menurut hukum adat, laki-laki itu menjadi bapak dari anak
tersebut.
3)      Anak Lahir setelah Perceraian
Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut
hukum adat mempunyai bapak bekas suami si ibu yang
melahirkan tersebut, apabila terjadi masih dalam batas-batas
waktu mengandung. Hubungan anak dengan orang tua
(anak bapak atau anak ibu) menimbulkan akibat hukum
sebagai berikut:
a)      Larangan kawin antara anak bapak atau anak ibu.
b)     Saling berkewahiban memelihara dan memberi nafkah.
c.       Hubungan Anak dengan Keluarga
Maksudnya dalam garis keturunan bapak dan ibu (bilateral), hubungan anak
dengan pihak bapak dan ibu sama eratnya, derajatnya ataupun pentinganya.
Lain halnya dalam garis keturunan unilateral (patrilineal atapun matrilineal)
adalah tidak sama eratnya, derajatnya ataupun pentinganya.
d.      Memelihara Anak Yatim Piatu
e.       Mengangkat atau Pengambilan Anak (Adopsi)
Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang
lain ke dalam keluarga sendiri sehingga timbul suatu hubungan
kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak
kandung sendiri. Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat
dibedakan beberapa macam, sebagai berikut:
1)      Mengangkat Anak bukan Warga Keluarga
Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-
barang magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula.
Alasan adopsi pada umumnya takut tidak ada keturunan.
Kedudukan hukum anak adopsi ini adalah sama dengan anak
kandung suami istri yang mengangkatnya, sedangkan
kekeluargaan dengan orang tua sendiri secara adat menjadi
putus.
Adopsi harus terang artinya wajib dilakukan dengan upacara
adat serta dengan bantuan kepala adat. Hal demikian terdapat
di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.
2)      Mengangkat Anak dari Kalangan Keluarga
Alasan mengadopsi anak ini sama dengan yang di atas, yaitu
karena takut tidak mempunyai keturunan.
Di Bali perbuatan ini disebut nyentanayang, adapun dalam
keluarga dengan selir-selir, maka apabila isterinya tidak
mepunyai anak, biasanya anak-anak dari selir-selir itu diangkat
untuk dijadikan anak istrinya.
Prosedur pengambilan anak di Bali sebagai berikut:
a)      Wajib membicarakan kehendak untuk mengangkat anak
dengan keluarganya secara matang
b)      Dilakukan sesuai dengan adat yaitu dengan jalan
membakar  benang yang melangbangkan hubungan anak
dengan keluarganya putus
c)      Memasukkan anak tersebut dalam hubungan kekeluargaan
yang memungut, istilahnya diperas.
d)     Pengumuman kepada warga, pada zaman kerajaan dahulu
dibutuhkan surat izin raja terkait dengan adopsi ini yang
berupa surat peras (akta).
3)      Mengangkat Anak dari Kalangan Keponakan-Keponakan
Perbuatan ini terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah
lain. Sebab pengankatan keponakan sebagai anak karena:
a)      Tidak punya anak sendiri
b)      Belum dikaruniai anak
c)      Terdorong oleh rasa kasihan
Sesungguhnya perbuatan ini merupakan pergeseran
kekeluargaan  dalam lingkungan keluarga. Lazimnya ini tidak
disertai dengan pembayaran atau penyerahan barang. Tetapi di
Jawa Timur sekedar sebagai tanda bahwa hubungan anak dengan
orang tuanya terputus (pedot), orang tua kadung anak tersebut
diberi uang sejunlah rongwang segobang (=17 ½ sen ) sebagai syarat.
Sedangkan di Minahasa diberi tanda yang disebut parade sebagai
pengakuan.Selain itu dikenal juga dengan istilah pemungutan anak
yang maksud serta tujuannya buakn semata karena untuk
memperoleh keturunan melainkan lebih untuk memberikan
kedudukan hukum kepada anak yang dipungut agar lebih baik
dan menguntungkan dari semula. Misalnya mengangkat anak laki-
laki dari selir (Lampung, Bali) dan mengangkat anak tiri menjadi
anak sendiri.
Perlu ditegaskan, bahwa anak yang diangkat itu pada
umumnya mereka yang belum kawin dan kebanyakan anak yang
belum dewasa. Sedangkan yang mengangkat biasanya orang yang
sudah menikah serta yang berumur jauh lebih tua dari pada anak
angkatnya, sehingga anak tersebut memang pantas diangkat
menjadi anaknya.

Hukum Perkawinan
a.      Prinsip-prinsip dan Azaz-azaz perkawinan menurut Hukum Adat dan
UU No. 1 Tahun 1974 :
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu
ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk maksud
mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah
tangga, tetapi juga suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota
kerabat dari pihak isteri dan para anggota kerabat dari pihak suami.
Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat
saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan
damai.
Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan
itu didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan
kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu atau garis orang tua. Adanya
silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat,
adalah merupakan barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik
dan teratur.

Perkawinan  dalam  hokum  adat  sangat  dipengaruhi  oleh  sif
atdaripada
susunan  kekeluargaan.  Susunan  kekeluargaan  dikenal  ada  beber
apa macam,yaitu :
1)   Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilineal :
·         perkawinan adalah “perkawinan jujur”
·         pemberian  jujur  dari  pihak  laki-laki  melamba
ngkan  diputuskan hubungan keluarga si isteri
dengan orang tuanya dan kerabatnya.
·         Isteri masuk dalam keluarga suami berikut
anak-anaknya.
·         Apabila suami meninggal, maka isteri tetap
tinggal di rumah suaminya
dengan  saudara  muda  dari  almarhum  seolah-
olah  seorang  isteri  itu diwarisi oleh adik
almarhum.
2)   Perkawinan dalam keluarga Matrilineal :
·         dalam upacara perkawinan mempelai laki-laki
diljemput
·         suami berdiam di rumah isterinya, tetapi suami
tetap dapa keluarganya sendiri.
·         Anak-anak masuk dalam  clan  isterinya dan  si
ayah  tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-
anaknya.
3)         Perkawinan dalam keluarga Parental :
·      setelah  kawin  keduanya
menjadi  satu  keluarga,  baik  keluarga  suami
maupun keluarga isteri.
·      Dengan  demikian  dalam  susunan  kekeluargaan  
parental  suami  dan  isteri masing-
masing  mempunyai  dua  keluarga  yaitu  kelurga  s
uami  dan  keluarga isteri.
b.      Bentuk- bentuk perkawinan adat
Menurut cara terjadinya atau persiapan perkawinan bentuk-
bentuk perkawinan adat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu
1)     Perkawinan Pinang
Yaitu bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan
perkawinan dilaksanakan dengan cara meminang atau melamar.
Pinangan pada umumnya dari pihak pria kepada wanita untuk
menjalin perkawinan.
2)     Perkawinan Lari Bersama
Yaitu perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan
atas persetujuan kedua belah pihak untuk enghindarkan diri
berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan mereka berdua
lari kesuatu tempat untuk melangsungkan perkawinan.
3)    Kawin Bawa Lari
Yaitu bentuk perkawinan dimana seorang laki- laki
melarikan seorang wanita secara paksa.
HUKUM WARIS
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan
penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat
dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak
boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati.
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat     digadai jika keadaan sangat
mendesak berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat
bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan
(dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara
para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan  (naastingsrecht)
dalam kerukunan kekerabatan.
jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak
mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat
menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat
dengan para waris lainnya.
HUKUM TANAH
  

Masyarakat Hukum Adat (Adat Recht Gemeenschap) Sebagai Subyek


Tanah Ulayat.
Sekelompok orang yang merasa sebagai suatu kesatuan, baik karena
keturunan maupun tempat tinggal dan kepentingan, mempunyai organisasi
yang jelas dengan pimpinannya; dan harta kekayaan sendiri baik tanah
maupun bukan tanah, berujud dan tak berujud serta berwenang mengurus
kepentingan sendiri.
Hak Persekutuan Atas Tanah adalah kewenangan persekutuan
hukum adat atas setiap jengkal tanah yang ada dalam wilayah
persekutuan :
a.    Kewenangan persekutuan untuk memanfaatkan bidang tanah
tertentu untuk keperluan persekutuan, kantor lembaga adat, tempat
ibadah, jalan, saluran irigasi, dsb.
b.   Kewenangan persekutuan untuk mengatur pencadangan dan
pemanfaatan semua bidang tanah dalam wilyah persekutuan
c.    Kewenangan persekutuan untuk mengizinkan warga persekutuan
membuka/mengolah/memanfaatkan bidang tanah tertentu, sehingga
warga itu memperoleh hak perorangan
d.   Kewenangan persekutuan untuk mengurus dan mengatur peralihan
bidang tanah dalam wilayah persekutuan, baik antar warga
persekutuan, maupun dengan pihak luar.

Anda mungkin juga menyukai