Anda di halaman 1dari 33

1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Telaah Pustaka

Berdasarkan penelitian Rimawati, Puji, & Istioningsih (2019), tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian preeklamsia dengan jenis penelitian

survei analitik dan pendekatan case control didapatkan hasil IMT yang obesitas

memiliki risiko 5,923 kali lebih besar untuk menderita preeklampsia

dibandingkan dengan kelompok tidak obesitas

Penelitian oleh Zam, Kumaladewi, & Rusman (2021), tentang Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan Kejadian Preeklampsia Kehamilan Di Rumah Sakit

Umum Andi Makkasau Kota Parepare dengan Jenis penelitian analitik case

control didapatkan hasil dari 141 ibu yang mengalami kejadian preeklamsia,

sebanyak 111 orang (97.4%) yang memiliki jarak kehamilan berisiko, Sehingga

ada hubungan yang signifikan antara jarak kehamilan dengan kejadian

preeklamsia kehamilan di RSUD Andi Makkasau Kota Parepare.

Penelitian oleh Sudarman, Freddy, & Hermie (2021), tentang Faktor-Faktor

Yang Berhubungan Dengan Kejadian Preeklamsia, dengan jenis penelitian

literature review, didapatkan hasil, dari 30 literatur yang dikumpulkan,

didapatkan empat literatur yang meneliti hubungan jarak antar kehamilan

dengan kejadian preeklampsia. Tiga literatur yang di lakukan kajian

memperoleh nilai p<0,05 yang berarti terdapat hubungan antara jarak antar

kehamilan dengan kejadian preeklamsia.


2

Penelitian oleh Gustri, Sitorus, & Utama (2016), tentang Determinan

Kejadian Preeklampsia Pada Ibu Hamil Di RSUD Dr. Mohammad Hoesin

Palembang dengan jenis penelitian analitik observasional desain case contol

diperoleh hasil ibu hamil dengan kelompok IMT obesitas berisiko 2 kali lipat

untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan kelompok IMT normal.

Penelitian oleh A Amdadi, Afriani, & Sabur (2020), tentang Mean Arterial

Pressure Dan Indeks Massa Tubuh Dengan Kejadian Preeklampsia Pada Ibu

Hamil Di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar dengan Desain penelitian

menggunakan desain cross sectional study dan cohort prospektif. Didapatkan hasil

bahwa ibu hamil dengan kategori Overweight memiliki risiko 2 kali lipat

menyebabkan hipertensi dalam kehamilan dan preeklamsia, semakin besar angka

IMT ibu hamil maka semakin besar pula kemungkinan terkena penyakit hipertensi

Penelitian Immanuel White, Rahma, Miranti, & Ibtisam (2020), tentang

Analisis Faktor Risiko Kejadian Preeklampsia Di Puskesmas Talise Tahun 2018.

Pada Kehamilan dengan metode Cross sectional didapatkan hasil dari 136 ibu

hamil 6 (36%) ibu hamil mengalami preeklamsia karena IMT dalam katagori

obesitas.

Penelitian oleh Penelitian Fatkhiyah & Khodiyah (2018), tentang

Determinan Maternal Kejadian Preeklampsia Di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah

dengan Desain penelitian case control. Didapatkan hasil bahwa Ibu yang

melahirkan dengan jarak kelahiran ≤2 tahun berisiko preeklamsia sebesar 2 kali

daripada ibu dengan interval kelahiran ≥5 tahun.


3

Penelitian oleh Nurlaelah & Hamzah (2021), tentang Hubungan antara Jarak

Kelahiran dan Usia Dengan Kejadian Preeklamsi, dengan jenis penelitian analitik

cross sectional didapatkan hasil, ibu hamil dengan jarak kehamilan >10 tahun

memiliki risiko 2,442 kali lipat menyebabkan hipertensi dalam kehamilan atau

preeklamsia.

Penelitian oleh Fernanda Maya, Dielsa & Ulya Rahmatul (2019), tentang

Hubungan Usia Dan Status Gravida Ibu Dengan Kejadian Preeklampsia

Di RSI Ibnu Sina Simpang Ampek Pasaman Barat, dengan jenis penelitian

analitik cross sectional. Didapatkan hasil bahwa Ibu hamil yang memliki usia

kehamilan berisiko akan 3 kali lebih rentan untuk mengalami Preeklamsia

dibandingkan dengan ibu yang memiliki usia tidak beresiko.

Penelitian oleh Hidayati & Kurniawati (2019), tentang Hubungan Umur dan

Paritas Dengan Kejadian Preeklamsia Ibu Hamil Di Puskesmas Bangetayu Kota

Semarang, dengan jenis penelitian analitik menggunakan pendekatan case control

didapatkan hasil bahwa Ibu hamil yang memliki usia berisiko <20 tahun dan

>35 tahun akan 9,335 kali lebih rentan untuk mengalami Preeklamsia

dibandingkan dengan ibu yang memiliki usia tidak berisiko.

2. 2 Konsep Indeks Masa Tubuh (IMT)

2.2.1 Pengertian

Indeks massa tubuh adalah ukuran yang digunakan untuk mengetahui

status gizi seseorang yang didapatkan dari perbandingan berat badan dan tinggi

badan dalam meter kuadrat (Dumais, 2016).


4

Menurut Proverawati (2010), Indeks massa tubuh merupakan alat yang

sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa (usia 18 tahun ke atas),

khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.

Berdasarkan metode pengukuran IMT menurut WHO (2012), untuk

menentukan indeks massa tubuh sampel maka dilakukan dengan cara sampel

diukur terlebih dahulu berat badannya dengan timbangan kemudian diukur

tinggi badannya dan dimasukkan ke dalam rumus di bawah ini:

IMT =

Keterangan :

BB: Berat Badab Sebelum Hamil

TB: Tinggi Badan

2.2.2 Derajat Indeks Massa Tubuh (IMT)

Derajat indeks massa tubuh (IMT) obesitas, ibu yang obesitas cenderung

menderita masalah kesehatan yang dapat menganggu kehamilan, misalnya

tekanan darah tinggi dalam kehamilan, diabetes. Prosedur medis seperti

pengamatan tulang belakang dan jantung akan sulit dilakukan pada ibu dengan

derajat IMT obesitas (Siswardana, 2011). Ibu hamil yang sebelumnya memiliki

derajat IMT gemuk atau obesitas kemungkinan memiliki penyulit lebih tinggi

dibandingkan dengan derajat IMT kurus maupun normal. Adapun penyulit yang

timbul antara lain:

1. Hipertensi dan preeklamsia


5

2. Diabetes mellitus pada ibu hamil

3. Janin makrosomia dengan berbagai kemungkinan komplikasi

4. Sulit menentukan keadaan intra uterin

5. Kemungkinan karsinoma kolon makin tinggi

Obesitas merupakan Bertambahnya berat badan sehingga ukuran sel lemak

akan bertambah besar dan jumlahnya bertambah banyak. Penelitian Gustri,

Sitorus, & Utama (2016), mengungkapkan bahwa obesitas berisiko untuk

terjadinya preeklamsia dari pada orang yang tidak menderita obesitas. Perempuan

yang sedang hamil akan terjadi perubahan- perubahan baik itu hormonal, sistem

kardiovaskuler, sistem traktus urinarius yang sangat berbeda dengan perempuan

yang tidak hamil. Oleh sebab itu, perempuan yang mempunyai berat badan

berlebih akan mudah untuk mengalami tekanan darah tinggi dibanding dengan

orang yang normal. Menurut penelitian Fajarsari (2018), ibu hamil yang memiliki

IMT ≥30 memiliki risiko 3 kali lebih besar dibandingkan dengan yang memiliki

IMT normal. Hal tersebut sesuai dengan yang tercantum pada tabel skrining

preeklamsia, salah satu indikator dari preeklamsia adalah Body Mass Indek

BB/TB2 >30/Obesitas (Kemenkes RI, 2018).

2.2.3 Kenaikan berat badan pada ibu hamil

Rekomendasi untuk pertambahan berat badan selama hamil bervariasi dari

tahun ke tahun, Pengukuran berat badan dan tinggi badan wanita sebelum hamil

dan saat hamil, telah terbukti memiliki nilai klinis dalam pengkajian pertambahan

berat badan selama kehamilan (Sharon, 2012). Kenaikan berat badan yang

berlebih atau turunnya berat badan ibu setelah kehamilan trimester kedua harus
6

menjadi perhatian. Penimbangan berat badan pada umur kehamilan trimester 1

dan II bertujuan untuk mengetahui kenaikan berat badan ibu sebelum dan sesudah

hamil. Dalam keadaan normal kenaikkan berat badan ibu dari sebelum hamil

dihitung mulai trimester I sampai trimester III. Penimbangan berat badan mulai

trimester III bertujuan untuk mengetahui kenaikan berat badan setiap minggu

(Sofian, 2015)

Selain langsung mengetahui status gizi ibu dari perhitungan IMT maka ibu

juga dapat mengetahui kenaikan berat badan ideal selama kehamilan (Jannah,

2012). Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi

saat kini (sekarang) dan ibu yang mengalami gizi kurang yang hamil mempunyai

risiko tinggi melahirkan bayi dengan (Proverawati, 2010). Sedangkan ibu yang

memiliki status gizi yang normal maka akan dapat memberikan asupan gizi

sangat banyak bagi janinnya, sehingga akan melahirkan bayi dengan berat

badan normal, meskipun dengan berat lahir yang berbeda-beda (Rochjati,

2011). Pengukuran berat badan dapat dilakukan dengan menggunakan timbangan

berat badan, dan pengukuran tinggi badan dapat menggunakan microtoise

(Sudargo T, 2014).

Berat badan ibu hamil akan bertambah antara 6,5 sampai dengan 16,5 kg

selama hamil, dan untuk trimester 3 kenaikannya 6 kg atau 0,3 – 0,5 kg/minggu

(Manuaba, 2012).

Tabel 2.1
Penambahan Berat Badan Berdasarkan IMT selama hamil

Nilai IMT Penambahan BB Jumlah


7

TM I TM II TM III Berat
Badan
Rendah 1,5-2,0 4,5-6,5 6,5-9,5 12,5-18,0
( < 20)
Normal 1,5-2,0 4,0-6,0 6,0-8,0 11,5-16,0
(20-24,9)
Lebih dari normal 1,0-1,5 2,5-4,0 3,5-6,0 7,0-11,5
(25-29,9)
Obesitas 0,5-1,0 2,0-4,0 3,5-5,0 6,0-10,0
( > 30)
Roumauli, Suryati. 2011. Buku Ajar Askeb 1 Konsep Dasar Asuhan Kehamilan. Yogyakarta:
Nuha Medika.

Menurut Wafiyatunisa (2016), obesitas merupakan faktor risiko yang telah

banyak diteliti terhadap terjadinya preeklamsia. Wanita dengan BMI >35 sebelum

kehamilan memiliki risiko 4 kali lipat mengalami preeklamsia.

2.2.4 Klasifikasi IMT

Menurut Bogaerts (2013) hasil perhitungan IMT kemudian di klasifikasikan

sebagai berikut:

1. Underweight = ≤ 18 kg/m2

2. Normal = 18,5-24,5 kg/m2

3. Overweight = 25-29,9 kg/m2

4. Obesitas = ≥30 kg/m2

Klasifikasi IMT menurut Kemenkes RI (2013) yaitu:

1. Underweight = ˂18,5 kg/m2

2. Normal = ≥18,5-24,9 kg/m2

3. Overweight = ≥25-<27,0 kg/m2

4. Obesitas = ≥27 kg/m2

2. 3 Konsep usia

2.3.1 Definisi
8

Umur adalah usia individu terhitung mulai saat dia dilahirkan sampai

berulangtahun, semakin cukup umur semakin cukup umur, tingkat kematangan

dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi

kepercayaan masyarakat arang yang lebih dewasa akan dipercayai daripada orang

yang belum tinggi kedewasaannya (Saifuddin, 2014).

2.3.2 Klasifikasi usia

Menurut BKKBN 2011 klasifikasi usia reproduksi adalah sebagai berikut:

1. Usia ˂ 20 tahun

Kehamilan di bawah usia 20 tahun dapat menimbulkan banyak

permasalahan karena bisa mempengaruhi organ tibuh seperti rahim, bahkan

bayi bisa prematur dan berat lahir kurang. Hal ini disebabkan karena organ

reproduksi pada wanita ˂ 20 tahun belum semprna atau masih belum matang

sehingga wanita hamil muda belum bisa memberikan suplai makanan dengan

baik ke janin (Marmi, 2011). Kehamilan pada usia muda mengakibatkan rasa

takut terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini dikarenakan pada usia tersebut

ibu mungkin belum siap untuk mempunyai anak dan alat-alat reproduksi belum

siap untuk hamil (Saifuddin, 2014).

Wanita hamil ˂ 20 tahun rahaim dan panggul ibu belum berkembang

dengan baik, sehingga perlu diwasdai kemungkinan mengalami persalinan

yang sulit dan keracunan kehamilan (Maryam, S, 2015).

Menurut Rahmadani. (2012) beberapa risiko kehamilan ˂ 20 tahun adalah

sebagai berikut:

a. Kurangnya perawatan kehamilan


9

b. Keguguran

c. Tekanan darah tinggi

d. Kehamilan prematur

e. Berat bayi lahir rendah

f. Penyakit menular seksual

g. Anemia kehamilan/kekurangan zat besi

2. Usia 20-35 tahun

Usia saat hamil sangat berpengaruh pada kesiapan ibu untuk menerima

tanggung jawab. Kehamilan dengan usia 20-35 tahun disenut dengan usia

reproduksi sehat dikarenakan pada usia 20-35 tahun, dari segi biologis, usia ini

adalah waktu yang tepat untuk hamil karena tingkat kesuburan seorang wanita

sangat tinggi tinggi pada usia ini dan sel telur yang diproduksi wanita

melimpah. Risiko memiliki bayi lahir cacat juga lebih sedikit karena kualitas

sel telur yang diproduksi pada usia ini umumnya masih sangat baik (Herawati,

2017).

3. Usia >35 tahun

Kehamilan dengan usia >35 tahun akan menimbulkan kecemasan terhadap

kehamilan dan persalinan serta alat-alat reproduksi ibu sudah menurun

fungsinya untuk hamil (Herawati, 2017).

Semakin lanjut usia wanita, samakin tipis cadangan telur yang ada, indung

telur juga samakin kurang peka terhadap rangsangan hormone gonadotropin.

Msemakin lanjut usia wanita, maka risiko terjadi abortus semakin meningkat
10

karena menurunnya kualitas sel telur atau ovum dan meningkatnya risiko

kelainan kromosom (Maryam, S, 2015).

2. 4 Konsep Jarak Kehamilan

2.4.1 Definisi Jarak Kehamilan

Jarak kehamilan merupakan batasan sela antara kehamilan yang lalu

dengan kehamilan yang akan datang (Yuliani 2019).

2.4.2 Macam-macam Jarak Kehamilan

Menurut (Rochjati, 2011), jarak kehamilan dibagai menjadi 2 macam

yaitu:

1. Jarak kehamilan ideal

Untuk menurunkan risiko yang terjadi pada saat kehamilan, kelahiran,

maupun proses tumbuh kembang anak, maka anjuran jarak antar- kelahiran

adalah minimal 24 bulan atau maksimal 5 tahun setelah kehamilan yang

terakhir. WHO (2014) menyatakan bahwa waktu yang paling ideal untuk jarak

kehamilan yaitu 3 tahun. Dengan begitu, ibu dapat memberikan ASI pada anak

yang lahir sebelumnya serta ibu juga dapat mempersiapkan tubuhnya kembali

untuk terjadinya kehamilan, dengan status gizi yang baik.

Oleh karena itu dianjurkan untuk melakukan program keluarga

berencana. Program keluarga berencana bukan sekedar program pemerintah

yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan kelahiran yang selanjutnya

(Hartanto, 2010).

2. Jarak kehamilan yang tidak ideal

a. Jarak kehamilan terlalu dekat


11

Jarak kehamilan terlalu dekat adalah jarak antara kehamilan satu dengan

berikutnya kurang 2 tahun (24 bulan). Pada saat itu kondisi rahim ibu

belum pulih sempurna serta waktu ibu untuk menyusui dan merawat

bayinya menjadi berkurang. Jarak kehamilan juga mempengaruhu

kesehatan ibu dan janin, jarak kehamilan terlalu dekat dapat menimbulkan

komplikasi yang serius pada kehamilan maupun proses kelahiran. Jarak

antar kehamilan sebaiknya 2 hingga 3 tahun. Jika kurang dari 2 tahun,

maka bisa berdampak buruk bagi kesegatan ibu maupun janin (BKKBN,

2013). Faktor risiko yang dapat terjadi akibat jarak kehamilan terlalu dekat

yaitu: keguguran, anemia, prematur, BBLR, cacat bawaan (Saifuddin,

2014).

b. Jarak kehamilan terlalu lama

Yaitu jarak kehamilan lebih dari 10 tahun. Ibu hamil dengan persalinan

terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, dalam persalinan seolah-olah

mneghadapi persalinan yang pertama kembali (Saifuddin, 2014).

Sedangkan menurut Reza (2017) klasifikasi jarak kehamilan adalah sebagai

berikut:

a. Jarak <2 tahun

Sejumlah sumber mengatakan bahwa jarak ideal kehamilan sekurang-

kurangnya 2 tahun. Jarak kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu

mempunyai waktu singkat untuk memulihkan kondisi rahimnya agar bisa


12

kembali ke kondisi sebelumnya. Seorang ibu setelah melahirkan

memerlukan 2 atau 3 tahun untuk dapat memulihkan kondisi tubuhnya dan

mempersiapkan diri untuk persalinan yang berikutnya.

b. Jarak kehamilan 2-5 tahun

Jarak kehamilan 2-5 tahun disebut juga dengan periode terbaik. Kehamilan

dengan jarak 2-5 tahun baik untuk ibu karena kondisinya sudah normal

kembali dan organ reproduksinya sudah siap menerima kehamilan

kembali, sehingga dapat mengurangi terjadinya preeklampsia.

c. Jarak kehamilan >5 tahun

Jarak di atas 5 tahun berisiko untuk kesehatan orang tua atau bayinya. Jika

jarak kehamilan >5 tahun risiko terjadinya preeklampsia meningkat

dikarenakan terjadinya proses degeneratif atau melemahnya kekuatan

fungsi otot uterus dan otot panggul yang sangat berpengaruh pada proses

persalinan apabila terjadi kehamilan lagi.

2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi jarak kehamilan

Faktor yang dapat mempengaruhi jarak kehamilan menurut Hartanto

(2010), adalah:

1. hamil usia dibawah 16 tahun dan lebih dari 35 tahun

2. ibu hamil yang pernah mengalami atau bersalin secara sectio caesarea

3. pola atau gaya hidup yang buruk

4. pola seks yang tidak tepat

5. komplikasi pada persalinan

2. 5 Konsep Preeklamsia
13

2.4.1 Definisi

Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan

disertai dengan proteinuria. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan

adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan

sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu (Saifuddin, 2014)

Preeklampsia, sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi

dan proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with

proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik

preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai

gangguan multisistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari

preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan,

untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak

ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal (Saifuddin, 2014).

2.4.2 Etiologi

Frekuensi tiap Negara berbeda-beda karena banyak faktor yang

mempengaruhi meliputi jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, perbedaan

kriteria dalam penentuan diagnose dan lain-lain. Di Indonesia frekuensi terjadinya

preeklamsia sekitar 2-3%. Pada primigravida prekuensi preeklamsia kebih tinggi

dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Diabetes

mellitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, umur lebih dari 35 tahun san obesitas

merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklamsia. Wanita dengan

kehamilan kembar memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk daripada

wanita dengan kehamilan tunggal (Manuaba, 2012).


14

2.4.3 Manifestasi klinis

Preeklamsi merupakan kumpulan dari gejala-gejala kehamilan yang di

tandai dengan hipertensi dan odem (Kusnarman, 2014). Gambaran klinik

preeklampsia mulai dengan kenaikan berat badan diikuti edema kaki atau tangan,

kenaikan tekanan darah, dan terakhir terjadi proteinuria (Saraswati & Mardiana,

2016).

Tanda gelaja yang biasa di temukan pada preeklamsi biasanya yaitu sakit

kepala hebat. Sakit di ulu hati karena regangan selaput hati oleh perdarahan atau

edema atau sakit karena perubahan pada lambung dan gangguan penglihatan,

seperti penglihatan menjadi kabur bahkan kadang-kadang pasien buta. Gangguan

ini disebabkan penyempitan pembuluh darah dan edema (Fitriani, 2017).

2.4.4 Klasifikasi preeklampsia

Menurut Saifuddin (2014), Klasifikasi preeklamsia dibagi menjadi 2

golongan yaitu

1. Preeklamsia ringan

Ditandai dengan pertambahan berat badan, edema umum dikaki dan muka,

hipertensi dengan tekanan darah lebih atau sama dengan 140/90mmHg,

setelah gestasi 20 minggu, proteinuria lebih atau sama dengan 300 mg/liter

dan 1+ atau 2+ pada dipstick, dan belum ditemukan gejala-gejala subyektif.

2. Preeklamsia berat

Preeklamsia berat ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan

tekanan darah diastolic ≥ 110 mmHg,proteinuria2 gram per liter atau≥ 2+


15

pada dipstick, oliguria < 400 ml/24 jam,kreatinin serum > 1,2 mg/dl,

nyeriepigastrium, edema pulmonum, sakit kepala di daerah frontal, diplopia

dan pandangan kabur, serta perdarahan retina.

2.4.5 Faktor Predisposisi Preeklamsia

Menurut Saifuddin (2014), Faktor risiko yang dapat dinilai pada

kunjungan antenatal pertama Anamnesis:

1. Usia >40 tahun

Usia merupakan bagian dari status reproduksi yang penting. Usia berkaitan

dengan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh sehingga mempengaruhi

status kesehatan. Usia reproduktif sehat yang aman untuk kehamilan dan

persalinan adalah 20-35 tahun. Sedangkan usia ibu >35 tahun seiring

bertambahnya usia rentan untuk terjadi peningkatan tekanan darah karena

terjadi degenerasi. Adanya perubahan patologis, yaitu terjadinya spasme

pembuluh darah arteriol menuju organ penting alam tubuh sehingga

menimbulkan gangguan metabolisme jaringan, gangguan peredaran darah

menuju retroplasenter.

2. Primigravida

Status gravida adalah wanita yang sedang hamil. Status gravida dibagi

menjadi 2 kategori:

a. Primigravida adalah wanita yang hamil untuk pertama kalinya,

b. Multigravida adalah wanita yang hamil ke 2 atau lebih.

Preeklampsia banyak dijumpai pada primigravida daripada multigravida,

terutama primigravida usia muda. Primigravida lebih berisiko mengalami


16

preeklampsia daripada multigravida karena preeklamsia biasanya timbul pada

wanita yang pertama kali terpapar virus korion. Hal ini terjadi karena pada

wanita tersebut mekanisme imunologik pembentukan blocking antibody yang

dilakukan oleh HLA-G terhadap antigen plasenta belum terbentuk secara

sempurna, sehingga proses implantasi trofoblas ke jaringan desidual ibu

menjadi terganggu. Primigravida juga rentan stress dalam menghadapi

persalinan yang menstimulasi tubuh unuk mengeluarkan kortisol. Efek

kortisol adalah meningkatkan respon simpatis, sehingga curah jantung dan

tekanan darah juga akan meningkat. Nulipara lebih berisiko mengalami

preeklampsia daripada multipara karena preeklampsia biasanya timbul pada

wanita yang pertama kali terpapar virus korion (Bothamley & Boyle, 2012).

3. Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya

Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko

utama. Menurut Duckit risiko meningkat hingga 7 kali lipat. Kehamilan pada

wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya

kejadian preeklamsia berat, preeklamsia onset dini, dan dampak perinatal

yang buruk (Bothamley & Boyle, 2012).

4. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru

Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko

preeklampsia, walaupun bukan nullipara karena risiko meningkat pada

wanita yang memiliki paparan rendah terhadap sperma.

5. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih


17

Hubungan antara risiko terjadinya dengan interval/jarak kehamilan lebih

signifikan dibandingkan dengan risiko yang ditimbulkan dari pergantian

pasangan seksual. Risiko pada kehamilan kedua atau ketiga secara langsung

berhubungan dengan waktu persalinan sebelumnya. Ketika intervalnya lebih

dari 10 tahun, maka risiko ibu tersebut mengalami preeklampsia adalah sama

dengan ibu yang belum pernah melahirkan. Dibandingkan dengan wanita

dengan jarak kehamilan dari 18 hingga 23 bulan, wanita dengan jarak

kehamilan lebih lama dari 59 bulan secara signifikan meningkatkan risiko

preeklamsia (Bothamley & Boyle, 2012).

6. Kehamilan multipel/kehamilan ganda

Kehamilan ganda meningkatkan risiko preeklamsia sebesar 3 kali lipat.

Dengan adanya kehamilan ganda dan hidramnion, menjadi penyebab

meningkatnya resiten intramural pada pembuluh darah myometrium, yang

dapat berkaitan dengan peninggian tegangan myometrium dan menyebabkan

tekanan darah meningkat. Wanita dengan kehamilan kembar berisiko lebih

tinggi mengalami preeklampsia hal ini disebabkan oleh peningkatan massa

plasenta dan produksi hormo (Mansjoer., Triyanti., Savitri., Wardhani &

Setiowulan, 2011).

7. Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)

Diabetes dan preeklamsia adalah dua kondisi umum yang berhubungan

dengan kehamilan, keduanya terkait dengan hasil kesehatan ibu dan janin

yang buruk. Diabetes dan preeklamsia memiliki faktor risiko yang sama
18

(misalnya, obesitas, sindrom ovarium polikistik, usia ibu lanjut, peningkatan

berat badan kehamilan), hiperinsulinemia dikaitkan dengan kedua kondisi.

Diabetes dan preekamsia memiliki bukti disfungsi vaskular endotel.

8. Hipertensi kronik

Penyakit kronik seperti hipertensi kronik bisa berkembang menjadi

preeklampsia. Yaitu pada ibu dengan riwayat hipertensi kronik lebih dari 4

tahun. Chappel juga menyimpulkan bahwa ada 7 faktor risiko yang dapat

dinilai secara dini sebagai prediktor terjadinya preeklamsia superimposed

pada wanita hamil dengan hipertensi kronik.

9. Obesitas sebelum hamil (IMT >30 kg/m2 )

IMT adalah rumus yang sederhana untuk menentukan status gizi, terutama

yang berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan berat badan. Obesitas

adalah kondisi IMT yang masuk ketaegori gemuk (kelebihan berat badan

tigkat berat). Obesitas sebelum hamil dan IMT saat pertama kali ANC

merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko ini semakin besar dengan

semakin besarnya IMT pada wanita hamil karena obesitas berhubungan

dengan penimbunan lemak yang berisiko munculnya penyakit degeneratif.

Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh.

Obesitas dapat memicu terjadi nya preeklampsia melalui pelepasan sitokin-

sitokin inflamasi dari sel jaringan lemak, selanjutnya sitokin menyebabkan

inflamasi pada endotel sistemik. Peningkatan IMT sebelum hamil

meningkatkan risiko preeklampsia 2,5 kali lipat dan peningkatan IMT selama

ANC meningkatkan risiko preeklamsia sebesar 1,5 kali lipat.


19

2.4.6 Komplikasi Preeklamsia

Menurut Feryanto (2011), komplikasi Preeaklamsia yaitu

1. Komplikasi Maternal

a. Eklampsia

Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang

disertai dengan kejang menyeluruh dan koma, eklampsia selalu didahului

dengan preeklampsia. Timbulnya kejang pada perempuan dengan

preeklampsia yang tidak disebabkan oleh penyakit lain disebut eklampsia.

b. Hemolysis Elevated Liver Enzymes Dan Thrombocytopenia (sindrom

HELLP).

Pada preeklampsia sindrom HEELP terjadi karena adanya peningkatan

enzim hati dan penurunan trombosit, peningkatan enzim kemungkinan

disebabkan nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobules hepar.

Perubahan fungsi dan integritas hepar termasuk perlambatan ekskresi

bromosulfoftalein dan peningkatan kadar aspartat amniotransferase

serum.

c. Ablasi Retina

Ablasia retina merupakan keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel

pigmen retina. Gangguan penglihatan pada wanita dengan preeklampsia

juga dapat disebabkan karena ablasia retina dengan kerusakan epitel

pigmen retina karena adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh

darah akibat penimbunan cairan yang terjadi pada proses peradangan.

Gangguan pada penglihatan karena perubahan pada retina. Tampak edema


20

retina, spasme setempat atau menyeluruh pada satu atau beberapa arteri.

Jarang terjadi perdarahan atau eksudat atau spasme. Retiopati

arterisklerotika pada preeklampsia terlihat bilamana didasari penyakit

hipertensi yang menahun. Spasme arteri retina yang nyata menunjukkan

adanya preeklampsia berat. Pada preeklampsia pelepasan retina karena

edema introkuler merupakan indikasi pengakhiran kehamilan segera.

Biasanya retina akan melekat kembali dalam dua hari sampai dua bulan

setelah persalinan.

d. Gagal Ginjal

Perubahan pada ginjal disebabkan oleh karena aliran darah ke dalam ginjal

menurun, sehingga filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan ginjal

berhubungan dengan terjadinya proteinuria dan retensi garam serta air.

Pada kehamilan normal penyerapan meningkat sesuai dengan kenaikan

filtrasi glomerulus. Penurunan filtrasi akibat spasme arterioles

ginjalmenyebabkan filtrasi natrium menurun yang menyebabkan retensi

garam dan juga terjadi retensi air. Filtrasi glomerulus pada preeklamsia

dapat menurun 50% dari normal sehingga menyebabkan dieresis turun.

Pada keadaan lanjut dapat terjadi oliguria sampai anuria.

e. Edema Paru

Penderita preeklamsia mempunyai risiko besar terjadinya edema paru

disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh

darah kapiler paru dan menurunnya deurisis. Kerusakan vaskuler dapat

menyebabkan perpindahan protein dan cairan ke dalam lobus-lobus paru.


21

Kondisi tersebut diperburuk dengan terapi sulih cairan yang dilakukan

selama penanganan preeklampsia dan pencegahan eklampsia. Selain itu,

gangguan jantung akibat hipertensi dan kerja ekstra jantung untuk

memompa darah ke dalam sirkulasi sistemik yang menyempit dapat

menyebabkan kongesti paru.

f. Kerusakan Hati

Vasokontriksi menyebabkan hipoksia sel hati. Sel hati mengalami nekrosis

yang diindikasikan oleh adanya enzim hati seperti transminase aspartat

dalam darah. Kerusakan sel endothelial pembuluh darah dalam hati

menyebabkan nyeri karena hati membesar dalam kapsul hati. Hal ini

dirasakan oleh ibu sebagai nyeri epigastrik/nyeri ulu hati.

g. Penyakit Kardiovaskuler

Gangguan berat pada fungsi kardiovaskuler normal lazim terjadi pada

preeklamsia atau eklampsia. Gangguan ini berkaitan dengan peningkatan

afterload jantung yang disebabkan hipertensi, preload jantung, yang

sangat dipengaruhi oleh tidak adanya hipervolemia pada kehamilan akibat

penyakit atau justru meningkat secara introgenik akibat infus larutan

kristaloid atau onkotik intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasi

cairan intravakuler ke dalam ekstrasel, dan yang penting ke dalam

paruparu.

h. Gangguan Saraf

Tekanan darah meningkat pada preeklamsia menimbulkan gangguan

sirkulasi darah ke otak dan menyebabkan perdarahan atau edema jaringan


22

otak atatu terjadi kekurangan oksigen (hipoksia otak). Menifestasi klinis

dari gangguan sirkulasi, hipoksia atau perdarahan otak menimbulkan

gejala gangguan saraf diantaranya gejala objektif yaitu kejang

(hiperrefleksia) dan koma. Kemungkinan penyakit yang dapat

menimbulkan gejala yang sama adalah epilepsi dan gangguan otak karena

infeksi, tumor otak, dan perdarahan karena trauma.

2. Komplikasi Neonatal

a. Pertumbuhan Janin terhambat

Ibu hamil dengan preeklampsia dapat menyebabkan pertumbuhan janin

terhambat karena perubahan patologis pada plasenta, sehingga janin

berisiko terhadap keterbatasan pertumbuhan.

b. Prematuritas Preeklamsia memberikan pengaruh buruk pada kesehatan

janin yang disebabkan oleh menurunnya perfusi uteroplasenta, pada

waktu lahir plasenta terlihat lebih kecil daripada plasenta yang normal

untuk usia kehamilan, prematur yang terlihat jelas dengan berbagai

daerah sinsitianya pecah, banyak terdapat nekrosis iskemik dan posisi

fibrin intervilosa.

c. Fetal distress Preeklampsia dapat menyebabkan kegawatan janin seperti

sindroma distress napas. Hal ini dapat terjadi karena vasospasme yang

merupakan akibat kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot

pembuluh darah sehingga pembuluh darah mengalami kerusakan dan

menyebabkan aliran darah dalam plasenta menjadi terhambat dan

menimbulkan hipoksia pada janin yang akan menjadikan gawat janin


23

2.4.7 Pencegahan preeklamsia

Pemeriksanaan antenatal yang teratur dan teliti dapat dapat menemukan

tanda-tanda dini preeklamsia, dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan yang

semestinya. Walaupun timbulnya preeklamsia tidak dapat dicegah sepenuhnya,

namum frekuensinya dapat dikurangi dengan pengawasan pada wanita hamil.

Informasi tentang manfaat istirahat dan diet, pola istirahat, menganjurkan utuk

lebih banyak duduk dan berbaring, diet tinggi protein dan rendah lemak,

karbohidrat serta garam (Saifuddin, 2014).

2.4.8 Penanganan preeklamsia

Menurut Feryanto (2011), penenganan preeklamsia berat adalah:

1. Perawatan aktif, sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap

penderita dilakukan pemeriksaan fetal assessment yakni pemeriksaan

nonstress test (NST) dan USG, dengan indikasi (salah satu atau lebih) :

a. Ibu : usia khamilan 37 minggu atau lebih; adanya tanda- tanda atau gejala

impending eklamsi, kehgagalan terapi konservatif yaitu setelah 6 jam

pengobatan meditasi terjadi kenaikan desakan darah atau setelah 24 jam

perwatan edicinal, ada gejala-gejala satus quo (tidak ada perbaikan)

b. Janin : hasil fetal assesment jelek (NST dan USG)

c. Hasil laboratorium: adanya “HELLP syndrome” (hematolisis dan

peningkatan fungsi hepar, trombositopenia).

2. Pengobatan medisinal pasien preeklamsi berat dilakukan dirumah

sakitdilakukan pemantauan Tanda-tanda vital diperiksa setiap 30 menit, reflek

patella setiap jam, infus RL dextrose 5% dimana setiap 1 liter disleingi infus
24

RL (60-125 cc/jam) 500CC, berikan antasida, diet cukup protein, rendah

karbohidrat, rendah lemak, dan rendah garam, pemberian obat anti kejang,

MgSO4, diuretik tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru,

payah jantung kongestif atau edema anasarka, diberikan furosemid injeksi

40mg/IM.

3. Antidepresa diberikan bila : tekanan darah sistolis lebih 180 mmHg. Diastolis

lebih dari 110 mmHg atau MAP lebih 125 mmHg. Sasasaran pengobatan

adalah tekanan diastolis kurang 105 mmHg (bukan kurang 90 mmHg) karena

akan menurunkan perfusi plasenta, dosis antihipertensi sama dengan dosis

antihipertensi pada umumnnya.

4. Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya, dapat diberikan obat-

obat antihipertensi parenteral (tetesan kontinyu).

2. 6 Hubungan antar variabel

2.5.1 Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) Dengan Preeklamsia

Indeks Massa Tubuh (IMT) menjadi salah satu faktor pencetus terjadinya

preeklamsia. Ibu yang sebelum hamil memiliki IMT tidak normal 3 kali

berpotensi terkena hipertensi dalam kehamilan maupun preeklamsia, penyakit

jantung dan diabetes mellitus (Manuaba, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh

Fahrudin (Fahrudin, 2018), menyatakan bahwa wanita hamil dengan obesitas

memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk mengalami preeklamsia dibandingkan

yang normal. Hal tersebut diakibatkan dari adanya molekul fibronection yang

berlebihan pada obesitas. Fibronection merupakan glikoprotein yang terdapat

pada matriks ekstraseluler, yang dihasilkan sel epitel serta sel-sel endotel.
25

Terdapat kenaikan fibronection pada wanita hamil dengan obesitas, jika

dibandingkan dengan wanita hamil yang memiliki berat badan normal (Manuaba,

2010).

Menurut Saifuddin (2014), pada kehamilan, terjadi invasi trofoblas ke

dalam lapisan otot arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot

tersebut sehingga terjadi distensi dan vasodilatasi arteri spiralis yang akan

memberikan dampak penurunan tekanan darah, oenurunan rtensi vascular, dan

peningkatan aliran darah pada uteroplasenta. Akibatnya aliran darah janin cukup

banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan

janin dengan baik, proses ini dinamakan remodeling. Pada preeklamsia terjadi

kegagalan remodeling yang menyebabkan arteri spiralis tidak mengalami distensi

dan vasodilatasi. Sehingga aliran darah utero plasenta menurun dan terjadilah

hipoksia dan iskemi plasenta.

Timbulnya preeklamsi pada obesitas di sebabkan peningkatan volume

plasma dan peningkatan curah jantung yang terjadi pada obesitas berhubungan

denga hiperinsulinema, perubahan hormonal, resistensi insulin. Dalam keadaan

normal leptin di sekresi kedalam sirkulasi darah dalam kadar rendah, akan tetapi

pada obesitas di dapatkan peningkatan kadar Lepin. Lepin sendiri merupakan

hormon yang di sekresi terutama sel lemak, fungsi utamanya adalah mengatur

nafsu makan dan pengeluaran energi tubuh malalui pengaturan saraf pusat

(Saifuddin, 2014).

2.5.2 Hubungan usia ibu dengan Preeklamsia


26

Usia sangat mempengaruhi kehamilan, usia kehamilan yang sehat yaitu usia

20-35 tahun (Marmi, 2011). Pada usia tersebut alat reproduksi wanita telah

berkembang dan berfungsi secara maksimal. Sebaliknya pada wanita usia dibawah

20 tahun atau diatas 35 tahun kurang baik untuk hamil karena kehamilan pada usia

ini memiliki risiko lebih tinggi salah satunya preeklamsia (Ratumbuyang, &

Manado, 2014). usia terlalu muda atau terlalu tua merupakan salah satu faktor

terjadinya preeklamsia, usia kurang 20 tahun organ reproduksi masih belum

matang sedangkan untuk usia diatas 35 tahun fungsi organ reproduksi juga

mengalami penurunan sehingga tidak dapat bekerja secara maksimal (Maryam, S,

2015). Ibu yang berumur lebih dari 35 tahun atau kurang dari 20 tahun berpotensi

3 kali lipat terkena preeklamsia dibandingkan dengan ibu hamil yang berusia 20-

35 tahun (bobak, 2014)

2.5.3 Hubungan jarak kehamilan dengan Preeklamsia

Terjadinya preeklampsia-eklampsia dipengaruhi oleh beberapa faktor,

salah satunya adalah jarak kehamilan. Selama kehamilan uterus memerlukan

darah lebih banyak. Pada jarak kehamilan <2 tahun dan >5 tahun termasuk

kehamilan risiko tinggi. Kehamilan dengan preeklamsia dapat meningkatkan

respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboksan)

yang dapat menyebabkan vasospasme dan agresi platelet. Penumpukan trombus

dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan

sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang.

Hipertensi pada kehamilan terjadi akibat kombinasi peningkatan curah

jantung dan resistensi perifer total. Selama kehamilan normal, volume darah
27

meningkat drastis. Pada wanita sehat, peningkatan volume darah diakomodasikan

oleh penurunan responsivitas vaskuler terhadap hormon vasoaktif misalnya

angiostensin II. Hal ini menyebabkan resisten perifer total berkurang pada

kehamilan normal dan tekanan darah rendah (Cunningham & Gary , 2014 ).

Jarak kehamilan <2 tahun rahim atau alat reproduksi ibu belum kembali

seperti semula. Sedangkan jika jarak kehamilan >5 tahun risiko terjadinya

preeklampsia meningkat dikarenakan terjadinya proses degeneratif atau

melemahnya kekuatan fungsi otot uterus dan otot panggul yang sangat

berpengaruh pada proses persalinan apabila terjadi kehamilan lagi (Fahira &

Arifuddin, 2017).

Faktor Ibu:
1. Indeks massa tubuh
2.6 Kerangka Konsep
2. Jarak kehamilan
3. Usia

4. Gravida,
5. Kehamilan Ganda,
6. Riwayat Keguguran
Sebelumnya,
7. Riwayat Preeklampsia
Sebelumnya,
8. Menikah Lebih Dari Satu
Kali
28

Preekamsia

Faktor ayah :
1. Usia Ayah
2. Riwayat Medis Ayah
3. Merokok,

Faktor Kelurga:
1. Riwayat keluarga dengan
preeklamsi
2. Mertua dengan preeklamsia
Riwayat keluarga dengan
preeklamsi

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti
29

2.7 Hipotesis Penelitian

H1 : Ada hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan kejadian

Preeklamsia.

H1 : Ada hubungan antara usia ibu dengan kejadian Preeklamsia.

H1 : Ada hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian Preeklamsia.

DAFTAR PUSTAKA

A Amdadi, Z., Afriani, & Sabur, F. (2020). Mean Arterial Pressure Dan Indeks
Masa Tubuh Dengan Kejadian Preeklamsia Pada Ibu Hamil di RS
Bhayangkara Makassar. Media Kesehatan. Volume: 8 ;No 48-55.

Agus Riyanto. (2017). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta :


Nuha Medika

Arif Mansjoer, Kuspuji Triyanti, Rakhmi Savitri, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek
Setiowulan. (2021). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid
Pertama. Jakarta: Media Aesculapius. h.28-33

Bothamley, J., & Boyle, M. (2012). Patofisiologis Dalam Kebidanan. Jakarta:


EGC.

BKKBN. (2013). Peningkatan Akses Dan Pelayanan KB. Bandung: BKKBN


30

BKKBN (2011). Greand desain pengendalin kualitas penduduk kota.


Padang:BKKBN

Bobak, L.J. (2014). Buku ajar keperawatan maternitas edisi 4. Jakarta. EGC

Cunningham, F. Gary et al. (2014). Obstetrin Williams. Jakarta: EGC.

Dumais. (2016). Hubungan Obesitas Dalam Kehamilan Dengan Preeklamsia.


Jurnal e-Clinic Vol 4; No 42-50.

Fatkhiyah, N., & Khodiyah. (2018). Determinan Maternal Kejadian Preekalmsia


Di Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Jurnal Keperawatan Soedirman.
Volume: 11; No 53-61.

Fahira, N. A., & Arifuddin, A. (2017). Faktor-Faktor Risiko Kejadian Preeklamsia


Pada Ibu Hamil Di RSUAnutapura Kota Palu. Jurnal Kesehatan
Tandulako. Volume: 3; No 60- 69.

Feryanto, F. (2011). Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba Medika.

Fitriani. (2017). Hubungan Paritas Dengan Kejadian Preeklamsia Pada Ibu Hmail
Di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Jurnal Menara Ilmu. Volume: 2;
No 55-63.
Fahrudin. (2018). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadia Hipertensi Pada
Ibu Hamil. Universitas Hasanudin. Volume: 2; No 24-30.

Gustri, Y., Sitorus, R. J., & Utama, F. (2016). Determinan Kejadian Preeklamsia
Pda Ibu Hamil Di RSUD DR. Mohammad Hoesin Palembang. Jurnal Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Volume: 7; No209-217.

Hartanto, H. (2010). Keluarga Berencana Dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan.

Herawati. (2017). Hubungan Usia Dengan Kejadian Preeklampsia Pada Ibu


Bersalin Di Rsud Muntilan. Volume: 3; No 50-57.

Hidayat, A. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan Tekhnik. Analisis Data.


Jakarta: Salemba Medika.

Immanuel White, I. F., Rahma, Miranti, & Ibtisam. (2020). Analisis Faktor Risiko
Kejadian Preeklamsia Di Puskesmas Talise Tahun 2018. Jurnal
Kesehatan Tadulako. Volume: 6; No 52-61.
31

Jannah. (2012). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Kehamilan . Yogyakarta: CV Andi


Offset.

Kusnarman, K. (2014). Patomekanisme Preeklamsia Terkini Mengungkap Teori-


Teori Terbaru. Malang: Universitas Brawijaya Press.

Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang


Kemenkes RI.

Kemenkes RI. (2019). Profil kesehatan indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.


Kemenkes RI. (2018). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta:
Kemenkes RI.

Kemenkes RI. (2018). Buku Kesehatan Ibu Dan Anak. Jakarta: Kemenkes RI.

Lapau, Buchari. (2015). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Yayasan Pustaka


Obor Indonesia.

Marmi. 2011. Asuhan Kebidanan Masa Antenatal. Yogyakarta: Pustaka Belajar

Manuaba, Ida Ayu Chandranita, Ida Bagus Gde Fajar Manuaba, and Ida Bagus
Gde Manuaba. (2012). Ilmu Kebidanan,Penyakit Kandungan,Dan KB.
Jakarta: EGC.

Manuaba, IAC., I Bagus, dan IB Gde. (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit


Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan. Edisi kedua. Jakarta:
EGC.

Maryam, S. 2015. Promosi Kesehatan dalam Pelayanan Kebidanan. Jakarta:


EGC.

Masturoh, I., & T, N. A. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:


Kemenkes RI.

Notoatmodjo, S. (2018). Metode Penelitian Kesehatan . Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. (2020). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu. Jakarta:


Salemba Medika.

Puryani. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Preekalmsia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puseksmas Kota Mdiun.
Jurnal UNDIP. Volume: 1; No 39-49.

Proverawati, A. (2010). BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Yogyakarta:


32

Nuha Medika,
Rahmadani. (2012). Ilmu Kebidanan Praktis. Jakarta: EGC

Rimawati, U., Puji, Y., & Istioningsih. (2019). Indeks Masa Tubuh (IMT), Jarak
Kehamilan dan Riwayat Hipertensi Mempengaruhi Kejadian Preeklamsia.
Jurnal Keperawatan Maternitas. Volume: 1; No 9-22.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_
2018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf – Diakses februari 2020.

Rochjati, P. (2011). Skrining Antenatal Pada Ibu Hamil . Surabaya : Airlangga


University Press.

Ratumbuyang, and Manado, K. (2014). Faktor-Faktor Risiko Yang Berhubungan


Dengan Kejadian Hipertensi Pada Ibu Hamil Di Poli
Klinik Obs-Gin Rumah Sakit Jiwa. IImiah Bidan: Volume 5; No 33–40.

Reza. (2017). Rasio Prevalensi Jarak Kehamilan Terhadap Kejadian


Preeklampsia Pada Ibu Bersalin. Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan. Volume 7; No 47–60.

Saswardana (2011). Manajemen Hipertensi dengan penyulit Proteinuria dalam


Cermin Dunia Kedokteran Vol. 38 no.1. Jakarta : CDK, pp. 7-11).
Saifuddin, A. B. (2014). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
Dan Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Saraswati, N., & Mardiana. (2016). Faktor-Fktor Yang Berhubungan Dengan


Kejadian Preeklamsia Pada Ibu Hamil Di RSUD Kabupaten Brebes
Tahun 2014. Unnes Journal Of Public Health: Volume 2; No 65-70.

Sharon , R. (2012). Keperawatan Maternitas Kesehatan Wanita, Bayi, dan,


Keluarga. Jakarta: EGC.
Sudarman, Harmie & Freddy. (2021). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Terjadinya Preeklampsia. CliniC. Volume: 9; No 33-42.

Sofian , A. (2015). Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta : EGC.

T, Sudargo. (2014). Pola Makan Dan Obesitas. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.
33

Wafiyatun. (2016). Hubungan Obesitas dengan Terjadinya Preeklampsia.

WHO. (2014). Maternal Mortality: World Health Organization.


WHO. (2012). Prevention and Treatment of Pre-Eclamsia. Genewa. World
Health Organization

Yuliani. (2019). Distribution of Preeclampsia Risk Factors in Pregnant Woman


with Mild Preeclampsia in Banyumas District. Jurnal Kebidanan, Vol 9
No 2.

Zam, N., Kumaladewi, H., & Rusman, A. P. (2021). Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Preeklamsia Kehamilan Di RS Umum
Andi Makkasau Kota Parepare. Jurnal Ilmiah: Volume 4; No 59-71.

Anda mungkin juga menyukai