Anda di halaman 1dari 5

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas berkat karunia-
Nyalah saya diberi kesehatan dan kesempatan dalam menyelesaikan makalah pengantar
bisnis yang berjudul “Kasus Bisnis Bank Dagang Bali”

Makalah ini sangat penting karena dapat menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam
bidang usaha ekonomi dan dapat menambah pengalaman cara mengelolan suatu usaha seperti
bidang usaha Perbankan yang berada di daerah Bali Oleh karena itu di harapkan agar orang
yang membacanya dapat memahami dan menjadi bahan acuan bila akan memulai suatu usaha
Perbankan

Kemudian tak lupa pula kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pembimbing mata
kuliah Pengantar Bisnis karena bimbingan dan petunjuk beliaulah kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan perbaikan yang sedemikian.

Di dalam penyelesaian makalah ini, penulis mengharapkan kritik maupun saran yang
membangun dari pembaca sehingga makalah ini dapat lebih disempurnakan lagi. Akhir kata
penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERBANKAN

Menurut UU No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang


perbankan, dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu
menghimpun dana,menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Kegiatan
menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank sedangkan
memberikan jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun
dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
giro, tabungan, dan deposito. Biasanya sambil diberikan balas jasa yang menarik
seperti, bunga dan hadiah sebagai rangsangan bagi masyarakat. Kegiatan
menyalurkan dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-
jasa perbankan lainnya diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama
tersebut. bank didirikan oleh Prof. Dr. Ali Afifuddin, SE. Inilah beberapa manfaat
perbankan dalam kehidupan:

1. Sebagai model investasi, yang berarti, transaksi derivatif dapat dijadikan sebagai
salah satu model berinvestasi. Walaupun pada umumnya merupakan jenis
investasi jangka pendek (yield enhancement).
2. Sebagai cara lindung nilai, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai
salah satu cara untuk menghilangkan risiko dengan jalan lindung nilai (hedging),
atau disebut juga sebagai risk management.
3. Informasi harga, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai sarana
mencari atau memberikan informasi tentang harga barang komoditi tertentu
dikemudian hari (price discovery).
4. Fungsi spekulatif, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan kesempatan
spekulasi (untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar dari transaksi
derivatif itu sendiri.
5. Fungsi manajemen produksi berjalan dengan baik dan efisien, yang berarti,
transaksi derivatif dapat memberikan gambaran kepada manajemen produksi
sebuah produsen dalam menilai suatu permintaan dan kebutuhan pasar pada masa
mendatang.
Terlepas dari fungsi-fungsi perbankan (bank) yang utama atau turunannya,
maka yang perlu diperhatikan untuk dunia perbankan, ialah tujuan secara filosofis dari
eksistensi bank di Indonesia. Hal ini sangat jelas tercermin dalam Pasal empat (4)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menjelaskan, ”Perbankan Indonesia
bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. Meninjau lebih dalam terhadap kegiatan
usaha bank, maka bank (perbankan) Indonesia dalam melakukan usahanya harus
didasarkan atas asas demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati-hatian.4
Hal ini, jelas tergambar, karena secara filosofis bank memiliki fungsi makro dan
mikro terhadap proses pembangunan bangsa.

B. CONTOH KASUS PERBANKAN


Koran Tempo 15/04/2004. Rupiah demi rupiah kita tabung di bank, hasil kerja keras
banting tulang, untuk biaya sekolah anak atau simpanan hari tua. Tapi apa yang
bankir lakukan? 

Banyak bankir sejati yang hati-hati mengelola uang titipan kita. Tapi tak sedikit yang
mempertaruhkannya di meja rolet bisnis spekulatif berisiko tinggi. Bahkan ada bandit
berdasi yang tega merampok banknya sendiri. 

Memang mengerikan, tapi masih bisa terjadi. Padahal, pemerintah sudah


menghabiskan ratusan triliun rupiah untuk menyehatkan perbankan. Kasus
terakhirnya Bank Dagang Bali (BDB) dan Bank Asiatic yang ditutup pekan lalu. 

Bank Indonesia (BI) sudah mencium bau amis transaksi BDB sejak Agustus 2002.
Menurut Kepala Kantor BI Denpasar Lukman Boenjamin, puluhan kredit disalurkan
ke sembilan perusahaan bohongan (Koran Tempo, 13/4). Diperingatkan BI, BDB
bukannya beres-beres, malah menutup lubang kredit fiktif dengan menggali lubang
baru, menerbitkan obligasi Rp 700 miliar. Anehnya, diperiksa ke Badan Pengawas
Pasar Modal, obligasi itu tak terdaftar. Melihat gelagat buruk itu, BI mengawasi BDB
secara intensif. 

Ulah BDB tak berhenti di sini: sertifikat deposito (NCD) senilai hampir satu triliun
diberikan ke Bank Asiatic, banknya besan pemilik BDB. Menggunakan surat utang
itu sebagai jaminan, Asiatic meminjam sekian ratus miliar ke bank lain yang
kemudian disalurkan ke perusahaan terkait. Ini mungkin teknik akrobatik mengelabui
aturan pembatasan penyaluran kredit pada perusahaan kelompok sendiri (BMPK). 

Sialnya, kredit itu pun kemudian macet. Akibatnya, tak hanya Asiatic yang gelagapan,
BDB juga makin tenggelam. 

Singkat cerita, BDB dan Asiatic masuk ruang gawat darurat BI. Pemilik BDB dan
Asiatic lempar handuk, tak mampu menutupi kewajiban banknya dan memperkuat
modal. BI mencari pemodal baru, tapi tak ada yang tertarik. Tak ada jalan lain,
akhirnya BDB dan Asiatic pun ditutup. 

Pesta usai sudah, tinggallah pemerintah yang ketiban pekerjaan kotornya. Karena
seluruh tabungan masih dijamin, pemerintah harus menutupi Rp 2,4 triliun dana pihak
ketiga di kedua bank. Untungnya, pemilik dan pengurus bank sudah dicekal dan kasus
pidananya diserahkan ke kepolisian. Aset pemilik juga sudah diambil alih. Sebagian
aset bank juga bisa dijual atau dialihkan ke bank lain. 

Sekarang kita hanya bisa berharap kegagalan penutupan bank dulu tidak terulang:
penjualan aset lancar, tingkat pengembalian tinggi, kerugian pemerintah kecil, dan
setiap bankir jahat dihukum berat oleh pengadilan. 

Dipikir-pikir, penutupan Asiatic dan BDB adalah langkah jitu. Tampaknya nasib BDB
dan Asiatic memang sudah tak bisa diharapkan. Kalau dulu BI harus bolak-balik ke
istana sebelum memutuskan bank apa yang ditutup, sekarang BI bisa memutuskan
sendiri tanpa campur tangan pemerintah. 

Untungnya lagi, nasabah perbankan tak panik. Mungkin berkat jaminan menyeluruh
dana pihak ketiga, atau masyarakat makin percaya pada kemandirian BI. Atau
mungkin karena BDB dan Asiatic hanya bank kecil bernasabah sedikit. 

Dampaknya pada industri perbankan dan ekonomi juga terbatas, kecuali mungkin
pada bank kecil. BI membuktikan tak segan-segan menutup bank yang bobrok, dan ini
terapi kejut bagi bank kecil. Mereka perlu berpikir dua kali sebelum mengelabui
BMPK atau melanggar prinsip kehati-hatian perbankan. Mungkin juga ada peralihan
dana dari bank kecil ke bank besar, tapi selama jaminan menyeluruh belum
dihapuskan jumlahnya tak berarti. 

Tapi dipikir lebih dalam lagi, kejadian ini juga mengkhawatirkan. Sekalipun sekarang
pengawasan perbankan lebih bagus, skandal perbankan ternyata belum sepenuhnya
dicegah, termasuk perampokan bank oleh pemiliknya sendiri. Kita juga bertanya-
tanya apakah alat deteksi dini BI bekerja baik, dan prosedur penyelesaian bank
bangkrut efektif untuk meminimalkan kerugian pemerintah. 

Kasus BDB, misalnya, menyimpan banyak pertanyaan. BI sudah mendeteksi kredit


fiktif BDB pada Agustus 2002. Kredit fiktif bukan keteledoran bisnis semata, tapi
sudah indikasi kejahatan. Mengapa BI tidak menuntutnya secara pidana? Begitu juga
ketika kemudian BDB gali lubang tutup lubang dengan obligasi bohongan, mengapa
BI masih memberi kesempatan pada pemilik? Mengapa pula BDB masih bisa
menempatkan dana hampir satu triliun rupiah ke Asiatic? Mengapa BDB tidak
langsung diambil alih mumpung nilainya belum minus? 

Tentu harus diakui BI telah berusaha memperkuat struktur perbankan dengan


melaksanakan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan menegakkan prinsip kehati-
hatian dengan mengadopsi Basel Accord. Sekarang pun BI mulai menyiapkan
manajemen risiko perbankan. Tapi apakah Basel cukup mengatasi kebobrokan
perbankan? 

Basel sebenarnya dirancang untuk menyetarakan kompetisi bank antarnegara dan


membatasi risiko perbankan di negara maju. Untuk bisa efektif, diperlukan regulator
yang mandiri dan berkemampuan, struktur keuangan yang dalam, penegakan hukum
yang kuat, dan tata kelola perusahaan yang bagus. Lalu, apakah kita bisa memenuhi
persyaratan ini? 

Apalagi sekarang bank-bank kecil dipaksa memperkuat modalnya kalau ingin tetap
beroperasi. Bank kecil tentu tak mudah menambah modal atau menerbitkan obligasi
(subordinated debt) seperti bank besar. Akibatnya, bank kecil lebih terdorong
mengambil risiko untuk menambah laba ditahan. Kalau untung, modal bertambah dan
bank selamat. Kalau buntung, bankir hanya mempertaruhkan modal yang tak
seberapa. 

Singkatnya, API tak cukup. Perbankan juga perlu diatur dan diawasi dengan
kebijakan yang lebih keras dan tegas. 

Meneropong bank dari Jalan Kebon Sirih lewat laporan keuangan tidak memadai.
Bank mudah sekali membungkus boroknya dalam laporan keuangan tanpa terdeteksi
audit akuntan publik. Konsekuensinya, BI perlu lebih sering ke lapangan untuk
menguji kualitas aset dan manajemen bank, misalnya, minimal sekali dalam 18 bulan
seperti di Amerika Serikat. 

Pelaksanaan tata kelola bank keluarga dengan pemilik saham dominan perlu diawasi
lebih ketat. Seperti yang diindikasikan terjadi di BDB dan Asiatic, aturan BMPK
sangat mudah dikelabui. Kalau BI tidak sigap, bank bisa bangkrut dalam sekejap. 

Uji deteksi dini BI perlu dipertajam. Tujuan BI bukan hanya menciptakan perbankan
yang sehat dan kompetitif, tapi juga meminimalkan kerugian negara kalau bank
bangkrut. BI harus berani menuntut pemilik dan pengurus secara pidana kalau
memang ada indikasi ke arah itu. 

Atau mungkin kita perlu melangkah lebih jauh mendorong pelaporan keuangan yang
akurat seperti Selandia Baru. Di sana pengurus bank bertanggung jawab pada akurasi
laporan keuangan, dan mereka bisa dituntut kalau menyajikan angka yang
menyesatkan masyarakat. 

Atau penabung lebih dilibatkan mengawasi bank seperti di Argentina. Di sana bank
wajib memasang indikator dan status kesehatan bank di dinding kantornya. Penabung
pun mudah tahu kesehatan banknya, dan kalau mau, bisa segera memindahkannya ke
bank sehat. 

Intinya, pelaksanaan API yang mengadopsi Basel Accord langkah tepat untuk
mencegah bank mengambil risiko berlebihan, tapi sama sekali tidak cukup mengatasi
kebobrokan industri perbankan di negara berkembang seperti Indonesia. BI juga perlu
mengambil langkah yang lebih keras dan tegas. 

Sementara itu, tahan napas dalam-dalam karena tak ada jaminan perbankan kita
sepenuhnya bebas bankir sontoloyo.*

Dari kasus diatas dapat diketahui


1. Permasalahan yang terjadi pada Bank Dagang Bali
2. Penyebab
3. Solusi

Anda mungkin juga menyukai