Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Umum Pengelolaan Pemerintahan Desa

1. Pengertian Pemerintahan Desa

Pemerintahan dalam pengertian yang sempit ialah segala aktivitas, tugas,

fungsi, dan kewajiban yang dijalankan oleh lembaga yang berwenang mengelola

dan mengatur jalannya sistem pemerintahan negara untuk mencapai tujuan negara.

Hirarki pemerintahan di Indonesia mulai dari pemerintah pusat, provinsi,

kabupaten/kota sampai desa. Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, sistem

pemerintahan desa mulai coba diseragamkan lewat Undang-Undang No. 5 Tahun

1979 tentang Desa, dan kemudian diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun

2004 tentang Pemerintah daerah.1

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan

bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul,

dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang

tentang Desa memberikan pengertian bahwa Pemerintahan Desa adalah

penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1
Muhammad Yasin, Anotasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Jakarta,
Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), 2015), h. 109.

19
20

Desa dengan segenap atribut pemerintahannya adalah arena yang

berhadapan langsung dengan rakyat. Pemerintahan desa adalah sentra kekuasaan

politik lokal yang dipersonifikasi lewat Kepala Desa dan perangkatnya. Posisi

pemerintahan desa juga sangat penting, mengingat mayoritas penduduk Indonesia

tinggal di pedesaan. Kini, lewat Undang-Undang tentang Desa, pemerintah dan

DPR berupaya mengembalikan kemandirian Desa dan pengakuan terhadap Desa

berdasarkan asal usul. Di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, materi

tentang pemerintahan desa terutama diatur pada pasal 23-66. 2

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, desa adalah subsistem

pemerintahan daserah di bawah subsistem pemerintahan nasional, desa adalah

satuan administrasi pemerintahan terendah dengan hak otonomi berbasis asal usul

dan istiadatnya, oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan desa harus tetap

terintegrasi dalam subsistem administrasi daerah dan sistem administrasi negara

Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menjaga agar penyelenggaraan

pemerintahan desa tetap terintegrasi dalam subsistem administrasi daerah dan

sistem pemerintahan nasional maka perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan

terhadap pemerintah desa.3

Pembinaan atas penyelenggaran pemerintahan desa adalah upaya yang

dilakukan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota

kepada desa agar penyelenggaran pemerintahan desa berjalan sesuai dengan

tujuannya, yaitu menciptakan kesejahteraan warganya. Pengawasan atas

2
Muhammad Yasin, Anotasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, h. 110.
3
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaran Pemerintah Daerah (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2011), h. 153.
21

penyelenggaraan pemerintahan desa adalah proses kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pers, dan

masyarakat sipil kepada pemerintah desa yang ditujukan untuk menjamin agar

pemerintah desa berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan

ketentuan peraturan perundang-undangan. 4

Konstruksi penyelenggaraan pemerintahan desa dalam Undang-Undang

No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menyangkut beberapa hal penting. Pertama,

pemerintahan desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa (pasal 23). Kedua,

menyangkut asas penyelenggaraan pemerintahan desa yang terdiri dari kepastian

hukum, tertib penyelenggaraan pemerintahan, tertib kepentingan umum,

keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efektivitas dan

efisiensi, kearifan lokal, keberagaman, dan partisipatif (pasal 24). Ketiga,

pemerintah desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang

dibantu oleh perangkat desa atau yang disebut dengan nama lain (pasal 25).

Selanjutnya keempat, menyangkut tugas, wewenang, hak, dan kewajiban

kepala desa (pasal 26). Kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan

desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan

pemberdayaan masyarakat desa.5

2. Fungsi Pemerintahan Desa

Pemerintah desa bertugas dan berkewajiban untuk melaksanakan

pembangunan sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang Desa, dengan

4
Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaran Pemerintah Daerah, h. 153.
5
Kushandajani, Implikasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Terhadap
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol 2, No. 1, Maret
2016), h. 55.
22

mengajak, melibatkan, dan memastikan masyarakat desa turut berpartisipasi.

Sementara tugas utama warga masyarakat desa adalah melibatkan diri dalam

seluruh proses pembangunan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

pelaporan, pemantauan, dan pengawasan. Proses pembangunan desa diawali

dengan musyawarah di tingkat desa. Undang-Undang Desa menyebut

musyawarah di tingkat desa ini sebagai Musyawarah Desa.6

Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

menjelaskan bahwa Musyawarah Desa (Musdes) merupakan forum

permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD),

Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat desa untuk memusyawarahkan hal yang

bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Yang dimaksud

dengan “unsur masyarakat desa” adalah antara lain tokoh adat, tokoh agama,

tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok

nelayan, kelompok pengrajin, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat

miskin.

Jadi Musyawarah desa merupakan forum pertemuan dari seluruh

pemangku kepentingan yang ada di desa, termasuk masyarakatnya, dalam rangka

menggariskan hal yang dianggap penting dilakukan oleh pemerintah desa dan juga

menyangkut kebutuhan masyarakat desa. Musyawarah desa dilaksanakan

sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun dan dimaksudkan untuk

memusyawarahkan hal-hal strategis yang dianggap penting. Hal-hal strategis ini

meliputi:

Sri Palupi dan Prasetyohadi, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Undang-Undang Desa
6

Berbasis Hak (Cet. I; Jakarta: Lakpesdam PBNU & The Institute For Ecosoc Right, 2016), h. 43.
23

a. Penataan desa,

b. Perencanaan desa,

c. Kerjasama desa,

d. Rencana investasi yang masuk ke desa,

e. Pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes),

f. Penambahan dan pelepasan aset desa

g. Kejadian luar biasa. 7

Karena menyangkut hal yang penting, Musyawarah desa bisa dilaksanakan

lebih dari satu kali. Musyawarah desa dilaksanakan sesuai kebutuhan pemerintah

dan masyarakat desa. Hasil Musyawarah desa menjadi pegangan bagi pemerintah

desa dan lembaga lain dalam pelaksanaan tugasnya. Ada dua jenis Musyawarah

desa yang dimandatkan dalam Undang-Undang Desa, yaitu Musyawarah desa

yang terencana atau dilakukan secara rutin dan Musyawarah desa yang tidak

terencana, yang dilakukan sesuai kebutuhan pemerintah dan masyarakat desa.

Musyawarah desa yang terencana adalah Musyawarah desa yang terkait dengan

proses pembangunan desa, yang secara rutin dilaksanakan sesuai dengan tahapan

dalam pembangunan desa. Untuk itu perlu mengenali proses pembangunan desa.

Proses pembangunan desa dibagi dalam tahapan berikut:

a. Perencanaan. Desa menyusun perencanaan

Pembangunan sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada

perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan pembangunan terdiri

dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana

7
Sri Palupi dan Prasetyohadi, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Undang-Undang Desa
Berbasis Hak, h. 44.
24

Kerja Pemerintah Desa (RKPDes). Perencanaan pembangunan disahkan dengan

Peraturan Desa dan menjadi dokumen rencana pembangunan desa. Rencana ini

yang menjadi dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD).

Perencanaan pembangunan desa diselenggarakan dengan mengikutsertakan

masyarakat desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa. 8

Musyawarah perencanaan pembangunan desa menetapkan prioritas,

program, kegiatan, dan kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa (APBD), swadaya masyarakat Desa, dan/atau

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/ Kota berdasarkan penilaian

terhadap kebutuhan masyarakat desa. Pada tahap ini Musdes disebut sebagai

Forum RPJMDes, yang hasilnya adalah dokumen RPJMDes dan RKPDes. Forum

RPJMDes dilaksanakan oleh Pemerintah desa dan diikuti oleh wakil dari

pemerintah desa, BPD, dan unsur masyarakat desa. Forum RPJMDes

dilaksanakan setiap 5 (lima), sementara RKPDes dilaksanakan setidaknya sekali

dalam setahun.

b. Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah dimulai dan dilaksanakannya pembangunan desa

sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes). Pembangunan desa

dilaksanakan oleh pemerintah desa dengan melibatkan seluruh masyarakat desa

dengan semangat gotong royong. Pembangunan desa dilaksanakan dengan

memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam desa. 9

8
Sri Palupi dan Prasetyohadi, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Undang-Undang Desa
Berbasis Hak, h. 45.
9
Sri Palupi dan Prasetyohadi, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Undang-Undang Desa
Berbasis Hak, h. 46.
25

c. Pemantauan dan Pengawasan adalah proses

Memantau dan mengawal pelaksanaan program agar berjalan sesuai

dengan yang direncanakan, baik program maupun anggarannya. Dalam hal ini

masyarakat desa berhak untuk melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan

pembangunan desa. Masyarakat desa juga berhak mendapatkan informasi

mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa. Hasil pemantauan

disampaikan pada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.

d. Pelaporan

Pelaporan adalah proses dilaporkannya pelaksanaan program-program

pembangunan desa dan penggunaan anggarannya. Dalam hal ini Pemerintah Desa

berkewajiban untuk melaporkan pelaksanaan pembangunan desa dalam

Musyawarah desa. Pada tahap ini pula masyarakat desa berpartisipasi dalam

Musyawarah desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan pembangunan desa. 10

3. Tujuan Pemerintahan Desa

Dalam Pasal 78 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

mengatur bahwa pembangunan desa bertujuan adalah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat desa, meningkatkan kualitas hidup manusia, dan

menanggulangi kemiskinan. Lebih lanjut pencapaian tujuan tersebut

diselenggarakan melalui, yaitu:

a. Pemenuhan kebutuhan dasar,

b. Pembangunan sarana dan prasarana desa,

c. Pengembangan potensi ekonomi lokal, serta

10
Sri Palupi dan Prasetyohadi, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Undang-Undang Desa
Berbasis Hak, h. 47.
26

d. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.11

Adapun cara mencapai tujuan yang diatur dalam Undang-Undang Desa

diturunkan dalam enam peran atau fungsi pemerintahan desa, yakni:

a. Mengelola pelayanan dasar. Dimensi ini mengukur kemampuan

pemerintahan desa untuk mengelola pelayanan dasar yang berada di

dalam lingkup kewenangannya, seperti ketersediaan layanan

pendidikan anak usia dini, bantuan transportasi ke sekolah, dan sistem

desa siaga.

b. Mengelola pelayanan administrasi. Dimensi ini mengukur kemampuan

pemerintahan desa dalam mengelola pelayanan administrasi, baik

administrasi kependudukan maupun beberapa administrasi perizinan

yang berada dalam kewenangannya.

c. Menyediakan infrastruktur dasar. Dimensi ini mengukur kemampuan

pemerintahan desa dalam mengelola penyediaan infrastruktur dasar

desa, seperti air bersih, irigasi tersier, jalan desa, listrik desa, polindes,

sarana pendidikan anak usia dini, kantor desa, dan sarana olah raga.

d. Memperkuat kelembagaan ekonomi. Dimensi ini mengukur

kemampuan pemerintahan desa dalam memperkuat keberadaan

lembaga sosial ekonomi sebagai upaya memperkuat solidaritas sosial,

seperti mendorong keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

11
Muhammad Yasin, Anotasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Jakarta:
Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), 2015), h. 57.
27

dalam pengelolaan infrastruktur dasar dan penguasaan sumber daya

alam lokal, dan penguatan daya tawar kolektif. 12

e. Memperkuat kelembagaan sosial. Dimensi ini mengukur kemampuan

pemerintahan desa dalam memperkuat keberadaan lembaga sosial

ekonomi sebagai upaya memperkuat solidaritas sosial, seperti

memperkuat organisasi sosial seperti posyandu, lembaga amil zakat,

penanganan bencana, dan resolusi konflik.

f. Membuat regulasi. Dimensi ini mengukur kemampuan pemerintahan

desa dalam mengelola proses pembuatan regulasi sebagai salah satu

bentuk kebijakan publik, termasuk di dalamnya merevitalisasi aturan-

aturan yang bersumber dari adat istiadat. 13

4. Konsep Pengelolaan Pemerintahan Desa

Pembahasan tentang Desa tidak dapat dilepaskan dari proses reformasi

yang bergulir sejak 1998. Sebagai evaluasi terhadap Pemerintahan Orde Baru

yang sentralistik, pemerintahan di awal era reformasi melahirkan kebijakan yang

mendorong terciptanya desentralisasi secara hakiki, dalam arti daerah diberikan

otonomi lebih luas untuk menjalankan urusannya sendiri, alih-alih hanya sebagai

perpanjangan tangan pemerintah pusat. Hal ini dilakukan melalui terbitnya

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang

menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah. Selain mengatur tentang desentralisasi pemerintahan

daerah, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ini juga memberikan porsi cukup

12
Muhammad Yasin, Anotasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, h. 58.
13
Muhammad Yasin, Anotasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, h. 59.
28

banyak terhadap tata kelola pemerintahan Desa, yaitu Desa diberi keleluasaan

untuk mengatur pemerintahannya sendiri dan mengembangkan proses

demokratisasi. 14

Namun demikian, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 belum mengatur

secara jelas posisi Desa dalam relasinya dengan pemerintah di atasnya, yakni

pemerintah kabupaten/kota. Undang-Undang ini hanya mengatur tentang

kewenangan Desa yang mencakup, yakni:

1. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

2. Kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku

belum dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat; dan

3. Tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan/atau

pemerintah kabupaten/kota.

Selanjutnya lahir Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang

memposisikan pemerintah Desa sebagai bagian dari pemerintah kabupaten/ kota,

sehingga kedudukan desa dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

berimplikasi pada kewenangan yang dimiliki Desa. Desa hanya menjalankan

kewenangan dari pemerintahan di atasnya, bukan melaksanakan kewenangan yang

berdasar pada kebutuhan Desa. 15

Kemudian, bagaimana posisi Desa dalam konstelasi desentralisasi menurut

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa? Apakah pemerintah Desa tidak

14
Muhammad Yasin, Dkk, Anotasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
(Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional/PATTIRO, 2015), h. 37.
15
Muhammad Yasin, Dkk, Anotasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, h.
37.
29

lagi menjadi bagian dari subsistem pemerintahan kabupaten/kota, sehingga

memiliki kewenangan yang luas daripada sekadar perpanjangan tangan

pemerintah kabupaten/kota? Untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan itu,

maka pada pembahasan ini, akan ditelusuri bagian-bagian dari Undang-Undang

Desa yang mengatur kedudukan (dan jenis) Desa, kewenangan Desa, tujuan

pengaturan tentang Desa dan asas-asas pengaturan tentang Desa. 16

Peluang untuk menciptakan kesejahteraan, keadilan, dan mengatur desa

dengan cara sendiri, telah diberikan oleh Undang-Undang Desa. Undang-Undang

adalah sebuah produk hukum. Keberhasilan UndangUndang Desa ditentukan oleh

pemegang mandat utama pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Dalam hal ini

adalah pemerintah, mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah desa. Apakah

pemerintah memiliki komitmen kuat untuk membuat Undang-Undang Desa

mencapai tujuannya atau tidak. Pembelajaran penting dari masa lalu yang harus

direfleksikan adalah adanya kesenjangan antara kewajiban negara dan pemenuhan

hak warga.

Undang-Undang Desa lahir untuk memperkuat pemerintahan desa melalui

berbagai kewenangan yang diberikan pada desa. Desa yang dimaksud bermakna

dua, desa sebagai pemerintahan terkecil dan desa sebagai masyarat warga. Jantung

utama apakah arah pembangunan desa sesuai dengan tujuan dibuatnya Undang-

Undang desa dan memberikan manfaat bagi segenap warga, ditentukan oleh

kualitas musyawarah desa dan program-program yang dikembangkan. Apakah

program-program yang dikembangkan desa manfaatnya untuk segenap warga

16
Muhammad Yasin, Dkk, Anotasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, h.
38.
30

desa atau hanya dinikmati kalangan tertentu saja? Apakah program-program yang

didanai oleh uang rakyat benar-benar tepat sasaran? Warga desalah yang paling

tahun.17

Lalu bagaimana menjalankan Undang-Undang Desa? Setidaknya ada dua

jalan yang bisa ditempuh pemerintah dan masyarakat desa:

1. Menjalankan pengaturan desa sesuai dengan prinsipprinsip yang ada

dalam Undang-Undang desa tanpa penyelewengan,

2. Memastikan bahwa kebijakan dan program pembangunan desa menjawab

masalah/kebutuhan warga dan memenuhi hak-hak warga dan masyarakat

desa.

Berikut adalah prinsip/azas pengaturan desa yang ditegaskan dalam pasal 3

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Prinsip-prinsip ini adalah HAK

warga dan masyarakat desa yang tidak boleh dilanggar/diselewengkan oleh

siapapun, yaitu:

1. Pengakuan/rekognisi: pengakuan terhadap hak asal usul,

2. Subsidiaritas: penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan

keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa,

3. Keberagaman: pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang

berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai

bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,

17
Prasetyohadi, Dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Undang-Undang Desa Berbasis Hak
(Cet. I; Jakarta: Lakpesdam PBNU & The Institute For Ecosoc Right dan The Norwegian Centre
for Human Rights (NCHR), 2016), h. 21.
31

4. Kebersamaan: semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan

prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat desa dan unsur

masyarakat desa dalam membangun desa,

5. Kegotongroyongan: kebiasaan saling tolong menolong untuk membangun

desa,

6. Kekeluargaan: kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu

kesatuan keluarga besar masyarakat desa,

7. Musyawarah: proses pengambilan keputusan yang menyangkut

kepentingan masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang

berkepentingan,

8. Demokrasi: sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem

pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa dengan persetujuan

masyarakat desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai

makhluk Tuhan yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin,

9. Kemandirian: suatu proses yang dilakukan oleh pemerintah desa dan

masyarakat desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi

kebutuhannya dengan kemampuan sendiri,

10. Partisipasi: turut berperan aktif dalam suatu kegiatan,

11. Kesetaraan: kesamaan dalam kedudukan dan peran,

12. Pemberdayaan: upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan

masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang

sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa,

13. Keberlanjutan: suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi,

terintegrasi, dan berkesinam bungan dalam merencanakan dan

melaksanakan program pembangunan desa. 18

18
Prasetyohadi, Dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Undang-Undang Desa Berbasis Hak, h.
24-25.
32

Adapun hak-hak warga atau masyarakat desa yang dijamin dalam Undang-

Undang Desa, di antaranya ditegaskan dalam Pasal 68 :

1. Meminta dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta

mengawasi kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan

Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan

masyarakat Desa;

2. Memperoleh pelayanan yang sama dan adil;

3. Menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara

bertanggungjawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa,

pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan

pemberdayaan masyarakat Desa;

4. Memilih, dipilih, dan/atau ditetapkan menjadi:

a. Kepala desa,

b. Perangkat desa,

c. Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan

d. Anggota lembaga kemasyarakatan desa.

5. Mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari gangguan ketenteraman,

dan ketertiban di Desa. 19

Untuk melaksanakan Undang-Undang Desa sesuai dengan prinsip dan

tujuannya, buku ini menyajikan pokok-pokok penting yang bisa dilakukan agar

pelaksanaan Undang-Undang Desa mengarah pada pencapaian cita-cita

kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian desa.

19
Prasetyohadi, Dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Undang-Undang Desa Berbasis Hak, h.
26..
33

Ada 11 hal penting yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan

masyarakat desa dalam menjalankan Undang-Undang Desa, yakni:

1. Memperjuangkan Partispasi,

2. Mengawal Hak dalam Musyawarah Desa,

3. Memahami Politik Anggaran,

4. Mengembangkan Sistem Informasi Desa,

5. Mengelola Aset Desa,

6. Membuat dan Mengembangkan Bumdes,

7. Mengembangkan Demokrasi,

8. Memperkuat Forum Warga,

9. Mengatasi dan Mencegah konflik,

10. Memperkuat Perempuan Desa,

11. Memperkuat Kebudayaan,

12. Mewujudkan Desa Adat. 20

Adapun Pijakan berpikir yang mendasari perlunya membangun jaringan

sosial dan kerjasama dalam melakukan pembangunan desa dan pemberdayaan

desa, antara lain :

Pertama, pengembangan jaringan sosial dan kerjasama di pedesaan

diformulasikan untuk mewujudkan desa yang mandiri dalam memenuhi

kebutuhan dasarnya, seperti: pangan, energi, pendidikan dan kesehatan.

Kemandirian desa tidak berarti desa terlepas kesaling-ketergantungannya dengan

20
Prasetyohadi, Dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Undang-Undang Desa Berbasis Hak, h.
27.
34

desa yang lain, melainkan terjadi “net-beneft” yang dihasilkan dari pertukaran

antara desa.

Kedua, pengembangan potensi jaringan sosial di wilayah pedesaan

ditekankan pada aspek keberlanjutan, yakni :

1. Keberlanjutan ekologi, dimana pemanfaatan sumber daya alam dilakukan

dengan tidak merusak lingkungan dan senangtiasa memperhatikan daya

dukung ekologinya.

2. Keberlanjutan sosial ekonomi yang mengacu pada kesejahteraan

masyarakat pedesaan.

3. Keberlanjutan komunitas masyarakat pedesaan yang mengacu pada

terjaminnya peran masyarakat dalam pembangunan, dan jaminan akses

komunitas pada sumber daya alam, dan,

4. Keberlanjutan institusi yakni yang mencakup institusi politik, institusi

sosial-ekonomi dan institusi pengelola sumber daya.21

Ketiga, pengembangan kerjasama dengan pihak ketiga hendaknya tidak

membuat desa mengalami ketergantungan baru. Dalam hal ini, tiga aktor yang

bisa terlibat dalam proses kerjasama, yakni:

1. Masyarakat desa dengan kekuatan kelembagaan sosial dan ekonomi

yang dimilikinya serta kemampuan mengelola sumberdaya yang

berkelanjutan;

21
Idham Arsyad, Buku 9: Membangun Jaringan Sosial dan Kemitraan (Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia,
2015), h. 12.
35

2. Pengusaha atau swasta yang mengembangkan usaha berbasis pedesaan

serta untuk mengatasi keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh

desa, dan,

3. Pemerintah yang berfungsi untuk memberikan penguatan kelembagaan

sosial ekonomi kepada desa dan jaminan keamanan dan legal kepada

pengusaha/swasta.

Keempat, pendamping desa harus mampu mengidentifkasi dan menjahit

seluruh kekuatan ekonomi dan politik di wilayah pedesaan untuk terlibat dalam

proses pembangunan dan pemberdayaan. Jaringan sosial pada dasarnya mitra

strategis desa yang harus senangtiasa dijaga dan dikembangkan untuk memajukan

pembangunan di desa. 22

Arah dan Pokok-Pokok Kebijakan Dana Desa 2018 dalam

menyempurnakan formula pengalokasian Dana Desa, melalui:

a. penyesuaian proporsi dana yang dibagi rata (Alokasi Dasar) dan dana

yang dibagi berdasarkan formula (Alokasi Formula), serta

b. memberikan afirmasi pada desa tertinggal dan sangat tertinggal yang

mempunyai jumlah penduduk miskin tinggi;

c. Memberikan fokus yang lebih besar pada pengentasan kemiskinan dan

ketimpangan, yaitu dengan melakukan penyesuaian bobot variabel

jumlah penduduk miskin dan luas wilayah;

d. Meningkatkan kualitas pengelolaan Dana Desa dengan melakukan

penyaluran secara bertahap berdasarkan pada kinerja pelaksanaan,

22
Idham Arsyad, Buku 9: Membangun Jaringan Sosial dan Kemitraan, h. 13.
36

yaitu kinerja penyerapan dan capaian output serta meningkatkan

efektivitas pemantauan dan evaluasi; dan

e. Mempertajam prioritas penggunaan Dana Desa untuk pembangunan

dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas

hidup masyarakat desa untuk mengurangi kemiskinan, mengurangi

kesenjangan penyediaan infrastruktur dasar, serta memperluas

kesempatan kerja. 23

B. Konsep Ketatanegaraan Islam

1. Pengertian Konsep Ketatanegaraan Islam

Negara yang dikehendaki umat Islam adalah negara yang bersistem ketata-

negaraan berdasarkan syariat Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru

sistem ketatanegaraan Barat. Dengan demikian sistem ketatanegaraan yang harus

diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. dan

para Khulafa al-Rasyidin.24

Sejumlah pemikir Muslim seperti Ibn Abi al-Rabi al-Mawardi, al-Ghazali,

al-Baqillani, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, dan Ibn Taimiyyah juga telah

memperdebatkan tentang negara. Al-mawardi misalnya dalam al-Ahkam al-

Suthaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah (Hukum Pemerintahan dan Kekuasaan

Keagamaan) mengatakan bahwa negara dilembagakan untuk melanjutkan misi

kenabian dalam rangka menjaga agama dan mengatur dunia. Al-Ghazali dalam al-

Iqtishad fi al-I’tiqad juga berpendapat bahwa kekuasaan politik adalah wajib

23
Tim Redaksi Kementerian Keuangan, Buku Saku Dana Desa: Dana Desa untuk
Kesejahteraan Masyarakat, (Jakarta: Kementerian Keuangan, 2017), h. 16.
24
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Cet. V;
Jakarta: UI-Press, 1993), h. 1.
37

untuk ketertiban dunia. Ketertiban dunia wajib untuk ketertiban agama dan

ketertiban agama wajib keberhasilan di akhirat. Ibn Khadun di dalam

Muqaddimah juga sama dengan pemikiran al-Mawardi dan al-Ghazali. Menurut

Ibn Khaldun, negara memiliki kewajiban untuk menjaga agama dan mengatur

dunia. Pemikiran mereka tentang negara tampak menginterasikan agama dan

negara.25

Konsep negara tersebut masih bertahan hingga abad modern. Rasyid Ridha

dalam al-Khilafah wa al-Imamah al-Uzhma, mengatakan kepemimipinan Islam

dalam bentuk khilafah, imamah dan imarah dimaksudkan untuk menegakkam

kemashlatan urusan agaman dan dunia. Abu alA’la al-Mawdudi, Hassan al-Banna,

Sayyid Quthb, dan Muhammad Taqiy al-Din al-Nabhani setelah kejatuhan

Khilafah Turki ‘Utsmani memiliki pandangan yang relatif sama tentang negara.

Mereka sudah secara teknis menyebur negara Islam atau Khilafah Islamiyah

sebagai negara ideal dalam Islam. Konsep pemikiran tentang negara yang

dikemukakan tersebut mendapat kritik dari sejumlah pemikir seperti Ali Abd al-

Raziq. Muhammad Sa;id al-Ashmawi, Abdullahi Ahmed al-Na’im, dan

Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Mereka tidak setuju dengan konsep negara Islam atau

Khilafah Islamiyyah. Mereka menyatakan bahwa Islam tidak menyediakan konsep

negara yang baku, sehingga konsep negara Islam sangat disesuaikan dengan

kebutuhan masyarakat pada zamannya. 26

25
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam
Perspektif Fikih Siyasah (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 2.
26
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam
Perspektif Fikih Siyasah, h. 2.
38

Sedangkan dalam tradisi Muslim mucul beberapa istilah yang berkaitan

dengan kajian tentang negara, yaitu Fiqih al-Siyasah, al-Siyasah al-Syar’iyyah,

dan Fiqh al-Daulah. Ketiga istilah inilah yang menjadi mainstream pemikiran

Muslim tentang politik di zaman modern. Ketiga istilah ini seringkali diartikan

sebagai ilmu politik dalam Islam, sistem ketatanegaraan dalam Islam, atau Hukum

Tata Negara dalam Islam. Kemiripan yang muncul dari tradisi pemikiran negara

dalam Islam ini menjadi kajian tidak dipisah-pisahkan dalam berbagai cabang

ilmu seperti yang terjadi dalam tradisi pemikiran barat. 27

2. Sistem Ketatanegaraan Islam

Ibnu Haldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolak ukur

kekuasaan. Dengan membagi negara menjadi dua kelompok; pertama, negara

dengan ciri kekuasaan alamiah (al-mulk al-tabiy), yang kedua negara dengan ciri

kekuasaan politik (al-mulk al-siyasi).

Tipologi negara pertama ditandai dengan kekuasaan sewenang-wenang

(depotisme) dan cenderung pada hukum rimba. Di sini keunggulan dan kekuatan

sangat berperan dan prinsip keadilan sangat diabaikan dan pada gilirannya akan

membentuk suatu negara yang tidak berperadaban. Tipe negara kedua yaitu

negara dengan ciri-ciri kekuasaan politik dibagi menjadi tiga tipe, yaitu:

a. Negara hukum demokrasi Islam (siyasat al-diniyat),

b. Negara hukum sekuler (siyasat al-‘aqliyat),

c. Negara Republik ala Plato (siyasat al-madaniyat).28

27
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam
Perspektif Fikih Siyasah, h. 3.
28
Munir Subarman, Hukum Islam dan Ketatanegaraan (Cet. I; Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 188.
39

Negara hukum demokrasi Islam (siyasat al-diniyat) adalah negara yang

menjadikan syari’at (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcom Kerr

menamakannya dengan istilah nomokrasi Islam. Karakteristiknya siyasat al-

diniyat menurut Ibnu Haldun ialah selain Al-Qur’an dan al-Hadits, akal

manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan negara.

Menurut Ibnu Haldun, tipe negara yang paling baik adalah nomokrasi

Islam, karena siyasah al-‘aqliyyat (negara sekuler) hanya, mendasarkan pada

hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum dengan sumber

wahyu. Sedangkan Siyasat al-Madaniyyat (Republik Plato) merupakan suatu

negara yang diperintah oleh segelintir orang dari golongan elit, atas sebagian

besar golongan budak yang tidak mempunyai kekuatan politik. 29

Adapaun Ibnu Haldun berpendapat bahwa bentuk pemerintahan ada 3

jenis, yaitu:

a. Pemerintahan yang natural (siyasah al-Tabi’iyat), yaitu pemerintahn

yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya

seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti

kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan rakyat.

Akibatnya, rakyat sukar mentaati karena timbulnya teror, penindasan,

dan anarki. Pemerintahan jenis ini di zaman sekarang menyerupai

pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional.

b. Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasat al’aqliyyat), yaitu

pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam

29
Munir Subarman, Hukum Islam dan Ketatanegaraan, h. 188.
40

mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudratan.

Pemerinatahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para

cendekiawan dan orang pandai. Bentuk pemerintahan seperti ini dipuji

di satu sisi, tetapi dicela di sisi yang lain.. pemerintahan jenis ini di

zaman sekarang serupa dengan pemerintahan republik atau kerajaan

institusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu.

c. Pemerintahan yang berlandaskan agama (siyasat al-Diniyat), yaitu

pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan

agama, baik yang bersifat keduniawan maupun keurahwian. Menurut

Ibnu Haldun, model pemerintahan seperti inilah yang terbaik. Dengan

hukum yang bersumber dari ajaran agama akan terjamin tidak saja

keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena

yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahaan itu adalah

ajaran agama, khususnya Islam, maka kepala negara disebut Khalifah

dan Imam. Khalifah karena adalah pengganti Nabi dalam memelihara

kelestarian agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya. Imam karena

sebagai pemimpin ibarat imam shalat yang harus diikuti oleh rakyatnya

sebagai makmum. 30

3. Tujuan Ketatanegaraan Islam

30
Munir Subarman, Hukum Islam dan Ketatanegaraan, h. 189.
41

Lembaga negara dan pemerintahan diadakan sebagai sebagai pengganti

fungsi kenabian dalam menjaga agam dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala

negara untuk memimpin umat Islam adalah wajib menurut ijma’. Akan tetapi,

dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah berdasarkan rasion atau syariat?

Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu wajib berdasarkan rasio karena

rasio manusia mempunyai kecenderungan untuk menyerahkan kepemimpinan

kepada seorang pemimpn yang dapat menghalangi terjadinya kezaliman yang

menimpa mereka serta menuntaskan perselisihan dan permusuhan di antara

mereka. Seandainya tidak pemimpin dan pemerintah niscaya mereka akan hidup

dalam ketidakteraturan tanpa hukum dan menjadi bangsa yang primitif tanpa

ikatan.31

Ada dua teori modern tentang negara yang saling bertentangan. Pertama

teori Hegel yang mengatakan bahwa negara adalah perwujudan dari ide suci,

katakanlah ide ilahi (Divinc idea) di muka bumi, di mana setiap warga negara

dapat mengidentifikasi martabatnya, statusnya, dan arah kehidupannya. Citra

Hegelian tentang negara adalah bahwa negara merupakan inkarnasi ide suci dan

karenanya ia harus berada di atas segala-galanya. Makin kuat suatu negara, makin

baik bagi para warganya. Secara demikian setiap warga negara harus

menyerahkan seluruh dedikasinya kepada negara. Dengan kata lain, dalam konsep

31
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkaamus Suthaaniyyah wal-Wilaayaatud Diniyyah (Cet. I;
Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1416 H/1996 M). Diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani,
Kamaluddin Nurdin, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Gema
Insani Press, 2000), h. 15
42

Hegelian, negara menjadi aparat yang didewakan, yang berhak menuntut apa pun

dari para warganya. Memang Hegel menuhankan negara.32`

Sebaliknya adalah konsep Marx, walaupun bangga menjadi spiritual

Hegel, tetapi pandangannya tentang negara betolak belakang dengan pandangan

gurunya. Marx berpandapat bahwa negara pada hakikatnya adalah aparat atau

mesin opresi (penindasan) tirani dan eksploitasi kaum pekerja oleh pemilik alat-

alat produksi (kaum kapitalis) dan pemegang distribusi kekayaan yang

mengcelakakan kelas pekerja. Jadi tidak aneh ditemukan dalam khazanah

Marxisme konsep mengenai layunya negara setelah terjadi revolusi sosialis.

Artinya, setelah berlangsungnya revolusi sosialis, akan terbentuk suatu

kediktatoran proletariat dan kemudian melalui kekuasaan kaum proletar itu

perbedaan kelas dapat di-musnahkan sampai terwujud masyarakat tanpa kelas.

Dalam masyarakat tanpa kelas inilah negara sebagai aparat penindas kelas

kapitalis akan layu dengan sendirinya, akan lenyap selama-lamanya (the

whithering away of the statc). 33 Jika Hegel berpendapat bahwa kuat dan mekarnya

negara berarti tercapainya cita-cita manusia (the flowering of the statc is the

fullfilnent of the destiny of man), maka Marx justru menganggap lenyapnya negara

sebagai summum bonum, sebagai kebajikan puncak. Lantas bagaimana pendapat

Abul A’la yang nota bene berpegangan pada Al-Quran? Pembentukan negara

adalah hanya sebagian dari Islam yang agung. Membangun negara merupakan

32
Abul A’la al-Maududi, al-Khilafah Wal Mulk (Kuwait: Daar al-Qalam, 1978 M (1389
H). Diterjemahkan Muhammad al-Baqir, Khilafah dan Kerajaan (Ed. Revisi; Cet. I; Bandung:
Karisma, 2007), h. 25.
33
Abul A’la al-Maududi, al-Khilafah Wal Mulk. Diterjemahkan Muhammad al-Baqir,
Khilafah dan Kerajaan, h. 25.
43

salah satu kewajiban agama. Oleh karena itu negara yang sudah dibangun perlu

dipelihara eksistensinya, tetapi tidak boleh negara itu kemudian didewa-dewakan.

Islam menolak utopia Marx yang ingin melenyapkan negara, yang pada gilirannya

pasti menimbulkan anarki.

Yang senantiasa perlu diingat adalah bahwa tujuan suatu negara di dalam

ajaran agama Islam sudah terlalu jelas. Berdasarkan ajaran Al-Quran dari Sunnah

Rasulullah saw, Al-Maududi menerangkan beberapa tujuan diselenggarakannya

negara. Pertama, untuk mengelakkan terjadinya eksploitasi antar-manusia, antar-

kelompok atau antar-kelas dalam masyarakat. Kedua, untuk memelihara

kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan, dan agama) para warga negara dan

melindungi seluruh warga negara dari inflasi asing. Ketiga, untuk menegakkan

sistem keadilan sosial yang seimbang sebagaimana dikehendaki oleh Al-Quran.

Keempat, untuk membrantas setiap kebajikan yang dengan tegas telah digariskan

pula oleh Al-Quran. Kelima, menjadikan negara itu sebagai tempat tinggal yang

teduh dan mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan pemberlakuan

hukum tanpa diskrimanasi. Dalam buku Islamic Law and Constitution diuraikan

secara panjang lebar tujuan-tujuan didirikannya suatu negara menurut pandangan

maududi namun tidak mungkin dalam kata pengantar ini diuraikan satu per satu.34

Dari uraian Al-Maududi, bahwa negara dalam ajaran Islam hanyalah

merupakan instrumen pembaharuan yang terus-menerus. Negara, konstitusi dan

semua perangkat kenegaraan lainnya dibuat untuk kepentingan rakyat, bukan

rakyat yang harus mengabdi tanpa reserve kepada negara, sehingga negara itu

34
Abul A’la al-Maududi, al-Khilafah Wal Mulk. Diterjemahkan Muhammad al-Baqir,
Khilafah dan Kerajaan, h. 26.
44

menjadi fasistes dan totaliter. Semua perangkat negara, apalagi pejabat pejabat

negara, dapat diubah setiap waktu bila kepentingan rakyat banyak, asal tidak

bertentangan dengan ajaran-ajaran agama, menghendakinya. Sebagian ulama yang

lain berpendapat bahwa hal itu wajib berdasarkan syariat, bukan rasio, karena

kepala negara menjalanakan tugas-tugas agama yang bisa saja rasio tidak

mendorongnya dan rasio itu tidak menwajibkan sang pemimpin untuk

menjalankannya.

Sementara itu, rasio hanya mewajibkan setipa orang yang berakal agar

tidak melakukan kezaliman dan tidak memutuskan hubungannya dengan orang

lain, serta mendorong untuk berbuat adil dan menyambung hubungan dengan

orang lain, merenungkan semua itu dengan rasionyam tidak dengan rasio dengan

orang lain, namum syariat kemudian menyerahkan masalah-masalah itu kepada

pemimpinnya dan pemerintahnnya.35 Allah swt berfirman, dalam surah an-

Nisa/2:59, yaitu:

       


           
         

Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu, lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.36

35
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkaamus Suthaaniyyah wal-Wilaayaatud Diniyyah
Diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani, Kamaluddin Nurdin, Hukum Tata Negara dan
Kepemimpinan dalam Islam, h. 16.
36
Kemeterian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Sinergi Pustaka, 2012), h.
114.
45

Ayat tersebut menjelaskan mendorong manusia untuk menciptakan

masyarakat yang adil dan makmur, anggotanya tolong menolong, dan bantu

membantu, taat kepada Allah swt, Rasul, tunduk kepada ulil amri, menyelesaikan

perselisihan berdasar nilai-nilai yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Ayat

tersebut juga memerintahkan kaum mukmin agar mentaati putusan hukum dari

siapapun yang berwenang menetapkan hukum.

Secara berturut dinyatakannya, hai orang-orang yang beriman, taatilah

Allah swt dalam perintah-perintahnya yang tercantum dalam Al-Qur’an dan

taatilah Rasulnyam yakni Muhammad saw, dalam segala macam perintahnya, baik

perintah melakukan sesuatu, maupun perintah untuk tidak melakukannya,

sebagaimana tercantum dalam sunnahnya yang shahih, dna perkenankan jug

perintah ulil amri, yakni yang berwenang menangani urusan-urusan, selama

mereka merupakan bagian di antara kamu, wahai orang-orang mukmin, dan

selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah dna perintah

Rasulnya.37

37
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Vol.
II; Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 459.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen38 halaman
    Bab Iv
    sukirno putra
    Belum ada peringkat
  • Tesis Nur Asyah.s (Sampul)
    Tesis Nur Asyah.s (Sampul)
    Dokumen1 halaman
    Tesis Nur Asyah.s (Sampul)
    sukirno putra
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen4 halaman
    Bab V
    sukirno putra
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen7 halaman
    Bab I
    sukirno putra
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen42 halaman
    Bab Ii
    sukirno putra
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen7 halaman
    Bab Iii
    sukirno putra
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen22 halaman
    Bab Ii
    sukirno putra
    Belum ada peringkat
  • BAB II Makalah Epistemologi
    BAB II Makalah Epistemologi
    Dokumen18 halaman
    BAB II Makalah Epistemologi
    sukirno putra
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen40 halaman
    Bab Ii
    sukirno putra
    Belum ada peringkat
  • Sampul
    Sampul
    Dokumen1 halaman
    Sampul
    sukirno putra
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen26 halaman
    Bab Iv
    sukirno putra
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen15 halaman
    Bab Ii
    sukirno putra
    Belum ada peringkat