Rasulullah SAW bersabda, @ "Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya
bagi orang lain, berakhlak mulia, mempelajari Al Quran dan mengajarkannya, serta orang yang umurnya
panjang dan banyak amal kebajikannya." @ "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
maka hendaklah ia berkata baik atau diam, memuliakan tetangga dan memuliakan tamunya." @
"Katakanlah yang Hak (benar) Walau Kadang Menyakitkan"
Sunnah Rasul
Melaksanakan sunnah Rasulullah SAW sangat penting bagi kehidupan seorang muslim, baik dalam hal
ibadah maupun muamalah (hablum minallahi wa hablum minannasi). Allah SWT menyatakan dalam
firman-Nya,
”…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya “. (QS. Al-
Hasyr[59]:7).
Disamping Al-Quran, sunnah Rasullah SAW merupakan pedoman hidup manusia. Dengan menjalankan
kedua pedoman hidup tersebut, manusia bisa mencapai hidup yang sempurna, bahagia dunia dan
akhirat. Sebaliknya, ditinggalkannya salah satu pedoman tersebut akan membuat manusia kehilangan
arah dan tersesat dalam hidup. Ada banyak hikmah yang bisa diambil apabila kita melaksanakan sunnah
Rasul SAW, diantaranya:
Aspek jasmaniah
Rasulullah Saw selalu mengajarkan agar bidup bersih, memakan makanan yang halal dan baik
serta tidak berlebihan. Rasulullah Saw menyatakan, “Perutmu itu sepertiganya untuk makanan,
sepertiga untuk air dan sepertiganya untuk bernafas“. (QS. Al-Hadits).
Juga tentang keutamaan mukmin yang kuat jasmaniahnya, Rasulullah Saw, “Mukmin yang kuat
adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, (hal ini berlaku) dalam
semua segi kebaikan“. (HR Muslim).
Aspek Akal
Rasulullah Saw sangat menganjurkan dan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Dalam
haditsnya Rasulullah Saw menyatakan: “Barangsiapa yang menjalani satu jalan untuk mencari
ilmu pengetahuan akan dimudahkan Allah baginya jalan ke surga“. (HR. Muslim).
Penguasaan terhadap ilmu qauliyah (kitabullah dan sunah Rasulullah SAW) dan kauniyah (alam
semesta) bermanfaat untuk kepentingan manusia dalam mengenal dan mendekatkan diri
kepada Allah SWT, tidak menjadi orang yang taklid buta, ikut-ikutan tanpa dasar pengetahuan.
Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya“. (QS. Al-Isra’ [17]:36).
Aspek Qalbu
Dalam al-Quran, Allah S WT berfirman, “Sesungguhnya orang-orangyang beriman itu adalah
merekayangapabila disebut namaAllah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada
mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal “. (QS. Al-Anfaal [8]: 2).
Rasulullah SAW mengajak umatnya untuk selalu bertawakkal dengan mengendalikan hawa
nafsu agar sesuai dengan kehendak Allah SWT sehinggaqalbunyabersih, itulah hati orang yang
beriman dan Rasulullah Saw bersabda, “Hati orang mukmin bersih yang didalamnya terdapat
lampu yang bersinar, tapi kalau hatinya orang kafir itu hitam, kotor dan berpenyakit “. (HR.
Ahmad dan Thabrani).
Bagaimana seseorang seharusnya berakhlak kepada yang menciptakannya Allah SWT, harus beribadah
dan mengabdi hanya karena-Nya. Bagaimana seharusnya akhlak kepada sesama manusia. Rasulullah
Saw selalu menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya baik terhadap sahabat-sahabatnya maupun
terhadap musuh dan lawan. Bagaimana akhlak kepada makhluk lain alam, manusia harus menjalankan
fungsi peran dan misinya sebagai khalifah di muka bumi.
“Sebaik-baik kamu adalah orangyang tidak meninggalkan (kepentingan) akhiratnya, karena (sibuk
dengan kepentingan) dunianya. Dan tidak meninggalkan (kepentingan) dunianya, karena (tekun dengan
kepentingan) akhiratnya. Dan tidak memberatkan (jadi tanggungan) orang lain “. (HR. Al-Khatib).
Sumber : http://mimbarjumat.com/archives/530
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau, memiliki
kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dan penjabar dari Al Qur’an yang mulia, yang merupakan
sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan agama Islam dengan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka (dari Allah Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. An Nahl: 44)
Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab,
“Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.” (HR Muslim no. 746).
Ini berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami
dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-
adabnya. (Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim 6/26). Maka orang yang
paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dialah yang paling sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan Al Qur’an dan agama Islam
secara keseluruhan.
Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu
dialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang lainnya.” (Syarhus
Sunnah, hal. 59)
Arti Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Sebenarnya
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya
Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Qs. Ali ‘Imran: 31)
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus
perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan
tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 1/477)
Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu,
maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia
tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang
benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda
(bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan
sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi
larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan
susah maupun senang dan lapang maupun sempit.” (Asy Syifa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafa, 2/24)
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan
bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah (yaitu setiap perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
pen) dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau, atau memuji dan mensifati beliau secara
berlebihan, dengan menempatkan beliau melebihi kedudukan yang telah Allah Ta’ala tempatkan beliau
padanya. (Mahabbatur Rasul bainal Ittibaa’ wal Ibtidaa’, hal. 65-71)
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang
Nashrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah
seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al Bukhari no. 3261)
Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh
generasi terbaik umat ini, para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
“Tidak ada seorang pun yang paling dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena
mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan tersebut.” (HR
At Tirmidzi 5/90 dan Ahmad 3/132, dinyatakan shahih oleh At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)
Bagaimana Menyempurnakan Cinta kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam Diri Kita?
Imam Ibnu Rajab Al Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjadi dua tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan ini seorang akan
memiliki kecintaan yang sempurna kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ini
merupakan tanda kesempurnaan iman dalam dirinya.
Dua tingkatan tersebut adalah:
1. Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)
yang mengandung konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang dibawa oleh
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah dengan (penuh rasa) cinta, ridha, hormat dan
patuh, serta tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah) beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam secara utuh. Kemudian mengikuti dengan baik agama yang beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam sampaikan dari Allah, dengan membenarkan semua berita yang beliau sampaikan,
mantaati semua kewajiban yang beliau perintahkan, meninggalkan semua perbuatan haram
yang dilarangnya, serta menolong dan berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan
kemampuan unutk (mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan ini harus
dipenuhi (oleh setiap muslim) dan tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan sempurna.
2. Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam) yang mengandung konsekuensi meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan baik, mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, dalam tingkah
laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan yang
baik dengan keluarga, serta semua adab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna dan
akhlak beliau yang suci. Demikian juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah
dan perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa senang dalam hati dengan
mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, senang
mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu (mendahulukan)
ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk yang
paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sikap zuhud terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia,
dan kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat
(kelak)” (Istinyaaqu Nasiimil Unsi min Nafahaati Riyaadhil Qudsi, hal. 34-35)
Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang
meneladani sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal
mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala.
(Lihat keterangan Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas, hal. 481)
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang
agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan
keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/626)
Kemudian firman Allah Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk
direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan
kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Teladan yang baik
(pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala)
untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di
hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan
ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
terlebih lagi yang mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah, adalah orang yang paling semangat dalam
mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap dan tingkah
lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi
asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena seorang muslim yang
mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dilupakan, dia akan
mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan
keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat
(besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu
sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah di kalangan manusia.” (Manaasikul
Hajji wal ‘Umrah, hal. 92)
Marilah kita camkan bersama nasehat imam Al Khatiib Al Baghdadi dalam kitab beliau Al Jaami’ li
Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’ (1/215) berikut ini:
“Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), berusaha untuk
membedakan dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan tingkah laku dan sikapnya,
dengan berusaha mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semaksimal mungkin,
dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzaab: 21)”
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran (daripadanya).” (Al-
A’raaf:3)
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.
(Yuusuf:108)
Dan ayat-ayat lainnya yang memerintahkan untuk mengikuti dalil dan melarang untuk fanatik kepada
kelompok tertentu ataupun individu tertentu.
Bahkan para imam yang empat tersebut, baik Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-
Imam Ahmad bin Hanbal, semuanya sepakat melarang taqlid kepada mereka.
Al-Imam Abu Hanifah mengatakan: “Apabila hadits itu shahih maka itulah madzhabku.”
Beliau juga mengatakan: “Tidak halal bagi siapapun mengikuti perkataan kami bila ia tidak mengetahui
dari mana kami mengambil sumbernya.”
Al-Imam Malik mengatakan: “Saya hanyalah seorang manusia biasa, terkadang berbuat salah dan
terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Apabila sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah,
ambillah; dan sebaliknya apabila tidak sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.”
Beliau juga berkata: “Siapapun orangnya, perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya
Nabi (yang wajib diterima).”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Seluruh kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang secara jelas
mengetahui suatu hadits dari Rasulullah, tidak halal baginya meninggalkannya guna mengikuti pendapat
seseorang.”
Beliau juga berkata: “Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah menurut ahlul hadits,
tetapi pendapatku menyelisihinya, maka pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun
setelah aku mati.”
Al-Imam Ahmad berkata: “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i
dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah dari sumber yang telah mereka ambil.”
Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah, berarti dia berada di jurang
kehancuran.” (Lihat perkataan para imam tersebut dalam Muqaddimah Shifatu Shalaatin Nabiy, karya
Asy-Syaikh Al-Albaniy)
Walaupun demikian, semua kaum muslimin sepakat bahwa mereka adalah para ulama, orang-orang
yang mulia, yang patut dijadikan teladan. Bahkan kita mempelajari Dinul Islam melalui bimbingan
mereka dari kitab-kitab yang telah mereka tulis.
Tidaklah kita bisa mempelajari Dinul Islam dengan benar kecuali melalui bimbingan dan pemahaman
para ulama dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam yang mengikuti jejak mereka.
Yang dilarang adalah ta’ashshub (fanatik kepada madzhab tertentu). Kalaulah mereka berbeda pendapat
dalam suatu masalah maka kita ikuti pendapat yang paling kuat, yang sesuai dengan dalil. Adapun
pendapat yang salah maka tidak boleh diikuti dengan tetap kita menghormati mereka sebagai para
ulama yang mendapat dua pahala jika benar dan satu pahala jika salah.
2. Demikian pula Al-Imam Al-Bukhariy, beliau tidak bermadzhab dengan madzhab apapun kecuali
madzhabnya ahlul hadits yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, walaupun
beliau termasuk salah seorang muridnya Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Yang sesuai dengan dalil, maka
itulah yang beliau ikuti.
Sumber : http://parmin1.wordpress.com/2010/04/29/berpegang-teguh-dengan-sunnah-2/
Yang ni juz nak share agar kita sama2 boleh amalkan sunnah Rasulullah kepada siapa2 yang ada fb dan x
add lg boleh lah add Belajar adab2 sunnah Rasulullah ni(^_^)
"An-Nazofatu Minal Iman" Sesungguhnya kebersihan itu separuh daripada Iman. Selamat Beramal..
Sumber : http://lifeisgreatsufian87.blogspot.com/2010/05/belajar-adab-adab-sunnah-rasulullah.html
Sumber : http://faridah88.blogspot.com/2010/09/7-sunnah-rasulullah-saw.html