Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

MANAJEMEN REPRODUKSI PADA SAPI PERAH

Oleh :
Kelas B
Kelompok 5

ALFIAN RAYMONDO 200110180229


CAHYATI ANGGRIANI UTARI 200110180244
LUTFI RIZAL HUDA 200110180247
MUHAMMAD FIRDAUS SUSANTO 200110180248
HASBI ALI RIFASAKTI 200110180260
LUCKY GUMILAR 200110180263
AIROH RENALDI 200110180266

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang

berjudul “Manajemen Reproduksi Pada Sapi Perah” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada

mata kuliah Manajemen Ternak Perah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk

menambah wawasan mengenai manajemen reproduksi pada sapi perah bagi para

pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak/ibu dosen pengampu mata

kuliah Manajemen Ternak Perah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat

menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi

sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami

menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena

itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan

makalah ini.

Sumedang, 14 September 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Bab Halaman
KATA PENGANTAR...............................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................iii
I PENDAHULUAN......................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah.............................................................2
1.3 Maksud dan Tujuan..............................................................2
II TINJAUAN KEPUSTAKAAN.................................................3
2.1. Reproduksi Ternak...............................................................3
2.2. Manajemen Reproduksi........................................................5
III PEMBAHASAN........................................................................7
3.1. Manajemen Reproduksi Pada Sapi Perah.............................7
3.2. Mengukur Efisiensi Reproduksi Pada Sapi Perah................9
3.3. Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Kelainan yang
Muncul pada Tahap Reproduksi Sapi Perah........................11
IV PENUTUP..................................................................................14
4.1. Kesimpulan...........................................................................14

DAFTAR PUSTAKA........................................................................15
LAMPIRAN......................................................................................17

iii
1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan akan produk peternakan sekarang ini sangat tinggi, tak terkecuali

produk peternakan sapi perah. Akan tetapi permasalahan usaha peternakan sapi perah

di Indonesia cukup kompleks. Walaupun sifat genetis terus diusahakan untuk

diperbaiki yaitu dengan beberapa program antara lain mengimpor sapi betina/jantan

unggul, inseminasi buatan, dan embrio transfer, tetapi hasilnya belum memuaskan.

Kegagalan ini disebabkan oleh kelemahan manajemen yaitu tidak adanya program

yang berkesinambungan atau program yang tetap, teratur, terarah serta tidak

diterapkan-nya seleksi secara ketat.

Selain itu usaha peternakan yang belum berorientasi ekonomi, merupakan

permasalahan tersendiri bagi perkembangan usaha. Ada beberapa perusahaan

peternakan, tetapi kondisinya hampir sama dengan peternakan rakyat. Masalah-

masalah tersebut mengakibatkan kurang berkembangnya usaha peternakan dan

produktivitas sapi perah tidak optimal. Kelemahan manajemen memperburuk kondisi

usaha peternakan sapi perah. Walaupun mereka tahu masalah manajemen, namun

langkah mereka terbatas.

Salah satu kriteria keberhasilan usaha peternakan sapi perah dapat dilihat dari

efisiensi reproduksi. Rendahnya efisiensi reproduksi dapat disebabkan beberapa

faktor, antara lain kelainan anatomis alat reproduksi, fisiologis (hormonal),

pathologis, genetik dan manajemen reproduksi. Oleh karena itu sebagai insan
2

peternakan penting untuk kita memahami bagaimana prosedur manajemen ternak

perah yang baik agar dapat membantu memecahkan permasalahan usaha peternakan

sapi perah.

1.2 Identifikasi Masalah

(1) Bagaimana manajemen reproduksi yang baik untuk mengoptimalkan

produktivitas sapi perah.

(2) Bagaimana mengukur efisiensi reproduksi pada sapi perah.

(3) Apa saja faktor penyebab dan cara mengatasi kelainan yang muncul pada

tahap reproduksi sapi perah.

1.3 Maksud dan Tujuan

(1) Mengetahui Bagaimana manajemen reproduksi yang baik untuk

mengoptimalkan produktivitas sapi perah.

(2) Mengetahui bagaimana mengukur efisiensi reproduksi pada sapi perah.

(3) Mengetahui apa saja faktor penyebab dan cara mengatasi kelainan yang

muncul pada tahap reproduksi sapi perah.

1.
3

II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Reproduksi Ternak

Hewan ternak terbagi ke dalam dua jenis yaitu ruminansia seperti sapi,

kerbau, domba dan kambing, dan non rruminansia seperi unggas, kelinci dan kuda.

Ternak ruminansia sendiri dibagi lagi ke menjadi ruminansia besar yaitu sapi dan
kerbau, dan ruminansia kecil yaitu domba dan kambing. Salah satu kendala yang

sering dihadapi oleh peternak ruminansia adalah masalah reproduksi karena apabila

apabila produktifitas ternaknya rendah akan menyebabkan kerugian besar.

Reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologi tidak

vital bagi kehidupan, tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau

bangsa hewan (Toelihere, 1994). Reproduksi ternak sangat bergantung pada aktifitas

hormon dalam tubuh ternak. Proses reproduksi baru dapat berlangsung setelah hewan

mencapai masa pubertas atau dewasa kelamin, dimana proses ini diatur oleh kelenjar-

kelenjar endokrin dan hormon-hormon yang dihasilkannya. Hormon-hormon yang

paling berpengaruh adalah hormon estrogen, progesteron, LH, FSH, dan testosteron

(Cole dan Cupps, 1980).

1) Hormon Estrogen

Hormon estrogen dibentuk dari testosteron dan dirangsang oleh hormon

perangsang folikel. Hormon ini memungkinkan spermatogenesis untuk

menyekresi protein pengikat endogen untuk mengikat testosteron dan estrogen


4

serta membawa keduanya ke dalam cairan lumen tubulus seminiferus untuk

pematangan sperma.

2) Hormon Progesteron

Fungsi hormon progesteron adalah: Penting untuk mempertahankan

kebuntingan. Menyebabkan pertumbuhan alveoli kelenjar susu. Pengental

lendir birahi untuk sumbat cervix. Dan menekan terjadinya kontraksi uterus

dan menekan uterus terhadap pengaruh estrogen dan oxytocin (Soeetarno,

2003).

3) Luteinizing Hormone (LH)

Leteinizing hormone (LH) adala hormon yang disintesis dan disekresikan oleh

gonadotrop dalam glandula hipofisa anterior. Hormon ini merupakan salah

satu hormon untuk fungsi seksual. Fungsi dari LH adalah pada hewan betina

yaitu akan memicu awal rupturnya folikel de Graaf dan ovulasi. Hormon LH

juga menginduksi sisa sel granulosa dan sel theca interna untuk menjadi

korpus luteum. Semakin tingg kadar LH, maka akan semakin banyak

menghasilkan hormon estrogen (Arman, 2014)

4) Follicle Stimulating Hormone (FSH)

Follicle stimulating hormone (FSH) adalah hormon yang disintesis dan

disekresikan oleh gonadotrop dalam glandula hipofisa anterior. Di dalam

ovarium, FSH menstimulasi perkembangan folikel de graaf immatur menjadi

matur. Ketika folikel bertumbuh, folikel melepaskan inhibin, yang berfungsi

menekan produksi FSH. Pada hewan jantan, FSH berfungsi meningkatkan


5

protein androgen– binding oleh sel sertoli testes dan perlu untuk

spermatogenesis.

5) Homon Testosteron

Testoteron disekresi oleh sel-sel Leydig yang terdapat diantara tubulus

seminiferus. Hormon ini penting bagi tahap pembelahan sel-sel germinal

untuk membentuk sperma, terutama meosis untuk membentuk

spermatogenesis sekunder. Testosteron sangat berfungsi terhadap

pekembangan seks primer dan sekunder dan juga berfungsi dalam efek

desendus (penempatan) testis.

2.2. Manajemen Reproduksi

Upaya untuk mengurangi kerugian peternak akibat masalah reproduksi

terutama bagi peternak ruminansia yaitu dengan melaksanakan manajemen

reproduksi. Secara kuantitatif kesuburan ternak sering dinyatakan dengan sebagai

jumlah perkawinan per konsepsi (service per conseption) dan jarak beranak (calving

interval). Jarak beranak ideal selama 365 hari. Umunya hal ini sulit untuk di capai

para kelompok tani ternak, namun banyak dijumpai pada individu api dengan tata

laksana baik. Meskipun demikian untuk mendapatkan jarak beranak 365 hari, perlu

diupayakan sapi betina sudah bunting kembali dalam 80-90 hari setelah beranak

(Anggraeni, 2008).

Dinyatakan Hardjopranjoto (1995), salah satu ukuran yang menandakan

adanya gangguan reproduksi pada suatu peternakan sapi perah adalah masa kosong

yang melebihi 120 hari. Interval perkawinan setelah beranak dan interval antara satu
6

ke perkawinan selanjutnya sampai menghasilkan kebuntingan merupakan dua

komponen utama dari masa kosong, sehingga sangat menentukan selang beranak.

Jika semua faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu tersebut dapat

dikondisikan secara baik, diharapkan produksi susu akan meningkat.

Tujuan manajemen reproduksi adalah untuk mencapai efsiensi reproduksi

yang tinggi. Artinya, bagaimana usaha peternak agar setiap memasukkan sel sperma

ke dalam alat reproduksi sapi betina dapat menghasilkan pedet yang hidup, sehat, dan

normal, serta tanpa mengalami kesulitan pada waktu proses kelahiran. Dalam

manajemen reproduksi, ada beberapa faktor yang diperlukan untuk mencapai tujuan

efesiensi reproduksi yang tinggi yaitu kartu ternak, pengamatan berahi, kawin

pertama setelah beranak, semen/pejantan, waktu perkawinan, pengelompokan sapi,

pemeriksaan kebuntingan, ankga konsepsi dan pengamatan reproduksi.

Efisiensi reproduksi tinggi dapat dicapai jika semen memiliki tingkat fertilitas

lebih dari 90%. Tingkat fertilitas semen dapat dipengaruhi oleh genetik, ransum yang

diberikan, frekuensi perkawinan atau pengambilan semen. Fertilitas semen akan

sangat berpengaruh pada angka S/C. Semen dengan fertilitas semakin tinggi akan

menghasilkan efisiensi jumlah kawin betina sampai beranak.


7

III
PEMBAHASAN

3.1. Manajemen Reproduksi Pada Sapi Perah

Dalam pengelolaan peternakan, manajemen merupakan salah satu tiga dari

segitiga produksi. Manajemen reproduksi sangat erat kaitannya tentang penambahan

populasi maupun keberlanjutan suatu usaha peternakan. Sapi perah dapat


menghasilkan susu, di samping itu ada manajemen reproduksi untuk mendapatkan hal

lebih dan hasil tambahan. Sapi perah yang baik, memiliki reproduksi yang baik dan

optimal. Reproduksi merupakan proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup

dimulai sejak bersatunya sel telur makhluk hidup betina dan sel mani jantan menjadi

makhluk hidup baru yang disebut zigot disusul dengan kebuntingan dan diakhiri

dengan kelahiran (Hardjoprandjoto, 1995). Perkawinan yang dilakukan untuk ternak

secara kawin buatan atau IB. Triwulanningsih et al. (2009), reproduksi merupakan

suatu barometer untuk menilai kehidupan normal seekor ternak. Teknologi reproduksi

pada ternak meliputi inseminasi buatan, transfer embrio, fertilisasi in vitro. IB adalah

bioteknologi reproduksi yang telah terbukti dapat meningkatkan mutu genetik ternak

dan dapat diterima oleh masyarakat, sehingga IB dilaksanakan secara swadaya.

Umur sapi dara pertama kali dikawinkan berkisar 1,3 sampai 1,6 tahun dengan

berat badan sekitar 350 sampai 400 Kg, sehingga diharapkan dapat mendukung

kebuntingan. Pengamatan tanda-tanda visual birahi sangat penting, sehingga dapat

dikawinkan. Sapi perah merupakan yang memiliki tujuan untuk diambil (diperah)

susunya sehingga proses kebuntingan menjadi sangat penting karena ternak kan
8

menghasilkan susu ketika mereka telah beranak. Semen beku bisa diperoleh dari BIB

(Balai Inseminasi Buatan). Efisiensi reproduksi dalam populasi ternak tidak dapat

diukur semata-mata oleh proporsi ternak yang tidak mampu memproduksi anak

(Salisbury dan Vandemark, 1985). Secara kuantitatif kesuburan ternak sering

dinyatakan dengan sebagai jumlah perkawinan per konsepsi (service per conseption)

dan jarak beranak (calving interval). Jarak beranak ideal selama 365 hari. Umumnya

hal ini sulit untuk di capai para kelompok tani ternak, namun banyak dijumpai pada

individu sapi dengan tata laksana baik (Toelihere, 1985). Meskipun demikian untuk

mendapatkan jarak beranak 365 hari, perlu diupayakan sapi betina sudah bunting

kembali dalam 80-90 hari setelah beranak (anggraeni, 2008).

Untuk meningkatakan produksi perlu dilakukan perbaikan bibit. Selain itu

faktor reproduksi juga sangat diperhatikan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

efisiensi yang dapat mempengaruhi reproduksi seperti makanan, tatalaksana

(manajemen) dan juga pencegahan penyakit perlu mendapat perhatian yang khusus.

Penampilan reproduksi menyangkut reproduktivitas sapi perah. Penampilan

reproduksi yang baik akan menunjukkan nilai efisiensi reproduksi yang tinggi.

Produktivitas yang masih rendah dapat diakibatkan oleh berbagai faktor terutama

yang berkaitan dengan manajemen reproduksi. Variable yang berpengaruh seperti

umur pertama kali melahirkan, umur pertama dikawinkan, jumlah perkawinan per

kebuntingan dan jarak kelahiran.


9

3.2. Mengukur Efisiensi Reproduksi Pada Sapi Perah

Ukuran efisiensi reproduksi dalam usaha peternakan sapi perah sangatlah

penting, karena untuk mendapatkan produksi susu dan keuntungan yang optimal

bergantung kepada pengaturan reproduksi sapi perah tersebut. Menurut

Hardjopranjoto (1995) salah satu ukuran yang menandakan adanya gangguan

reproduksi pada suatu peternakan sapi perah adalah masa kosong yang melebihi 120

hari. Interval perkawinan setelah beranak dan interval antara satu ke perkawinan

selanjutnya sampai menghasilkan kebuntingan merupakan dua komponen utama dari

masa kosong, sehingga sangat menentukan selang beranak (Stevenson, 2001). Jika

semua faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu tersebut dapat

dikondisikan secara baik, diharapkan produksi susu akan meningkat. Beberapa

parameter untuk menilai efisiensi reproduksi antara lain adalah Conception Rate

(CR), Service per Conception (S/C), Non Return Ratae (NRR). Berikut penjelasan

dan cara menghitung factor-faktor yang berkaitan dengan keberhasilan dan efisiensi

manajamen reproduksi sapi perah.

1. Conception Rate (CR) adalah presentase sapi patina yang buting pada

inseminasi pertama, dengan rumus sebagai berikut.


10

2. Service per Conception (S/C) adalah angka yang menunjukkan jumlah semen

atau straw yang digunakan untuk menghasilkan suatu kebuntingan, dengan

rumus sebagai berikut

3. Non Return Rate (NRR) adalah presentase hewan yang tidak kembali minta

kawin atau bila tidak ada permintaan inseminasi lebih lanjut dalam waktu 28

sampai 35 atau 60 sampai 90 hari, dengan rumus sebagai berikut:

Angka kebuntingan diperoleh dari pemeriksaan kebuntingan dengan cara

palpasi per rectal pada umur kebuntingan 60-63 hari. Pada palpasi per rectal diperoleh

kondisi cornua utery yang tidak sama besar (asimetris) dan ukuran fetus sebesar tikus.

Hal ini merupakan cara yang efisisen. Dengan palpasi per rectal terhadap uterus,

ovaria dan pembuluh darah uterus adalah cara diagnosa-diagnosa kebuntingan yang
11

paling praktis dan akurat pada sapi. Palpasi per rectal merupakan cara yang lebih

mudah, praktis, murah, dan cepat. Ini dapat dilakukan setelah 50-60 hari perkawinan.

3.3. Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Kelainan yang Muncul Pada

Tahap Reproduksi Sapi Perah

1) Retensio plasenta

Retensio sekundinae adalah suatu kondisi tertahannya plasenta karena vili

kotiledon fetus masih bertaut dengan kripta karunkula induk dan gagal melepaskan

diri antara keduanya. Dalam keadaan normal kotiledon fetus biasanya keluar 3

sampai 8 jam setelah melahirkan. Menurut (Manan, 2002) Jika plasenta tidak keluar 8

sampai 12 jam maka dapat dikategorikan bahwa ternak sapi tersebut telah mengalami

retensio sekundinae, sedangkan menurut Sammin et al., (2009) plasenta yang tidak

keluar dalam 12 jam berarti ternak tersebut telah mengalami retensio sekundinae.

Shenavai et al., (2010) menyatakan bahwa plasenta yang tidak keluar lebih dari 24

jam setelah melahirkan maka dianggap sebagai kondisi patologis yang disebut

retensio sekundinae.

Penanganan yang dilakukan setelah 24-48 jam dengan melepaskan pertautan

antara kotiledon dan karankula secara manual menggunakan tangan yang telah

dibasuh antiseptik, teknik ini dikenal dengan istilah manual removal yang dimana

dilakukan dengan cara melakukan palpasi intra uteri kemudian melpaskan pertautan

antara kotiledon dan karankula, setelah semua pertautan antara kotiledon dan

karankula lepas plasenta tersebut sudah dapat ditarik keluar. Setelah plasenta berhasil

dikeluarkan, selanjutnya diberikan pengobatan berupa pemberian antibiotik yaitu


12

cotrimoxazole 2 kaplet yang mengandung sulfamethoxazole 800 mg + trimethoprim

160 mg yang di berikan secara intra uterin serta dilakukan pemberian vitol yang

mengandung vitamin A,D, E yang diberikan secara intra muscular.

2) Maserasi Fetus (janin membubur)

Merupakan suatu kondisi fetus terendam sekian lama dalam cairan amnion

dan adanya infeksi bakteri maka tubuh fetus men di hancur seperti bubur dan keluar

lewat vulva dan yang tertinggal di dalam uterus hanya tulang – tulang fetus.

Penyebab utamanya adalah bakteri dan juga dapat disebabkan oleh jamur. Gejala

yang timbul diantaranya : leleran nanah dari vulva yang berbau busuk, hewan selalu

mengejan, suhu tubuh naik (kejadian akut), nafas frekuen (terengah-engah), anorexia,

penurunan produksi susu dan secara perrektal teraba adanya tulang, cairan dan

penebalan uterus. Penanganan yang dapat dilakukan dengan mengeluarkan tung fetus

(sulit dan mahal), pengeluaran nanah dengan hormon PGF2 / estrogen atau dengan

pertimbangan ekonomis hewan dijual/ dipotong.

3) Kawin berulang ( repeat bredders)

Kawin berulang merupakan suatu keadaan sapi betina yang mengalami

kegagalan untuk bunting setelah dikawinkan tiga kali atau lebih dengan pejantan

fertile tanpa adanya abnormalitas yang teramati (Amiridis et al., 2009). Penanganan

yang dapat dilakukan yaitu melakukan pencatatan reproduksi ternak harus baik dan

rapi, induk penderita kawin berulang karena faktor genetik harus dikeluarkan, kawin

berulang karena adanya populasi kuman yang berlebihan pada saluran kelamin betina

dapat diobati dengan pemberian larutan antibiotik yang sesuai secara intra uterine,
13

kawin berulang oleh adanya indikasi gangguan hormonal dapat diperbaiki dengan

pemberian GnRH.

4) Abortus

Menurut Toharmat, et al (2007), Brucellosis adalah penyakit menular pada

hewan dan manusia yang disebabkan oleh bakteri Brucella abortus. Penanganan yang

dilakukan yaitu melakukan program vaksinasi untuk daerah tertular dengan

prevalensi lebih dari 2% dan sapi potong bersyarat untuk daerah dengan prevalensi

kurang dari 2%. Pemerintah saat ini memfokuskan pemakaian vaksin B abortus RB51

untuk pengendalian Brucellosis pada sapi perah.


14

IV
KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa :

(1) Untuk meningkatkan produksi perlu dilakukan perbaikan bibit. Selain itu
faktor reproduksi juga sangat diperhatikan. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi efisiensi yang dapat mempengaruhi reproduksi seperti
makanan, tatalaksana (manajemen) dan juga pencegahan penyakit perlu
mendapat perhatian yang khusus.
(2) Ukuran efisiensi reproduksi dalam usaha peternakan sapi perah dapat dilihat
dari variable yang berpengaruh seperti umur pertama kali melahirkan, umur
pertama dikawinkan, jumlah perkawinan per kebuntingan dan jarak kelahiran.
(3) Dengan manajemen yang baik dapat mengurangi resiko hal yang tidak
diinginkan terhadap tahap reproduksi pada sapi perah.
15

DAFTAR PUSTAKA

Amiridis GS, Tsiligianni TH, Dovolou E, RekkasC, Vouzaras D, Menegatos I. 2009.


Combined Administration of Gonadotropin-releasing Hormone,
Progesterone, Andmeloxicam is an Effective Treatment for Therepeat-
breeder Cow. Theriogenology 72:542–548.

Anggraeni, A. 2008. Indeks Reproduksi Sebagai Faktor Penentu Efisiensi Reproduksi


Sapi Perah: Fokus Kajian Pada Sapi Perah Bos Taurus. Semiloka Nasional
Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. (6): 6674

Arman, C., 2014. Reproduksi Ternak. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Hardjopranjoto.s. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga university press.


Surabaya.

Manan, D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Universitas Syiah Kuala Press. Banda
Aceh.

Sammin D, Markey B, Bassett H, Buxton D. 2009. The Ovine Placenta and


Placentitis a Review. Vet Microbiol.

Shenavai S, Hoffmann B, Dilly M, Pfarrer C, Ozalp GR, Caliskan C, Intas KS,


Schuler G. 2010. Use Of The Progesterone (P4) Receptor Antagonist
Aglepristone to Characterize The Role Of P4 Withdrawal for Parturition
and Placental Release in Cows. Reproduction.

Soetarno, T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Laboratorium Ternak Perah.


Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Toelihere. M.r. 1994. Fisiologi Dan Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa.
Bandung.

Toharmat. Abdullah, L. L., Nahrowi, Sudarman, A., Sumantri, C., Baga, L., Saleh,
A., Maheswari, R. R. A., Evvyernie, D., Burhanuddin, Komala, I., Setiana,
M. A. dan Setiono A. 2007. Roadmap dan Grand Strategi Pengembangan
Industri Sapi Perah Nasional. Makalah disajikan pada Pertemuan Kelompok
Kerja Persusuan Nasional Ditjennak. Solo. 8-10 Agustus 2007.
16

Triwulanningsih, e., t. Susilawati dan Kustono. 2009. Reproduksi dan Teknologi


Reproduksi. Dalam: Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia.
SANTOSA, K.A., K. DIWYANTO dan T. TOHARMAT (Ed.). Puslitbang
Peternakan, Bogor. LIPI Press. 117–164.

Anda mungkin juga menyukai