Oleh :
Kelas B
Kelompok 5
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada
mata kuliah Manajemen Ternak Perah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan mengenai manajemen reproduksi pada sapi perah bagi para
kuliah Manajemen Ternak Perah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Bab Halaman
KATA PENGANTAR...............................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................iii
I PENDAHULUAN......................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah.............................................................2
1.3 Maksud dan Tujuan..............................................................2
II TINJAUAN KEPUSTAKAAN.................................................3
2.1. Reproduksi Ternak...............................................................3
2.2. Manajemen Reproduksi........................................................5
III PEMBAHASAN........................................................................7
3.1. Manajemen Reproduksi Pada Sapi Perah.............................7
3.2. Mengukur Efisiensi Reproduksi Pada Sapi Perah................9
3.3. Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Kelainan yang
Muncul pada Tahap Reproduksi Sapi Perah........................11
IV PENUTUP..................................................................................14
4.1. Kesimpulan...........................................................................14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................15
LAMPIRAN......................................................................................17
iii
1
PENDAHULUAN
Kebutuhan akan produk peternakan sekarang ini sangat tinggi, tak terkecuali
produk peternakan sapi perah. Akan tetapi permasalahan usaha peternakan sapi perah
diperbaiki yaitu dengan beberapa program antara lain mengimpor sapi betina/jantan
unggul, inseminasi buatan, dan embrio transfer, tetapi hasilnya belum memuaskan.
Kegagalan ini disebabkan oleh kelemahan manajemen yaitu tidak adanya program
yang berkesinambungan atau program yang tetap, teratur, terarah serta tidak
usaha peternakan sapi perah. Walaupun mereka tahu masalah manajemen, namun
Salah satu kriteria keberhasilan usaha peternakan sapi perah dapat dilihat dari
pathologis, genetik dan manajemen reproduksi. Oleh karena itu sebagai insan
2
perah yang baik agar dapat membantu memecahkan permasalahan usaha peternakan
sapi perah.
(3) Apa saja faktor penyebab dan cara mengatasi kelainan yang muncul pada
(3) Mengetahui apa saja faktor penyebab dan cara mengatasi kelainan yang
1.
3
II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Hewan ternak terbagi ke dalam dua jenis yaitu ruminansia seperti sapi,
kerbau, domba dan kambing, dan non rruminansia seperi unggas, kelinci dan kuda.
Ternak ruminansia sendiri dibagi lagi ke menjadi ruminansia besar yaitu sapi dan
kerbau, dan ruminansia kecil yaitu domba dan kambing. Salah satu kendala yang
sering dihadapi oleh peternak ruminansia adalah masalah reproduksi karena apabila
Reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologi tidak
vital bagi kehidupan, tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau
bangsa hewan (Toelihere, 1994). Reproduksi ternak sangat bergantung pada aktifitas
hormon dalam tubuh ternak. Proses reproduksi baru dapat berlangsung setelah hewan
mencapai masa pubertas atau dewasa kelamin, dimana proses ini diatur oleh kelenjar-
paling berpengaruh adalah hormon estrogen, progesteron, LH, FSH, dan testosteron
1) Hormon Estrogen
pematangan sperma.
2) Hormon Progesteron
lendir birahi untuk sumbat cervix. Dan menekan terjadinya kontraksi uterus
2003).
Leteinizing hormone (LH) adala hormon yang disintesis dan disekresikan oleh
satu hormon untuk fungsi seksual. Fungsi dari LH adalah pada hewan betina
yaitu akan memicu awal rupturnya folikel de Graaf dan ovulasi. Hormon LH
juga menginduksi sisa sel granulosa dan sel theca interna untuk menjadi
korpus luteum. Semakin tingg kadar LH, maka akan semakin banyak
protein androgen– binding oleh sel sertoli testes dan perlu untuk
spermatogenesis.
5) Homon Testosteron
pekembangan seks primer dan sekunder dan juga berfungsi dalam efek
jumlah perkawinan per konsepsi (service per conseption) dan jarak beranak (calving
interval). Jarak beranak ideal selama 365 hari. Umunya hal ini sulit untuk di capai
para kelompok tani ternak, namun banyak dijumpai pada individu api dengan tata
laksana baik. Meskipun demikian untuk mendapatkan jarak beranak 365 hari, perlu
diupayakan sapi betina sudah bunting kembali dalam 80-90 hari setelah beranak
(Anggraeni, 2008).
adanya gangguan reproduksi pada suatu peternakan sapi perah adalah masa kosong
yang melebihi 120 hari. Interval perkawinan setelah beranak dan interval antara satu
6
komponen utama dari masa kosong, sehingga sangat menentukan selang beranak.
Jika semua faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu tersebut dapat
yang tinggi. Artinya, bagaimana usaha peternak agar setiap memasukkan sel sperma
ke dalam alat reproduksi sapi betina dapat menghasilkan pedet yang hidup, sehat, dan
normal, serta tanpa mengalami kesulitan pada waktu proses kelahiran. Dalam
manajemen reproduksi, ada beberapa faktor yang diperlukan untuk mencapai tujuan
efesiensi reproduksi yang tinggi yaitu kartu ternak, pengamatan berahi, kawin
Efisiensi reproduksi tinggi dapat dicapai jika semen memiliki tingkat fertilitas
lebih dari 90%. Tingkat fertilitas semen dapat dipengaruhi oleh genetik, ransum yang
sangat berpengaruh pada angka S/C. Semen dengan fertilitas semakin tinggi akan
III
PEMBAHASAN
lebih dan hasil tambahan. Sapi perah yang baik, memiliki reproduksi yang baik dan
dimulai sejak bersatunya sel telur makhluk hidup betina dan sel mani jantan menjadi
makhluk hidup baru yang disebut zigot disusul dengan kebuntingan dan diakhiri
secara kawin buatan atau IB. Triwulanningsih et al. (2009), reproduksi merupakan
suatu barometer untuk menilai kehidupan normal seekor ternak. Teknologi reproduksi
pada ternak meliputi inseminasi buatan, transfer embrio, fertilisasi in vitro. IB adalah
bioteknologi reproduksi yang telah terbukti dapat meningkatkan mutu genetik ternak
Umur sapi dara pertama kali dikawinkan berkisar 1,3 sampai 1,6 tahun dengan
berat badan sekitar 350 sampai 400 Kg, sehingga diharapkan dapat mendukung
dikawinkan. Sapi perah merupakan yang memiliki tujuan untuk diambil (diperah)
susunya sehingga proses kebuntingan menjadi sangat penting karena ternak kan
8
menghasilkan susu ketika mereka telah beranak. Semen beku bisa diperoleh dari BIB
(Balai Inseminasi Buatan). Efisiensi reproduksi dalam populasi ternak tidak dapat
diukur semata-mata oleh proporsi ternak yang tidak mampu memproduksi anak
dinyatakan dengan sebagai jumlah perkawinan per konsepsi (service per conseption)
dan jarak beranak (calving interval). Jarak beranak ideal selama 365 hari. Umumnya
hal ini sulit untuk di capai para kelompok tani ternak, namun banyak dijumpai pada
individu sapi dengan tata laksana baik (Toelihere, 1985). Meskipun demikian untuk
mendapatkan jarak beranak 365 hari, perlu diupayakan sapi betina sudah bunting
(manajemen) dan juga pencegahan penyakit perlu mendapat perhatian yang khusus.
reproduksi yang baik akan menunjukkan nilai efisiensi reproduksi yang tinggi.
Produktivitas yang masih rendah dapat diakibatkan oleh berbagai faktor terutama
umur pertama kali melahirkan, umur pertama dikawinkan, jumlah perkawinan per
penting, karena untuk mendapatkan produksi susu dan keuntungan yang optimal
reproduksi pada suatu peternakan sapi perah adalah masa kosong yang melebihi 120
hari. Interval perkawinan setelah beranak dan interval antara satu ke perkawinan
masa kosong, sehingga sangat menentukan selang beranak (Stevenson, 2001). Jika
parameter untuk menilai efisiensi reproduksi antara lain adalah Conception Rate
(CR), Service per Conception (S/C), Non Return Ratae (NRR). Berikut penjelasan
dan cara menghitung factor-faktor yang berkaitan dengan keberhasilan dan efisiensi
1. Conception Rate (CR) adalah presentase sapi patina yang buting pada
2. Service per Conception (S/C) adalah angka yang menunjukkan jumlah semen
3. Non Return Rate (NRR) adalah presentase hewan yang tidak kembali minta
kawin atau bila tidak ada permintaan inseminasi lebih lanjut dalam waktu 28
palpasi per rectal pada umur kebuntingan 60-63 hari. Pada palpasi per rectal diperoleh
kondisi cornua utery yang tidak sama besar (asimetris) dan ukuran fetus sebesar tikus.
Hal ini merupakan cara yang efisisen. Dengan palpasi per rectal terhadap uterus,
ovaria dan pembuluh darah uterus adalah cara diagnosa-diagnosa kebuntingan yang
11
paling praktis dan akurat pada sapi. Palpasi per rectal merupakan cara yang lebih
mudah, praktis, murah, dan cepat. Ini dapat dilakukan setelah 50-60 hari perkawinan.
3.3. Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Kelainan yang Muncul Pada
1) Retensio plasenta
kotiledon fetus masih bertaut dengan kripta karunkula induk dan gagal melepaskan
diri antara keduanya. Dalam keadaan normal kotiledon fetus biasanya keluar 3
sampai 8 jam setelah melahirkan. Menurut (Manan, 2002) Jika plasenta tidak keluar 8
sampai 12 jam maka dapat dikategorikan bahwa ternak sapi tersebut telah mengalami
retensio sekundinae, sedangkan menurut Sammin et al., (2009) plasenta yang tidak
keluar dalam 12 jam berarti ternak tersebut telah mengalami retensio sekundinae.
Shenavai et al., (2010) menyatakan bahwa plasenta yang tidak keluar lebih dari 24
jam setelah melahirkan maka dianggap sebagai kondisi patologis yang disebut
retensio sekundinae.
antara kotiledon dan karankula secara manual menggunakan tangan yang telah
dibasuh antiseptik, teknik ini dikenal dengan istilah manual removal yang dimana
dilakukan dengan cara melakukan palpasi intra uteri kemudian melpaskan pertautan
antara kotiledon dan karankula, setelah semua pertautan antara kotiledon dan
karankula lepas plasenta tersebut sudah dapat ditarik keluar. Setelah plasenta berhasil
160 mg yang di berikan secara intra uterin serta dilakukan pemberian vitol yang
Merupakan suatu kondisi fetus terendam sekian lama dalam cairan amnion
dan adanya infeksi bakteri maka tubuh fetus men di hancur seperti bubur dan keluar
lewat vulva dan yang tertinggal di dalam uterus hanya tulang – tulang fetus.
Penyebab utamanya adalah bakteri dan juga dapat disebabkan oleh jamur. Gejala
yang timbul diantaranya : leleran nanah dari vulva yang berbau busuk, hewan selalu
mengejan, suhu tubuh naik (kejadian akut), nafas frekuen (terengah-engah), anorexia,
penurunan produksi susu dan secara perrektal teraba adanya tulang, cairan dan
penebalan uterus. Penanganan yang dapat dilakukan dengan mengeluarkan tung fetus
(sulit dan mahal), pengeluaran nanah dengan hormon PGF2 / estrogen atau dengan
kegagalan untuk bunting setelah dikawinkan tiga kali atau lebih dengan pejantan
fertile tanpa adanya abnormalitas yang teramati (Amiridis et al., 2009). Penanganan
yang dapat dilakukan yaitu melakukan pencatatan reproduksi ternak harus baik dan
rapi, induk penderita kawin berulang karena faktor genetik harus dikeluarkan, kawin
berulang karena adanya populasi kuman yang berlebihan pada saluran kelamin betina
dapat diobati dengan pemberian larutan antibiotik yang sesuai secara intra uterine,
13
kawin berulang oleh adanya indikasi gangguan hormonal dapat diperbaiki dengan
pemberian GnRH.
4) Abortus
hewan dan manusia yang disebabkan oleh bakteri Brucella abortus. Penanganan yang
prevalensi lebih dari 2% dan sapi potong bersyarat untuk daerah dengan prevalensi
kurang dari 2%. Pemerintah saat ini memfokuskan pemakaian vaksin B abortus RB51
IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
(1) Untuk meningkatkan produksi perlu dilakukan perbaikan bibit. Selain itu
faktor reproduksi juga sangat diperhatikan. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi efisiensi yang dapat mempengaruhi reproduksi seperti
makanan, tatalaksana (manajemen) dan juga pencegahan penyakit perlu
mendapat perhatian yang khusus.
(2) Ukuran efisiensi reproduksi dalam usaha peternakan sapi perah dapat dilihat
dari variable yang berpengaruh seperti umur pertama kali melahirkan, umur
pertama dikawinkan, jumlah perkawinan per kebuntingan dan jarak kelahiran.
(3) Dengan manajemen yang baik dapat mengurangi resiko hal yang tidak
diinginkan terhadap tahap reproduksi pada sapi perah.
15
DAFTAR PUSTAKA
Manan, D. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Universitas Syiah Kuala Press. Banda
Aceh.
Toelihere. M.r. 1994. Fisiologi Dan Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa.
Bandung.
Toharmat. Abdullah, L. L., Nahrowi, Sudarman, A., Sumantri, C., Baga, L., Saleh,
A., Maheswari, R. R. A., Evvyernie, D., Burhanuddin, Komala, I., Setiana,
M. A. dan Setiono A. 2007. Roadmap dan Grand Strategi Pengembangan
Industri Sapi Perah Nasional. Makalah disajikan pada Pertemuan Kelompok
Kerja Persusuan Nasional Ditjennak. Solo. 8-10 Agustus 2007.
16