Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PANCASILA

PENERAPAN PANCASILA YANG MERUPAKAN SISTEM


FILSAFAT DALAM MENUNJANG PROFESI KEPERAWATAN

OLEH :

IDA AYU OKA PUNIA ADNYA SWARI


36
1.B
P07120220087
SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

KEMENTRIAN KEMKES RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA 2020

1
KATA PENGANTAR

Om Swastiastu,
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan syukur penulis panjatkan
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), atas anugrah-
Nya laporan yang berjudul “Tugas PANCASILA penerapan pancasila yang
merupakan filsafat dalam menunjang profesi keperawatan” dapat diselesikan
sesuai rencana dan tepat pada waktunya.
Keterbatasan pengetahuan penulis, baik di bidang teori maupun
kemampuan meneliti, sehingga banyak kesulitan yang dihadapi dalam pembuatan
laporan ini. Berkat dorongan dan petunjukan yang diberikan dari berbagai pihak,
akhirnya hambatan dan kesulitan tersebut dapat diatasi. Berbagai pihak yang
tidak dapat terlupakan jasa nya yaitu, melalui kesempatan ini penulis
mengucapkan rasa terimakasih.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Denpasar, 09 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Rumusan Masalah
1.3  Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Filsafat
2.1.1 Pengertian Filsafat Secara Etimologis
2.1.2 Pengertian Filsafat Secara Definitif
2.2   Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat
2.2.1 Dasar Ontologis Sila-Sila Pancasil
2.2.2 Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancasila
2.2.3 Dasar Aksiologis Sila-Sila Pancasila
2.3  Filsafat Ilmu Keperawatan
2.3.1 Ontologi Keilmuan Keperawatan
2.3.2  Epistemologi Keilmuan Keperawatan
2.3.3 Aksiologi Keilmuan Keperawatan
2.4  Penerapan pancasila sebagai sistem filsafat dalam praktik keperawatan

BAB III PENUTUP


3.1 Simpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pancasila pada hakikatnya merupakan sebagai keseluruhan pandangan,
cita-cita, keyakinan dan nilai bangsa Indonesia yang secara normatif perlu
diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keputusan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia No.
647/MENKES/SK/IV/2000 tentang ketentuan umum pada Bab I Pasal 1 yaitu,
“Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam
maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Perawat sebagai tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat umum. Dalam menghadapi pasien, seorang perawat
harus mempunyai etika, karena yang dihadapi perawat adalah seorang manusia.
Perawat pun harus bertindak sopan, murah senyum dan menjaga perasaan
pasien. Hal tersebut dilakukan karena peran perawat membantu proses
penyembuhan pasien bukan memperburuk keadaan pasien. Oleh karena itu
penerapan filsafat pancasila sebagai suatu sistem sangat erat kaitannya dengan
peranan perawat khususnya etika nilai-nilai pengembangan profesinya dari efek
pendidikan pancasila itu sendiri. Maka peranan perawat sangat menunjukkan
sikap kepemimpinan dan tanggung jawab untuk memelihara dan mengelola
asuhan keperawatan serta mengembangkan diri dalam meningkatkan mutu dan
jangkauan pelayanan keperawatan.
Dengan etika yang baik diharapkan seorang perawat bisa menjalin
hubungan yang lebih akrab dengan pasien. Dengan hubungan baik ini, maka akan
terjalin sikap saling menghormati dan menghargai di antara keduanya. Etika dapat
membantu para perawat mengembangkan kelakuan dalam menjalankan
kewajiban, membimbing hidup, menerima pelajaran, sehingga para perawat dapat
mengetahui kedudukannya dalam masyarakat dan lingkungan keperawatan.
     Dengan demikian, para perawat dapat mengusahakan kemajuannya secara
sadar dan seksama. Dalam perawatan teori dan praktik dengan budi pekerti saling
memperoleh, maka dua hal ini tidak dapat dipisahkan. Selain dengan tujuan
tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa nama baik rumah sakit ditentukan oleh
pendapat atau kesan dari masyarakat umum. Kesehatan masyarakat terpelihara
dengan baik, jika tingkatan pekerti perawat dan pegawai-pegawai kesehatan
lainnya luhur juga. Sebab akhlak yang teguh dan budi pekerti yang luhur
merupakan dasar yang penting untuk segala jabatan, termasuk jabatan perawat.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah :

1
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan filsafat ?
1.2.2. Apa yang dimaksud pancasila sebagi sistem filsafat ?
1.2.3. Bagaimana penerapan pancasila sebagai sistem filsafat dalam
keperawatan ?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.3.1. Untuk  memahami konsep filsafat.
1.3.2. Untuk  memahami pancasila sebagai sistem filsafat.
1.3.3. Untuk mengetahui penerapan pacasila sebagai sistem filsafat dalam
keperawatan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Filsafat
2.1.1 Pengertian Filsafat Secara Etimologis
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yakni
philos, philia, philien yang artinya senang, teman dan cinta dan sophos, sophia
dan sophien yang artinya kebenaran (truth), keadilan (justice), dan bijaksana
(wise) atau kebijaksanaan (wisdom). Pengertian filsafat secara etimologis dapat
disimpulkan adalah Cinta kebenaran atau cinta kebijaksanaan/ kearifan. Selain itu
kata filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah, dari bahasa Inggris yaitu
philosophy, bahasa Indonesia filsafat (kata sifat filsafati) atau filosofi (kata sifat
filosofis), falsafah yang semuanya mempunyai arti yang sama.
2.1.2 Pengertian Filsafat Secara Definitif
Pengertian filsafat dari Ahli (Filsuf):
1.  Plato  (427 SM – 347 SM) : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat
mencapai kebenaran yang asli.
2.  Aristoteles (384 SM – 322 SM) : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran yang terkandung di  dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, politik dan estetika.
3.   Immanuel Kant: Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan
pangkal dari segala pengetahuan, yang tercakup  di dalam empat persoalan.
§  Apakah yang dapat kita ketahui? (jawabnya: metafisika)
§  Apakah yang seharusnya kita ketahui? (jawabnya: etika)
§  Sampai dimanakah pengharapan kita? (jawabnya: agama)
§  Apakah yang dinamakan manusia? (jawabnya: antropologi)
4. Prof. Drs. Notonegoro, SH: Filsafat adalah pengetahuan atau ilmu pengetahuan
yang mencari dan mempelajari yang ada (ontologi) dan hakekat yang ada
(metafisika) dengan perenungan (kontemplasi) yang mendalam (radikal) sampai
menemukan substansinya.
5.  Drs. Hasbullah Bakry, S.H: Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu
yang mendalam mengenai Ketuhanan (theologi), alam semesta (kosmologi) dan
manusia (antropologi), sehingga menghasilkan pengetahuan bagaimana
hakekatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia
itu seharusnya setelah mencapainya. Filsafat adalah ilmu yang mencari dan
mempelajari tentang hakekat (metafisika). Oleh karena itu filsafat juga
disebut Ilmu tentang hakekat atau ilmu hakekat (metafisika).
Ditinjau dari perspektif permasalahannya filsafat dapat dikelompokkan menjadi
dua macam, yaitu:
Pertama: filsafat sebagai hasil perenungan/kontemplasi (produk).

3
§  Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep pemikiran-pemikiran para
filsuf.     Pada zaman dahulu, yang lazimnya merupakan suatu aliran/paham,
misal: idealism rasionalisme, materialisme, pragmatisme.
§  Filsafat sebagai suatu jenis problema  yang dihadapi oleh manusia  sebagai hasil
aktivitas berfilsafat. Jadi manusia mencari suatu kebenaran yang timbul dari
persoalan pada akal manusia.
Kedua: Filsafat sebagai suatu proses, yang berbentuk sebagai aktivitas berfilsafat,
sekaligus  proses  pemecahan  masalah  (problem solving) dengan  menggunakan
berbagai metode tertentu  sesuai  dengan  objeknya.
Adapun cabang-cabang filsafat adalah sebagai berikut:
1.   Metafisika: memepelajari hal-hal yang ada di balik alam fisik/ alam indrawi (riil),
yang meliputi bidang-bidang : ontologi, kosmologi, antropologi, dan theology.
2.   Epistimologi: yang mepelajari tentang hakekat pengetahuan.
3.   Logika: mempejari tentang kaidah-kaidah berpikir, yakni tentang axioma, dalil
dan rumusan berpikir (thinking) dan bernalar (reasoning)
4.   Etika: mempejari hal-hal yang berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia.
5.  Estetika: mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan yang indah (estetik) dan
yang mempunyai nilai seni (artistik).
6. Methodologi: mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan suatu metode,
diantaranya, metode deduksi, induksi, analisa, dan sintesa .
Berdasarkan cabang-cabang filsafat inilah, maka Pancasila dapat dikatakan
sebagai Sistem Filsafat, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai Ketuhanan
(theologi), nilai manusia (antropologi), nilai kesatuan (metafisika, yang
berhubungan dengan pengertian hakekat satu), kerakyatan (hakekat demokrasi)
dan keadilan (hakekat keadilan).

2.2 Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat


Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan
kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar
ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-
sila Pancasila. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah
bersifat hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidial, digunakan untuk
menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urutan-
urutan luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila
Pancasila itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu
hierarkhis dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut
makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi
kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari
sila-sila Pancasila (Notonagoro, 1984 : 61 dan 1975: 52, 57). Secara filosofis
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar ontologis, dasar
epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat
yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme,
idealisme dan lain paham filsafat dunia.

4
2.2.1        Dasar Ontologis Sila-Sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang
menyangkut sila-silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila
Pancasila atau secara filosofis merupakan dasar ontologis sila-sila
Pancasila. Pancasila yang terdiri dari lima atas lima sila, setiap sila bukanlah
merupakan asa yang berdiri sendiri-sendiri, memiliki suatu kesatuan dasar
ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang
memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga
disebut sebagai dasar antropologis.
Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut : bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro,
1975 : 23). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara bahwa
Pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah
rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri sehingga tetaplah jikalau dalam
filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah
manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis
memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa,
jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri
sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan
kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk
Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa
mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya (Notonagoro 
1975 : 53).
Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila
adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan
dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan.
Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah
sebagai sebab adapun negara sebagai akibat. Sebagai suatu sistem filsafat
landasan sila-sila Pancasila itu dalam hal isinya menunjukkan suatu hakikat
makna yang bertingkat ( Notonagoro, tanpa tahun : 7), serta ditinjau keluasannya
memiliki bentuk piramidal.

2.2.2        Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancasila.


Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu
sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan pedoman
atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta,

5
manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar
bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan
kehidupan. Pancasila dalam pengertian seperti yang demikian ini telah menjadi
suatu sistem cita-cita/ keyakinan-keyakinan (belief system) yang telah
menyangkut praksis, karena dijadikan landasan atau cara hidup manusia atau
suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berati
filsafat telah menjelma menjadi ideologi (Abdul Gani, 1998). Sebagai suatu
ideologi maka Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas
dari pendukungnya yaitu :
1.  Logos yaitu rasionalitas atau penalarannya,
2.  Patos yaitu penghayatannya, dan
3. Etos yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996: 3).
Sebagai suatu sistem filsafat serta ideologi maka Pancasila harus memiliki
unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem
pengetahuan. Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat
dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi besumber
pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991: 50). Oleh
karena itu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep
dasarnys tentang hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari
Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan
epistemologis, yaitu bangunan epistemologis yang ditempatkan dalam bangunan
filsafat manusia (Pranarka, 1996: 32).
Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam
epistemologi yaitu : pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang
teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia
(Titus, 1984:20). Persoalan epistemologi dalam hubungannya dalam Pancasila
dapat dirinci sebagai berikut :
Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi
masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila.
Tentang sumber pengetahuan pancasila, sebagaimana dipahami bersama bahwa
sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia
sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya merupakan perenungan
serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja namun dirumuskan oleh
wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Dengan lain perkataan
bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena
sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki
nilai-nilai adat istiadat serta kebudayaan dan nilai religius, maka diantara bangsa
Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila. Pancasila sendiri sebagai suatu
sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.
Berikutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat
formal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila
Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan

6
berbentuk piramida, di mana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai ke-
empat sila lainnya serta sila ke-dua didasari sila pertama serta mendasari dan
menjiwai sila-sila ke-tiga, ke-empat dan  ke-lima, sila ke-tiga didasari dan dijiwai
sila pertama dan ke-dua serta mendasari dan menjiwai sila-sila ke-empat dan ke-
lima, sila ke-empat didasari dan dijiwa sila pertama, ke-dua dan ke-tiga serta
mendasari dan menjiwai sila ke-lima, adapun sila ke-lima didasari dan dijiwai
sila-sila pertama, ke-dua, ke-tiga dan ke-empat.
Pembahasan berikutnya adalah pandangan Pancasila tentang pengetahuan
manusia. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa masalah epistemologi Pancasila
diletakkan dalam kerangka bangunan filsafat manusia. Maka konsepsi dasar
ontologis sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar
pijak epistemologi Pancasila. Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah
monopluralis yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu
susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rohani). Tingkatan
hakikat raga manusia adalah unsur-unsur: fisis anorganis, vegetative, animal.
Adapun unsur jiwa (rohani) manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa manusia
yaitu akal, yaitu suatu potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan
kebenaran pengetahuan manusia. Rasa yaitu unsur potensi jiwa manusia
dalam tingkatan kemampuan estetis (keindahan). Adapun kehendak adalah unsur
potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan bidang moral atau etika. Menurut
Notonagoro dalam skema potensi rokhaniah manusia terutama dalam kaitannya
dengan pengetahuan akal manusia merupakan sumber daya cipta manusia dan
dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar
terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut : memories, resektif, kritis dan
kreatif.
Manusia pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk
Tuhan yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila
epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat netral hal
ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi. Kebenaran dalam pengetahuan
manusia adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi
kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkan
kebenaran yang tertinggi yaitu kehendak mutlak. Selain itu dalam sila ke-tiga
yaitu persatuan Indonesia, sila ke-empat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia maka epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran
consensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai suatu paham epistemologi maka
Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada
hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas
kodrat manusia serta moralitas religious dalam upaya untuk mendapatkan suatu
tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.

2.2.3   Dasar Aksiologis Sila-Sila Pancasila

7
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu
kesatuan dasar aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori
tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan suku pandangnya
masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkhinya.
Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakekat nilai yang tertinggi
adalah nilai material, kalangan  hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi
adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai
dapat kita kelompokkan pada dua macam sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu
bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia, hal ini
bersifat subjektif namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu
itu memang pada dirinya sendiri memang bernilai, hal ini merupakan pandangan
dari paham objektivisme.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja
yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak
pandangan tentang nilai terutama dalam menggolong-golongkan nilai dan
penggolongan tersebut amat beraneka ragam tergantung pada sudut pandangnya
masing-masing.
Mac Scheler misalnya mengemukakan bahwa nilai pada hakikatnya
berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya. Nilai-nilai itu
dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bilamana
dibandingkan satu dengan lainya. Sejalan dengan pandangan tersebut, Noto
Nagoro merinci nilai disamping bertingkat juga berdasarkan jenisnya ada yang
bersifat material dan non material. Dalam hubungan ini pancasila memiliki
orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup
masing-masing. Ada sekelompok orang mendasarkan pada orientasi nilai material,
namun ada pula yang sebaliknya yang berorientasi pada nilai non material.
Bahkan sesuatu yang non material itu mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi
manusia. Nilai-nilai material relative lebih mudah diukur menggunakan indera
maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas dan sebagainya.
Dalam menilai hal-hal yang bersifat rokhaniah yang menjadi alat ukur adalah hati
nurani manusia yang dibantu oleh alat indera manusia yaitu cipta, karsa serta
keyakinan manusia.
Menurut Noto Nagoro bahwa nilai-nilai Pancasila termasuk nilai
kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui nilai matrial dan nilai
vital dengan demikian nilai Pancasila yang tergolong kerokhanian ini juga
mengandung nilai-nilai lain secara lengkap yang harmonis yaitu nilai material,
nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai
moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematis-
hierarkis, dimana sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa sebagai basisnya
sampai dengan sila Keadilan sosial sebagai tujuannya (Darmodihardjo, 1978).

2.3  Filsafat Ilmu Keperawatan

8
Pohon  ilmu  dari  keperawatan  adalah  ilmu  keperawatan  itu  sendiri.
Pendidikan  keperawatan  sebagai  pendidikan  profesi  harus  dikembangkan 
sesuai dengan  kaidah-kaidah  ilmu  dan  profesi  keperawatan,  yang  harus 
memiliki landasan akademik dan landasan professional yang kokoh dan mantap.
Pengembangan  pendidikan  keperawatan  bertolak  dari  pengertian  dasar
tentang  ilmu  keperawatan  seperti  yang  dirumuskan  oleh  Konsorsium  Ilmu
kesehatan  (1991) yaitu “Ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu dasar seperti
ilmu alam, ilmu social, ilmu perilaku, ilmu biomedik, ilmu kesehatan masyarakat,
ilmu dasar  keperawatan,  ilmu  keperawatan  komunitas  dan  ilmu  keperawatan
klinik,  yang  aplikasinya  menggunakan  pendekatan  dan  metode  penyelesaian
masalah secara ilmiah, ditujukan untuk mempertahankan, menopang, memelihara
dan meningkatkan integritas seluruh kebutuhan dasar manusia.”
Wawasan  ilmu  keperawatan  mencakup  ilmu-ilmu  yang  mempelajari
bentuk  dan  sebab  tidak  terpenuhinya  kebutuhan  dasar  manusia,  melalui
pengkajian  mendasar  tentang  hal-hal  yang  melatar  belakangi,  serta 
mempelajari berbagai  bentuk  upaya  untuk  mencapai  kebutuhan  dasar 
tersebut  melalui pemanfaatan  semua  sumber  yang  ada  dan  potensial. Bidang 
garapan  dan  fenomena  yang  menjadi  objek  studi  keperawatan  adalah
penyimpangan dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia  (bio-psiko-sosio-
spiritual), mulai  dari  tingkat  individu  yang  utuh  (mencakup  seluruh  siklus
kehidupan),  sampai  pada  tingkat  masyarakat,  yang  juga  tercermin  pada  tidak
terpenuhinya  kebutuhan  dasar  pada  tingkat  system  organ  fungsional  sampai 
sub seluler atau molekuler.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa hakikat dari ilmu keperawatan
adalah  mempelajari  tentang  respon  manusia  terhadap  sehat  dan  sakit  yang
difokuskan pada kepedulian perawat terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
pasien  atau  disebut  dengan  care.  Hal  ini  berbeda  dengan  hakikat  kedokteran
adalah pengobatan atau disebut cure.
2.3.1  Ontologi Keilmuan Keperawatan           
Dua  aspek  penting  dari  ontologi  keilmuan  dalam  keperawatan  yaitu
(1)  prinsip  penafsiran  tentang  realitas  dan  (2)  batas-batas  telaahan. Prinsip 
penafsiran  tentang  realitas  keilmuan  keperawatan  antara  lain mencakup 
beberapa  pernyataan  seperti  realitas  adalah  gejala  fisik  yang berwujud sebagai
fakta data.  Realitas yang kita ketahui hanya merupakan perkiraan  dari 
kenyataan  yang  sebenarnya.  Realitas  itu  diungkapkan sebagaimana adanya 
(das Sein)  tanpa terikat oleh nilai-nilai tertentu di luar  kenyataan  tersebut. 
Dalam  menafsirkan  realitas,  keilmuan keperawatan mempunya beberapa
anggapan dasar  (asumsi, premis)  yakni uniformitas,  relative  tetap,  dan 
memiliki  pola  kejadian  yang  baku.
Uniformitas  ialah  bahwa  setiap  wujud  kehidupan  manusia  mempunyai
keserupaan  dengan  wujud  lainnya  dilihat  dari  kriteria  tertentu  seperti
kuantitas, kualitas, atau modus. Relative tetap artinya bahwa dalam jangka waktu 
tertentu  setiap  wujud  memiliki  bentuk  yang  tetap  misalnya ketegangan 

9
(tension),  kecemasan, depresi, kesedihan, penolakan  (denial), dan coping,
sebelum berubah bentuk menjadi wujud lain misalnya : stress, gembira, 
penerimaan.  Setiap  kejadian  mempunyai  pola  baku  yang  tetap dan  tidak 
bersifat  kebetulan  misalnya  kandungan  air  dan  elektrolit berhubungan 
dengan  energy  tubuh,  oksigen  berkaitan  dengan  keadaan sesak nafas dan
kematian jaringan.
Batas-batas telaahan kegiatan keilmuan secara umum adalah wilayah
empiric,  dalam  arti  daerah  yang  dapat  ditangkap  oleh  panca indera manusia. 
Dunia  keilmuan  dibagi  dua  golongan  yaitu  (1)  pengetahuan ilmiah  dan  (2) 
sarana  pengetahuan  ilmiah.  Sarana  pengetahuan  ilmiah adalah  alat  yang 
membantu  kegiatan  dalam  memperoleh  dan  menyusun pengetahuan ilmiah,
misalnya : bahasa, logika, matematika, statistika, dan metode  penelitian. 
Ontology  ini  berbeda  dengan  sarana  pengetahuan ilmiah,  demikian  pula 
dengan  epistemolog  dan  aksiologinya.  Kegiatan penelitian  yang  menyangkut 
sarana  pengetahuan  ilmiah  adalah  bersifat ilmiah, sebab merupakan bagian
integral dari dunia keilmuan.
Setiap disiplin keilmuan termasuk pengetahuan ilmiah memiliki objek
formal dan  objek  material  mengenai  wujud  yang  menjadi  fokus
penelaahannya,  yang  seharusnya  berbeda  dari  obyek  formal dan  obyek
material  disiplin  keilmuan  lainnya.  Obyek  formal  adalah  cara  pandang
terhadap sesuatu, misalnya bahwa perawat memandang masalah kliennya
berfokus  pada  tidak  atau  kurang  adekuatnya  pemenuhan  kebutuhan-
kebutuhan  yang  terkait  dengan  kesehatan  potensial  maupun  kesehatan aktual. 
Obyek  material  adalah  substansi  dari  obyek  formal,  misalnya apabila obyek
formalnya klien dengan masalah gangguan pernafasan, maka obyek materianya
adalah saluran pernafasan, oksigen, karbondioksida, dan sebagainya.
Pertanyaan yang sering muncul ialah perbedaan obyek formal dan  obyek 
materia  antara  pengetahuan  ilmiah  keperawatan,  kedokteran, dan  kesehatan 
masyarakat.  Walaupun  diakui  batas-batasnya,  namun dalam  praktik seringkali 
sulit  dibedakan  yang  disebabkan  komponen aksiologi yang tumpang tindih dan
bertautan erat antara tujuan pengasuhan (caretive)  dengan  tujuan  pengobatan 
(curative)  dan  pencegahan (preventive).  Inilah  tolok  ukur  pertama  untuk 
menilai  keberadaan  dan kemandirian  disiplin  pengetahuan  keperawatan 
ilmiah  dari  pengetahuan ilmiah lainnya (misalnya ilmu kedokteran dan ilmu
kesehatan masyarakat). Dengan perkataan lain, objek formal dan objek
material yang jelas dan tegas dari pengetahuan keperawatan akan merupakan ciri-
ciri  yang spesifik dari disiplin keilmuan keperawatan.
2.3.2 Epistemologi Keilmuan Keperawatan
Epistemologi  keilmuan  keperawatan  secara  lebih  rinci  dapat  dilihat
dari aspek-aspek sifat, proses, dan fungsi pengetahuan keperawatan ilmiah yang 
telah  diperoleh  dan  tersusun  secara  rasional,  logis,  dan  sistematis. Ketiga
aspek di atas bersifat saling berhubungan, kait mengkait dengan arti dimulai  dari 
sifat,  namun  sebaliknya  bahwa  proses  (pengetahuan keilmuan) ditentukan oleh

10
sifat (pengetahuan keilmuan) dan bahwa fungsi (pengetahuan  keilmuan)  turut 
menentukan  bagaimana  proses  perolehan dan penyusunan pengetahuan
keilmuan itu dilakukan. Masyarakat ilmiah keperawatan seyogyanya lebih
terorganisis dengan mengharapkan  untuk  memperoleh  dan  menyusun 
pengetahuan  keilmuan yang memiliki sifat-sifat bahwa pengetahuan keilmuan
yang (biasanya) dihasilkan  secara  individual  itu  adalah  untuk  dan  milik 
umum  (public knowledge).
Untuk ini diperlukan komunikasi ilmiah, yang artinya bahwa pengetahuan
keilmuan  yang diperolehnya wajib  dikomunikasikan kepada masyarakat 
ilmuwan  lewat  publikasi  ilmiah.  Jadi  apabila  ilmuwan  yang menyimpan
penemuannya dikantung baju atau di perpustakaan pribadinya, belum  bisa 
dikategorikan  sebagai  pengetahuan  keilmuan.  Masyarakat ilmiah keperawatan
juga tidak boleh terlalu bersifat skeptic dan eksklusif, yang  hanya  melihat 
kebenaran  ilmiah  dari  sudut  pandang  pribadi  atau profesinya saja, sebab pada
dasarnya pengetahuan keilmuan memiliki akar dan  metode  ilmiah  yang  sama. 
Hal  inilah  yang  merupakan  salah  satu kelemahan umum yang sering
terjadi pada setiap kelompok ilmuwan dan profesi,  namun  perlu  diupayakan 
untuk  diredusir  dan  dihilangkan. Pengetahuan  keilmuan  itu  haruslah  bersifat 
obyektif,  dalam  arti  bahwa setiap orang  yang mempelajari obyek  yang sama
dengan cara  yang sama akan  sampai  kepada  kesimpulan  yang  sama  pula. 
Pengetahuan  keilmuan yang  disusun  merupakan abstraksi  yag  mereduksikan 
realitas  menjadi konsep, dengan tingkat generalisasi yang tinggi.
Mekanisme  yang  memproses  pengetahuan  keilmuan  tersebut  adalah
metode ilmiah yang mengandung tiga bagian, yaitu :
-  proses keabsahan (validitas)
-  proses kebenaran
-  proses penyusunan.
Proses  keabsahan  pengetahuan  keilmuan  menetapkan  persyaratan yang 
harus  dipenuhi  oleh  suatu  kegiatan  agar  dianggap  sah  secara keilmuan.
Persyaratan ini ialah : logis, analitis, dan sistematis adalah sah menurut  kriteria 
ilmiah.  Selanjutnya  suatu  pengetahuan  diperlukan  pula kriteria  kebenaran 
ilmiah,  yang  ditentukan  melalui  pengujian  secara empiris, yang sifatnya logis,
analitis, dan sistematis. Pengetahuan  keilmuan  bidang  keperawatan  yang 
diperoleh  dan disusun sedemikian rupa memiliki fungsi yang jelas bagi dunia
keilmuan untuk  mendeskripsikan,  menjelaskan,  memprediksikan,  serta 
mengontrol gejala  atau  fenomena  bio-psiko-sosial-kultural-spiritual  manusia 
sebagai individu,  keluarga  dan  kelompok  dalam  kaitan  dengan  tujuan 
kesehatan dan  kesejahteraan  yang  optimal  bagi  mereka. 
Teori  keperawatan  yang dihasilkan akan bermutu tinggi apabila memiliki
keempat kriteria di atas, dan  di  sinilah  tolok  ukur  kedua,  dalam  menilai 
konsep-konsep  yang diajukan  oleh  disiplin  keilmuan  “baru”  seperti 
pengetahuan  keperawatan ilmiah  yang  mulai  tumbuh  untuk  berkembang. 
Memang,  seringkali terdapat beberapa macam teori atau pendekatan yang

11
diajukan, dan hal itu adalah  wajar-wajar  saja,  malah  menggembirakan  sebab 
suatu  fokus permasalahan  terkadang  tidak  dapat  diselesaikan  oleh  hanya  satu
pendekatan  saja.  Yang  penting  adalah  kita  harus  bisa  membedakan gradasi,
efisiensi, dan efektivitas berbagai pendekatan yang diajukan.
Keperawatan  lahir  sejak  naluriah  keperawatan  lahir  bersamaan dengan
penciptaan manusia. Orang-orang pada zaman dahulu hidup dalam keadaan 
primitive.  Namun  demikian  mereka  sudah  mampu  sedikit pengetahuan  dan 
kecakapan  dalam  merawat  atau  mengobati.  Pekerjaan "merawat" dikerjakan 
berdasarkan naluri (instink) naluri binatang "mother instinct"  (naluri  keibuan) 
yang  merupakan  suatu  naluri  dalam  yang bersendi  pada  pemeliharaan  jenis 
(melindungi  anak,  merawat  orang lemah). Perkembangan  keperawatan 
dipengaruhi  dengan  semakin  maju peradaban manusia maka semakin
berkembang keperawatan.
Diawali oleh seorang  Florence  Nightingale  yang  mengamati  fenomena 
bahwa  pasien yang dirawat dengan keadaan lingkungan yang bersih ternyata
lebih cepat sembuh  dibanding  pasien  yang  dirawat  dalam  kondisi  lingkungan 
yang kotor.  Hal  ini  membuahkan  kesimpulan  bahwa  perawatan  lingkungan
berperan  dalam  keberhasilan  perawatan  pasien  yang  kemudian  menjadi
paradigma keperawatan berdasarkan lingkungan. Semenjak itu banyak pemikiran
baru  yang didasari berbagai tehnik untuk  mendapatan  kebenaran  baik  dengan 
cara  Revelasi  (pengalaman pribadi),  otoritas  dari  seorang  yang  ahli,  intusisi 
(diluar  kesadaran), common  sense  (pengalaman  tidak  sengaja),  dan 
penggunaan  metode ilmiah  dengan  penelitian-peneltian  dalam  bidang 
keperawatan.  Sehingga muncullah paradigma lain diantaranya:
1.  Peplau (1952) : Teori interpersonal sebagai dasar perawatan
2.  Orlando (1961) : Teori komunikasi sebagai dasar perawatan
3.  Johnson (1961) : Stabilitas sebagai tujuan perawatan
4.  Roy (1970) : Teori adaptasi sebagai dasar perawatan
5.  Rogers (1970) : konsep manusia yang unik
6.  King (1971) : Proses transaksi perawat-klien
7.  Orem (1971) : Kemandirian pasien untuk merawat dirinya sebagai tujuan
perawatan

2.4 Penerapan Pancasila sebagai Sistem Filsafat dalam PraktIk Keperawatan


Dalam setiap aspek bidang yang ditekuni setiap warga masyarakat tidak
dapat disangkal lagi bahwa, berbagai bentuk dinamika hidup berbangsa dan
bermasyarakat tidak terlepas dari eksistensi Pancasila. Secara sadar maupun tidak
sadar, manusia Indonesia dituntut menerapkan prinsip-prinsip hakiki yang lahir
dan berkembang dalam masyarakat yang kemudian dituangkan dalam Pancasila.
Sebagai suatu dasar filsafat Negara maka sila-sila pancasila merupakan
suatu system nilai, yaitu sila-sila pancasila itu pada hakekatnya merupakan suatu
kesatuan. Hal ini berdasarkan pada pengertian bahwa makna sila-sila pancasila
senantiasa dalam hubungannya sebagai sistem filsafat.

12
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut:

1.  Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.


Didalamnya terkandung nilai bahwa Negara yang didirikan adalah
pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan
Negara bahkan  moral Negara, moral penyelenggaraan Negara, politik negara,
hukum dan peraturan perundang-undangan Negara, kebebasan dan hak asasi
warga Negara harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan yang Maha Esa.
Dalam praktek keperawatan, sila pertama ini memberikan suatu alasan
kepada para pemberi pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan perlakuan
terhadap pasien sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
patut diperlakukan sesuai kodratnya sebagai ciptaan. Asas inilah yang digenggam
dan merupakan suatu alasan bertindak yang manusiawi oleh perawat terhadap
pasien.
·         Bahwa kita meyakini akan adanya Tuhan yang selalu mengawasi setelah
tindakan-tindakan kita, sehingga perawat harus mampu menjaga perilaku dan
etika dengan baik serta merawat pasien sebagaimana mestinya.
·         Perawat juga harus saling menghormati pemeluk agama lain terutama pada
pasien. Perawat wajib membantu pasien yang ingin menghormati dan
melaksanakan ibadahnya saat pasien dalam keadaan keterbatasan.
·         Pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien bukan saja
dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia tetapi juga terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
·         Perawat menganggap profesi pelayanan sebagai bagian dari ibadah
·         Perawat mendukung sejawat, kolega dan klien mengembangkan kehidupan
yang religius dalam kegiatannya, contohnya mengingatkan pasien untuk berdoa
bagi kesembuhan diri, sesuai dengan agama dan kepercayaan pasien tersebut.

2.  Kemanusiaan yang adil dan beradab.


Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa Negara harus
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab.
Terkandung makna bahwa, masyarakat Indonesia sebagai manusia yang
melaksanakan keadilan dan sebagai manusia yang menghargai orang lain.
Dalam keperawatan, sila ini sangat berkaitan erat dengan prinsip dalam
keperawatan yakni mengenai respek pada autonom, dimana setiap individu harus
memiliki kebebasan untuk memilih rencana kehidupan dan cara bermoral mereka
sendiri. Bagian dari kodrat manusia yang hidup bersama meliputi respek terhadap
keunikan dari setiap orang. Karena tidak terdapat dua orang atau situasi yang
benar-benar sama, prinsip autonomi mengarahkan perhatian moral
perawat pada penentuan secara berhati-hati tentang nilai klien.
·         Seorang perawat harus mampu mempunyai rasa kemnausiaan dan
moralitas yang tinggi terhadap sesama. Karena dengan begitu, antara perawat dan

13
pasien akan terjalin hubungan yang baik. Perawat akan merasakan kepuasan batin
bila ia mampu membantu penyembuhan pasien dan pasien sendiri merasa puas
atas pelayanan keperawatan yang diberikan, dengan kata lain terjadi interaksi
antara perawat dan pasien.
·         Pekerjaan perawat merupakan panggilan kemanusiaan dengan mendahulukan
kepentingan klien.
·         Pekerjaaan perawat adalah panggilan kemanusiaan, maka imbalan jasa yang
menjadi haknya tidak bisa disamakan dengan jasa dalam usaha lain, karena sifat
pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia.
·         Perawat dalam memberikan pelayanan harus mendahulukan kepentingan
masyarakat.
·         Perawat memperlakukan klien sesuai dengan prosedur tindakan, menghindari
kelalaian, memastikan klien merasa nyaman atas pelayanan.
·         Perawat menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga
·         Perawat memegang peran advokasi klien

3.  Persatuan Indonesia.


Dalam sila terkandung nilai bahwa Negara adalah sebagai penjelmaan sifat
kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan sosial. Dalam
profesi keperawatan, seorang tenaga medis tidak boleh bekerja sendiri melainkan
membutuhkan orang lain (kodrat sebagai makhluk sosial) dalam menjalankan
tugasnya.
·         Perawat dapat menopang hubungan kerja sama dengan teman kerja, baik tenaga
keperawatan maupun tenaga profesi lain di keperawatanagar tidak terjadi konflik
yang menimbulkan perpecahan dalam menyelesaikan masalah yang dimiliki oleh
pasien.
·         Perawat dalam kerjasama dengan teman sejawat harus memelihara saling
pengertian dengan sebaik-baiknya.
·         Perawat bertindak melindungi klien dan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis, dan legal.
·         Perawat mendahulukan kepentingan umum dalam memberikan pelayanan.
·         Bangga dengan jatidiri sebagai perawat Indonesia.

4.  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan perwakilan.
Nilai filosofi yang terkandung didalamnya adalah bahwa hakikat Negara
adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan
sosial. Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat dan
martabat manusia dalam suatu wilayah Negara.
Dalam praktek keperawatan, setiap perawat sebelum melakukan tindakan
harus memberitahkan (perihal musyawarah) kepada pasien apa tindakan yang
dilakukan beserta tujuan dari tindakan yang akan dilakukan. Selain itu hasil dari

14
diagnosa harus diberitahukan kepada pasien dan keluarga pasien. Dalam etika
keperawatan, hal ini sesuai dengan Informend Consent dan Advance
Directive. Informed consent meningkatkan dan menghargai autonomi dengan
mengembangkan pengetahuan klien atas pilihannya. Advance directive adalah
bentuk komunikasi dimana seseorang dapat memberi petunjuk tentang bagaimana
mereka ingin diperlakukan ketika mereka tidak dapat melakukannya sendiri.
Sebelum operasi misalnya, dokter harus memberikan informasi tertentu pada
klien.[8]
·         Dalam melaksanakan tindakan, perawat perlu membuat keputusan berdasarkan
musyawaraah dan kerja samaa dengan dokter atau ahli medis lain. Tidak
dibenarkan membuat keputusan sepihak demi keputusan sendiri.
·         Bermusyawarah berlandaskan etika, fakta, dan data yang valid serta
komprehensif.
·         Perawat menggunakan ilmu keterampilannya untuk kepentingan pasien dan
bila tidak mampu wajib merujuk kepada yang lebih mampu.
·         Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai
dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


Dalam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan
Negara sebagai tujuan dalam hidup bersama. Maka didalam sila kelima tersebut
terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama
(kehidupan sosial).  Dalam kaitannya dengan praktek keperawatan, sila ini
berpapasan dengan prinsip-prinsip etika keperawatan,   khususnya
mengenai justice (keadilan) dimana prinsip keadilan menuntut perlakuan terhadap
orang lain yang adil dan memberikan apa yang menjadi hak orang lain. Nilai ini
direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang
benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh
kualitas pelayanan kesehatan. Setiap orang harus mendapat pelayanan kesehatan
yang sama dan seimbang.
·    Memperlakukan klien secara adil tanpa memandang status dan golongan.
·  Pelayanan yang diberikan berdasarkan nilai luhur, niat yang murni untuk
keselamatan dan kesejahteraan umat tanpa membedakan kebangsaan, suku, ras,
warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, agama yang dianut, serta
kedudukan sosial.
·  Mendahulukan terpenuhinya hak-hak klien sebelum menuntut hak-haknya
sebagai perawat.
·     Menghargai kontribusi profesi lain dalam penanganan klien.

BAB III
PENUTUP

15
3.1 Kesimpulan
Pancasila sebagai sistem filsafat dalam keperawatan pada dasarnya
dijadikan sebagai acuan dasar dalam segala tindakan yang berhubungan dengan
keperawatan. Dari uraian yang ada di atas bahwa filsafat pancasila dalam
keperawatan adalah nilai-nilai dasar pancasila yang saling berhubungan satu
dengan lainnya menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh dan kemudian nilai-
nilai dari Pancasila tersebut diterapkan dalam segala tindakan dan perilaku
perawat.
Perawat dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang perawat
diwajibkan memberikan pelayanan terbaik untuk pasien. Dengan
mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dari sila pancasila perawat
akan memberikan pelayanan dengan tulus kepada pasien tanpa membeda-bedakan
dan juga bukan semata-mata karena materi yang didapat.

3.2 Saran
Menyadari Pancasila sebagai filsafat sangatlah penting, walaupun
sebagai seorang perawat diharuskan menjunjung tinggi dan mengamalkan sila-sila
pancasila dengan penuh tanggung jawab. Dalam dunia keperawatan sebagai
seorang perawat dalam melakukan segala tindakan yang berhubungan dengan
keperawatan sebaiknya menggunakan nilai-nilai dasar pancasila sebagai salah satu
landasan.

DAFTAR PUSTAKA

16
https://olympics30.com/filsafat-pancasila/
https://www.kompasiana.com/brianjohanes7627/5ceb56e195760e301c7e64f2
/pancasila-sebagai-sistem-filsafat?page=all#:~:text=Pancasila%20sebagai
%20Sistem%20Filsafat%20adalah,sama%2C%20saling%20keterikatan
%20dan%20ketergantungan.
https://www.slideshare.net/pjj_kemenkes/penerapan-pancasila-dalam-profesi-
keperawatan

17

Anda mungkin juga menyukai