OLEH :
KEMENTRIAN KEMKES RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA 2020
1
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu,
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan syukur penulis panjatkan
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), atas anugrah-
Nya laporan yang berjudul “Tugas PANCASILA penerapan pancasila yang
merupakan filsafat dalam menunjang profesi keperawatan” dapat diselesikan
sesuai rencana dan tepat pada waktunya.
Keterbatasan pengetahuan penulis, baik di bidang teori maupun
kemampuan meneliti, sehingga banyak kesulitan yang dihadapi dalam pembuatan
laporan ini. Berkat dorongan dan petunjukan yang diberikan dari berbagai pihak,
akhirnya hambatan dan kesulitan tersebut dapat diatasi. Berbagai pihak yang
tidak dapat terlupakan jasa nya yaitu, melalui kesempatan ini penulis
mengucapkan rasa terimakasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Filsafat
2.1.1 Pengertian Filsafat Secara Etimologis
2.1.2 Pengertian Filsafat Secara Definitif
2.2 Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem Filsafat
2.2.1 Dasar Ontologis Sila-Sila Pancasil
2.2.2 Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancasila
2.2.3 Dasar Aksiologis Sila-Sila Pancasila
2.3 Filsafat Ilmu Keperawatan
2.3.1 Ontologi Keilmuan Keperawatan
2.3.2 Epistemologi Keilmuan Keperawatan
2.3.3 Aksiologi Keilmuan Keperawatan
2.4 Penerapan pancasila sebagai sistem filsafat dalam praktik keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan filsafat ?
1.2.2. Apa yang dimaksud pancasila sebagi sistem filsafat ?
1.2.3. Bagaimana penerapan pancasila sebagai sistem filsafat dalam
keperawatan ?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1.3.1. Untuk memahami konsep filsafat.
1.3.2. Untuk memahami pancasila sebagai sistem filsafat.
1.3.3. Untuk mengetahui penerapan pacasila sebagai sistem filsafat dalam
keperawatan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat
2.1.1 Pengertian Filsafat Secara Etimologis
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yakni
philos, philia, philien yang artinya senang, teman dan cinta dan sophos, sophia
dan sophien yang artinya kebenaran (truth), keadilan (justice), dan bijaksana
(wise) atau kebijaksanaan (wisdom). Pengertian filsafat secara etimologis dapat
disimpulkan adalah Cinta kebenaran atau cinta kebijaksanaan/ kearifan. Selain itu
kata filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah, dari bahasa Inggris yaitu
philosophy, bahasa Indonesia filsafat (kata sifat filsafati) atau filosofi (kata sifat
filosofis), falsafah yang semuanya mempunyai arti yang sama.
2.1.2 Pengertian Filsafat Secara Definitif
Pengertian filsafat dari Ahli (Filsuf):
1. Plato (427 SM – 347 SM) : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat
mencapai kebenaran yang asli.
2. Aristoteles (384 SM – 322 SM) : filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, politik dan estetika.
3. Immanuel Kant: Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan
pangkal dari segala pengetahuan, yang tercakup di dalam empat persoalan.
§ Apakah yang dapat kita ketahui? (jawabnya: metafisika)
§ Apakah yang seharusnya kita ketahui? (jawabnya: etika)
§ Sampai dimanakah pengharapan kita? (jawabnya: agama)
§ Apakah yang dinamakan manusia? (jawabnya: antropologi)
4. Prof. Drs. Notonegoro, SH: Filsafat adalah pengetahuan atau ilmu pengetahuan
yang mencari dan mempelajari yang ada (ontologi) dan hakekat yang ada
(metafisika) dengan perenungan (kontemplasi) yang mendalam (radikal) sampai
menemukan substansinya.
5. Drs. Hasbullah Bakry, S.H: Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu
yang mendalam mengenai Ketuhanan (theologi), alam semesta (kosmologi) dan
manusia (antropologi), sehingga menghasilkan pengetahuan bagaimana
hakekatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia
itu seharusnya setelah mencapainya. Filsafat adalah ilmu yang mencari dan
mempelajari tentang hakekat (metafisika). Oleh karena itu filsafat juga
disebut Ilmu tentang hakekat atau ilmu hakekat (metafisika).
Ditinjau dari perspektif permasalahannya filsafat dapat dikelompokkan menjadi
dua macam, yaitu:
Pertama: filsafat sebagai hasil perenungan/kontemplasi (produk).
3
§ Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep pemikiran-pemikiran para
filsuf. Pada zaman dahulu, yang lazimnya merupakan suatu aliran/paham,
misal: idealism rasionalisme, materialisme, pragmatisme.
§ Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil
aktivitas berfilsafat. Jadi manusia mencari suatu kebenaran yang timbul dari
persoalan pada akal manusia.
Kedua: Filsafat sebagai suatu proses, yang berbentuk sebagai aktivitas berfilsafat,
sekaligus proses pemecahan masalah (problem solving) dengan menggunakan
berbagai metode tertentu sesuai dengan objeknya.
Adapun cabang-cabang filsafat adalah sebagai berikut:
1. Metafisika: memepelajari hal-hal yang ada di balik alam fisik/ alam indrawi (riil),
yang meliputi bidang-bidang : ontologi, kosmologi, antropologi, dan theology.
2. Epistimologi: yang mepelajari tentang hakekat pengetahuan.
3. Logika: mempejari tentang kaidah-kaidah berpikir, yakni tentang axioma, dalil
dan rumusan berpikir (thinking) dan bernalar (reasoning)
4. Etika: mempejari hal-hal yang berkaitan dengan moralitas, tingkah laku manusia.
5. Estetika: mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan yang indah (estetik) dan
yang mempunyai nilai seni (artistik).
6. Methodologi: mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan suatu metode,
diantaranya, metode deduksi, induksi, analisa, dan sintesa .
Berdasarkan cabang-cabang filsafat inilah, maka Pancasila dapat dikatakan
sebagai Sistem Filsafat, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai Ketuhanan
(theologi), nilai manusia (antropologi), nilai kesatuan (metafisika, yang
berhubungan dengan pengertian hakekat satu), kerakyatan (hakekat demokrasi)
dan keadilan (hakekat keadilan).
4
2.2.1 Dasar Ontologis Sila-Sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang
menyangkut sila-silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila
Pancasila atau secara filosofis merupakan dasar ontologis sila-sila
Pancasila. Pancasila yang terdiri dari lima atas lima sila, setiap sila bukanlah
merupakan asa yang berdiri sendiri-sendiri, memiliki suatu kesatuan dasar
ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang
memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga
disebut sebagai dasar antropologis.
Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut : bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro,
1975 : 23). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara bahwa
Pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok negara adalah
rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri sehingga tetaplah jikalau dalam
filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah
manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis
memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa,
jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri
sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan
kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk
Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa
mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya (Notonagoro
1975 : 53).
Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila
adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan
dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan.
Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah
sebagai sebab adapun negara sebagai akibat. Sebagai suatu sistem filsafat
landasan sila-sila Pancasila itu dalam hal isinya menunjukkan suatu hakikat
makna yang bertingkat ( Notonagoro, tanpa tahun : 7), serta ditinjau keluasannya
memiliki bentuk piramidal.
5
manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar
bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan
kehidupan. Pancasila dalam pengertian seperti yang demikian ini telah menjadi
suatu sistem cita-cita/ keyakinan-keyakinan (belief system) yang telah
menyangkut praksis, karena dijadikan landasan atau cara hidup manusia atau
suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berati
filsafat telah menjelma menjadi ideologi (Abdul Gani, 1998). Sebagai suatu
ideologi maka Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas
dari pendukungnya yaitu :
1. Logos yaitu rasionalitas atau penalarannya,
2. Patos yaitu penghayatannya, dan
3. Etos yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996: 3).
Sebagai suatu sistem filsafat serta ideologi maka Pancasila harus memiliki
unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem
pengetahuan. Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat
dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi besumber
pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991: 50). Oleh
karena itu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep
dasarnys tentang hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari
Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan
epistemologis, yaitu bangunan epistemologis yang ditempatkan dalam bangunan
filsafat manusia (Pranarka, 1996: 32).
Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam
epistemologi yaitu : pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang
teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia
(Titus, 1984:20). Persoalan epistemologi dalam hubungannya dalam Pancasila
dapat dirinci sebagai berikut :
Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi
masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila.
Tentang sumber pengetahuan pancasila, sebagaimana dipahami bersama bahwa
sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia
sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya merupakan perenungan
serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja namun dirumuskan oleh
wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Dengan lain perkataan
bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena
sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki
nilai-nilai adat istiadat serta kebudayaan dan nilai religius, maka diantara bangsa
Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila. Pancasila sendiri sebagai suatu
sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.
Berikutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat
formal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila
Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkis dan
6
berbentuk piramida, di mana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai ke-
empat sila lainnya serta sila ke-dua didasari sila pertama serta mendasari dan
menjiwai sila-sila ke-tiga, ke-empat dan ke-lima, sila ke-tiga didasari dan dijiwai
sila pertama dan ke-dua serta mendasari dan menjiwai sila-sila ke-empat dan ke-
lima, sila ke-empat didasari dan dijiwa sila pertama, ke-dua dan ke-tiga serta
mendasari dan menjiwai sila ke-lima, adapun sila ke-lima didasari dan dijiwai
sila-sila pertama, ke-dua, ke-tiga dan ke-empat.
Pembahasan berikutnya adalah pandangan Pancasila tentang pengetahuan
manusia. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa masalah epistemologi Pancasila
diletakkan dalam kerangka bangunan filsafat manusia. Maka konsepsi dasar
ontologis sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar
pijak epistemologi Pancasila. Menurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah
monopluralis yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu
susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rohani). Tingkatan
hakikat raga manusia adalah unsur-unsur: fisis anorganis, vegetative, animal.
Adapun unsur jiwa (rohani) manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa manusia
yaitu akal, yaitu suatu potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan
kebenaran pengetahuan manusia. Rasa yaitu unsur potensi jiwa manusia
dalam tingkatan kemampuan estetis (keindahan). Adapun kehendak adalah unsur
potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan bidang moral atau etika. Menurut
Notonagoro dalam skema potensi rokhaniah manusia terutama dalam kaitannya
dengan pengetahuan akal manusia merupakan sumber daya cipta manusia dan
dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar
terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut : memories, resektif, kritis dan
kreatif.
Manusia pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk
Tuhan yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila
epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat netral hal
ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi. Kebenaran dalam pengetahuan
manusia adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi
kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkan
kebenaran yang tertinggi yaitu kehendak mutlak. Selain itu dalam sila ke-tiga
yaitu persatuan Indonesia, sila ke-empat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia maka epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran
consensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai suatu paham epistemologi maka
Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada
hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas
kodrat manusia serta moralitas religious dalam upaya untuk mendapatkan suatu
tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
7
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu
kesatuan dasar aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori
tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan suku pandangnya
masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkhinya.
Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakekat nilai yang tertinggi
adalah nilai material, kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi
adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai
dapat kita kelompokkan pada dua macam sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu
bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia, hal ini
bersifat subjektif namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu
itu memang pada dirinya sendiri memang bernilai, hal ini merupakan pandangan
dari paham objektivisme.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja
yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak
pandangan tentang nilai terutama dalam menggolong-golongkan nilai dan
penggolongan tersebut amat beraneka ragam tergantung pada sudut pandangnya
masing-masing.
Mac Scheler misalnya mengemukakan bahwa nilai pada hakikatnya
berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya. Nilai-nilai itu
dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bilamana
dibandingkan satu dengan lainya. Sejalan dengan pandangan tersebut, Noto
Nagoro merinci nilai disamping bertingkat juga berdasarkan jenisnya ada yang
bersifat material dan non material. Dalam hubungan ini pancasila memiliki
orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup
masing-masing. Ada sekelompok orang mendasarkan pada orientasi nilai material,
namun ada pula yang sebaliknya yang berorientasi pada nilai non material.
Bahkan sesuatu yang non material itu mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi
manusia. Nilai-nilai material relative lebih mudah diukur menggunakan indera
maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas dan sebagainya.
Dalam menilai hal-hal yang bersifat rokhaniah yang menjadi alat ukur adalah hati
nurani manusia yang dibantu oleh alat indera manusia yaitu cipta, karsa serta
keyakinan manusia.
Menurut Noto Nagoro bahwa nilai-nilai Pancasila termasuk nilai
kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui nilai matrial dan nilai
vital dengan demikian nilai Pancasila yang tergolong kerokhanian ini juga
mengandung nilai-nilai lain secara lengkap yang harmonis yaitu nilai material,
nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai
moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematis-
hierarkis, dimana sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa sebagai basisnya
sampai dengan sila Keadilan sosial sebagai tujuannya (Darmodihardjo, 1978).
2.3 Filsafat Ilmu Keperawatan
8
Pohon ilmu dari keperawatan adalah ilmu keperawatan itu sendiri.
Pendidikan keperawatan sebagai pendidikan profesi harus dikembangkan
sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu dan profesi keperawatan, yang harus
memiliki landasan akademik dan landasan professional yang kokoh dan mantap.
Pengembangan pendidikan keperawatan bertolak dari pengertian dasar
tentang ilmu keperawatan seperti yang dirumuskan oleh Konsorsium Ilmu
kesehatan (1991) yaitu “Ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu dasar seperti
ilmu alam, ilmu social, ilmu perilaku, ilmu biomedik, ilmu kesehatan masyarakat,
ilmu dasar keperawatan, ilmu keperawatan komunitas dan ilmu keperawatan
klinik, yang aplikasinya menggunakan pendekatan dan metode penyelesaian
masalah secara ilmiah, ditujukan untuk mempertahankan, menopang, memelihara
dan meningkatkan integritas seluruh kebutuhan dasar manusia.”
Wawasan ilmu keperawatan mencakup ilmu-ilmu yang mempelajari
bentuk dan sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, melalui
pengkajian mendasar tentang hal-hal yang melatar belakangi, serta
mempelajari berbagai bentuk upaya untuk mencapai kebutuhan dasar
tersebut melalui pemanfaatan semua sumber yang ada dan potensial. Bidang
garapan dan fenomena yang menjadi objek studi keperawatan adalah
penyimpangan dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (bio-psiko-sosio-
spiritual), mulai dari tingkat individu yang utuh (mencakup seluruh siklus
kehidupan), sampai pada tingkat masyarakat, yang juga tercermin pada tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar pada tingkat system organ fungsional sampai
sub seluler atau molekuler.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa hakikat dari ilmu keperawatan
adalah mempelajari tentang respon manusia terhadap sehat dan sakit yang
difokuskan pada kepedulian perawat terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
pasien atau disebut dengan care. Hal ini berbeda dengan hakikat kedokteran
adalah pengobatan atau disebut cure.
2.3.1 Ontologi Keilmuan Keperawatan
Dua aspek penting dari ontologi keilmuan dalam keperawatan yaitu
(1) prinsip penafsiran tentang realitas dan (2) batas-batas telaahan. Prinsip
penafsiran tentang realitas keilmuan keperawatan antara lain mencakup
beberapa pernyataan seperti realitas adalah gejala fisik yang berwujud sebagai
fakta data. Realitas yang kita ketahui hanya merupakan perkiraan dari
kenyataan yang sebenarnya. Realitas itu diungkapkan sebagaimana adanya
(das Sein) tanpa terikat oleh nilai-nilai tertentu di luar kenyataan tersebut.
Dalam menafsirkan realitas, keilmuan keperawatan mempunya beberapa
anggapan dasar (asumsi, premis) yakni uniformitas, relative tetap, dan
memiliki pola kejadian yang baku.
Uniformitas ialah bahwa setiap wujud kehidupan manusia mempunyai
keserupaan dengan wujud lainnya dilihat dari kriteria tertentu seperti
kuantitas, kualitas, atau modus. Relative tetap artinya bahwa dalam jangka waktu
tertentu setiap wujud memiliki bentuk yang tetap misalnya ketegangan
9
(tension), kecemasan, depresi, kesedihan, penolakan (denial), dan coping,
sebelum berubah bentuk menjadi wujud lain misalnya : stress, gembira,
penerimaan. Setiap kejadian mempunyai pola baku yang tetap dan tidak
bersifat kebetulan misalnya kandungan air dan elektrolit berhubungan
dengan energy tubuh, oksigen berkaitan dengan keadaan sesak nafas dan
kematian jaringan.
Batas-batas telaahan kegiatan keilmuan secara umum adalah wilayah
empiric, dalam arti daerah yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia.
Dunia keilmuan dibagi dua golongan yaitu (1) pengetahuan ilmiah dan (2)
sarana pengetahuan ilmiah. Sarana pengetahuan ilmiah adalah alat yang
membantu kegiatan dalam memperoleh dan menyusun pengetahuan ilmiah,
misalnya : bahasa, logika, matematika, statistika, dan metode penelitian.
Ontology ini berbeda dengan sarana pengetahuan ilmiah, demikian pula
dengan epistemolog dan aksiologinya. Kegiatan penelitian yang menyangkut
sarana pengetahuan ilmiah adalah bersifat ilmiah, sebab merupakan bagian
integral dari dunia keilmuan.
Setiap disiplin keilmuan termasuk pengetahuan ilmiah memiliki objek
formal dan objek material mengenai wujud yang menjadi fokus
penelaahannya, yang seharusnya berbeda dari obyek formal dan obyek
material disiplin keilmuan lainnya. Obyek formal adalah cara pandang
terhadap sesuatu, misalnya bahwa perawat memandang masalah kliennya
berfokus pada tidak atau kurang adekuatnya pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan yang terkait dengan kesehatan potensial maupun kesehatan aktual.
Obyek material adalah substansi dari obyek formal, misalnya apabila obyek
formalnya klien dengan masalah gangguan pernafasan, maka obyek materianya
adalah saluran pernafasan, oksigen, karbondioksida, dan sebagainya.
Pertanyaan yang sering muncul ialah perbedaan obyek formal dan obyek
materia antara pengetahuan ilmiah keperawatan, kedokteran, dan kesehatan
masyarakat. Walaupun diakui batas-batasnya, namun dalam praktik seringkali
sulit dibedakan yang disebabkan komponen aksiologi yang tumpang tindih dan
bertautan erat antara tujuan pengasuhan (caretive) dengan tujuan pengobatan
(curative) dan pencegahan (preventive). Inilah tolok ukur pertama untuk
menilai keberadaan dan kemandirian disiplin pengetahuan keperawatan
ilmiah dari pengetahuan ilmiah lainnya (misalnya ilmu kedokteran dan ilmu
kesehatan masyarakat). Dengan perkataan lain, objek formal dan objek
material yang jelas dan tegas dari pengetahuan keperawatan akan merupakan ciri-
ciri yang spesifik dari disiplin keilmuan keperawatan.
2.3.2 Epistemologi Keilmuan Keperawatan
Epistemologi keilmuan keperawatan secara lebih rinci dapat dilihat
dari aspek-aspek sifat, proses, dan fungsi pengetahuan keperawatan ilmiah yang
telah diperoleh dan tersusun secara rasional, logis, dan sistematis. Ketiga
aspek di atas bersifat saling berhubungan, kait mengkait dengan arti dimulai dari
sifat, namun sebaliknya bahwa proses (pengetahuan keilmuan) ditentukan oleh
10
sifat (pengetahuan keilmuan) dan bahwa fungsi (pengetahuan keilmuan) turut
menentukan bagaimana proses perolehan dan penyusunan pengetahuan
keilmuan itu dilakukan. Masyarakat ilmiah keperawatan seyogyanya lebih
terorganisis dengan mengharapkan untuk memperoleh dan menyusun
pengetahuan keilmuan yang memiliki sifat-sifat bahwa pengetahuan keilmuan
yang (biasanya) dihasilkan secara individual itu adalah untuk dan milik
umum (public knowledge).
Untuk ini diperlukan komunikasi ilmiah, yang artinya bahwa pengetahuan
keilmuan yang diperolehnya wajib dikomunikasikan kepada masyarakat
ilmuwan lewat publikasi ilmiah. Jadi apabila ilmuwan yang menyimpan
penemuannya dikantung baju atau di perpustakaan pribadinya, belum bisa
dikategorikan sebagai pengetahuan keilmuan. Masyarakat ilmiah keperawatan
juga tidak boleh terlalu bersifat skeptic dan eksklusif, yang hanya melihat
kebenaran ilmiah dari sudut pandang pribadi atau profesinya saja, sebab pada
dasarnya pengetahuan keilmuan memiliki akar dan metode ilmiah yang sama.
Hal inilah yang merupakan salah satu kelemahan umum yang sering
terjadi pada setiap kelompok ilmuwan dan profesi, namun perlu diupayakan
untuk diredusir dan dihilangkan. Pengetahuan keilmuan itu haruslah bersifat
obyektif, dalam arti bahwa setiap orang yang mempelajari obyek yang sama
dengan cara yang sama akan sampai kepada kesimpulan yang sama pula.
Pengetahuan keilmuan yang disusun merupakan abstraksi yag mereduksikan
realitas menjadi konsep, dengan tingkat generalisasi yang tinggi.
Mekanisme yang memproses pengetahuan keilmuan tersebut adalah
metode ilmiah yang mengandung tiga bagian, yaitu :
- proses keabsahan (validitas)
- proses kebenaran
- proses penyusunan.
Proses keabsahan pengetahuan keilmuan menetapkan persyaratan yang
harus dipenuhi oleh suatu kegiatan agar dianggap sah secara keilmuan.
Persyaratan ini ialah : logis, analitis, dan sistematis adalah sah menurut kriteria
ilmiah. Selanjutnya suatu pengetahuan diperlukan pula kriteria kebenaran
ilmiah, yang ditentukan melalui pengujian secara empiris, yang sifatnya logis,
analitis, dan sistematis. Pengetahuan keilmuan bidang keperawatan yang
diperoleh dan disusun sedemikian rupa memiliki fungsi yang jelas bagi dunia
keilmuan untuk mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan, serta
mengontrol gejala atau fenomena bio-psiko-sosial-kultural-spiritual manusia
sebagai individu, keluarga dan kelompok dalam kaitan dengan tujuan
kesehatan dan kesejahteraan yang optimal bagi mereka.
Teori keperawatan yang dihasilkan akan bermutu tinggi apabila memiliki
keempat kriteria di atas, dan di sinilah tolok ukur kedua, dalam menilai
konsep-konsep yang diajukan oleh disiplin keilmuan “baru” seperti
pengetahuan keperawatan ilmiah yang mulai tumbuh untuk berkembang.
Memang, seringkali terdapat beberapa macam teori atau pendekatan yang
11
diajukan, dan hal itu adalah wajar-wajar saja, malah menggembirakan sebab
suatu fokus permasalahan terkadang tidak dapat diselesaikan oleh hanya satu
pendekatan saja. Yang penting adalah kita harus bisa membedakan gradasi,
efisiensi, dan efektivitas berbagai pendekatan yang diajukan.
Keperawatan lahir sejak naluriah keperawatan lahir bersamaan dengan
penciptaan manusia. Orang-orang pada zaman dahulu hidup dalam keadaan
primitive. Namun demikian mereka sudah mampu sedikit pengetahuan dan
kecakapan dalam merawat atau mengobati. Pekerjaan "merawat" dikerjakan
berdasarkan naluri (instink) naluri binatang "mother instinct" (naluri keibuan)
yang merupakan suatu naluri dalam yang bersendi pada pemeliharaan jenis
(melindungi anak, merawat orang lemah). Perkembangan keperawatan
dipengaruhi dengan semakin maju peradaban manusia maka semakin
berkembang keperawatan.
Diawali oleh seorang Florence Nightingale yang mengamati fenomena
bahwa pasien yang dirawat dengan keadaan lingkungan yang bersih ternyata
lebih cepat sembuh dibanding pasien yang dirawat dalam kondisi lingkungan
yang kotor. Hal ini membuahkan kesimpulan bahwa perawatan lingkungan
berperan dalam keberhasilan perawatan pasien yang kemudian menjadi
paradigma keperawatan berdasarkan lingkungan. Semenjak itu banyak pemikiran
baru yang didasari berbagai tehnik untuk mendapatan kebenaran baik dengan
cara Revelasi (pengalaman pribadi), otoritas dari seorang yang ahli, intusisi
(diluar kesadaran), common sense (pengalaman tidak sengaja), dan
penggunaan metode ilmiah dengan penelitian-peneltian dalam bidang
keperawatan. Sehingga muncullah paradigma lain diantaranya:
1. Peplau (1952) : Teori interpersonal sebagai dasar perawatan
2. Orlando (1961) : Teori komunikasi sebagai dasar perawatan
3. Johnson (1961) : Stabilitas sebagai tujuan perawatan
4. Roy (1970) : Teori adaptasi sebagai dasar perawatan
5. Rogers (1970) : konsep manusia yang unik
6. King (1971) : Proses transaksi perawat-klien
7. Orem (1971) : Kemandirian pasien untuk merawat dirinya sebagai tujuan
perawatan
12
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut:
13
pasien akan terjalin hubungan yang baik. Perawat akan merasakan kepuasan batin
bila ia mampu membantu penyembuhan pasien dan pasien sendiri merasa puas
atas pelayanan keperawatan yang diberikan, dengan kata lain terjadi interaksi
antara perawat dan pasien.
· Pekerjaan perawat merupakan panggilan kemanusiaan dengan mendahulukan
kepentingan klien.
· Pekerjaaan perawat adalah panggilan kemanusiaan, maka imbalan jasa yang
menjadi haknya tidak bisa disamakan dengan jasa dalam usaha lain, karena sifat
pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia.
· Perawat dalam memberikan pelayanan harus mendahulukan kepentingan
masyarakat.
· Perawat memperlakukan klien sesuai dengan prosedur tindakan, menghindari
kelalaian, memastikan klien merasa nyaman atas pelayanan.
· Perawat menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga
· Perawat memegang peran advokasi klien
14
diagnosa harus diberitahukan kepada pasien dan keluarga pasien. Dalam etika
keperawatan, hal ini sesuai dengan Informend Consent dan Advance
Directive. Informed consent meningkatkan dan menghargai autonomi dengan
mengembangkan pengetahuan klien atas pilihannya. Advance directive adalah
bentuk komunikasi dimana seseorang dapat memberi petunjuk tentang bagaimana
mereka ingin diperlakukan ketika mereka tidak dapat melakukannya sendiri.
Sebelum operasi misalnya, dokter harus memberikan informasi tertentu pada
klien.[8]
· Dalam melaksanakan tindakan, perawat perlu membuat keputusan berdasarkan
musyawaraah dan kerja samaa dengan dokter atau ahli medis lain. Tidak
dibenarkan membuat keputusan sepihak demi keputusan sendiri.
· Bermusyawarah berlandaskan etika, fakta, dan data yang valid serta
komprehensif.
· Perawat menggunakan ilmu keterampilannya untuk kepentingan pasien dan
bila tidak mampu wajib merujuk kepada yang lebih mampu.
· Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai
dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan.
BAB III
PENUTUP
15
3.1 Kesimpulan
Pancasila sebagai sistem filsafat dalam keperawatan pada dasarnya
dijadikan sebagai acuan dasar dalam segala tindakan yang berhubungan dengan
keperawatan. Dari uraian yang ada di atas bahwa filsafat pancasila dalam
keperawatan adalah nilai-nilai dasar pancasila yang saling berhubungan satu
dengan lainnya menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh dan kemudian nilai-
nilai dari Pancasila tersebut diterapkan dalam segala tindakan dan perilaku
perawat.
Perawat dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang perawat
diwajibkan memberikan pelayanan terbaik untuk pasien. Dengan
mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dari sila pancasila perawat
akan memberikan pelayanan dengan tulus kepada pasien tanpa membeda-bedakan
dan juga bukan semata-mata karena materi yang didapat.
3.2 Saran
Menyadari Pancasila sebagai filsafat sangatlah penting, walaupun
sebagai seorang perawat diharuskan menjunjung tinggi dan mengamalkan sila-sila
pancasila dengan penuh tanggung jawab. Dalam dunia keperawatan sebagai
seorang perawat dalam melakukan segala tindakan yang berhubungan dengan
keperawatan sebaiknya menggunakan nilai-nilai dasar pancasila sebagai salah satu
landasan.
DAFTAR PUSTAKA
16
https://olympics30.com/filsafat-pancasila/
https://www.kompasiana.com/brianjohanes7627/5ceb56e195760e301c7e64f2
/pancasila-sebagai-sistem-filsafat?page=all#:~:text=Pancasila%20sebagai
%20Sistem%20Filsafat%20adalah,sama%2C%20saling%20keterikatan
%20dan%20ketergantungan.
https://www.slideshare.net/pjj_kemenkes/penerapan-pancasila-dalam-profesi-
keperawatan
17