Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

ANEMIA DAN PANSITOPENI

Pembimbing :

dr. M. Zulfikar Abadi, Sp. PD

Disusun oleh :
Mayya Fiqi Kamala
1102015129

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI

PERIODE 15 MARET – 25 MARET 2021


LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

ANEMIA ANEMIA DAN PANSITOPENI

Disusun oleh:

Mayya Fiqi Kamala (110205129)

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti


Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Bekasi

Telah dibimbing dan disahkan pada tanggal

Bekasi, Maret 2021

Pembimbing

dr. M. Zulfikar Abadi, Sp. PD

ii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan

Abstrak

Bab I

Bab II

2.1 Definisi

2.2 Epidemiologi

2.3 Etiologi Dan Klasifikasi

2.4 Patofisiologi

2.5 Manifestasi Klinis

2.6 Penegakkan Diagnosis

2.7 Tatalaksana

2.8 Prognosis

Daftar Pustaka
ABSTRAK

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa


eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrlting
capacity).1
Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit atau hitung eritrosit (Red Cell Courtt). Tetapi yang paling lazrm dipakai
adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-
keadaan tertentu di mana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa eritrosit,
seperti pada dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul
adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang
dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada
usia. jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serla keadaan fisiologis tertentu seperti
misalnya kehamilan 1
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran
morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi
ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV
< 80 fl dan MCH < 27 pg;2). Anemia normokromik normosirer, bila MCV 80-95 fl dan
MCH 27-34 pg;3). Anemiamakrositer, bilaMCV > 95 fl.1
BAB 1

PENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai di seluruh dunia, di samping
sebagai masalah Kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini
merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar
terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta Kesehatan fisik. Walaupun prevalensinya
demikian tinggi, anemia (terutama anemia ringan) seringkali tidak mendapat perhatian dan
tidak diidentifikasi oleh para dokter di prakter klinik.1
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun di
lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia
dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. Terdapat bermacam-macam cara pendekatan
diagnosis anemia, altara lain adalah pendekatan tradisional, pendekatan morfologi, fungsional
dan probabilistik, serta pendekatan klinis.1
Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk penelitian lapangan umumnya
dipakai kriteria anemia menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai kriteria Hb <
1 0 g/dl atau hematokrit < 30Vo. Anemia dapat diklasifikasikan menurut etioparogenesisnya
ataupun berdasarkan morfologi eritrosit. Gabungan kedua klasifi kasi ini sangat bermanfaat
untuk diagnosis. Dalam pemeriksaan anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
laboratorik yang terdiri dari: pemeriksaan penyaring, pemeriksaan seri anemia, pemeriksaan
sumsum tulang: pemeriksaan khusus. Pendekatan diagnosis anemia dapat dilakukan secara
klinis, tetapi yang lebih baik ialah dengan gabungan pendekatan klinis dan laboratorik.
Pengobatan anemia seyogyanya dilakukan atas indikasi yang jelas. Terapi dapat diberikan
dalam bentuk terapi darurar. terapi suportif, terapi yang khas untuk masing-masing anemia dan
terapi kausal.1

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana rendahnya konsentrasi


hemoglobin (Hb) atau hematokrit berdasarkan nilai ambang batas (referensi) yang
disebabkan oleh rendahnya produksi sel darah merah (eritrosit) dan Hb,
meningkatnya kerusakan eritrosit (hemolisis), atau kehilangan darah yang
berlebihan.2

Tabel 1. Nilai Ambang Batas Pemeriksaan Hematokrit dan Hemoglobin

2.2 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita
oleh 1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia
belum sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara
merupakan salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi
anemia, termasuk Indonesia:2

6
2.3 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam


penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1). Gangguan pembentukan
eritrosit oleh sumsum tulang; 2). Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3).
Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis).1

Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis. 1

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang.

1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit


a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloplastik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
f. Anemia akibat kekurangan eritropoietin
B. Anemia akibat hemoragik
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
c. Anemia akibat defisiensi G6PD
d. Thalassemia
e. Hemoglobinopati structural: HbS, HbE, dll
0
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang


komplek

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik


dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia
dibagi menjadi tiga golongan: 1). Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl
dan MCH < 27 pg;2). Anemia normokromik normosirer, bila MCV 80-95 fl dan MCH
27-34 pg;3). Anemiamakrositer, bilaMCV > 95 fl. 1

I. Anemia hipokromik mikrositer (MCV<80fl dan MCH>27pg)


a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik

II. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg)
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer (MCV >95 fl)
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik
1
2.4 PATOFISIOLOGI
1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan
zat besi (Fe), yang disebabkan oleh beberapa hal berikut : 3
1) Kurangnya asupan Fe
a. Diet tidak adekuat, misalnya karena rendahnya asupan besi
total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang
dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah
daging, rendah vitamin C)
b. Gangguan absorpsi zat besi, misalnya pada gastrektomi, colitis
kronik, atau achlorhydria
2) Kehilangan Fe
a. Perdarahan saluran cerna
b. Perdarahan saluran kemih
c. Hemoglobinuria
d. Hemosiderosis pulmonari idiopatik
e. Telangiektasia hemoragik herediter
f. Gangguan hemostasis
g. Infeksi cacing tambang
3) Meningkatnya kebutuhan Fe
a. Bayi prematur
b. Anak-anak dalam pertumbuhan
c. Ibu hamil dan menyusui
d. Laktasi

II. Anemia penyakit kronik 4

Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi


akibat infeksi kronis, peradangan, trauma, atau penyakit neoplastik yang
telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan
endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi,
sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Anemia
penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi,
2
seperti infeksi kronik (infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi
kronik (artritis reumatoid, demam reumatik), penyakit hati alkoholik,
gagal jantung kongestif, dan idiopatik. Terdapatnya peradangan dapat
mengacaukan interpretasi pemeriksaan status besi. Proses terjadinya
radang merupakan respon fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan
termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal proses inflamasi terjadi
induksi fase akut oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan
sitokin radang seperti Tumor Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin
(IL)-1, IL- 6 dan IL-8. Interleukin- 1 menyebabkan absorbsi besi
berkurang akibat pengelepasan besi ke dalam sirkulasi terhambat,
produksi protein fase akut (PFA), lekositosis, dan demam. Hal itu
dikaitkan dengan IL-1 karena episode tersebut kadarnya meningkat dan
berdampak menekan eritropoesis. Bila eritropoesis tertekan, maka
kebutuhan besi akan berkurang, sehingga absorbsi besi di usus menjadi
menurun. IL-1 bersifat mengaktifasi sel monosit dan makrofag,
menyebabkan ambilan besi serum meningkat. TNF-α juga berasal dari
makrofag dam berefek sama, yaitu menekan eritropoesis melalui
penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan hipoferemia dengan
menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke dalam darah.
Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi
IL-1, TNF-α, dan IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara
berlebihan beberapa PFA utama seperti C-reactive protein, serum amyloid
A (SAA) dan fibrinogen. Selain itu terjadi pula perangsangan
hypothalamus yang berefek menimbulkan demam serta perangsangan di
sumbu hipothalmus-kortikosteroid di bawah pengaruh adrenocorticotropic
hormone (ACTH) yang berefek sebagai akibat umpan balik negatif
terhadap induksi PFA oleh hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen,
protein fase akut lain yang berhubungan penting dengan metabolisme besi
antara lain: apoferritin, transferin, albumin dan prealbumin.
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan
makrofag teraktivasi meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali
normal, sedangkan transferin, albumin dan prealbumin merupakan protein
fase akut yang kadarnya justru menurun saat proses inflamasi.

3
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia
defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi
serum. Oleh karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan
untuk membedakannya. Rendahnya besi di anemia penyakit kronis
disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma
menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh
degradasi transferin yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga
meningkat melalui mekanisme yang sama. Berbeda dengan anemia
defisiensi, gangguan metabolisme besi disebabkan karena kurangnya
asupan besi atau tidak terpenuhinya kebutuhan besi sebagai akibat
meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan.

III. Anemia megaloblastik 5


Anemia megaloblastik adalah kelainan sel darah merah dimana dijumpai
anemia dengan volume sel darah merah lebih besar dari normal dan
ditandai oleh banyak sel imatur besar dan SDM disfungsional
(megaloblas) di sumsum tulang akibat adanya hambatan sintesis DNA
dan/atau sintesis RNA dalam produksi sel darah merah. Penyebab anemia
megaloblastik adalah :
1. Hipovitaminosis
a. Defisiensi vitamin B9 yang akan menyebabkan gangguan
biosintesis basa purin dan pirimidin serta gangguan proses
metilasi DNA, RNA, dan protein.
b. Defisiensi vitamin B12 yang akan menyebabkan gangguan
proses metilasi DNA, RNA, dan protein.
2. Non hipovitaminosis
Akibat gangguan sintesis DNA, RNA, dan Protein karena gangguan
proses metilasi yang memengaruhi proliferasi dan diferensiasi pada
precursor sel darah merah.

Defisiensi sianokobalamin menyebabkan defisiensi metionin


intraseluler, kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam
sel. Folat intrasel yang berkurang akan menurunkan prekurson tidimilat
4
yang selanjutnya akan mengganggu sintesis DNA. Model ini disebut
sebagai methylfolate trap hypothesis karena defisiensi kobalamin
mengakibatkan penumpukan 5-metil tetrahidrofolat.4
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu
perubahan propionate menjadi suksinil CoA yang mengakibatkan
gangguan sintesis myelin pada susunan saraf pusat. Proses demyelinisasi
ini menyebabkan kelainan medulla spinalis dan gangguan neurologis.
Sebelum diabsorpsi, asam folat harus diubah menjadi monoglutamat.
Bentuk folat tereduksi (tetrahidrofolat, FH4) merupakan koenzim aktif.
Defisiensi folat mengakibatkan penurunan FH4 intrasel yang akan
mengganggu sintesis tidimilat yang selanjutnya akan mengganggu sintesis
DNA. (Effendy, 2015) Ketidakmampuan sel untuk mensintesis DNA
dalam jumlah yang memadai akan memperlambat reproduksi sel, tetapi
tidak menghalangi kelebihan pembentukan RNA oleh DNA dalam sel-sel
yang berhasil diproduksi. Akibatnya, jumlah RNA dalam setiap sel akan
melebihi normal, menyebabkan produksi hemoglobin sitoplasmik dan
bahan-bahan lainnya berlebihan, dan membuat sel menjadi besar.4

IV. Anemia hemolitik imun


Anemia hemolitik imun adalah kondisi pada pasien dimana terdapat
autoantibodi yang melekat pada eritrosit dan menyebabkan lisis.
Klasifikasi anemia hemolitik dapat dibagi menjadi : 6
A. Anemia hemolitik auto imun (AIHA)
1. AIHA tipe hangat
a. Idiopatik
b. Sekunder (karena CLL, limfona, dan SLE)
2. AIHA tipe dingin
a. Idiopatik
b. Sekunder (infeksi mikoplasma, mononucleosis, virus,
keganasan limforetikuler)
3. Paroxysmal Cold megoglobinuri
a. Idiopatik
b. Sekunder (viral dan sifilis)

5
4. AIHA tipe atipik
2. AIHA diinduksi obat
3. AIHA diinduksi aloantiboid
a. Reaksi hemolysis transfuse
b. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir

V. Anemia aplastik
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relative jarang
ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Anemia ini ditandai dengan
karakteristik adanya pansitopenia disertai hipoplasia / aplasia sumsum tulang
tanpa adanya penyakit primer yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan
hematopoietik. Etiologi anemia aplastik adalah sebagai berikut : 7
1. Toksisitas langsung
1) Iatrogenik
a. Radiasi
b. Kemoterapi
2) Benzena
3) Metabolit intermediate beberapa jenis obat
2. Penyebab yang diperantarai imun
1) Iatrogenik: transfusion-associated graft versus host disease
2) Fascilitis eosinofilik
3) Penyakit terkait hepatitis
4) Kehamilan
5) Metabolit intermediate beberapa jenis obat
6) Anemia aplastik idiopatik

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun
di bawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada
derajat penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan hemoglobin, usia, dan
adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat
digolongkan menjadi tiga jenis gejalam yaitu: 1
6
1. Gejala umum anemia1
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia,
timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi
tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada
setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu
(Hb < 7gr/dL). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat Lelah,
tinnitus, mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak napas, dan
dyspepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat
pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah
kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan
oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitive karena timbil setelah
penurunan hemoglobin yang bearat (Hb <7g/dL).

2. Gejala khas masing-masing anemia1


Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
a. Anemia Defisiensi Besi : Disfagia, Atropi Papil Lidah, Stomatitis

Angularis, dan Kuku Sendok


b. Anemia Megaloblastic : Glossitis, Gangguan Neurologic pada
Defisiensi Vitamin B12
c. Anemia Hemolitik : Icterus, Splenomegaly, dan
Hepatomegaly.

d. Anema Aplastic : Perdarahan dan Tanda-Tanda Infeksi.

3. Gejala penyakit dasar1


Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan
anemia sangat bervariasi, tergantung dari penyebab anemia tersebut.
Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang, diantaranya sakit perut,
pembengkakan parotis, dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya pada anemia akibat penyakit kronik.

7
2.6 PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Gambar 1.Algoritme Pendekatan Diagnosis Anemia1

Gambar 1.Algoritme Pendekatan Diagnosis Pasien Dengan Anemia Hipokromik Mikrositer 1

8
Gambar 1.Algoritme Pendekatan Diagnosis Pasien Dengan Anemia Normokromik Normositer 1

Gambar 1.Algoritme Pendekatan Diagnosis Pasien Dengan Anemia Makrositer 1

Untuk menegakkan diagnosis dari anemia, diperlukan beberapa rangkaian


pemeriksaan. Anamnesia hingga pemeriksaan fisik, akan dijumpai keluhan-
keluhan seperti yang terdapat pada manifestasi klinis. Selain itu, perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang yang terdiri dari:

1. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari

9
pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi.
Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologi anemia
tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.

2. Pemeriksaan darah seri anemia

Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit,


hitung retikulosit, dan laju endap darah.

3. Pemeriksaan sumsum tulang


Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi mengenai
keadaan system hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk
diagnosis definitive pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum
tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastic, anemia
megaloblastic, serta pada kelainan hematologic yang dapat mensupresi
system eritroid, seperti sindrom mielodisplastik (MDS).
4. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini dilakukan atas indikasi khusus, misalnya pada:
a. Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC (total iron binding
capacity), serum ferritin.
b. Anemia megaloblastic: folat serum, vitamin B12 serum.
c. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis
hemoglobin dan lain-lain.
d. Anemia aplastic: biopsi sumsum tulang

2.7 TATALAKSANA
I. Anemia defisiensi besi
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor
penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan
preparat besi. Untuk tatalaksana diet pada anemia defisiensi besi
diantaranya makan makanan yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi dan makan makanan yang mengadung zat besi tinggi, seperti
daging merah. Selain itu, dapat juga diberikan preparat besi secara oral
maupun parenteral.

Cara pemberian preparat besi:


1) Preparat besi peroral :
10
a. Preparat besi inorganik mengandung 30 dan 100 mg besi elemental
b. Dosis 200-300 mg besi elemental per hari harus diabsorbsi
sebanyak 50 mg/hari.
c. Tujuan terapi tidak hanya memperbaiki anemia, tetapi juga
menambah cadangan besi minimal 0,5-1 gram, sehingga perlu
diberikan terapi selama 6-12 bulan setelah anemia terkoreksi.
d. Dosis 3-4 kali 1 tablet (150 dan 200 mg) diminum 1 jam
sebelum makan.
e. Efek samping: mual, heartburn, konstipasi, metallic taste,
buang air besar hitam.
f. Macam-macam preparat besi oral yaitu:
2) Preparat besi parenteral
a. Indikasi: malabsorbsi, intoleransi terhadap preparat oral,
dibutuhkan dalam jumlah banyak.

b. Dosis besi (mg) = (15-Hb yang diperiksa) x bb (kg) x 2.3 +


500 atau 1000 mg (untuk cadangan)

c. Iron sucrose: 5 ml (100 mg besi elemental) diberikan secara


intravena tidak melebihi 3x seminggu. Efek samping:
hipotensi, kram, mual, sakit kepala, muntah, dan diare.

d. Iron dextran: dosis untuk tes 0,5 ml secara intravena sebelum


terapi dimulai. Selanjutnya diberikan 2ml setiap dosis. Efek
samping: hipotensi, myalgia, sakit kepala, nyeri perut, mual
dan muntah, limfadenopati, efusi pleura, pruritus, urtikaria,
kejang, flushing, menggigil, flebitis, dizziness.

3) Transufsi sel darah merah


Diberikan jika ada indikasi instabilitas kardiovaskular, perdarahan
masih berlangsung, dan membutuhkan intervensi segera.

II. Anemia Penyakit Kronik


Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit kronik
berupa:

11
1. Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan sembuh
dengan sendirinya.
2. Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat, atau
vitamin B 12.
3. Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
4. Pemberian agen erythropoietic

III. Anemia hemolitik


1. Anemia hemolitik autoimun : 8
a. Glukokortikoid : prednison 60-100 mg PO sampai hematokrit
stabil
atau mulai meningkat, dosis diturunkan mencapai
30 mg/hari. Jika kedaan membaik, prednisone
dapat diturunkan 5mg/hari setiap minggu sampai
mencapai dosis 15-20 mg/hari, yang selanjutnya
diberikan selama 2-3 bulan setelah episode akut
hemolitik reda. Terapi dapat dihentikan setelah 1-2
bulan.
b. Splenektomi : pada pasien yang mendapat prednisone
berkepanjangan > 15 mg/hari untuk menjaga
konsentrasi hemoglobin.
c. Rituximab : Pemberikan dengan dosis 375 mg/m2/minggu
selama 2-4 minggu.
d. Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan.

IV. Anemia aplastik


Pemilihan terapi berdasarkan beberapa faktor seperti usia pasien, kondisi
umum, dan ketersediaan donor stem cell. Tatalaksana penunjang untuk
anemia aplastik diantaranya: 8
1. Menghentikan obat-obatan yang diduga sebagai faktor pencetus
dan mengganti dengan obat lain yang lebih aman.
2. Transfuse komponen darah sesuai dengan indikasi.

12
3. Menghindari dan mengatasi infeksi: gunakan antibiotik spectrum
luas.
4. Kortikosteroid: prednisone 1-2 mg/kgBB/hari, maksimal
diberikan selama 3 bulan. Nandrolone decanoate 400 mg IM
(intramuscular)/minggu
5. Terapi imunosupresif:
a. Siklosporin 10-12 mg/kgBB/hari intravena selama 4-6
bulan
b. ATG (anti thymacyte globulin) 15-40 mg/kgBB/hari
intravena selama 4-10 hari.
6. Transplantasi sumsum tulang alogenik bila ditemukan HLA yang
cocok.

2.8 PROGNOSIS
Prognosis untuk anemia tergantung dari penyebabnya. Pemberian nutrisi
seperti B12, asam folat, harus diberikan sedini mungkin. Pada anemia
defisiensi besi, tatalaksana harus dilanjutkan minimal 3 bulan setelah jumlah
besi sudah normal. Hal ini diperlukan untuk mengembalikan cadangan besi
dalam tubuh. Anemia yang disebabkan karena defisiensi nutrisi memiliki
prognosis yang baik apabila dapat ditangani dengan segera. Anemia yang
disebabkan karena perdarahan juga memiliki prognosis yang baik apabila
perdarahan dapat ditangani dengan segera. 9

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,et al. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid II edisi VI dalam Pendekatan terhadap pasien Anemia oleh I Made
Bakta. Interna Publishing: Jakarta

2. Citrakesumasari. 2012. Buku Ajar Anemia Gizi. Kalika: Yogyakarta

3. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,et al. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II
edisi VI dalam Anemia Defisiensi Besi oleh Bakta et al. Interna Publishing: Jakarta
4. Jameson et al. 2018. Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi 20.
NewYork : McGraw Hill, 2018.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,et al. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid II edisi VI dalam Anemia Megaloblasik oleh Effendy, Shufrie. Interna
Publishing: Jakarta
6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,et al. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
II edisi VI dalam Anemia Hemolitik Imun oleh Hariadi et al. Interna
Publishing: Jakarta
7. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,et al. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
II edisi VI dalam Anemia Aplastik Abidin Widjanarko e at. Interna
Publishing: Jakarta
8. Alwi, Idrus et al. 2017. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam,
Panduan Praktik Klinis. Interna Publishing, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam: Jakarta.
9. Turner J, Parsi M, Badireddy M. Anemia. [Updated 2020 Sep 10]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499994/ [diakses pada 29 Maret 21.

14
15
16
17
18
19
20
21

Anda mungkin juga menyukai