Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN KESEHATAN REPRODUKSI


KANKER SERVIKS

Oleh :
Dian Hosiana Pangaribuan
NIM 012023243011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker serviks adalah jenis kanker ke-empat yang paling banyak diderita oleh
wanita di dunia. Tahun 2018 diperkirakan terdapat 570.000 wanita didiagnosis
penyakit ini dengan perkiraan total kematian sebesar 311.000 wanita (WHO, 2020).
Di Indonesia kanker ini merupakan jenis kanker yang paling banyak kedua setelah
kanker payudara. Setiap tahun diperkirakan ada sekitar 14.000 wanita didiagnosis
menderita kanker ini. (Pranita, 2020). Data dari Kemenkes RI tahun 2019
menyatakan angka kejadian kanker serviks di Indonesia adalah sebesar 23,4 per
100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk, yang
artinya hampir 50% penderita kanker serviks berakhir dengan kematian (Sulistyawati
dkk, 2020).
Kanker serviks sebenarnya merupakan kanker yang paling mudah dideteksi
secara dini, namun karena stadium awal biasanya tidak bergejala menyebabkan
kanker ini tidak terdeteksi secara dini. Wanita dapat melakukan tes IVA ataupun
papsmear untuk menteksi secara dini (Sulistyawati dkk, 2020). Puskesmas di
Indonesia sebenarnya sudah mempunyai program pemeriksaan IVA, namun angka
capaiannya masih rendah. Menurut profil Kesehatan DIY pada tahun 2015, capaian
pelaksanaan IVA hanya 0,19% dari perempuan usia 30-50 tahun. Penelitian oleh
Wartini (2016) menemukan bahwa 92.3% wanita tidak melakukan iva test selama 3
tahun terakhir, dan menemukan alasan wanita tidak melakukan IVA karena tidak
mengetahui tentang tes IVA sebanyak 68,9%.
Ketika terdiagnosis, kanker serviks adalah salah satu kanker yang paling musah
disembuhkan, selama terdeteksi sejak dini dan ditangani secara efektif. Kanker yang
didiagnosis pada stadium lanjut juga dapat dikontrol dengan pengobatan dan
perawatan paliatif yang tepat (WHO, 2020) Kerena itu bidan sebaiknya dapat
melakukan promosi pencegahan kanker serviks agar dapat mencegah kejadiannya
dan diharapkan dapat melakukan asuhan sesuai kewenangannya dalam merawat
penderita kanker serviks agar meningkatkan kualitas hidup menurunkan angka
kematian akibat kanker serviks.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan kebidanan pada penderita kanker
serviks
1.2.2 Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar kanker serviks
b. Mahasiswa mampu memahami konsep dasar asuhan kebidanan pada kanker
serviks
c. Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada penderita kanker
serviks
d. Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi dengan metode SOAP pada
penderita kanker serviks
e. Mampu melakukan pembahasan mengenai konsep dasar dan kasus yang
didapatkan berkaitan dengan asuhan kebidanan pada penderita kanker
serviks

1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi mahasiswa
Mahasiswa diharapkan dapat mengaplikasikan konsep dasar asuhan kebidanan
kanker serviks kepada penderita sehingga dapat melakukan asuhan kebidanan
secara kompreshensif dan berkualitas.
1.3.2 Bagi pelayanan kesehatan
Laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kebidanan.
1.3.3 Bagi institusi
Laporan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah referensi khususnya
tentang asuhan kebidanan pada penderita kanker serviks
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Kanker Serviks


2.1.1 Pengertian
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks
merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan
berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum (Kemenkes RI, 2016).
Kanker serviks merupakan penyakit keganasan yang terjadi pada leher rahim.
Perjalanan penyakit ini diawali dengan kondisi lesi pra kanker di leher rahim yaitu
adanya displasia/neoplasia intraepitel servik (Julaecha & Nurfitrian, 2019).

2.1.2 Penyebab
Infeksi kronik oleh virus HPV (Human Papilloma Virus) sub tipe onkogenik
terutama sub tipe 16 dan 18 menyebabkan hampir semua kanker serviks (Cohen dkk,
2019; Kemenkes RI, 2016)

2.1.3 Faktor risiko


Faktor risiko kanker serviks menurut Cohen dkk (2019) adalah sebagai berikut:
a. Hubungan seksual pertama di usia muda, banyak pasangan seksual atau
mempunyai pasangan seksual berisiko tinggi. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan kemungkinan terpapar virus HPV
b. Imunosupresi (misalnya, setelah transplantasi organ atau gangguan
imunodefisiensi seperti HIV). Kedaan imunosupresi menyebabkan pertahanan
tubuh oleh sel darah putih menjadi lemah, sehingga jika wanita terkena HPV
akan lebih mudah terinfeksi dari wanita lainnya.
c. Riwayat infeksi menular seksual, riwayat displasia vulva atau vagina terkait
HPV. Hal ini menyebabkan trauma pada serviks sehingga memudahkan virus
HPV dapat berkembang menjadi kanker
d. Tidak adanya skrining di suatu negara dan underscreening di negara-negara
dengan program skrining serviks yang tidak berjalan baik (diperkirakan menjadi
penyebab kejadian kanker serviks sekitar dua pertiga dari total kasus dinegara
tersebut)
e. Asap rokok ditemukan sebagai faktor risiko utama prakanker serviks dan kanker
dalam studi kohort oleh European Prospective Investigation in Cancer and
Nutrition terhadap lebih dari 300.000 wanita. Status perokok, durasi, dan jumlah
rokok dikaitkan dengan menyebabkan 2x lipat risiko displasia tingkat tinggi dan
karsinoma setelah penyesuaian untuk status HPV
Tambahan faktor risiko kanker serviks menurut guideline panduan penatalaksanaan
kanker serviks oleh Kemenkes RI (2016) adalah”
a. Mempunyai anak banyak
Trauma pada serviks akibat persalinan dapat menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap infeksi melalui imunosupresi dan pengaruh hormonal.
Selama kehamilan jumlah sel metaplastik skuamosa di zona transformasi(t-zone)
meningkat dan t-zone dipertahankan berada didaerah ektoserviks. Kedua hal ini
menyebabkan sel metaplastik yang belum matang lebih terpapar sehingga rentan
terinfeksi HPV dan mudah berkembang menjadi kanker serviks (Kour, Lal,
Panjaliya, Dogra, & Gupta, 2010)
b. Sosial ekonomi rendah
Pada seseorang dengan sosial ekonomi rendah dapat menyebabkan genital
hyigene yang tidak bersih sehingga dapat menyebabkan peningkatan risiko
infeksi. Selain itu mereka juga dapat tidak mengenal deteksi dini serta tanda-
tanda dan gejala kanker serviks, sehingga setelah datang sudah dalam keadaan
stadium lanjut (Kour et al., 2010)
c. Pemakaian pil KB (dengan HPV negatif atau positif)

2.1.4 Patofisiologi
Leher rahim normal yang terpapar virus HPV persiten, hanya sekitar 5% yang
berkembang menjadi lesi prankanker yang ditandai dengan perubahan histopatologi
yaitu lesi CIN (cervical intraepithelial neoplasia) derajat 2 dan 3 dalam waktu 3
tahun setelah infeksi. Tempat perkembangan lesi prankanker adalah di zona
transformasi (T-Zone) yaitu area dimana pertemuan ektoserviks dan endoserviks
bertemu. Lesi prankanker ini mengalami mutasi genetik sehingga mengubah
perilakunya. Sel yang bermutasi melakukan pembelahan sel yang tidak terkedali dan
menginvasi jaringan stroma di bawahnya. Keadaan yang menyebabkan mutasi
genetik tidak dapat diperbaiki inilah yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan
kanker.
Perkembangan neoplasia intraepitel serviks (NIS) adalah NIS 1, NIS 2, NIS 3
karsinoma in situ (KIS), kemudian setelah menembus membran basalis akan
berkembang menjadi karsinoma mikroinvasif dan invasif. Hanya 20% dari lesi CIN 3
yang berkembang menjadi kanker serviks dalam waktu 5 tahun dan hanya 40% dari
lesi CIN 3 yang berkembang menjadi kanker serviks dalam waktu 30 tahun
(Kemenkes RI, 2016; NCCC, 2021)

2.1.5 Tanda dan Gejala


Pada umumnya lesi prakanker dan stage awal kanker belum memberikan gejala,
seringnya diketahui karena wanita melakukan IVA, pap smear, ataupun HPV test.
Bila telah menjadi kanker invasif, gejala yang paling umum adalah: (Cohen et al.,
2019; Kemenkes RI, 2016; NCCC, 2021)
a. Perdarahan seperti contact bleeding, perdarahan saat berhubungan intim,
perdarahan di antara masa haid, perdarahan setelah menopause
b. Keputihan abnormal seperti berair atau kental, berwarna hijau, dan berbau. Hal
ini jarang terjadi
c. Pada stadium lanjut, gejala dapat berkembang menjadi nyeri pinggang atau perut
bagian bawah karena desakan tumor di daerah pelvik ke arah lateral sampai
obstruksi ureter, bahkan sampai oligo atau anuria. Gejala lanjutan bisa terjadi
sesuai dengan infiltrasi tumor ke organ yang terkena, misalnya: fistula
vesikovaginal, fistula rektovaginal, edema tungkai.

2.1.6 Diagnosis
Penegakan diagnosa kanker serviks dapat dilakukan sebagai berikut (Cohen et al.,
2019; Kemenkes RI, 2016):
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Untuk anamnesis klien dapat mengeluh atau petugas kesehatan menanyakan
tanda gejala seperti yang tertulis di poin 2.1.5 sebelumnya. Pemeriksaan fisik
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan panggul, pemeriksaan spekulum untuk
melihat serviks dan mukosa vagina (serviks tampak normal ketika penyakitnya
masih mikroinvasif atau masih berada di saluran endoserviks). Kanker serviks
stadium lanjut akan memiliki bau tidak sedap yang khas, dan penampakan
spekulum serviks dapat terlihat rapuh dan jika parah akan berbentuk seperti
bunga kol (Julaecha & Nurfitrian, 2019)
b. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis utama didasarkan pada penilaian histopatologis dari biopsi serviks.
Pemeriksaan klinik ini meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks, sistoskopi,
rektoskopi, USG, BNO -IVP, foto toraks dan bone scan, CT scan atau MRI, dan
PET scan
1) Kolposkopi dan biopsi harus dilakukan pada pasien bergejala atau wanita
dengan sitologi sugestif invasif tanpa lesi yang terlihat.
2) Cone biopsi sebaiknya dilakukan jika keganasan dicurigai baik secara klinis
maupun pada sitologi serviks, namun tidak dikonfirmasi pada histopatologis
biopsi serviks.
3) Kecurigaan metastasis ke kandung kemih atau rektum harus dikonfirmasi
dengan biopsi dan histologik.
4) Khusus pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi dilakukan hanya pada kasus
dengan stadium IB2 atau lebih.

2.1.7 Staging atau stadium kanker serviks


Stadium ditentukan secara klinis berdasarkan ukuran tumor dan derajat perluasan
panggul. Stadium klinik ini tidak berubah bila kemudian ada penemuan baru. Kalau
ada keraguan dalam penentuan maka dipilih stadium yang lebih rendah (Cohen et al.,
2019; Kemenkes RI, 2016).
Klasifikasi stadium menurut FIGO adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2016)
0 Karsinoma in situ (karsinoma preinvasif)
Karsinoma serviks terbatas di uterus (ekstensi ke korpus uterus dapat
I
diabaikan)
Karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop. Semua lesi
IA yang terlihat secara makroskopik, meskipun invasi hanya superfisial,
dimasukkan ke dalam stadium IB
Invasi stroma tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan 7,0 mm atau
IA1
kurang pada ukuran secara horizontal
Invasi stroma lebih dari 3,0 mm dan tidak lebih dari 5,0mm dengan
IA2
penyebaran horizontal 7,0 mm atau kurang
Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di serviks atau secara mikroskopik
IB
lesi lebih besar dari IA2
Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4cm atau
IB1
kurang mediastinal, atau para aorta, paru, hati, atau tulang)
Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari 4,0
IB2
cm
Invasi tumor keluar dari uterus tetapi tidak sampai ke dinding panggul atau
II
mencapai 1/3 bawah vagina
IIA Tanpa invasi ke parametrium
IIA Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4 cm atau
1 kurang
IIA Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari 4,0
2 cm
IIB Tumor dengan invasi ke parametrium
Tumor meluas ke dinding panggul atau mencapai 1/3 bawah vagina
III
dan/atau menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
IIIA Tumor mengenai 1/3 bawah vagina tetapi tidak mencap dinding panggul
Tumor meluas sampai ke dinding panggul dan / atau menimbulkan
IIIB
hidronefrosis atau afungsi ginjal
Tumor menginvasi mukosa kandung kemih atau rektum dan/atau
IVA
meluas keluar panggul kecil (true pelvis)
Metastasis jauh (termasuk penyebaran pada peritoneal, keterlibatan dari
IVB kelenjar getah bening supraklavikula mediastinal, atau para aorta, paru,
hati, atau tulang)

2.1.8 Penatalaksanaan
a. Tatalaksana lesi prankanker
Pada tingkat primer biasanya hanya ada tes IVA, jika hasil positif dapat
dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi. Pada pap smear emuan hasil
abnormal direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan
kolposkopi. Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision
Electrocauter Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the
Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus
terapeutik
Beberapa metode terapi NIS destruksi lokal antara lain: (Kemenkes RI, 2016)

1) Krioterapi
Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks dengan
metode pembekuan atau freezing hingga sekurangkurangnya -20oC selama 6
menit (teknik Freeze-thaw-freeze) dengan menggunakan gas N2O atau CO2.
2) Elektrokauter
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi dengan
melakukan eksisi Loop diathermy terhadap jaringan lesi prakanker pada zona
transformasi. Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium patologi
anatomi untuk konfirmasi diagnostik secara histopatologik untuk menentukan
tindakan cukup atau perlu terapi lanjutan.
3) Diatermi Elektrokoagulasi
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan
efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan
dengan anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan
jaringan serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat
dipengaruhi, terutama jika lesi tersebut sangat luas.
4) Laser
Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu
muatan listrik dilepaskan dalam suatu abung yang berisi campuran gas
helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser
yang
mempunyai panjang gelombang 10,6u.
b. Tatalaksana kanker serviks invasif
1) Stadium 0 / KIS (Karsinoma in situ): Konisasi (cold knife conization).
a) Bila margin bebas, konisasi sudah adekuat pada yang masih memerlukan
fertilitas.
b) Bila tidak tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi.
c) Bila fertilitas tidak diperlukan histerektomi total
d) Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuai atalaksana kanker
invasif.
2) Stadium IA1 (LVSI negatif): Konisasi (Cold Knife) bila free margin (terapi
adekuat) apabila fertilitas dipertahankan (tingkat evidens B). Bila tidak free
margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi. Histerektomi Total
apabila fertilitas tidak dipertahankan

3) Stadium IA1 (LVSI positif)


Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas
dipertahankan. Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi
medik dapat dilakukan brakhiterapi
4) Stadium IA2,IB1,IIA1
a) Operatif (rekomendasi A): Histerektomi radikal dengan limfadenektomi
pelvik
b) Non operatif: Radiasi (EBRT dan brakiterapi). Kemoradiasi (Radiasi :
EBRT dengan kemoterapi konkuren dan brakiterapi)
5) Stadium IB 2 dan IIA2
a) Operatif (rekomendasi A): Histerektomi radikal dan pelvik limfa-
denektomi. Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan
hasil patologi anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau
kemoterapi.
b) Neoajuvan kemoterapi (rekomendasi C) untuk mengecilkan massa tumor
primer dan mengurangi risiko komplikasi operasi.
6) Stadium Stadium IIB
a) Kemoradiasi (Rekomendasi A)
b) Radiasi (Rekomendasi B)
c) Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
d) Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam
penelitian)
7) Stadium III A -> III B
a) Kemoradiasi (Rekomendasi A)
b) Radiasi (Rekomendasi B)
8) Stadium IIIB dengan CKD
a) Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan
b) Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
c) Radiasi
9) Stadium IV A tanpa CKD
a) Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih
dahulu dilakukan kolostomi, dilanjutkan :
b) Kemoradiasi Paliatif, atau
c) Radiasi Paliatif
10) Stadium IV A dengan CKD, IVB
a) Paliatif
b) Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif / radiasi paliatif dapat
dipertimbangkan.
c. Kebutuhan lain
1) Dukungan nutrisi
Pasien kanker serviks berisiko mengalami malnutrisi dan kaheksia
kanker, sehingga perlu mendapat terapi nutrisi adekuat, dimulai dari skrining
gizi, dan apabila hasil skrining abnormal (berisiko malnutrisi), dilanjutkan
dengan diagnosis serta tatalaksana nutrisi umum dan khusus (Kemenkes RI,
2016).
a) Kebutuhan nutrisi umum
(1) Kebutuhan energi
(a) Pasien ambulatory: 30-35 kkal/kg BB/hari
(b) Pasien bedridden: 20-25 kkal/kg BB/hari
(c) Pasien obesitas: menggunakan berat badan ideal
(2) Kebutuhan protein: 1.2-2,0 g/kg BB/hari, pemberian protein perlu
disesuaikan dengan fungsi ginjal dan hati.
(3) Kebutuhan lemak: 25-30% dari energi total untuk pasien kanker
secara umum
b) Jalur pemberian
Intervensi gizi untuk meningkatkan asupan oral pada pasien kanker
yang mampu makan tapi malnutrisi atau berisiko malnutrisi. Pemberian
enteral dapat diberikan jika oral tidak memadai. Nutrisi parenteral tidak
dianjurkan secara umum untuk pasien radioterapi, nutrisi parenteral
hanya diberikan apabila nutrisi oral dan enteral tidak adekuat atau
tidak memungkinkan.
c) Farmakoterapi
Pasien kanker yang mengalami anoreksia memerlukan terapi
multimodal, yang meliputi pemberian obat-obatan, seperti progestin dan
kortikosteroid, serta siproheptadin sesuai dengan kondisi pasien.
d) Terapi nutrisi operatif
Makanan padat dapat diberikan hingga 6 jam dan makanan cair
hingga 2 jam sebelum induksi anestesi (prapembedahan). Pada
pascapembedahan, pasien dapat diberikan nutrisi secara dini berupa
makanan biasa, sedangkan ONS diberikan untuk mendukung pencapaian
nutrisi total, pemasangan NGT tidak rutin dilakukan pascapembedahan.

2) Emosional
Dukungan emosional yang dapat diberikan adalah (Dekker et al., 2020;
Slevin et al., 1996)
a) Cara penyampaian informasi yang caring dan sikap yang peka
merupakan salah satu yang terpenting dalam dukungan emosional pada
pasien kanker.
b) Sikap yang dapat kita lakukan adalah dengarkan dengan hati bukan
telinga, jangan tunjukkan denial yang mungkin kita rasakan, batasi
seberapa sering anda mengatakan “itu akan baik-baik saja”
c) Petugas kesehatan diharapkan dapat mendengarkan keluhan/kebutuhan
klien dan segera menanggapinya
d) Dukungan keluarga
e) Terkadang pasien juga membutuhkan asuhan kesehatan mental

2.1.9 Pencegahan
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer kanker serviks dilakukan dengan pencegahan infeksi
HPV seperti tidak melakukan aktivitas seksual, monogami bersama antara
perawan, penggunaan kondom. Walau tidak memberikan perlindungan 100%,
namun dapat mencegah penularan HPV (Cohen et al., 2019)
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah deteksi dini. Deteksi lesi pra kanker terdiri dari
berbagai metode yaitu: (Kemenkes RI, 2016)
1) Papsmear (konvensional atau liquid-base cytology/LBC)
2) Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
3) Inspeksi Visual Lugoliodin (VILI)
4) Test DNA HPV (genotyping / hybrid capture

2.2 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan pada Kanker Serviks


Tanggal pengkajian :
Waktu pengkajian :
Nama pengkaji :
No Register :

2.2.1 Pengkajian
1. Data subjektif
a. Identitas
Identitas meliputi nama, umur, alamat, pendidikan, pekerjaan, agama. Umur
perlu dikaji, kanker serviks yang invasif biasanya terjadi pada usia 35-50th
(Wartini, 2016). Pendidikan dan pekerjaan dikaji untuk memperkirakan status
\ekonomi ibu karena sosial ekonomi yang rendah merupakan faktor risiko
(Kemenkes RI, 2016)
b. Alasan kunjungan
Alasan kunjungan dapat berupa rujukan dan faskes primer atau dari rumah
sakit lain, atas keluhan ibu, follow up
c. Keluhan utama
Pada pasien rujukan dari faskes primer bisa karena hasil IVA dan pap smear
positif. Keluhannya seperti perdarahan (contact bleeding, berhubungan intim, di
antara masa haid, setelah menopause), keputihan abnormal, nyeri pinggang atau
perut, nyerti saat berkemih
d. Riwayat menstruasi
Pada kanker yang invasif dapat terjadi perdarahan diluar masa haid serta pada
pasien menopause ada perdarahan,
e. Riwayat pernikahan
Riwayat pernikahan perlu dikaji untuk memperkirakan usia pertama kali
hubungan seksual, namun bisa juga ditanyakan kapan usia pertama melakukan
hubungan seksual karena hubungan seksual pertama di usia muda merupakan
faktor risiko.
f. Riwayat obstetrik
Jumlah anak perlu dikaji karena anak banyak merupakan salah satu faktor risiko

g. Riwayat kontrasepsi
Pemakaian pil kb merupakan salah satu faktor risiko
h. Riwayat penyakit
Imunosupresi (misalnya, setelah transplantasi organ atau gangguan
imunodefisiensi seperti HIV), riwayat infeksi menular seksual, riwayat displasia
vulva atau vagina terkait HPV merupakan faktor risiko terjadinya kanker serviks
i. Data psikososial
Pasien penderita kanker yang baru/sudah mengetahui informasinya akan
mengalami berbagai jenis emosi kewalahan/overwhelemed, penyangkalan/denial,
marah, takut dan khawatir, berharap, stres dan kecemasan, kesedihan dan depresi,
merasa bersalah/berdosa, kesepian, bersyuku dan mampu mengatasi emosinya
(NIH, 2020). Dukungan keluarga juga perlu dikaji
j. Gaya hidup
Pasien perokok pasien/pasif (misal suami merokok) dapat meningkatkan 2x
lipat risiko kanker. Alkohol dapat memperberat keadaan pasien. Pasien dan
stadium berat mungkin terjadi keterbatasan dalam melakukan aktivitas
(disabilitas) (Kemenkes RI, 2016). Berganti-ganti pasangan seksual merupakan
faktor risiko
k. Pola fungsional
1) Nutrisi. Pasien kanker berisiko terkena malnutrisi, sehingga pola makan
yang sehat, makan buah, sayur dan biji-bijian, rendah lemak, daging merah
harus dikaji
2) Personal hygiene. Pasien kanker serviks invasif mungkin akan merasakan
nyeri didaerah genitalia yang mungkin dapat menyebabkan takut untuk
membersihkan daerah genitalianya dengan baik
3) Seksual. Gejala kanker serviks salah satunya adalah perdarahan saat/habis
coitus
2. Data objektif
a. Pemeriksaan umum
 Keadaan umum: bervariasi tergantung stadiumnya dari baik hingga sangat
buruk
 Kesadaran: bervariasi tergantung stadiumnya (compos mentis, apatis,
delirium, somnolen, stupor, semi koma, dan koma)
 Berat badan: pasien kanker berisiko terkena malnutrisi
 TTV: bervariasi tergantung kondisi umum pasiennya
b. Pemeriksaan fisik
 Wajah: penampakan wajah klien dapat baik/lemah/merasakan nyeri,
mungkin pucat (kanker risiko anemia)
 Mata: konjungtiva mungkin anemis, sklera umumnya tidak ikterik namun
bisa juga ikterik
 Abdomen: apakah ada pembesaran uterus, apakah ada teraba massa, apakah
terdapat nyeri tekan
 Genitalia: apakah ada keputihan abnormal, apakah vulva vagina oedema,
apakah ada varises
c. Pemeriksaan khusus
Dapat dilakukan pemeriksaan panggul. Pemeriksaan spekulum dilakukan
untuk melihat serviks dan mukosa vagina. Serviks akan tampak normal jika
penyakitnya masih mikroinvasif atau masih berada di saluran endoserviks
d. Pemeriksaan penunjang
Jenis pemeriksaan penunjang ditentukan sesuai keadaan pasien,
pemeriksaan ini tidak dilakukan oleh bidan. Hasil pemeriksaan inilah yang
menentukan stadium kanker sehingga menentukan asuhan apa yang tepat
diberikan. Berbagai jenis pemeriksaanya adalah kolposkopi, biopsi cone
biopsi,
Sistoskopi, dan rektoskopi.

2.2.2 Intrepretasi data


Diagnosa: Papah status reproduksi dengan kanker serviks stadium... *diagnosa ini tidak
ditentukan oleh bidan
Masalah: pada pasien stadium lanjut: nyeri pinggang dan perut, nyeri berkemih,
inkontensia urin (akibat post histerektomi), tungkai bengkak, gangguan mobilisasi.
Masalah emosional seperti stress, ansietas, dan depresi dapat terjadi

2.2.3 Diagnosa dan masalah potensial


Diagnosa potensial: kanker metastase ke organ lain
Masalah potensial: perdarahan, anemia, kematian

2.2.5 Perencanaan
1. Menjelaskan hasil pemeriksaan pada ibu
R/ Pasien harus diberikan informasi secara singkat namun jelas, cara penyampaian
juga harus caring dan peka karena pasien kanker serviks membutuhkan dukungan
emosional yang baik ketika mengetahui keadaan dirinya (Slevin et al., 1996)
2. Melakukan tindakan segera masalah yang dialami ibu

Masalah Penanganan
a. Edukasi Pasien informasi dan instruksi tentang nyeri dan
penanganan serta didorong berperan aktif dalam penanganan
nyeri
b. Terapi medikamentosa sesuai prinsip tatalaksana nyeri WHO
(level 4) dan WHO analgesic ladder (level 2) oleh dokter
c. Terapi Non Medikamentosa Modalitas Kedokteran Fisik dan
Nyeri
Rehabilitasi seperti Trans Electrical Nerve Stimulation
(TENS) oleh dokter
d. Mengoptimalkan pengembalian mobilisasi dengan
modifikasi aktifitas aman dan nyaman dengan atau tanpa alat
bantu jalan dan atau dengan alat fiksasi eksternal serta
dengan pendekatan psikososial-spiritual
Inkontensi Pemasangan kateterisasi intermiten adalah gold standard.
a urin Melakukan edukasi pasien dan keluarga untuk melakukan
program kateterisasi intermiten mandiri di rumah, dengan
prinsip sseptik dengan frekuensi kateterisasi 4-6 kali sehari.
a. Edukasi pencegahan timbulnya edema dan atau peningkatan
edema
b. Reduksi edema dengan manual lymphatic drainage (MLD)
Tungkai dan kompresi eksternal, serta kompresi garmen dengan
bengkak balutan/stocking
c. Terapi gerak/ aktivitas motorik dan latihan pernafasan
d. Pembalutan dapat diberikan pada limfedema dengan Deep
Vein Thrombosis (DVT) tungkai
a. Jika nyeri tatalaksana medikamentosa & nonmedikamentosa
sama seperti diatas
b. Limfedema tungkai dengan atau tanpa Deep Vein
Thrombosis seperti diatas
Gangguan
c. Tirah baring lama dengan impending/sindrom dekondisi,
mobilisasi
kelemahan umum dan fatigue
d. Pelihara kemampuan fisik dengan latihan aerobik bertahap
sesuai kemampuan fisik yang ada, pelihara kestabilan emosi
antara lain dengan cognitive behavioral therapy (CBT)
a. Dukungan keluarga sangat dibutuhkan
Gangguan
b. Sikap petugas kesehatan yang caring dan peka
emosional
c. Kolaborasi dengan psikiatri
3. Melakukan observasi tanda-tanda vital
R/ Pasien sedang yang dirawat dikakukan pemeriksaan ttv untuk mengetahui
perkembangan/progress perawatan, terutama pasien yang dirawat jenis intermediet
dilakukan observasi ttv tiap 4 jam dan total setiap 2 jam sekali
4. Kolaborasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi dalam pemberian
terapi obat-obatan maupun tindakan sesuai kondisi pasien
5. Melakukan kolaborasi dengan ahli gizi
R/ Pasien kanker serviks berisiko mengalami malnutrisi dan kaheksia kanker, perlu
mendapat terapi nutrisi adekuat dimulai dari skrining gizi, dan apabila hasil skrining
abnormal (berisiko malnutrisi), dilanjutkan dengan diagnosis serta tatalaksana nutrisi
umum dan khusus
6. Menganjurkan/Mengajarkan ibu untuk melakukan aktivitas ringan/latihan aerovik
ringan
R/ Pasien kanker penting untuk melihara kemampuan fisik dengan latihan aerobik
bertahap sesuai kemampuan fisik yang ada agar tetap melatih mobilisasinya
(mencegah disabilitas)
7. Menganjurkan ibu/membantu ibu melakukan personal hygiene
R/ Pasien mungkin malas/tidak mampu melakukan personal hygiene sehingga perlu
kita ajarkan untuk rutin mandi, sikat gigi, dan menjaga kebersihan genitalia/kita
bantu ibu membersihkan dirinya
8. Melakukan manajamen nyeri
R/ Pasien kanker dapat merasakan nyeri yang menggangu aktivitas. Petugas
kesehatan dapat mengajarkan cara mengurangi nyeri secara mandiri dengan
pendekatan psikososial-kultural. Jika diperlukan kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian medikamentosa
9. Memberi dukungan emosional kepada ibu
R/ Pasien kanker dapat mengalami gangguan emosional akibat rasa takut akan
penyakitnya. Bidan dapat mengajak keluarganya untuk memberi dukungan pada
klien, petugas kesehatan dalam memberi pelayanan dilakukan dengan caring dan
peka, mendengarkan keluh kesah pasien, memberi kalimat penyemangat. Pelihara
kestabilan emosi dapat dilakukan dengan cognitive behavioral therapy (CBT)
10. Kolaborasi dengan psikiatri dalam penanganan gangguan emosional
R/ Pasien dengan gangguan emosional yang berat seperti stres berat, kecemasan
berat, dan depresi dapat dikonsulkan ke psikiatri untuk penanganan lebih lanjut.
Gangguan emosional yang berat dapat memperburuk quality of life dari pasien
tersebut.

2.2.6 Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan dilaksanakan berdasarkan rencana asuhan kebidanan yang
telah ditetapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan.

2.2.7 Evaluasi
Evaluasi bertujuan untuk menilai apakah tindakan yang di berikan sudah sesuai
dengan perencanaan serta menilai apakah rencana asuhan yang di berikan cukup
efektif. Hasil evaluasi yang diharapkan pada pasien kanker serviks adalah:
1. Pasien memahami dan menerima kondisi dirinya
2. Kebutuhan segera dapat diberikan dan kondisi ibu membaik
3. Observasi tanda-tanda vital terlaksana sesuai jadwal dan tertulis pada lembar
observasi
4. Pasien bersedia untuk makan makanan bergizi atau pasien malnutrisi terdapat
perkembangan/penambahan berat badan.
5. Pasien melakukan aktivitas ringan/senam ringan
6. Pasien dapat melakukan personal hygiene secara mandiri
7. Pasien merasa lebih tenang dan menerima kondisi dirinya

2.2.8 Pendokumentasian
Asuhan kebidanan yang diberikan kepada klien membutuhkan pencatatan dan
pelaporan yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menuntut tanggung jawab dan
tanggung gugat dari berbagai permasalahan yang mungkin dialami oleh klien dan
bidan berkaitan dengan pelayanan yang diberikan. Dokumentasi kebidanan juga
dipakai sebagai informasi tentang status kesehatan pasien pada semua kegiatan
asuhan kebidanan yang dilakukan oleh bidan (Handayani & Mulyati, 2017)
DAFTAR PUSTAKA

Cohen, P. A., Jhingran, A., Oaknin, A., & Denny, L. (2019). Cervical cancer. The
Lancet, 393(10167), 169–182. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(18)32470-X
Dekker, J., Karchoud, J., Braamse, A. M. J., Buiting, H., Konings, I. R. H. M., van
Linde, M. E., … Verheul, H. M. W. (2020). Clinical management of emotions
in patients with cancer: introducing the approach “emotional support and case
finding.” Translational Behavioral Medicine.
https://doi.org/10.1093/tbm/ibaa115
Ellyvon Pranita. (2020, February 4). Kanker Serviks Penyebab Kematian Nomor 2
Wanita Indonesia, Kenapa? Halaman all - Kompas.com. Retrieved March 20,
2021, from Sains Kompas website:
https://sains.kompas.com/read/2020/02/04/190300123/kanker-serviks-
penyebab-kematian-nomor-2-wanita-indonesia-kenapa?page=all
Handayani, S. R., & Mulyati, T. S. (2017). Bahan Ajar Dokumentasi Kebidanan (1st
ed.). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Julaecha, & Nurfitrian. (2019). DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DENGAN
PEMERIKSAAN SERVIKS DI KELURAHAN BULURAN KENALI KOTA
JAMBI TAHUN 2017. Jurnal Abdimas Kesehatan, 1(1), 56–60.
KemenkesRI. (2016). Guideline Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks.
Retrieved from http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKServiks.pdf
Kour, P., Lal, M., Panjaliya, R., Dogra, V., & Gupta, S. (2010). Study of the risk
factors associated with cervical cancer. Biomedical and Pharmacology Journal,
3(1), 179–182.
NCCC. (2021). Cervical Cancer Overview . Retrieved March 20, 2021, from
National Cervical Cancer Coalition website: https://www.nccc-
online.org/hpvcervical-cancer/cervical-cancer-overview/
NIH. (2020, August). Feelings and Cancer. Retrieved March 21, 2021, from National
Cancer Institute website: https://www.cancer.gov/about-cancer/coping/feelings
Nonik Ayu Wartini, N. I. (2016). Deteksi Dini Kanker Serviks dengan Inspeksi
Visual Asam Asetat (IVA). Jurnal Ners Dan Kebidanan, 6(1), 27–34.
https://doi.org/10.26699/jnk.v6i1.ART.p027
Slevin, M. L., Nichols, S. E., Downer, S. M., Wilson, P., Lister, T. A., Arnott, S., …
Cody, M. (1996). Emotional support for cancer patients: What do patients really
want? British Journal of Cancer, 74(8), 1275–1279.
https://doi.org/10.1038/bjc.1996.529
Sulistyawati, D., Faizah, Z., & Kurniawati, E. M. (2020). An Association Study of
Cervical Cancer Correlated with The Age of Coitarche in Dr. Soetomo Hospital
Surabaya. Indonesian Journal of Cancer, 14(1), 3.
https://doi.org/10.33371/ijoc.v14i1.639
WHO. (2020). Cervical cancer. Retrieved March 20, 2021, from World Health
Organization website: https://www.who.int/health-topics/cervical-
cancer#tab=tab_1

Anda mungkin juga menyukai