Anda di halaman 1dari 3

Konsensus Global atas Pajak Ekonomi Digital

Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa menjadi pangsa pasar
terbesar bagi e-commerce di Asia Tenggara. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII), saat ini penetrasi pengguna internet Indonesia berjumlah 73,7
persen atau diperkirakan sebanyak 196,7 juta pengguna. Dalam empat tahun terakhir,
pertumbuhan e-commerce juga mencapai 500 persen dan nilai aktivitas ekonomi digital
Indonesia diperkirakan tumbuh menjadi USD124 miliar pada tahun 2025. Tak ayal pemain
besar e-commerce seperti Google, Amazon, Facebook, Alibaba dan sejenisnya menjadikan
Indonesia sebagai pasar potensial. Namun dari perspektif pajak, e-commerce yang beroperasi
di Indonesia tidak memberikan kontribusi yang maksimal karena bisnis digital memiliki celah
untuk melakukan penghindaran pajak di Indonesia. Dalam transaksi ekonomi digital, kehadiran
fisik tidak lagi relevan, padahal sesuai dengan prinsip pemajakan yang berlaku saat ini,
eksistensi keberadaan fisik diperlukan sebagai basis pengenaan pajak pelaku usaha.

Pada tahun 2019, Sebuah proposal tentang mekanisme pemajakan ekonomi digital
dengan pendekatan terpadu (unified approach) diterbitkan oleh The Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) menjadi angin segar. Mekanisme pemajakan dengan
pendekatan revolusioner disusun untuk mengubah sistem perpajakan secara global sehingga
mampu menangkap potensi pajak transaksi ekonomi digital dengan tidak melakukan pemajakan
berdasarkan keberadaan fisik suatu usaha di suatu yurisdiksi. 137 negara anggota Inclusive
Framework on BEPS G20/OECD menyatakan komitmen yang kuat untuk mencapai konsensus
global melalui unified approach di tahun 2021. Saat proposal tersebut telah disepakati, maka
yurisdiksi di dunia dapat memajaki penghasilan korporasi berbasis ekonomi digital di
negaranya.

Proposal unified approach berisikan mekanisme pemajakan Pillar I (pilar satu) dan Pillar
II (pilar dua). Pilar satu unified approach, berfokus pada bagaimana hak pemajakan atas
penghasilan dari aktivitas bisnis digital dialokasikan ke setiap yurisdiksi. Mekanisme ini
memperkenalkan pendekatan baru untuk mengalokasikan hak pemajakan, yaitu dengan
mempertimbangkan jumlah partisipasi pengguna (user participation), harta tidak berwujud
terkait fungsi pemasaran (marketing intangible) dan eksistensi kegiatan ekonomi yang signifikan
(significant economic presence). Sedangkan pilar dua menyuguhkan proposal GloBE (Global

Page 1 of 3
anti-Base Erosion) yang berfokus pada isu penghindaran pajak lainnya dan pengembangan
aturan terkait pengenaan tarif pajak minimum.

Perbedaan paling signifikan dari proposal yang akan disahkan melalui global consensus
dengan mekanisme pemajakan konvensional adalah dengan ditentukannya nexus baru dan
adanya aturan alokasi laba dalam pemajakan ekonomi digital yang tidak lagi bergantung pada
kehadiran fisik dan lebih memperhatikan nilai penjualan. Melalui pendekatan baru ini, yurisdiksi
pasar akan diberikan hak pemajakan dan kaidah pengalokasian laba dilakukan berdasarkan
penggabungan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) dan
penggunaan formula tertentu yang akan disepakati, untuk menghitung alokasi laba ke setiap
yurisdiksi. Atas dasar dua pendekatan utama tersebut, kehadiran fisik e-commerce sebagai
basis pemajakan menjadi tidak relevan lagi.

Masalah lain yang masih terus diperdebatkan adalah mengenai bagaimana menentukan
jumlah keuntungan yang akan dialokasikan. Proposal ini menawarkan 3 level mekanisme untuk
membagi penghasilan, yakni hirarkis dari Amount A, Amount B dan Amount C. Amount A,
merupakan pengalokasian laba yang tersisa (residual profit) kepada negara/yurisdiksi pasar
dan laba rutin (routine profit) tetap kepada negara pemegang intellect property. Diskusi
mengenai pendefinisian dan besaran persentase laba yang tersisa dan laba rutin masih terus
bergulir, karena semakin besar persentase yang dianggap sebagai laba rutin, akan semakin
kecil porsi Amount A dan berarti akan semakin sedikit porsi laba bagi negara tempat kegiatan
ekonomi digital dilakukan. Indonesia harus memproteksi dan memperjuangkan hak
pemajakannya di Inclusive Framework Meeting sebelum konsensus global disepakati. Sehingga
Indonesia dapat memperoleh porsi yang memang seharusnya didapatkan. Sampai saat ini
diskusi masih terus bergulir, karena negara maju dimana mayoritas intellect property berada
akan mempertahankan posisinya agar tidak banyak laba yang dipajaki oleh negara berkembang
yang mayoritas merupakan yurisdiksi pasar. Pengalokasian berikutnya adalah Amount B, yang
merupakan mekanisme dimana jumlah yang dipajaki didasarkan pada norma perpajakan yang
berlaku seperti penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Proposal ini memunculkan
kemungkinan pemberian remunerasi dengan persentase yang pasti (fixed remuneration)
kepada negara pasar. Mekanisme berikutnya adalah Amount C untuk penghasilan tambahan
yang dialokasikan ke yurisdiksi pasar dimana terdapat aktivitas non-rutin melebihi kegiatan rutin
yang telah dipajaki Amount B. Penentuan Amount C juga harus berdasarkan penerapan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha.

Page 2 of 3
Kesepakatan internasional terkait dua pilar ini telah mereformasi lansekap perpajakan
secara global. Segala perdebatan tentang cara pemajakan yang adil bagi ekonomi digital dan
penantian akan suatu konsensus dalam pemajakannya akhirnya menemukan titik terang.
Indonesia menyambut baik konsensus global, karena akan ada tambahan penerimaan pajak
yang cukup besar jika konsensus global atas unified approach dapat disepakati. Namun
Indonesia juga harus terus berjuang untuk mendapatkan porsi pajak yang sepatutnya
didapatkan dalam rapat pleno Inclusive Framework G20/OECD yang masih akan berlangsung
di tahun 2021.

Page 3 of 3

Anda mungkin juga menyukai