NRI : 15014101208
TRAUMATOLOGI
TRAUMA TUMPUL
Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan terhadap jaringan
tubuh yang hidup (living tissue) yang dapat menimbulkan efek pada fisik ataupun psikisnya,
dalam ilmu kedokteran forensik efek fisik berupa luka-luka yang ditemukan dalam tubuh atau
fisik korban sedangkan logos berarti ilmu. Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
luka dan cedera serta hubungan dengan berbagai kekerasan. Luka adalah suatu keadaan
ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.
Trauma atau luka dari aspek medikolegal sering berbeda dengan pengertian medis.
Pengertian medis menyatakan trauma atau perlukaan adalah hilangnya diskontinuitas dari
jaringan. Dalam pengertian medikolegal trauma adalah pengetahuan tentang alat atau benda yang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan seseorang. Trauma mekanik terjadi karena alat atau
senjata dalam berbagai bentuk, alami atau dibuat manusia, trauma tumpul sendiri diakibatkan
oleh benda yang memiliki permukaan tumpul.
1. Kulit
• Luka Lecet
• Luka Memar
• Luka Robek
2. Kepala
Dilihat sepintas luka memar terlihat seperti lebam mayat, tetapi jika diperiksa dengan
seksama akan dapat dilihat perbedaannya :
Dilihat sepintas luka memar terlihat seperti lebam mayat, tetapi jika diperiksa dengan
seksama akan dapat dilihat perbedaannya :
Luka lecet atau abrasi adalah luka yang disebabkan oleh rusaknya atau lepasnya lapisan
luar dari kulit, yang ciri-cirinya adalah :
- Bentuk luka tidak teratur
- Batas luka tidak teratur
- Tepi luka tidak rata
- Kadang-kadang ditemukan sedikit perdarahan
- Permukaan tertutup oleh krusta
- Warna coklat kemerahan
- Pada pemeriksaan mikroskopis terlihat adanya beberapa bagian yang masih tertutup
epitel dan reaksi jaringan.
Luka lecet dapat terjadi superfisial jika hanya epidermis saja yang terkena, lebih dalam ke
lapisan bawah kulit (dermis) atau lebih dalam lagi sampai ke jaringan lunak bawah kulit. Jika
abrasi terjadi lebih dalam dari lapisan epidermis pembuluh darah dapat terkena sehingga terjadi
perdarahan. Arah dari pengelupasan dapat ditentukan dengan pemeriksaan luka. Dua tanda yang
dapat digunakan. Tanda yang pertama adalah arah dimana epidermis bergulung, tanda yang
kedua adalah hubungan kedalaman pada luka yang menandakan ketidakteraturan benda yang
mengenainya.
Diakibatkan oleh benda runcing, misal kuku jari, yang menggeser lapisan
permukaan kulit (epidermis) dan menyebabkan lapisan tersebut terangkat
sehingga dapat menunjukkan arah kekerasan yang terjadi.
Luka robek (vulnus laceratum) / luka terbuka adalah luka yang disebabkan
karena persentuhan dengan benda tumpul dengan kekuatan yang mampu merobek
seluruh lapisan kulit dan jaringan di bawahnya, yang ciri – cirinya sebagai
berikut :
Bentuk garis batas luka tidak teratur dan tepi luka tak rata
Lokasi luka lebih mudah terjadi pada daerah yang dekat dengan tulang
(misalnya daerah kepala, muka atau ekstremitas). Karena terjadinya luka
disebabkan oleh robeknya jaringan maka bentuk dari luka tersebut tidak
menggambarkan bentuk dari benda penyebabnya. Jika benda tumpul yang
mempunyai permukaan bulat atau persegi dipukulkan pada kepala maka luka
robek yang terjadi tidak berbentuk bulat atau persegi.1
Suatu pukulan yang mengenai bagian kecil area kulit dapat menyebabkan
kontusio dari jaringan subkutan, seperti pinggiran balok kayu, ujung dari pipa,
permukaan benda tersebut cukup lancip untuk menyebabkan sobekan pada kulit
yang menyebabkan laserasi. Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya
runcing tetapi tidak begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit
dan menyebabkan kerusakan jaringan kulit dan bawah kulit. Tepi dari laserasi
ireguler dan kasar, disekitarnya terdapat luka lecet yang diakibatkan oleh bagian
yang lebih rata dari benda tersebut yang mengalami indentasi.
Pada beberapa kasus, robeknya kulit atau membran mukosa dan jaringan
dibawahnya tidak sempurna dan terdapat jembatan jaringan. Jembatan jaringan,
tepi luka yang ireguler, kasar dan luka lecet membedakan laserasi dengan luka
oleh benda tajam seperti pisau. Tepi dari laserasi dapat menunjukkan arah
terjadinya kekerasan. Tepi yang paling rusak dan tepi laserasi yang landai
menunjukkan arah awal kekerasan. Sisi laserasi yang terdapat memar juga
menunjukkan arah awal kekerasan.
Bentuk dari laserasi tidak dapat menggambarkan bahan dari benda penyebab
kekerasan tersebut. Karena daya kekenyalan jaringan regangan jaringan yang
berlebihan terjadi sebelum robeknya jaringan terjadi. Sehingga pukulan yang
terjadi karena palu tidak harus berbentuk permukaan palu atau laserasi yang
berbentuk semisirkuler. Sering terjadi sobekan dari ujung laserasi yang sudutnya
berbeda dengan laserasi itu sendiri yang disebut dengan “swallow tails”. Beberapa
benda dapat menghasilkan pola laserasi yang mirip.
Perkiraan kejadian saat kejadian pada luka laserasi sulit ditentukan tidak
seperti luka atau memar. Pembagiannya adalah sangat segera segera, beberapa
hari, dan lebih dari beberapa hari. Laserasi yang terjadi setelah mati dapat
dibedakan ddengan yang terjadi saat korban hidup yaitu tidak adanya perdarahan.
Hal yang harus diwaspadai dari laserasi organ yaitu robekan yang komplit
yang dapat terjadi dalam jangka waktu lama setelah trauma yang dapat
menyebabkan perdarahan hebat.4
d. Fraktur
Fraktur adalah suatu diskontinuitas tulang. Istilah fraktur pada bedah hanya
memiliki sedikit makna pada ilmu forensik. Pada bedah, fraktur dibagi menjadi
fraktur sederhana dan komplit atau terbuka.
Terjadinya fraktur selain disebabkan suatu trauma juga dipengaruhi beberapa
faktor seperti komposisi tulang tersebut. Anak-anak tulangnya masih lunak, sehingga
apabila terjadi trauma khususnya pada tulang tengkorak dapat menyebabkan
kerusakan otak yang hebat tanpa menyebabkan fraktur tulang tengkorak. Wanita usia
tua sering kali telah mengalami osteoporosis, dimana dapat terjadi fraktur pada
trauma yang ringan.
Pada kasus dimana tidak terlihat adanya deformitas maka untuk mengetahui ada
tidaknya fraktur dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan sinar X, mulai dari
fluoroskopi, foto polos. Xero radiografi merupakan teknik lain dalam mendiagnosa
adanya fraktur.
Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik. Bentuk dari fraktur dapat
menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang tengkorak), arah
kekerasan. Fraktur yang terjadi pada tulang yang sedang mengalami penyembuhan
berbeda dengan fraktur biasanya. Jangka waktu penyembuhan tulang berbeda-beda
setiap orang. Dari penampang makros dapat dibedakan menjadi fraktur yang baru,
sedang dalam penyembuhan, sebagian telah sembuh, dan telah sembuh sempurna.
Secara radiologis dapat dibedakan berdasarkan akumulasi kalsium pada kalus.
Mikroskopis dapat dibedakan daerah yang fraktur dan daerah penyembuhan.
Penggabungan dari metode diatas menjadikan akurasi yang cukup tinggi. Daerah
fraktur yang sudah sembuh tidaklah dapat menjadi seperti tulang aslinya.
Perdarahan merupakan salah satu komplikasi dari fraktur. Bila perdarahan sub
periosteum terjadi dapat menyebabkan nyeri yang hebat dan disfungsi organ tersebut.
Apabila terjadi robekan pembuluh darah kecil dapat menyebabkan darah terbendung
disekitar jaringan lunak yang menyebabkan pembengkakan dan aliran darah balik
dapat berkurang. Apabila terjadi robekan pada arteri yang besar terjadi kehilangan
darah yang banyak dan dapat menyebabkan pasien shok sampai meninggal. Syok
yang terjadi pada pasien fraktur tidaklah selalu sebanding dengan fraktur yang
dialaminya.
Selain itu juga dapat terjadi emboli lemak pada paru dan jaringan lain. Gejala
pada emboli lemak di sereberal dapat terjadi 2-4 hari setelah terjadinya fraktur dan
dapat menyebabkan kematian. Gejala pada emboli lemak di paru berupa distres
pernafasan dapat terjadi 14-16 jam setelah terjadinya fraktur yang juga dapat
menyebabkan kematian. Emboli sumsum tulang atau lemak merupakan tanda
antemortem dari sebuah fraktur.
Fraktur linier yang terjadi pada tulang tengkorak tanpa adanya fraktur depresi
tidaklah begitu berat kecuali terdapat robekan pembuluh darah yang dapat membuat
hematom ekstra dural, sehingga diperlukan depresi tulang secepatnya. Apabila ujung
tulang mengenai otak dapat merusak otak tersebut, sehingga dapat terjadi penurunan
kesadaran, kejang, koma hingga kematian.
e. Kompresi
Kompresi yang terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan efek lokal maupun sistemik
yaitu asfiksia traumatik sehingga dapat terjadi kematiaan akibat tidak terjadi pertukaran udara.
f. Perdarahan
1. Kepala
Jaringan otak dilindungi oleh 3 lapisan jaringan. Lapisan paling luar disebut duramater,
atau sering dikenal sebagai dura. Lapisan ini tebal dan lebih dekat berhubungan dengan
tengkorak kepala dibandingakan otak. Antara tengkorak dan dura terdapat ruang yang disebut
ruang epidural atau ekstradural. Ruang ini penting dalam bidang forensik.
Lapisan yang melekat langsung ke otak disebut piamater. Lapisan ini sangat rapuh,
melekat pada otak dan meluas masuk ke dalam sulkus-sulkus otak. Lapisan ini tidak terlalu
penting dalam bidang forensik.
Lapisan berikutnya yang terletak antara dura mater dan pia mater disebut arakhnoid.
Ruang yang dibentuk antara lapisan dura mater dan arakhnoid ini disebut ruang subdural.
Kedalaman ruang ini bervariasi di beberapa tempat. Perlu diingat, cairan otak terdapat pada
ruang subarakhnoid, bukan di ruang subdural.
Perdarahan kepala dapat terjadi pada ketiga ruang yaitu ruang epidural, subdural atau ruang
subarakhnoid, atau pada otak itu sendiri.
Perdarahan Epidural (Hematoma)
Perdarahan jenis ini berhubungan erat dengan fraktur pada tulang tengkorak. Apabila
fraktur mengenai jalinan pembuluh darah kecil yang dekat dengan bagian dalam tengkorak,
umumnya arteri meningea media, dapat menyebabkan arteri terkoyak dan terjadi perdarahan
yang cepat. Kumpulan darah akhirnya mendorong lapisan dura menjauh dari tengkorak dan
ruang epidural menjadi lebih luas. Akibat dari lapisan dura yang terdorong ke dalam, otak
mendapatkan kompresi atau tekanan yang akhirnya menimbulkan gejalagejala seperti nyeri
kepala, penurunan kesadaran bertahap mulai dari letargi, stupor dan akhirnya koma. Kematian
akan terjadi bila tidak dilakukan terapi dekompresi segera. Waktu antara timbulnya cedera
kepala sampai munculnya gejala-gejala yang diakibatkan perdarahan epidural disebut sebagai
“lucid interval”
Perdarahan ini timbul apabila terjadi “bridging vein” yang pecah dan darah berkumpul di
ruang subdural. Perdarahan ini juga dapat menyebabkan kompresi pada otak yang terletak di
bawahnya. Karena perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka “lucid interval” juga
lebih lama dibandingkan perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari.
Jumlah perdarahan pada ruang ini berkisar dibawah 120 cc, sehingga tidak menyebabkan
perdarahan subdural yang fatal.
Tidak semua perdarahan epidural atau subdural bersifat letal. Pada beberapa kasus,
perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi pada otak,
sehingga hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa kasus yang lain,
memerlukan tindakan operatif segera untuk dekompresi otak.
Hampir semua kasus perdarahan subdural berhubungan dengan trauma, meskipun dapat
tidak berhubungan dengan trauma. Perdarahan ini dapat terjadi pada orang-orang dengan
gangguan mekanisme pembekuan darah atau pada pecandu alcohol kronik, meskipun tidak
menyebabkan perdarahan yang besar dan berbahaya. Pada kasus-kasus perdarahan subdural
akibat trauma, dapat timbul persarahan kecil yang tidak berisiko apabila terjadi pada orang
normal. Akan tetapi, pada orang-orang yang memiliki gangguan pada mekanisme pembekuan
darah, dapat bersifat fatal.
Ada kalanya juga perdarahan subdural terjadi akibat perluasan dari perdarahan di tempat
lain. Salah satu contohnya adalah perdarahan intraserebral yang keluar dari substansi otak
melewati pia mater, kemudian masuk dan menembus lapisan arakhnoid dan mencapai ruang
subdural.
Perdarahan Subarakhnoid
Penyebab perdarahan subarakhnoid yang tersering ada 5, dan terbagi menjadi 2 kelompok
besar, yaitu yang disebabkan trauma dan yang tidak berhubungan dengan trauma. Penyebabnya
antara lain:
1. Nontraumatik:
Yang menjadi teka-teki pada bagian forensik adalah, apakah trauma yang menyebabkan
ruptur pada aneurisma yang sudah ada, atau seseorang mengalami nyeri kepala lebih dahulu
akibat mulai pecahnya aneurisma yang menyebabkan gangguan tingkah laku berupa perilaku
mudah berkelahi yang berujung pada trauma. Contoh yang lain, apakah seseorang yang jatuh
dari ketinggian tertentu menyebabkan ruptur aneurisma, atau seseorang tersebut mengalami
ruptur aneurisma terlebih dahulu yang menyebabkan perdarahan subarakhnoid dan akhirnya
kehilangan kesadaran dan terjatuh. Pada beberapa kasus, investigasi yang teliti disertai dengan
otopsi yang cermat dapat memecahkan teka-teki tersebut.
Perdarahan subarakhnoid ringan yang terlokalisir dihasilkan dari tekanan terhadap kepala
yang disertai goncangan pada otak dan penutupnya yang ada di dalam tengkorak. Tekanan dan
goncangan ini menyebabkan robeknya pembuluh-pembuluh darah kecil pada lapisan
subarakhnoid, dan umumnya bukan merupakan perdarahan yang berat. Apabila tidak ditemukan
faktor pemberat lain seperti kemampuan pembekuan darah yang buruk, perdarahan ini dapat
menceritakan atau mengungkapkan tekanan trauma yang terjadi pada kepala.
Jarang sekali, tamparan pada pada sisi samping kepala dan leher dapat mengakibatkan
fraktur pada prosesus lateralis salah satu tulang cervical superior. Karena arteri vertebralis
melewati bagian atas prosesus lateralis dari vertebra di daerah leher, maka fraktur pada daerah
tersebut dapat menyebabkan robeknya arteri yang menimbulkan perdarahan masif yang biasanya
menembus sampai lapisan subarakhnoid pada bagian atas tulang belakang dan akhirnya terjadi
penggenangan pada ruang subarakhnoid oleh darah. Aliran darah ke atas meningkat dan
perdarahan meluas sampai ke dasar otak dan sisi lateral hemisfer serebri. Pada beberapa kasus,
kondisi ini sulit dibedakan dengan perdarahan nontraumatikyang mungkin disebabkan oleh
ruptur aneurisma.
Tipe perdarahan subarakhnoid traumatik yang akan dibicarakan kali ini merupakan tipe
perdarahan yang massif. Perdarahan ini melibatkan dasar otak dan meluas hingga ke sisi lateral
otak sehingga serupa dengan perdarahan yang berhubungan dengan aneurisma pada arteri besar
yang terdapat di dasar otak.Akan tetapi, pada pemeriksaan yang cermat dan teliti, tidak
ditemukan adanya aneurisma, sedangkan arteri vertebralis tetap intak. Penyebab terjadinya
perdarahan diduga akibat pecahnya pembuluh darah berdinding tipis pada bagian bawah otak,
serta tidak terdapat aneurisma. Terdapat 2 bukti, meskipun tidak selalu ada, yang bisa
mendukung dugaan apakah kejadian ini murni dimulai oleh trauma terlebih dahulu. Bukti
pertama yaitu adanya riwayat gerakan hiperekstensi tiba-tiba pada daerah kepala dan leher, yang
nantinya dapat menyebabkan kolaps dan bahkan kematian.
Kontusio otak
Hampir seluruh kontusio otak superfisial, hanya mengenai daerah abuabu. Beberapa
dapat lebih dalam, mengenai daerah putih otak. Kontusio pada bagian superfisial atau daerah
abu-abu sangat penting dalam ilmu forensik. Rupturnya pembuluh darah dengan terhambatnya
aliran darah menuju otak menyebabkan adanya pembengkakan dan seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, lingkaran kekerasan dapat terbentuk apabila kontusio yang terbentuk cukup besar,
edema otak dapat menghambat sirkulasi darah yang menyebabkan kematian otak, koma, dan
kematian total. Poin kedua terpenting dalam hal medikolegal adalah penyembuhan kontusio
tersebut yang dapat menyebabkan jaringan parut yang akan menyebabkan adanya fokus epilepsi.
Yang harus dipertimbangan adalah lokasi kontusio tipe superfisial yang berhubungan
dengan arah kekerasan yang terjadi. Hal ini bermakna jika pola luka ditemukan dalam
pemeriksaan kepala dan komponen yang terkena pada trauma sepeti pada kulit kepala, kranium,
dan otak.
Ketika bagian kepala terkena benda yang keras dan berat seperti palu atau botol bir,
hasilnya dapat berupa, kurang lebihnya, yaitu abrasi, kontusio, dan laserasi dari kulit kepala.
Kranium dapat patah atau tidak. Jika jaringan dibawahnya terkena, hal ini disebut coup. Hal ini
terjadi saat kepala relatif tidak bergerak.
Kita juga harus mempertimbangkan situasi lainnya dimana kepala yang bergerak
mengenai benda yang padat dan diam. Pada keadaan ini kerusakan pada kulit kepala dan pada
kranium dapat serupa dengan apa yang ditemukan pada benda yang bergerak-kepala yang diam.
Namun, kontusio yang terjadi, bukan pada tempat trauma melainkan pada sisi yang berlawanan.
Hal ini disebut kontusio contra-coup.
Pemeriksaan kepala penting untuk mengetahui pola trauma. Karena foto dari semua
komponen trauma kepala dari berbagai tipe kadang tidak tepat sesuai dengan demontrasi yang
ada., diagram dapat menjelaskan hubungan trauma yang terjadi. Kadang dapat terjadi hal yang
membingungkan, dapat saja kepala yang diam dan terkena benda yang bergerak pada akhirnya
akan jatuh atau mengenai benda keras lainnya, sehingga gambaran yang ada akan tercampur,
membingungkan, yang tidak memerlukan penjelasan mendetail.
Tipe lain kontusio adalah penetrasi yang lebih dalam, biasanya mengenai daerah putih
atau abu-abu, diliputi oleh lapisan normal otak, dengan perdarahan kecil atau besar. Perdarahan
kecil dinamakan ‘ball hemorrhages’ sesuai dengan bentuknya yang bulat. Hal tersebut dapat
serupa dengan perdarahan fokal yang disebabkan hipertensi. Perdarahan yang lebih besar dan
dalam biasanya berbentuk ireguler dan hampir serupa dengan perdarahan apopletik atau stroke.
Anamnesis yang cukup mengenai keadaan saat kematian, ada atau tiadanya tanda trauma kepala,
serta adanya penyakit penyerta dapat membedakan trauma dengan kasus lain yang menyebabkan
perdarahan.
Edema paru tipe neurogenik biasanya menyertai trauma kepala. Manifestasi eksternal yang
dapat ditemui adalah ‘foam cone’ busa berwarna putih atau merah muda pada mulut dan hidung.
Hal tersebut dapat ditemui pada kematian akibat tenggelam, overdosis, penyakit jantung yang
didahului dekompensasio kordis. Keberadaan gelembung tidak membuktikan adanya trauma
kepala.
2. Pejalan kaki yang ditabrak kendaraan bermotor biasanya mendapatkan fraktur tulang
panjang kaki. Hal ini disebut ‘bumper fractures’. Adanya fraktur tersebut yang
disertai luka lainnya pada tubuh yang ditemukan di pinggir jalan, memperlihatkan
bahwa korban adalah pejalan kaki yang ditabrak oleh kendaraan bermotor dan dapat
diketahui tinggi bempernya. Karena hampir seluruh kendaraan bermotor ‘nose dive’
ketika mengerem mendadak, pengukuran ketinggian bemper dan tinggi fraktur dari
telapak kaki, dapat mengindikasikan usaha pengendara kendaraan bermotor untuk
mengerem pada saat kecelakaan terjadi.
3. Penderita serangan jantung yang terjatuh dapat diketahui dengan adanya pola luka
pada dan di bawah area ‘hat band’ dan biasanya terbatas pada satu sisi wajah.
Dengan adanya pola tersebut mengindikasikan jatuh sebagai penyebab, bukan
karena dipukul.
4. Pukulan pada daerah mulut dapat lebih terlihat dari dalam. Pukulan yang kepalan
tangan, luka tumpul yang terjadi dapat tidak begitu terlihat dari luar, namun
menimbulkan edem jaringan pada bagian dalam, tepat di depan gigi geligi. Frenum
pada bibir atas kadang rusak, terutama bila korban adalah bayi yang sering
mendapat pukulan pada kepala