Anda di halaman 1dari 8

IMPLEMENTASI PENEGAKAN UU ITE SECARA OPTIMAL DALAM

KASUS CYBERLAUNDERING DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) adalah kejahatan yang dilakukan
dengan melegalkan uang-uang yang didapatkan dari kegiatan illegal atau bisnis illegal
antara lain terorisme, penggelapan pajak, perjudian, pelacuran, penjualan narkotika.
Uang hasil penyuapan dan korupsi pun dikategorikan sebagai uang illegal yang dapat
dilegalkan dengan cara Pencucian Uang. Modus dari Tindak Pidana Pencucian Uang
ini adalah dengan mentransfer sejumlah uang hasil dari kegiatan illegal ke sebuah
rekening bank untuk di depositokan atau membeli properti, dan dengan saldo deposito
atau properti tersebut dijadikan jaminan untuk pinjaman yang bertujuan untuk
membangun sebuah perusahaan yang legal, uang hasil dari kegiatan illegal tersebut
seolah-olah berasal dari perusahaan yang legal tersebut, selain itu ada juga modus
dengan menyimpan uang hasil kegiatan illegal tersebut atas nama orang lain. Tindak
Pidana Pencucian Uang bersifat borderless yang berarti transaksi transfer bank
tersebut bisa dilakukan antar negara, dan membawa uang hasil dari kegiatan illegal
(dirty money) tersebut ke luar negeri dan menyimpannya di luar negeri setelah itu
disalurkan kembali ke tempat dimana kegiatan illegal tersebut dilakukan sebagai uang
legal (clean money). Tindak Pidana Pencucian Uang juga bersifat ganda dan lanjutan
karena ada pidana asal yang menghasilkan uang illegal tersebut dan Tindak Pidana
Pencucian Uang merupakan lanjutan dari kegiatan illegal untuk ‘mencuci’ uang
tersebut agar menjadi uang legal. Objek Tindak Pidana Pencucian Uang menurut
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak hanya uang (money) dan dana
(funds) tetapi juga benda bergerak seperti mobil dan benda tidak bergerak seperti
tanah dan emas.
1
Tindak Pidana Pencucian Uang dalam lingkup cyber crime dikategorikan sebagai
white collar crime dan extraordinary crime. Kaitan Tindak Pidana Pencucian Uang
dengan cyber crime berasal dari cara ‘mencuci’ uang yang dilakukan dengan metode
transfer bank melalui internet dan pembuatan dokumen palsu seperti invoice palsu
yang dilakukan menggunakan internet. Tindak Pidana Pencucian Uang pada era
sekarang lebih gampang dilakukan karena adanya internet dan juga perkembangan
teknologi yang memudahkan orang untuk mentransfer dana dalam jumlah yang
banyak hanya dengan internet dan juga membuka rekening bank dengan
menggunakan internet saja. Penggunaan e-money juga membantu perkembangan
Tindak Pidana Pencucian Uang, karena maraknya perkembangan e-commerce pada
zaman sekarang praktik pencucian uang juga bisa dilakukan melalui internet.
Pencucian uang dengan menggunakan internet disebut dengan cyberlaundering.
Cyberlaundering lebih sulit dilacak karena berkaitan dengan sistem transaksi e-money
yang tidak memiliki nomor seri, sehingga seseorang bisa saja mentransfer sejumlah
uang melalui e-commerce dan e-commerce tersebut membagi uang tersebut dan kartu-
kartu e-money tanpa dapat terdeteksi dari manakah sumber uang tersebut. Pelaku
cyberlaundering juga dapat dengan gampang memindahkan uang hasil kegiatan illegal
karena tidak memerlukan perantara untuk melakukannya dan tidak perlu wadah atau
kontainer untuk menyimpan dana tersebut atau tidak ada bentuk fisik dari uang
tersebut. Sehingga uang tersebut hanya dialihkan secara virtual yang membuat aparat
penegak hukum sulit untuk melacak dari mana sumber dana tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana modus operandi Cyberlaundering?
1.2.2 Bagaimana proses pembuktian Cyberlaundering?
1.2.3 Bagaimana proses penegakan hukum Cyberlaundering?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Untuk mengetahui apa itu cyberlaundering dan modus operandi dari
cyberlaundering.
1.3.2 Untuk mengetahui proses pembuktian cyberlaundering.
1.3.3 Untuk mengetahui proses penegakan hukum cyberlaundering.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Peneliti dapat mengetahui lebih dalam tentang cyberlaundering.
1.4.2 Pembaca dan peneliti dapat mengetahui modus operandi dan proses pembuktian
cyberlaundering.
1.4.3 Pembaca dan peneliti dapat membantu proses penegakan hukum
cyberlaundering.

1.5 Tinjauan Pustaka


Dengan pesatnya perkembangan zaman dan kehadiran internet muncul cyber–
laundering yang definisi sederhananya adalah praktik pencucian uang yang dilakukan
di dunia maya yaitu melalui transaksi online. Pada prinsipnya cyber–laundering sama
dengan praktik pencucian uang konvensional yang terdiri dari tiga tahap:
 Placement, menempatkan uang kotor ke dalam sistem keuangan yang legal.
 Layering, memindahkah atau mengubah bentuk uang melalui transaksi yang
kompleks untuk mengaburkan asal dana.
 Integration, mengembalikan uang yang sudah dicuci hingga bisa digunakan
dengan aman.
Hanya saja transaksi online menawarkan jangkauan yang luas, kecepatan, kemudahan,
dan biaya yang murah bagi para pelaku pencucian uang. Di sudut belahan dunia
manapun, selama ada akses internet, para pelaku pencucian uang bisa melancarkan
aksinya.

Modus pencucian uang dengan transaksi online


 E-Commerce
Para pelaku bisa memanfaatkan e-commerce sebagai mesin cuci uang kotor mereka
melalui prosesor pembayaran yang sah. Contohnya, tahun lalu ada dugaan seorang
anggota ISIS di AS memindahkan uang kotor mereka dengan modus menjual
komputer di eBay. Pelaku tersebut menerima pembayaran transaksi dari luar negeri
melalui akun PayPal.

Para pencuri kartu kredit juga memanfaatkan e-commerce sebagai mesin cuci. Para
pelaku memanfaatkan layanan Airbnb untuk mencuci uang kotor yang mereka
dapatkan dari kartu kredit dengan bantuan dari pemiliki akun sekaligus para pemilik
rumah (host). Para pelaku memesan kamar dari host dan membayarnya dengan kartu
kredit. Nantinya, host akan mengembalikan uang hasil pembayaran tersebut pada
pelaku.
 Mata uang digital
Mencuci uang ilegal dengan mata uang digital atau kriptokurensi lebih kompleks
dibanding cara konvensional, namun para pelaku bisa mendapatkan privasi yang jauh
lebih baik untuk mengaburkan sumber uang tersebut agar tak terendus oleh aparat.

Ada dua cara pelaku menempatkan uang kotor ke dalam sistem kriptokurensi yaitu
menukarkan uang fiat dengan kriptokurensi di exchange digital (CoinBase, Bitstamp,
Kraken dan lainnya yang menerima mata uang fiat) melalui akun bank atau
menukarkannya melalui ATM Bitcoin dengan debit atau kartu kredit. Umumnya,
membeli di exchange digital lebih disukai oleh para pelaku karena ATM Bitcoin
biasanya menerapkan sistem Anti-Money Laundering (AML). Dalam praktiknya, para
pelaku membayar perantara yang memiliki track record bersih untuk verifikasi saat
pembukaan akun di exchange digital.

Kriptokurensi yang dibeli melalui exchange digital hanya mata uang utama yaitu
Bitcoin, Ethereum atau Litecoin. Namun, mata uang utama menerapkan sistem
blockchain yang menyimpan jejak audit transaksi. Untuk mengaburkan jejak audit
dan mendapatkan privasi dalam bertransaksi, para pelaku melakukan sejumlah
‘layering’ yaitu dengan menukarkan mata uang utama dengan altcoin (alternative
coin) dan menggunakan ‘coin mixer’. Mata uang yang disimpan dalam bentuk
kriptokurensi ini nantinya bisa dicairkan kembali dalam bentuk fiat di mana pun dan
kapanpun.

 Online game
Siapa sangka game online bisa dijadikan modus praktik pencucian uang. Sony Online
Entertainment beberapa tahun lalu menemukan salah satu penggunanya memindahkan
uang dalam jumlah besar dari akun di AS ke akun di Rusia melalui online game
dengan modus membeli beberapa virtual item yang langka dan sulit didapatkan para
pengguna.

 Crowdfunding
Situs crowdfunding mudah diakses, mudah digunakan dan cenderung masih belum
menerapkan sistem anti kecurangan dan AML, menjadikannya sebagai tempat yang
ideal untuk mencuci uang bagi para pelaku. Contohnya, seorang pelaku bisa saja
membuat kampanye fiktif dan ‘menyumbangkan’ uang hasil kejahatannya untuk
kampanye tersebut. Lalu, menguangkannya kembali. Tentu bank akan mencatat uang
tersebut legal karena berasal dari situs crowdfunding.1

1.6 Metode Penelitian


Penulisan dalam tulisan ini akan menggunakan metode penelitian hukum normatif
yakni mengkaji tentang hal-hal yang berkaitan dengan cyberlaundering dalam lingkup
pelanggaran terhadap UU ITE.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan dua bentuk metode penelitian. Yang
Pertama dengan metode penelitian library research, melalui penelitian kepustakaan ini
penulis berusaha mengkaji buku-buku serta tulisan ilmiah yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas dalam tulisan ini. Kedua dengan metode penelitian lapangan
(Field Research), yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke obyeknya
melalui pengamatan kejadian sehari-hari, yaitu serangkaian pertanyaan yang harus
dijawab oleh penulis terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan.

Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode penelitian hukum
normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum
kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Tahapan pertama
penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan
hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap
masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).

1.7 Sistematika Penulisan


BAB 1
PENDAHULUAN

1
Integrity Indonesia. 2018. “Cyber-laundering, Wajah Baru Pencucian Uang di Era
Digital” diakses dari https://www.integrity-indonesia.com/id/blog/2018/09/21/cyber-
laundering-wajah-baru-pencucian-uang-di-era-digital/
Pada bab ini akan diceritakan tentang latar belakang persoalan dan permasalahan
yang akan dilakukan penelitian dalam tulisan ini. Dalam bab ini juga dilakukan
batasan-batasan penelitian yang dirangkum dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian
yang akan menajadi bahan analisis dalam pembahasan pada bab-bab berikutnya.

Dengan demikian akan terjadi kesinambungan antara keinginan dalam rumusan


masalah dan dalam pembahasan. Dalam bab ini juga ditentukan tujuan dan manfaat
penelitian, selain juga dijelaskan dasar teoritik yang menjadi dasar dalam menentukan
pisau analisa yang akan dijawab dalam tulisan ini, sehingga terdapat kesesuaian antara
yang diharapkan dengan yang dilakukan penelitian. Kemudian juga disinggung
tentang beberapa nilai-nilai teoritik yang menjadi dasar penulis dalam melakukan
analisis yang berhubungan dengan teori-teori yang berhubungan dengan tema
penulisan tulisan ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini mengandung tiga unsur yaitu uraian dan penjelasan mengenai istilah- istilah
yang digunakan dan berhubungan dengan penelitian, dasar konsepsional yang
menjelaskan berbagai dasar hukum berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan
kerangka teoritis yang memaparkan pendapat para ahli atau sarjana mengenai hal-hal
yang bersangkutan dengan permasalahan yang diteliti.

BAB III
PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian data penelitian, sekaligus analisa peneliti terhadap data- data atau
bahan-bahan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji pada peneliti ini.

BAB IV
PENUTUP
Bab ini merupakan bab akhir dalam penulisan penelitian ini yang berisikan
kesimpulan dan saran. Kesimpulan adalah uraian peneliti mengenai hal-hal yang
dapat disimpulkan berdasarkan pembahasan serta analisa yang telah dirumuskan pada
bab sebelumnya. Sedangkan saran berupa rekomendasi kepada pihak-pihak yang
bersangkutan sesuai, dengan hasil kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
• Husein, Yunus dan Robert K. 2018. Tipologi dan perkembangan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Depok, PT Rajagrafindo Persada.
• Munir, Nurdiman, H. 2017. Pengantar Hukum Siber Indonesia. Depok, PT
Rajagrafindo Persada.
• Pemerintah Indonesia. 2008. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
Serta Transaksi Elektronik, atau Teknologi Informasi. Lembaran Negara RI Tahun
2008, No. 58. Sekretariat Negara. Jakarta.
• Pemerintah Indonesia. 2010. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lembaran Negara RI
Tahun 2010, No. 122. Sekretariat Negara. Jakarta.
• Pemerintah Indonesia. 2016. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubaha
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Serta Transaksi
Elektronik, atau Teknologi Informasi. Lembaran Negara RI Tahun 2016, No. 251.
Sekretariat Negara. Jakarta.
• Antara, Komang Alit dan I Gede Artha. 2019. “PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI
TRANSAKSI GAME ONLINE*”. Bali, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
• Krisnamurti, Hana. “PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
(MONEY LAUNDERING)”, diakses
dari https://media.neliti.com/media/publications/281767- pembuktian-tindak-pidana-
pencucian-uang-1900ff9e.pdf
• PPATK e-learning, Modul e-learning 1, “PENGENALAN ANTI PENCUCIAN
UANG DAN PENDANAAN TERRORISME”, diakses dari
http://elearning.ppatk.go.id/pluginfile.php/269/mod_page/cont ent/5/Mod%201%20-
%20Bag%202%20- %20Tipologi%20Pencucian%20Uang.pdf
• Putri Pertiwi, 2018. “CYBER-LAUNDERING, THE NEW FACE OF MONEY
LAUNDERING IN THE DIGITAL AGE”, diakses dari https://integrity-
asia.com/blog/2018/09/26/cyber-laundering-the-new-face-of- money-laundering-in-
the-digital-age/
• TIM PENYUSUN MODUL BADAN DIKLA T KEJAKSAAN R.I. 2019. “Modul
Tindak Pidana Pencucian Uang” diakses dari http://badiklat.kejaksaan.go.id/e-
akademik/uploads/modul/ddfa26ccba560b042bef5fbd4602836 9.pdf
• Wojciech Filipkowski, 2008. “Cyber Laundering: An Analysis of Typology and
Techniques.”, diakses dari https://www.sascv.org/ijcjs/wojciech.html

Anda mungkin juga menyukai