Anda di halaman 1dari 10

1. Apa yang dimaksud dengan deregulasi Perbankan Indonesia ?

Bagaimana itu
bisa terjadi?

2. Jelaskan kondisi perbankan sebelum dan sesudah dideregulasi?

3. Sebutkan ciri ciri perbankan di Indonesia pada saat deregulasi ?

4. Bagaimana kondisi perbankan pada saat pasca krisis di Indonesia?

Bagaimana kondisi perbankan di Indonesia sampai saat ini pada tahun 2020?
(jawab sesuai dengan pendapat anda masing – masing)

Jawaban :

1. Deregulasi adalah aturan/sistem (sistem yang mengatur) ,tindakan atau proses


menghilangkan mengurangi segala aturan. deregulasi menunjuk kebijakan pemerintah
mengurangi/meniadakan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak
modal,barang dan jasa.
Deregulasi perbankan adalah keadaan dimana terjadinya perubahan peraturan
dalam perbankan, khususnya di Indonesia. Hal ini terjadi karena belum tangguhnya
keadaan perbankan Indonesia, disebabkan perbankan Indonesia adalah warisan dari
negara penjajah di Indonesia sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mengelola
perbankan dengan baik dan Indonesia memang tidak didasari untuk belajar dari
negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur soal bank.

Deregulasi ini dimaksudkan dengan tujuan membuat suasana perbankan di


Indonesia lebih stabil. Maka dibuatlah kebijakan – kebijakan yang mengatur tentang
perbankan Indonesia. Mulai dari 1 juni tahun 1983 yang memberikan keleluasaan
kepada bank-bank untuk menentukan suku bunga deposito. Dilanjutkan dengan Paket
Kebijakan 27 Oktober.
1988 (Pakto 88) hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa
membuka bank baru sehingga pada masa itu meledaklah jumlah bank di Indonesia.
Lalu Paket Februari 1991 (Paktri) yang berupaya mengatur pembatasan dan
pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan
permodalan minimal 8 persen dari kekayaan sehingga diharapkan peningkatan
kualitas perbankan Indonesia. UU Perbankan baru No 7 menggarisbawahi soal
peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Hingga Pakmei
pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga dunia usaha tidak lesu lagi dan
industri otomotif bisa bergairah kembali, dan terakhir dikeluarkannya PP No 68 tahun
1996, PP ini sangat menguntungkan para nasabah karena nasabah bank akan tahu
persis rapor banknya.
1. Kondisi Sebelum Deregulasi

Perbankan masa ini sangat di pengaruhi oleh berbagai kepentingan ekonomi dan
politik dari penguasa, yang di dalam hal ini adalah pemerintah. Fungsi utama
perbankan pada masa setelah kemerdekaan sampai dengan sebelum adanya deregulasi
tidak banyak mengalami perubahan, dengan demikian fungsi utamanya adalah
sebagai berikut :

a) Memobilisasikan dana dari investor untuk membiayai kebutuhan dana


investasi dan modal kerja perusahaan – perusahaan besar.

b) Memberikan jasa – jasa keuangan kepada perusahaan – perusahaan besar.

c) Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan


pemerintah.

d) Menyalurkan dana anggaran untuk membiayai program dan proyek pada


sektor sektor yang ingin di kembangkan oleh pemerintah.

Bank-bank yang ada tidak secara tegas di arahkan untuk memobilisasikan dana
seluas-luasnya dari seluruh anggota masyarakat, dan juga tidak diarahkan untuk
mengembangkan perekonomian rakyat seluas-luasnya. Kebijakan yang terkait dengan
sektor perbankan hanya di tekankan pada kegiatan usaha-usaha besar dan program-
program pemerintah.
Selain karna pola kebijakan otoritas moneter pada waktu itu yang belum
mementingkan mobilisasi dana dari masyarakat luas, keadaan di atas juga disebabkan
oleh belum adanya perangkat peraturan dan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur dunia perbankan. Secara terperinci keadaan perbankan saat ini ialah sebagai
berikut :

a) Tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur secara jelas tentang


perbankan di Indonesia.

b) Kredit likuiditas Bank Indonesia ( KLBI ) pada bank-bank tertentu.

c) Bank banyak menanggung program-program pemerintah.

d) Instrumen pasar uang yang terbatas.

e) Jumlah bank swasta yang relative sedikit.

f) Sulitnya pendirian bank baru.


g) Persaingan antar bank yang tidak ketat.

h) Posisi tawar-menawar bank relative lebih kuat daripada nasabah.

i) Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit.

j) Bank bukan merupakan alternative utama bagi masyarakat luas untuk


menyimpan dan meminjam dana.

k) Mobilisasi dana lewat perbankan yang sangat rendah.

2. Kondisi Sesudah Deregulasi

Tingkat inflasi yang tinggi serta kondisi makroekonomi secara umum yang tidak
bagus terjadi bersamaan dengan kondisi perbankan yang tidak dapat memobilisasikan
dana dengan baik. Untuk mengatasi situasi yang serba tidak menguntungkan ini cara
yang di tempuh pemerintah pada waktu itu adalah dengan melakukan serangkaian
kebijakan berupa deregulasi di sektor riil dan di sektor moneter. Kebijakan deregulasi
yang tidak dilakukan dan terkait dengan dunia perbankan antara lain :

a) Paket 1 juni 1983 yang berisi tentang :



 Penghapusan pada kredit dan pembatasan aset lain.

 Pengurangan KLBI. 

 Pemberian kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga simpanan


dan pinjaman.

b) Bank Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI.

c) Bank Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan


fasilitas diskonto oleh BI.
d) Paket 27 Oktober 1988 yang berisi tentang :

 Pengerahan dana masyarakat yang meliputi :

1. Kemudahan pembukaan kantor bank.

2. Bank pemerintah, bank pembangunan daerah, bank swasta nasional,


dan bank koperasi dapat membuka cabang di seluruh wilayah Indonesia.

3. Kejelasan aturan pendirian bank swasta.

4. Modal disetor bank umum Rp. 10 Milliar.

5. Modal disetor BPR minimal 50 juta.

6. BPR dapat ditingkatkan menjadi bank umum..

 Efisiensi lembaga keuangan, yang meliputi hal – hal berikut :

1. BUMN dan BUMD bukan bank dapat menempatkan sampai dengan 50%
dananya pada bank nasional manapun.

2. Bank maksimum pemberian kredit (BMPK) bagi bank dan lembaga


keuangan bukan bank.

 Pengendalian kebijakan moneter, yang meliputu hal – hal sebagai berikut :

1. Likuiditas wajib minimum perbankan dan lembaga keuangan bukan bank


diturunkan dari 15% menjadi 2 % dari jumlah dana pihak ketiga.

2. SBI dan SPBU yang semula hanya berjangka waktu 7 hari, sekarang
ditambah dengan berjangka waktu sampai dengan 6 bulan.

 Pengembangan pasar modal, yang meliputi sebagai berikut :

1. Bunga deposito berjangka dan sertifikat deposito dikenakan pajak


penghasilan sebesar 15% agar dunia perbankan mendapat perlakukan yang
sama dengan pasar modal.

2. Penangguhan pengenaan pajak penghasilan terhadap bunga tabungan.


3. Perluasan modal bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat dilakukan
dengan penjualan saham baru melalui psar saham.

e) Paket 20 Desember 1988 yang berisi tentang : 

 Aturan penyelenggara bursa efek oleh swasta.

 Alternative sumber pembiayaan berupa sewa guna usaha, pajak, piutang,


modal ventura, perdagangan surat berharga.

f) Paket 25 Maret 1989 yang berisi tentang :



 Penyempurnaan paket sebelumnya

 Bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat memliki met open position
maksimum sebesar 25% dari modal sendiri.

g) Paket 29 Januari 1990 yang berisi tentang :

h) Paket 28 Februari 1991 yang berisi tentang :

i) UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan

j) Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank
meliputi :

 Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio).

 Batas maksimum kredit (BMPK).

 Kredit usaha kecil (KUK).

 Pembentukan cadangan piutang.

 Rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga (loan to deposite ratio).


3. Pada masa setelah deregulasi perbankan di Indonesia mempunyai ciri – ciri
sebagai berikut :

a) Peraturan yang memberikan kepastian hukum.

b) Jumlah bank swasta banyak bertambah.

c) Tingkat persaingan bank yang semakin kuat.

d) Kepercayaan masyarakat terhadap bank yang meningkat.

e) Mobilisasi dana melalui sektor perbankan yang semakin besar.

4. Kondisi Saat Krisis Ekonomi (1997-1998)

Deregulasi dan penerapan kebijakan – kebijakan lain yang terkait dengan sektor
moneter dan rill telah menyebabkan sektor perbankan leboh mempunyai kemampuan
untuk meningkatkan kinerja makro ekonomi di Indonesia. Mobilisasi dana melalui
perbankan menjadi lebih besar dan perbankan menjadi lebih besar peran sertanya
dalam menunjang kegiatan disektor rill melalui peningkatan produksi barang dan
jasa.
Deregulasi diatas ternyata kurang diimbangi dengan manajemen risiko perbankan
yang baik. Krisis ekonomi yang awalnya hanya dipandang sebagai krisis moneter ini
banyak menyebabkan perusahaan dalam kondisi perbankan di Indonesia sehingga
kondisi saat ini adalah :

a) Tingkat kepercayaan masayrakat dalam dan luar negeri terhadap perbankan


di Indonesia menurun drastis.

b) Sebagian besar bank dalam keadaan tidak sehat.

c) Adanya spread negative

d) Munculnya penggunaan peraturan perundangan yang baru

e) Jumlah bank menurun


Krisis perbankan yang demikian parah pada kurun waktu 1997 – 1998 memaksa
pemerintah dan Bank Indonesia untuk melakukan pembenahan di sektor perbankan
dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya
krisis. Langkah penting yang dilakukan sehubungan dengan itu adalah:

1. Memperkuat kerangka pengaturan dengan menyusun rencana implementasi


yang jelas.

2. Basel Core Principles for Effective Banking Supervision yang menjadi


standard internasional bagi pengawasan bank.

3. Meningkatkan infrastruktur sistem pembayaran dengan mengembangkan Real


Time Gross Settlements (RTGS).

4. Menerapkan Bank guarantee scheme untuk melindungi simpanan masyarakat


di bank.

5. Merekstrukturisasi kredit macet, baik yang dilakukan oleh BPPN, Prakarsa


Jakarta maupun Indonesian Debt Restrukturing Agency (INDRA).

6. Melaksanakan program privatisasi dan divestasi untuk bankbank BUMN dan


bank‐bank yang direkap.

7. Meningkatkan persyaratan modal bagi pendirian bank baru.

Pertumbuhan pesat yang terjadi pada periode 1988 – 1996 berbalik arah ketika
memasuki periode 1997 – 1998 karena terbentur pada krisis keuangan dan perbankan.
Bank Indonesia, Pemerintah, dan juga lembaga‐lembaga internasional berupaya keras
menanggulangi krisis tersebut, antara lain dengan melaksanakan rekapitalisasi
perbankan yang menelan dana lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27 bank dan
melakukan pengambilalihan kepemilikan terhadap 7 bank lainnya. Secara spesifik
langkah‐langkah yang dilakukan untuk menanggulangi krisis keuangan dan
perbankan tersebut adalah :

a. Penyediaan likuiditas kepada perbankan yang dikenal dengan Bantuan


Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

b. Mengidentifikasi dan merekapitalisasi bank‐bank yang masih memiliki


potensi untuk melanjutkan kegiata usahanya dan bank‐bank yang memiliki
dampak yang signifikan terhadap kebijakannya.
c. Menutup bank‐bank yang bermasalah dan melakukan konsolidasi perbankan
dengan melakukan marger.

d. Mendirikan lembaga khusus untuk menangani masalah yang ada di industri


perbankan seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)

e. Memperkuat kewenangan Bank Indonesia dalam pengawasan perbankan


melalui penetapan Undang‐Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia
yang menjamin independensi Bank Indonesia dalam penetapan kebijakan.

Meskipun istilah yang digunakan “deregulasi”, namun tidak berarti bahwa


perubahan yang dilakukan sepenuhnya berupa pengurangan pembatasan atau
pengaturan di dunia perbankan. Deregulasi lebih tepat diartikan sebagai perubahan-
perubahan yang dimotori oleh otoritas moneter untuk meningkatkan dunia perbankan
dan pada akhirnya juga diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor riil.

5. Sektor perbankan memiliki peranan penting dalam meredam dampak


pandemi Covid-19 yang telah merebak di Indonesia sejak Maret lalu. Pasalnya,
keringanan akan pembiayaan bank menjadi salah satu permintaan dari banyak
pihak kepada pemerintah untuk meringankan beban selama pandemi
berlangsung. Sebagaimana diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah
mengeluarkan kebijakan relaksasi kredit bagi para debitur perbankan sejak April
lalu.
Aturan yang tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor
11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan
Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19 itu pun berpotensi diperpanjang
hingga tahun depan.
Direktur Riset Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter
Abdullah menilai, saat ini kondisi sektor perbankan masih relatif terjaga dengan
baik. Hal itu terefleksikan dengan rasio kredit macet (Non Performing
Loan/NPL) dan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR)
perbankan nasional yang masih berada di level aman.
Berdasarkan data OJK, NPL perbankan hingga Juli lalu mengalami
kenaikan, ke level 3,22 persen. Namun, angka tersebut masih berada di bawah
batas aman, yakni sebesar 5 persen. “NPL bank, memang meningkat, tetapi
peningkatan masih di dalam range yang masih sangat aman, yaitu masih di
bawah 5 persen,” kata Piter dalam diskusi virtual.
Sementara itu , CAR perbankan nasional per Juli 2020 sebesar 23,1 persen,
naik jika dibandingkan dengan periode Juni 2020, yakni sebesar 22,59 persen. 
“Dengan kondisi NPL relatif terjaga, ini mengakibatkan CAR bank terjaga,” ujar
Piter. Lalu, jika dilihat rasio kredit terhadap simpanan (Loan to Deposit
Ratio/LDR) juga terus mengalmi penurunan. Pada Juli lalu, LDR perbankan
nasional berada di level 87,76 persen, turun dari bulan sebelumnya yakni sebesar
88,64 persen. “Artinya likuiditias bank masih sangat aman, masih sangat baik,”
katanya. Oleh karenanya, berdasarkan hasil realisasi-realisasi tersebut, Piter
menyimpulkan kondisi perbankan nasional saat ini masih berada di level aman.
“Kondisi perbankan kita ini masih sangat menggembirakan, karena masih jauh
dari kondisi yang perlu dikhawatirkan,” ucapnya.

Rendahnya Akses Perbankan Bisa Ganjal Digitalisasi Ekonomi

Pandemi Covid-19 mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih ramah


digital. Hasil survei konsumen Bank DBS pada Oktober 2020 menemukan, 66%
masyarakat berencana beralih berbelanja di e-commerce setelah pandemi.
Sebaliknya, hanya 24% yang berencana berbelanja di toko fisik usai pagebluk.
Dari sisi industri pun sama. Hasil survei DBS Digital Treasurer 2020 pun
menyatakan bisnis dalam negeri menempati peringkat ke-7 dalam pemanfaatan
digitalisasi di antara negara Asia Pasifik. Lembaga ini mencatat 26% perusahaan
Indonesia telah mempunyai strategi jelas untuk masuk ke ranah digital. Salah
satu perusahaan yang telah berhasil memaksimalkan ranah digital selama
pandemi Covid-19 adalah Bank Central Asia (BCA). Internet perbankan (i-
banking) dan perbankan selular (m-banking) telah menopang nilai transaksinya
dalam sembilan bulan terakhir. Keduanya tumbuh 4,1% dan 28,4% hingga
September 2020 dibandingkan periode sama tahun lalu. Sebaliknya, nilai
transaksi cabang turun 13,3% dan anjungan tunai mandiri (ATM) anjlok 13,8%.
Bank cabang hanya mengumpulkan Rp 9.213 triliun dan ATM sebanyak Rp
1.493 triliun.   Pemerintah pada Agustus 2019 telah merampungkan proyek
Palapa Ring yang berfungsi menyediakan koneksi internet pita lebar di 57
kabupaten/kota. Seluruhnya berada di daerah 3T (terluar, terdepan, dan terpencil)
yang selama ini tak menjadi perhatian perusahaan seluler. Artinya, secara
infrastruktur juga sudah mendukung.

Kondisi tersebut menjadi sinyal baik bagi Indonesia dalam mendigitalisasi


ekonomi. Sebuah hal yang menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto
bisa mengerek ekonomi digital sekaligus mencapai inklusifitas keuangan.
“Dengan digitaliasi, ekonomi tidak ada yang tertinggal,” katanya, Selasa (30/6).
Laporan e-Conomy SEA 2019, ekonomi digital Indonesia berpotensi mencapai
US$ 133 miliar pada 2025. Menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara.
Mengungguli Singapura yang kini menjadi primadona tujuan investasi digital
dunia di kawasan. Namun, Indonesia masih memiliki tantangan dari sisi
kepemilikan masyarakat terhadap layanan pembayaran perbankan. Sebuah hal
yang berpotensi menghambat proses transformasi, lantaran pembayaran dalam
ekosistem digital membutuhkan kepemilikan akun perbankan. Hasil survei
Katadata Insight Center (KIC) periode Oktober 2020 terhadap 1.155 responden
pengguna internet di 33 provinsi menyatakan, 26,8% responden belum memiliki
dan menggunakan layanan pembayaran perbankan dalam bentuk apapun.

Kepemilikan Masyarakat Terhadap Layanan Pembayaran Perbankan

Anda mungkin juga menyukai