Pengalaman
PATTIRO
dalam
mengelola
program
Community
Access
to
Information
(CATI)
menunjukkan
bahwa
terdapat
tiga
jenis
manfaat
dari
pelaksanaan
Undang-‐Undang
KIP
bagi
masyarakat
yaitu:
(a)
kemudahan
mengakses
informasi
publik4 ,
(b)
masyarakat
1
Program
Develompment
Unit
PATTIRO
2
Sumber:
Dit.
Komunikasi
Publik
–
Ditjen
IKP,
23
September
2014.
3
Penabulu
Aliiance
(2014),
Kajian
Warga
atas
Informasi
Anggaran
Daerah:
Studi
Pelaksanaan
Insturksi
Menteri
Dalam
Negeri
nomor
188.52/179/SJ/2012
tentang
Tranparansi
Pengelolaan
Anggaran
Daerah
4
Penerapan
aplikasi
Sistem
Informasi
Pejabat
Pengelola
Informasi
dan
Dokumentasi
di
Provinsi
NTB
(http://ntbprov.sip-‐ppid.net/index.php/document),
Kementerian
Dalam
Negeri
(http://ppid.kemendagri.go.id/document)
1
Derajat
manfaat
yang
diperoleh
masyarakat
juga
dipengaruhi
oleh
efektifitas
pendekatan
kolaboratif
(colaborative
engagement)
antara
masyarakat
dengan
badan
publik.
Informasi
publik
yang
diterima
masyarakat
akan
memunculkan
respon
berupa
tuntutan
perbaikan
pelayanan
publik
dan
pengawasan
penyelenggaraannya.
Selanjutnya,
feed
back
badan
publiklah
yang
menentukan
apakah
masyarakat
akan
mendapatkan
manfaat
atau
justru
sebaliknya.
Jika
badan
publik
responsif,
maka
tanggapan
masyarakat
akan
digunakan
untuk
mengevaluasi
praktik
penyelenggaraan
pelayanan.
Sebaliknya,
jika
badan
publik
menutup
diri,
maka
proses
bargaining
dan
saling
menekan
antara
masyarakat
dengan
badan
publik
akan
terjadi.
5
Pengalaman
di
Puskesmas
Kabupaten
Manokwari.
Dinas
pendidikan
Lombok
Barat
juga
mengakomodasi
usulan
CC
tentang
penanganan
siswa
miskin
yang
putus
sekolah,
bahwa
siswa
miskin
putus
sekolah
dapat
melanjutkan
pendidikannya
karena
pada
tahun
ajaran
baru
2014
mendapatkan
tambahan
uang
saku
Rp.
1.000.000,-‐
per
siswa
per
tahun.
6
CC
Kabupaten
Flotim
berhasil
melakukan
advokasi
agar
dana
Bantuan
Siswa
Miskin
(BSM)
yang
potong
di
SD
Inpres
Lewoneda
Desa
Kemutu
Kecamatan
Ile
Mandiri
dikembalikan
pada
siswa
bersangkutan.
Sebelumnya,
dana
BSM
dipotong
oleh
sekolah
dan
akan
digunakanakan
biaya
administrasi,
pemerataan
siswa
lainnya
yang
tidak
mendapat
BSM,
biaya
komite
sekolah
dan
seragam.
Disamping
pembatalan
pemotongan
BSM
juga
ada
komitmen
dari
pihak
sekolah
mengenai
pengelolaan
dana
BSM
yang
lebih
transparan.
Perubahan
perilaku
tersebut
terutama
dihasilkan
dari
kesadaran
CC
untuk
berinteraksi
dengan
unit-‐unit
layanan
2
maka
mereka
berhak
mengajukan
sengkata
melalui
komisi
informasi.
Keputusan
badan
publik
untuk
menutup
informasi
bisa
diuji
melalui
komisi
informasi
di
tingkat
pusat
atau
provinsi.
Asistensi
transparansi
badan
publik
oleh
PATTIRO
yang
selama
ini
diorientasikan
pada
pendekatan
akuntabilitas
administratif,
tidak
cukup
lagi
memenuhi
tuntutan
masyarakat
dan
perkembangan
teknologi
informasi.
Kepastian
akses
informasi
yang
bersumber
pada
penyelenggaraan
suatu
otoritas
publik
mulai
mendapatkan
tantangan
baru.
Komunitas
warga/masyarakat
mulai
mengembangkan
argumen
hak
atas
informasi
sebagai
hak-‐hak
universal
yang
melekat
pada
setiap
orang
(hak
asasi).
Pendekatan
ini
dikenal
dengan
rezim
hak
atas
informasi.
Negara
tak
boleh
menghalang-‐halangi
setiap
orang
untuk
mendapatkan
informasi
tersebut
sepanjang
tidak
mengancam
hak-‐hak
orang
lain.
4
menempatkan
akses
terhadap
data
tanpa
harus
melalui
proses
permintaan
terlebih
dahulu.
Data
yang
diperoleh
dalam
versi
masinal
dapat
diolah
kembali
oleh
pengguna
sehingga
menginspirasi
komunitas
lokal
dapat
mengembangkan
inisiatif
mereka
untuk
meperbaiki
kualitas
pelayanan
publik
melalui
skema-‐skema
kolaboratif.
Arah
percepatan
pelaksanaan
UU
KIP
pada
pemerintah
daerah
juga
didukung
oleh
pemerintah
pusat
yang
memiliki
keterkaitan
langsung
antara
lain
Kementerian
Dalam
Negeri,
Kementerian
Komunikasi
dan
Informatika,
Komisi
Informasi
Pusat,
dan
Unit
Kerja
Presiden
Bidang
Pengawasan
dan
Pengendalian
Pembangunan
(UKP4).
Pada
level
tertentu,
UKP4
memiliki
tingkat
pengaruh
yang
lebih
intensif
kepada
kementerian
dan
lembaga
pemerintah
pusat.
Sementara
Kementerian
Dalam
Negeri
cukup
intensif
mendorong
pelaksanaan
peraturan
pada
pemerintah
daerah.
Keterlibatan
masyarakat
sipil
pada
level
nasional
telah
mengungkit
praktik
transparansi
di
Indonesia
dalam
inisiatif
global
OGP.
Pada
tahun
2012,
Survey
Open
Budget
Index
(OBI)
menempatkan
Indonesia
sebagai
peringkat
kedua
di
Asia
setelah
Korea
Selatan
dalam
transparansi
dokumen
keuangan
negara.
Walapun
berhasil
pencapaian
tingkat
tranparansi
yang
tinggi
namun
tidak
secara
langsung
berdampak
pada
perbaikan
indeks
anti
korupsi.
Skema
anti
korupsi
sejatinya
dibangun
melalui
kerangka
logis
partisipasi
publik
secara
kolaboratif
oleh
warga
dan
sektor
privat
dalam
penyelenggaraan
urusan
negara.
Partisipasi
kolaboratif
ini
tidak
saja
berhenti
pada
diakomodasinya
aspirasi
dalam
5
Harus
diakui
bahwa
tatanan
pemerintahan
terbuka
yang
diharapkan
dari
inisiatif
global
OGP
ini
baru
pada
tahap
awal.
Resistensi
dari
kalangan
masyarakat
sipil
terutama
terkait
kesetaraan
atas
keterlibatan
(partisipasi)
mengemuka
pada
masa
awal.
Bahkan
dalam
agenda-‐agenda
OGP
Indonesia
masih
belum
seimbang
posisi
pemerintahan
dan
masyarakat
sipil.
Beberapa
kalangan
bahkan
memandang
OGP
lebih
sebagai
open
data
saja,
padahal
hal
itu
hanya
salah
satu
infrastruktur
bagi
terciptanya
pemerintahan
yang
terbuka.
Dalam
perkembangannya
resistensi
tersebut
mulai
berganti
dengan
rasa
kepemilikan
bersama
atas
agenda
OGP
Indonesia.
Indonesia
juga
belum
menemukan
pola
OGP
ini
pada
tingkat
sub
nasional
(provinsi/kabupaten/kota).
OGP
semestinya
menjadi
pengungkit
bagi
terciptanya
pemerintahan
terbuka
yang
berdampak
pada
upaya
perbaikan
pelayanan
publik
untuk
peningkatan
kesejahteraan.
Upaya-‐upaya
inovasi
harus
ditumbuhkan
baik
pada
pemerintahan
pusat
maupun
pemerintah
daerah.
Inovasi-‐inovasi
tersebut
juga
penting
untuk
direplikasi
dan
di-‐scalling
up
baik
pada
tingkat
nasional
maupun
internasional.
6