Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIKUM KEPERAWATAN ANAK PADA GANGGUAN


SISTEM ENDOKRIN

Oleh:

Lukmanul Hakim 1130017156

Nuril Husna 1130017157

Fatimahtuzzahro Salsabila 1130017158

Areta Salsabila N 1130017159

Noer Jamilah 1130017160

Nadjunda Sari 1130017163

PRODI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan ini dibuat dan disusun sebagai
bukti bahwa mahasiswa dibawah ini telah mengikuti praktikum pra ners
“keperawatan anak”.

Nama : - Lukmanul Hakim 1130017156

- Nuril Husna 1130017157

- Fatimahtuzzahro Salsabila 1130017158

- Areta Salsabila N 1130017159

- Noer Jamilah 1130017160

- Nadjunda Sari 1130017163

Kompetensi : Pra Ners Keperawatan Anak Pada Gangguan Sistem Endokrin.

Waktu Pelaksanaan :

Surabaya, Maret 2021

Dosen Pembimbing

(Ratna Yunita S, S.Kep., Ns., M.Tr.Kep)


LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Diabetes Melitus


1. Definisi Diabetes
Diabetes melitus berasal dari bahasa Yunani, yaitu diabetes yang
berarti “sypon” atau pembentukan urine yang berlebihan, serta mellitus
yang berasal dari kata “meli” yang artinya madu. Diabetes melitus
merupakan gangguan metabolism yang disebakan oleh beberapa faktor.
Diabetes melitus ditandai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat
gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, ataupun keduanya.
Diabetes melitus tipe 1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya
sekresi insulin akibat kerusakan sel beta pancreas yang didasari oleh
proses autoimun (Rustama dkk., 2010).

Menurut American Diabetes Association (2010) menjelaskan bahwa


Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
ditandai terjadinya hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin dan kerja
insulin atau kedua-duanya (Ndraha, 2014).Diabetes adalah penyakit serius
kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak menghasilkan cukup insulin
(hormon yang mengatur gula darah, atau glukosa), atau ketika tubuh tidak
dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan (World Health
Organization, 2016).
Diabetes melitus merupakan kondisi kronis yang terjadi ketika ada
peningkatan kadar glukosa dalam darah karena tubuh tidak dapat
menghasilkan atau cukup hormon insulin atau menggunakan insulin secara
efektif (International Diabetes Federation, 2017).
2. Klasifikasi

Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association 2010 dalam


(Ndraha, 2014) yaitu :

a) Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM


DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena
sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama
sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-peptida
yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi
klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.

b) Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes


Mellitus/NIDDM

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin


tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi
resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya
resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap
kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi
relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya
sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain
sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap
adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu
gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan
akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM
tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi. Sekitar 90-95%
penderita DM adalah tipe 2, DM tipe 2 ini adalah jenis paling
sering dijumpai. Biasanya terjadi pada usia diatas 40 tahun, tetapi bisa
pula timbul pada usia diatas 20 tahun (Tandra, 2017).
c) Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus,
penyakit autoimun dan kelainan genetik lain.
d) Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan
meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional
memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap
dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.
3. Epidemiologi
Insiden DM tipe 1 bervariasi di setiap negara. Insiden tertinggi DM
tipe 1 terdapat di Finlandia yaitu 43 dari 100.000 anak usia kurang dari 15
tahun. Di Amerika Serikat, didapatkan 215.000 anak dibawah usia 20
tahun mengalami DM tipe 1 pada tahun 2010, atau sekitar 1 dari 400 anak
di Amerika Serikat mengalami DM tipe 1 (Menke dkk., 2013). Insiden
DM tipe 1 di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, juga
diperkirakan akan terus meningkat. Insiden DM tipe 1 ini diperkirakan
akan terus meningkat sebanyak 3% setiap tahunnya. Hal ini dibuktikan
dengan adanya data Ikatan Dokter Anak Indonesia, dimana pada tahun
2007 jumlah anak usia 0-10 tahun yang menderita DM tipe 1 kurang dari
100 anak, sedangkan data pada akhir tahun 2009 menunjukkan
peningkatan jumlah anak yang menderita DM tipe 1 menjadi 674 anak
(Indonesia Pediatric Society, 2009, Rustana dkk., 2010). Data terakhir dari
sejak September 2009 hingga September 2018 terdapat 1213 kasus DM
tipe-1, paling banyak didapatkan di kota-kota besar seperti DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan. Pengumpulan data jumlah
kasus DM tipe-2 pada anak masih belum secara luas dilakukan
(Riskesdas, 2018).
4. Etiologi
Diabetes melitus tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta
pankreas yang diperantarai berbagai faktor. Faktor genetik dan dipicu oleh
faktor lingkungan diduga sebagai penyebab terjadinya proses autoimun
yang menyebabkan destruksi sel beta pankreas. Onset diabetes melitus
tipe 1 biasanya terjadi sebeum usia 25-30 tahun. Beberapa faktor
lingkungan yang diduga memicu terjadinya diabetes melitus tipe 1 antara
lain infeksi virus (rubela kongenital, mumps, dan sitomegalovirus),
radiasi, ataupun makanan (Rustama dkk., 2010).
5. Faktor Resiko
Peningkatan jumlah penderita DM sebagian besar DM tipe 2,
berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah, faktor risiko yang
dapat diubah dan faktor lain. Menurut American Diabetes Association
(2010) bahwa DM berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah
meliputi riwayat keluarga DM (first degree relative), umur >45 tahun,
etnik, riwayat melahirkan bayi berat badan lahir bayi >4000 gram atau <
2500gram, riwayat pernah menderita DM gestasional (Bennett 2008; Wild
et al. 2004). Faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan
IMT >25kg/m2 atau lingkar perut >80 cm untuk wanita, >90 cm pada
laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak
sehat (Giugliano and Esposito, 2012).
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita
Polycystic Ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolik memiliki
riwatyat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), memiliki riwayat penyakit
kardiovaskuler seperti stroke, Penyakit Jantung Koroner (PJK),
Peripheral Arterial Diseases (PAD), konsumsi alkohol, faktor stres,
kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein (Kahn,
Cooper and Del Prato, 2014).
6. Patofisiologi
Pada DM tipe 1 terjadi penurunan produksi dan sekresi insulin akibat
destruksi sel-sel beta pankreas oleh proses autoimun. Insulin memegang
peranan penting dalam proses sintesis cadangan energi sel. Pada keadaan
normal, insulin disekresikan sebagai respon terhadap adanya peningkatan
glukosa darah yang diatur oleh suatu mekanisme kompleks yang
melibatkan sistem neural, hormonal, dan substrat. Hal ini memungkinkan
pengaturan disposisi energi yang berasal dari makanan menjadi energi
yang akan dipakai ataupun disimpan dalam bentuk lain. Dengan
menurunnya produksi insulin pada DM tipe 1, cadangan glukosa tidak
dapat masuk kedalam hepar ataupun sel otot untuk disimpan
(glikogenesis) dan menimbulkan keadaan hiperglikemia post prandial
(sesudah makan) di dalam darah (Danescu dkk., 2009).

Menurunnya insulin post prandial pada DM tipe 1 akan mempercepat


proses katabolisme. Akibat glukosa yang tidak dapat memasuki hepar
ataupun sel otot, maka akan dikirimkan sinyal bahwa tubuh kekurangan
cadangan glukosa. Hal ini mengakibatkan tubuh memproduksi glukosa
dengan berbagai cara, yaitu glikogenolisis (pemecahan glikogen dalam
hepar untuk diubah menjadi glukosa) dan glukoneogenesis (proses
pembentukan glukosa dari bahan selain karbohidrat). Kedua proses
tersebut memperparah kondisi hiperglikemia yang sebelumnya telah
terjadi. Akan tetapi karena glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke
dalam sel hepar ataupun sel otot, maka hepar akan berusaha lebih keras
lagi untuk memproduksi glukosa. Selain itu juga akan terjadi proteolisis
(proses pemecahan cadangan protein dalam sel otot menjadi asam amino)
dan lipolisis (proses pemecahan lipid dalam jaringan adipose menjadi
gliserol dan asam lemak bebas). Keseluruhan proses tersebut akhirnya
menimbulkan kondisi hiperglikemia puasa (Rustama dkk., 2010).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi (>180 mg/dL),
ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar.
Hal ini mengakibatkan lolosnya glukosa tersebut dari proses rearbsorpsi
ginjal dan glukosa akan muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa
yang berlebihan diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik yang menyebabkan pasien mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria). Sebagai akibat dari kehilangan
cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami dehidrasi dan rasa haus
(polidipsia) (Homenta, 2012).

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang


berperan yaitu : resistensi insulin dan disfungsi sel P pankreas. DM tipe 2
bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel-sel
sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal
(Kahn, Cooper and Del Prato, 2014). Resistensi insulin banyak teijadi
akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa
hepatik berlebihan namun tidak terjadi pengerusakan sel- sel β langerhans
secara auto imun. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya
bersifat relatif dan tidak absolut (D’Adamo and Caprio, 2011).

Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel β menunjukan gangguan pada


sekresi insulin fase pertama, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi
kerusakan sel-sel β pankreas. Kerusakan sel-sel β pankreas akan terjadi
secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin, sehingga
akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita DM tipe 2
memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi
insulin dan defisiensi insulin (Kahn, Cooper and Del Prato, 2014).

7. Manifestasi Klinis

Peningkatan frekuensi (Poliuria) miksi merupakan konsekuensi


sekunder dari peningkatan diuresis-osmosis akibat hiperglikemia melewati
batas yang dapat di absorbsi oleh ginjal yang berkepanjangan, hal ini
mengakibatkan hilangnya banyak cairan elektrolit dan gula lewat urine.
Sering haus merupakankompensasi dari diuresis osmosis. Penurunan berat
badan total walaupun nafsu makan berlebihan (hiperphagia) sebagai tanda
umum pada N1DDM, penurunan berat badan ini di sebabkan oleh
kurangnya kadar air plasma dan trigliserida, ditambah dengan hilangnya
massa total otot akibat proses perubahan protein otot menjadi glukosa dan
benda keton karena jumlah insulin tidak cukup untuk memberikan energi
dalam bentuk glukosa kepada sel. Kekurangan energi ini dapat mencapai
50% dari total asupan kalori yang di konsumsi sehari. Sebagai contoh bila
seorang anak sehat berumur 10 tahun mempunyai kebutuhan kalori per hari
adalah 2000 kalori dengan asumsi sebagian besar kalori yang masuk adalah
karbohidrat maka jumlah kalori yang terbuang oleh urine lewat glikosuria
adalah 1000 kalori yang terdiri dalam bentuk air yang mungkin sekali
sebanyak 5L dan Glukosa sebanyak 250gr nilai ini mencakup 50% total
kalori sehari yang dikonsumsi. Kehilangan kalori yang begitu banyak ini di
kompensasi dengan keadaan hiperphagia dan bila hiperphagia masih belum
dapat mengkompensasi kebutuhan energi pasien terjadilah kelaparan
jaringan tubuh yang akhirnya akan memicu pemecahan lemak subkutan
menjadi glukosa yang memperberat keadaan hiperglikema. Sedangkan
penurunan volume plasma membawa akibat hipotensi postural. Pada anak
wanita yang menderita diabetes, monilial-vaginitis mungkin sekali
berkembang akibat dari glikosuria kronis.Turunnya kadar kalium total
tubuh dan katabolisme protein memberikan kontribusi penting pada
kelemahan fisik. Paresthesia mungkin saja terlihat pada saat diagnosis fase
awal onset subakut NIDDM. Pada saat defisiensi insulin berada pada fase
onset akut maka gejala klinis diatas akan berkembang menjadi lebih berat,
ketoacidosis eksaserbasi akut, hiperosmolalitas, dan dehidrasi akibat dari
naussea, vomitus, dan anorexia. Level kesadaran pasien bergantung pada
derajat hiperosmolalitas. Bila defisiensi insulin bergerak lambat dan
kebutuhan cairan dapat di jaga maka kesadaran pasien dapat terjaga dan
gejala klinis yang menyertai akan tetap minimal. Namun pada saat terjadi
vomitus sebagai respon perkembangan progresif yang buruk keadaan
ketoasidosis diikuti dengan memburuknya dehidrasi dan tidak adekuatnya
perawatan yang mengkompensasi osmolalitas serum untuk terus
beradapada level 320 - 330 mosm/L, maka pada keadaan ini kesadaran
pasien dapat menurun, dari keadaan stupor sampai koma. Fruity odor atau
terciumnya baumanis keton pada nafas pasien mengarahkan kecurigaan
pada keadaan diabetes keto-acidosis (DKA)

Perjalanan penyakit diabetes melitus tipe 1 melalui 4 tahapan sebelum


akhirnya menetap seumur hidup. Keempat tahapan tersebut adalah:

a. Tahap pre-diabetes

Fase pre-diabetes diawali dengan kerentanan genetik dan diakhiri


dengan kerusakan total sel beta pankreas. Kerusakan sel beta pankreas
ditandai oleh menurunnya sekresi C-peptide. Periode ini ditandai
dengan ditemukannya Islet cell autoantibodies (ICA), Glutamic acid
decarboxylas (GAD) autoantibodies, Insulin autoantibodies (IA), dan
IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine posphatase autoantibodies)
yang merupakan prediktor terhadap timbulnya diabetes klinis.
Ditemukannya lebih dari satu autoantibodi akan meningkatkan
kemungkinan timbulnya diabetes. Sebagai salah satu contoh, jika
terdapat IA2 dan GAD, maka risiko untuk menjadi DM tipe 1 dalam
kurun waktu lima tahun adalah sebesar 70% (Rustama dkk., 2010).

b. Tahap manifestasi klinis diabetes

Studi observasional jangka panjang menunjukkan bahwa gejala


klinis DM tipe 1 sangat bervariasi, mulai dari gejala klasik DM yang
muncul dalam beberapa minggu atau muncul sebagai ketoasidosis
diabetikum yang terjadi secara akut. Selain itu, penelitian Diabetes
Prevention Trial menunjukkan bahwa 73% pasien yang didiagnosis
DM tipe 1 tidak menunjukkan gejala klinis (Rustama dkk., 2010).

c. Tahap Remisi "Honeymoon"

Periode honeymoon ini merupakan periode remisi parsial akibat


berfungsinya kembali jaringan residual pankreas sehingga pankreas
mensekresikan kembali sisa insulin. Periode ini berakhir apabila
pankreas sudah menghabiskan seluruh sisa insulin. Secara klinis,
periode ini dicurigai bila seorang penderita baru DM tipe 1 sering
mengalami serangan hipoglikemia sehingga kebutuhan insulin harus
dikurangi untuk menghindari hipoglikemia. Periode ini berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu atau bulan setelah terapi
insulin. Kriteria periode "honeymoon" yaitu bila kebutuhan insulin
kurang dari 0,5 U/kgBB/hari dengan HbAlc <7%. Hal ini perlu
dijelaskan kepada keluarga yang biasanya menganggap fenomena ini
sebagai tanda-tanda kesembuhan serta perlu dijelaskan kepada keluarga
bahwa pada saat cadangan insulin sudah habis, penderita akan kembali
membutuhkan insulin dan mulai memasuki periode ketergantungan
total terhadap insulin (Rustama dkk., 2010).

d. Tahap ketergantungan terhadap insulin


Perjalanan penyakit dari periode "honeymoon" ke periode
ketergantungan insulin seumur hidup biasanya cukup lama, tetapi bisa
dipercepat dengan adanya penyakit lain. Terapi sulih insulin
merupakan satu-satunya pengobatan untuk DM tipe 1. Sebagian besar
penderita DM tipe 1 mempunyai riwayat perjalanan klinis yang akut.
Biasanya gejala poliuria, polidipsi, polifagia, dan berat badan yang
cepat menurun terjadi antara satu sampai dua minggu sebelum
diagnosis ditegakkan. Apabila gejala-gejala klinis ini disertai dengan
hiperglikemia maka diagnosis DM tipe 1 tidak diragukan lagi. Insiden
DM tipe I di Indonesia belum diketahui secara pasti, sehingga sering
terjadi kesalahan diagnosis yang mengakibatkan keterlambatan
diagnosis. Akibatnya pasien sering datang dengan ketoasidosis
diabetikum pada saat awitan diagnosis. Kesalahan diagnosis yang
sering terjadi adalah pola napas kusmaul disangka sebagai
bronkopneumonia atau dehidrasi disangka disebabkan oleh
gastroenteritis (Ghosh dkk., 2010).
8. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria (Perkeni, 2015).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
9. Tanda dan gejala
Gejala diabetes pada setiap penderita tidak selalu sama. Ada macam-
macam gejala diabetes, ada yang termasuk “gejala klasik” yaitu gejala khas
diabetes, dan yang tidak termasuk kelompok itu. Gejala Klasik yang
ditunjukkan meliputi: banyak makan (polifagia), banyak minum
(polidipsia), banyak kencing (poliuria), berat badan turun dan menjadi
kurus . Beberapa keluhan dan gejala klasik pada penderita DM tipe
(Kariadi, 2009) . yaitu :

a. Penurunan berat badan (BB) dan rasa lemah


Penurunan berat badan ini disebabkan karena penderita kehilangan
cadangan lemak dan protein digunakan sebagai sumber energi untuk
menghasilkan tenaga akibat dan kekurangan glukosa yang masuk ke
dalam sel
b. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin)
Kadar glukosa darah yang tinggi, jika kadar gula darah melebihi
nilai ambang ginjal (> 180 mg/dl) gula akan keluar bersama urine,
untuk menjaga agar urine yang keluar yang mengandung gula itu tidak
terlalu pekat, tubuh akan menarik air sebanyak mungkin kedalam urine
sehinga volume urine yang keluar banyak dan kencingpun menjadi
sering terutama pada malam hari
c. Polidipsi (peningkatan rasa haus)
Peningkatan rasa haus sering dialami oleh penderita karena
banyaknya cairan yang keluar melalui sekresi urin lalu akan berakibat
pada terjadinya dehidrasi intrasel sehingga merangsang pengeluaran
Anti Diuretik Hormone (ADH) dan menimbulkan rasa haus.
d. Polifagia (peningkatan rasa lapar)
Pada pasien DM, pamasukan gula dalam sel-sel tubuh berkurang
sehingga energi yang dibentuk kurung. Inilah sebabnya orang merasa
kurang tenaga dengan demikian otak juga berfikir bahwa kurang energi
itu karena kurang makan, maka tubuh berusaha meningkatkan asupan
makanan dengan menimbulkan rasa lapar. Kalori yang dihasilkan dari
makanan setelah dimetabolisasikan menjadi glukosa dalam darah, tidak
seluruhnya dapat dimanfaatkan sehingga penderita selalu merasa lapar.
10. Penatalaksanan
Pada DM tipe 1 tidak dapat disembuhkan tetapi kualitas hidup
penderita dapat di pertaruhkan seoptimal mungkin dengan mengusahakan
kontrol metabolik yang baik. Kontrol metabolik yang baik yaitu
mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam batas normal atau
mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan hipoglikemia. Walaupun
masih ada kelemahan, parameter Hb Aic merupakan parameter kontrol
metabolik standar pada diabetes mellitus tipe 1. Nilai HbAIc > 8%
dianggap buruk. Kriteria ini pada anak perlu disesuaikan dengan usia anak
mengingat semakin rendah HbAIc semakin tinggi risiko terjadinya
hipoglikemia (Ghosh dkk., 2010).

Menurut Rustama dkk., 2010, komponen pengelolaan DM tipe 1


meliputi:

a. Insulin
Insulin merupakan elemen utama kelangsungan hidup penyandang
DM tipe 1. Saat ini telah dikembangkan beberapa jenis insulin yang
memungkinkan pemberian insulin dalam berbagai maca, regimen.
Dosis pemberian insulin tergantung pada banyak faktor antara lain
usia, berat badan, status pubertas, hasil pemantauan kadar glukosa
darah dan HbAIc, lama dan fase diabetes, asupan makanan, pola
olahraga, dan rutinitas sehari-hari (Homenta, 2012).
Tabel 1.1 Jenis insulin berdasarkan profil kerjanya (Homenta, 2012)

Jenis Insulin Awitan Puncak Lama kerja


kerja
Meal Time Insulin
Insulin Lispro (Rapid acting) 5-15 menit 1 jam 4 jam
Regular (Short acting) 30-60 menit 2-4 jam 5-8 jam
Background Insulin
NPH dan lente (Intermediate 1-2 jam 4-12 jam 8-24 jam
acing) 2 jam 6-20 jam 18- 36 jam
Ultra Lente (Long acting) 2-4 jam 4 jam 24-30 jam
Insulin Glargine (Peakless Long
acting)
b. Diet
Pengaturan makanan segera dilakukan setelah diagnosis. Ada
beberapa cara untuk menghitung kebutuhan kalori, antara lain
berdasarkan berat badan ideal dan berdasarkan umur, jumlah kalori
yang dibutuhkan jika dihitung berdasarkan berat badan ideal
memerlukan data umur, jenis kelamin, tinggi adan dan berat badan
saat penghitungan serta data kecukupan kalori yang dianjurkan. Dapat
pula menggunakan penghitung berdasarkan umur yaitu bila anak
berusia 0 – 12 tahun mrnggunakan rumus 1000 + (usia dalam tahun x
100) kalori/ hari, sedangkan bila anak berusia lebih dari 12 tahun
menggunakan rumus 2000 kal/m². komposisi sumber kalori per hari
yang disarankan sebaiknya terdiri atas : 50 -55 % karbohidrat, 10-15%
protein ( semakin menurun dengan bertambahnya umur ), dan 30-35%
lemak. Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan kecil
dengan rincian 20 % berupa makan pagi, 10 % berupa makanan kecil,
25% berupa makan siang, 10 % berupa makanan kecil, 25% berupa
makan malam, dan 10% berupa makanan kecil (Harris dkk., 2005).
c. Olah raga
Pada penderita DM tipe 1 olahraga dapat membantu menurunkan
kadar glukosa darah, menimbulkan perasaan sehat dan meningkatkan
sensitivitas terhadap insulin, sehingga dapat mengurangi kebutuhan
terhadap insulin. Perlu diwaspadai bahwa olahraga pada penderita DM
tipe 1 dapat sebaiknya berolahraga teratur, dengan menentukan waktu,
lama, jenis, dan intensitas olahraga sebelumnya. Pemberian asupan
karbohidrat 1-3 jam sebelum berolahraga dan pemantauan terhadap
gula darah selama berolahraga wajib dilakukan untuk mencegah
terjadinya hipoglikemia (Ghosh dkk, 2010).
d. Edukasi dengan pemantauan mandiri
Salah satu tujuan dalam pengelolaan pasien DM tipe 1 adalah
kemampuan mengelolah penyakitnya secara mandiri. Pasien sendiri
dan keluarganya mampu mengukur kadar glukosa darahnya secara
cepat dan tepat. Pengukuran kadar glukosa darah beberapa kali dalam
sehari harus dilakukan untuk menghindari terjadinya hiperglikemia,
yang sangat penting untuk dapat menyesuaikan dosis insulin (Rustama
dkk., 2010).
11. Komplikasi

DM yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi


akut dan kronis. DM merupakan penyakit metabolik yang tidak dapat
disembuhkan, oleh karena itu kontrol terhadap kadar gula darah sangat
diperlukan untuk mencegah komplikasi baik komplikasi akut maupun
kronis. Lamanya pasien menderita DM dikaitkan dengan komplikasi akut
maupun kronis. Hal ini didasarkan pada hipotesis metabolik, yaitu
terjadinya komplikasi kronik DM adalah sebagai akibat kelainan metabolik
yang ditemui pada pasien DM (Waspadji, 2009). Semakin lama pasien
menderita DM dengan kondisi hiperglikemia, maka semakin tinggi
kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kronik. Kelainan vaskuler
sebagai manifestasi patologis DM dari pada sebagai penyulit karena erat
hubungannya dengan kadar glukosa darah yang abnormal, sedangkan
untuk mudahnya terjadinya infeksi seperti tuberkolosis atau gangrene
diabetic lebih sebagai komplikasi (Waspadji, 2009).
Menurut (Ernawati, 2013) komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu:
a. Komplikasi akut
Gangguan keseimbangan kadar gula darah dalam jangka waktu
pendek meliputi hipoglikemi, ketoasidosis diabeteik dan syndrome
HHNK (Koma hiperglikemik hiperosomolar nonketotik) atau
hyperosmolar nonketotik (HONK).

1) Hipoglikemi
Hipoglikemi merupakan keadaan gawat darurat yang dapat
terjadi pada perjalanan penyakit DM. glukosa merupakan bahan
bakar utama untuk melakukan metabolisme di otak. Sehingga kadar
glukosa darah harus selalu dipertahankan diatas kadar kritis,
merupakan salah satu fungsi penting sistem pengatur glukosa
darah. Hipoglikemi merupakan keadaan dimana kadar gula darah
abnormal yang rendah yaitu dibawah 50 hingga 60 mg/ dl (2,7
hingga 3,3 mmol/ L) (smeltzer & Bare, 2002). Seorang juga dikatan
hipoglikemi jika kadar glukosa darah < 80 mg/ dl dengan gejala
klinis.
2) Ketoasidosis diabetik (KAD)

KAD adalah keadaaan dekompensasi kekacauan metabolik


yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,
terutama disebebkan oleh defisiensi insulin absolut atau relative.
Keadaan komplikasi akut ini memerlukan penanganan yang tepat
karena merupakan ancaman kematian bagi penderita diabetes.
b. Komplikasi kronis dibagi menjadi 2 yaitu :
1) Komplikasi makrovaskuler
a) Penyakit arteri koroner
Penyakit arteri koroner yang menyebabkan penyakit jantung
koroner merupakan salah satu komplikasi makrovaskuler yang
sering terjadi pada penderita DM tipe 1 maupun DM tipe 2.
Proses terjadinya penyekit jantung koroner pada penderita DM
disebabkan oleh kontrol glukosa darah yang buruk dalam waktu
yang lama yang disertai dengan hipertensi, resistensi insulin,
hiperinsulinemia, hiperamilinemia, dislipedemia, gangguan
sistem koagulasi dan hiperhormosisteinemia.
b) Penyakit serebrovaskuler
Penyakit serebrovaskuler pasien DM memiliki kesamaan
dengan pasien non DM, namun pasien DM memiliki
kemungkinan dua kali lipat mengalami penyakit kardiovaskuler.
Pasien yang mengalami perubahan aterosklerotik dalam
pembuluh darah serebral atau pembentukan emboli ditempat lain
dalam sistem pembuluh darah sering terbawa aliran darah dan
terkadang terjepit dalam pembuluh darah serebral. Keadaan ini
dapat mengekibatkan serangan iskemia sesaaat Transient
Ischemic Attack (TIA)
c) Penyakit vaskuler perifer

Pasien DM beresiko mengalami penyakit oklusif arteri perifer


dua hingga tiga kali lipat diabandingkan pasien non DM. hal
ini disebabkan pasien DM cenderung mengalami perubahan
aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada ekstermitas
bawah. Pasien dengan gangguan pada vaskuler perifer akan
mengalami berkurangnya denyut nadi perifer dan klaudikasio
intermiten (nyeri pada pantat atau betis ketika berjalan). Penyakit
oklusif arteri yang parah pada ekstermitas bawah merupakan
penyebeb utama terjadinya ganggren yang dapat berakibat
amputasi pada pasien DM.
2) Komplikasi mikrovaskuler
a) Retinopati diabetik
Retinopati diabetik merupakan kelainan patologis mata yang
disebabkan perubahan dalam pembuluh darah kecil pada retina
mata, keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama merupakan
faktor risiko utama terjadinya retinopati diabetik.
b) Komplikasi oftalmologi yang lain
Katarak, peningkatan opasitas lensa mata pada penderita DM
sehingga katarak terjadi pada usia lebih muda dibandingkan
pasien non DM, dan perubahan lensa mata mengalami
perkembangan ketika kadar gula darah naik.
c) Nefropati
Merupakan sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai
dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) minimal dua kali
pemeriksaan dalam waktu tiga hingga enam bulan.
d) Neuropati diabetes
Adalah gangguan klinis maupun sublkinis yang terjadi pada
penderita DM tanpa penyebab neuropati perifer yang lain
(Konfrensi neuropati, Februari 1988 di San Antonio).
12. Pemantauan
Ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut
maupun kronis, baik dilakukan selama perawatan di rumah sakit maupun
secara mandiri dirumah, meliputi yaitu:
a. Keadaan umum dan tanda vital
b. Kemungkinan infeksi
c. Kadar gula darah (juga dapat dilakukan dirumah dengan
menggunakan glucometer) setiap sebelum makan utama dan
menjelang tidur malam hari.
d. Kadar HbAIC (setiap 3bulan).
e. Pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dL).
f. Mikroalbuminuria (setiap 1 tahun).
g. Fungsi ginjal.
h. Fundus untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi
setelah 3-5 tahun menderita DM tipe 1, atau setelah pubertas).
i. Tumbuh kembang. (Homenta, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. (2012). Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.


Diabetes Care, 35 (supplement 1) : S64-S71.

International Diabetes Federation. (2015). ‘Annual Report’, International Diabetes


Federation.International Diabetes Federation. (2017): Eighth edition 2017.

D’Adamo, E. and Caprio, S. (2011) ‘Type 2 diabetes in youth: epidemiology and


pathophysiology.’, Diabetes care. American Diabetes Association, 34 Suppl 2(Suppl 2),
pp. S161-5. doi: 10.2337/dc11-s212.

Danescu, LG, Levy, S & Levy J 2009, ‘Vitamin D and diabetes mellitus’. Endocrine, vol. 35, hh.
11–17.

Ernawati (2013) ‘Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu dengan Penerapan Teori


Keperatan Self Care Orem’. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Ghosh S, Golbidi S, Werner I, Verchere BC, Laher I. Selecting exercise regimens and strains
to modify obesity and diabetes in rodents: an overview. Clinical Science [Internet]. 2010
[cited 2013 Feb 2]; 119, 57– 74.

Giugliano, D. and Esposito, K. (2012) ‘Efficacy and safety of insulin lispro


protamine suspension as basal supplementation in patients with type 2 diabetes.’,
Therapeutic advances in endocrinology and metabolism, 3(3), pp. 99
– 108. doi: 10.1177/2042018812442949
Homenta, H. (2012). Diabetes Mellitus Type 1. Karya Tulis Biomedika Kedokteran.
Universitas Brawijaya

Kahn, S. E., Cooper, M. E. and Del Prato, S. (2014) ‘Pathophysiology and treatment of type 2
diabetes: perspectives on the past, present, and future’, The Lancet, 383(9922), pp.
1068–1083. doi: 10.1016/S0140-6736(13)62154-6.

Kariadi, S. H. (2009) Diabetes? siapa takut!!: Panduan lengkap untuk diabetisi,


keluarga, dan profesional medis. Available at:
https://books.google.co.id/books?id=XNTQ5i458cC&pg=PA35&dq=tand
a+gejala+diabetes&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjJ35TAuLreAhUaA3IK
HYijAuoQ6AEILTAB#v=onepage&q=tanda gejala diabetes&f=false (Accessed: 22 Maret
2021).

Ndraha, S. (2014). Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini’, 27(2), pp. 9–
16.
Perkeni. (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia.

Rikesdas. (2018). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Rustama, D.S., dkk., (2010). Diabetes Mellitus. Dalam: Jose RL. Batubara, dkk, Endokrinologi
Anak, Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Tandra, H. (2017). Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes -
Hans Tandra-Google Buku. Available at: https://books.google.co.id/books?
hl=id&lr=&id=espGDwAAQBAJ&oi=fn
d&pg=PP1&dq=pengertian+diabetes+menurut+idf&ots=VsK8oZmJg4&si
g=BCsKUoUDCNDE6NAx5JmkneRf1Y&redir_esc=y#v=onepage&q=pe
ngertian diabetes menurut idf&f=false (Accessed: 22 Maret 2021).

Waspadji, S 2009, ‘Komplikasi kronik diabetes, mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi
pengelolaan’, dalam Buku ajar penyakit dalam, jilid III, eds. 4, FK UI, Jakarta, hh. 1923-
1924.

World Health Organization (2016) ‘Global report on diabetes.’, World Health


Organization, 58(12), pp. 1–88. doi: 10.1128/AAC.03728-14.

Anda mungkin juga menyukai