Anda di halaman 1dari 88

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2021

UNIVERTSITAS PATTIMURA

ASFIKSIA NEONATORUM + HIPOTERMIA + INFEKSI NEONATORUM

OLEH :

Debby Sanders, S.Ked

2018-84-095

PEMBIMBING :

dr. Vivi Hartiono, Sp. A, MARS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA

RSUD DR. M. HAULUSSY

AMBON

2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Kematian neonatus masih menjadi masalah global yang penting. Setiap tahun

diperkirakan 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama dengan 85% kematian

terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan. Terkait masalah ini, World Health

Organization (WHO) menetapkan penurunan angka kematian bayi baru lahir dan

anak di bawah usia 5 tahun (balita), sebagai salah satu sasaran Sustainable

Development goals. Target untuk menurunkan angka kematian hingga sebesar 12

kematian bayi per 1000 kelahiran hidup dan kematian dibawah 5 tahun hingga

setidaknya 25/1000 kelahiran hidup diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030.1,2

Namun, angka kematian bayi berdasarkan Survei Demografi Kesehatan

Indonesia (SDKI) 2012 masih cukup tinggi dibandingkankan target tersebut, yaitu 34

per 1000 kelahiran hidup. WHO melaporkan komplikasi intrapartum, termasuk

asfiksia, sebagai penyebab tertinggi kedua kematian neonatus (23,9%) setelah

prematuritas dan berkontribusi sebagai 11% penyebab kematian balita di seluruh

dunia. Di Asia Tenggara, asfiksia merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga

(23%) setelah infeksi neonatal (36%) dan prematuritas/bayi berat lahir rendah

(BBLR) (27%). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 di Indonesia turut

melaporkan asfiksia sebagai 27% penyebab kematian bayi baru lahir. Selain itu,

asfiksia juga berkaitan dengan morbiditas jangka panjang berupa palsi serebral,

2
retardasi mental, dan gangguan belajar pada kurang lebih 1 juta bayi yang bertahan

hidup. Berbagai morbiditas ini berkaitan dengan gangguan tumbuh kembang dan

kualitas hidup yang buruk di kemudian hari.2

Termoregulasi atau pengaturan suhu tubuh pada bayi baru lahir (BBL)

merupakan aspek yang sangat penting dan menantang dalam perwataan BBL. Suhu

tubuh normal dihasilkan dari keseimbangan antara produksi dan kehilangan panas

tubuh. Salah satu masalah khusus pada bayi, terutama bayi kurang bulan (BKB)

adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan suhu tubuh normal. Banyak faktor

yang berperan dalam termoregulasi seperti umur, berat badan, luas permukaan tubuh

dan kondiis lingkungan. Bayi tidak seperti orang dewasa dalam beradaptasi dengan

perubahan suhu, oleh karena permukaan tubuh bayi yang lebih luas dibanding orang

dewasa, sehingga saat bayi terpapar dingin akan lebih banyak menggunakan energi

dan oksigen untuk mendapatkan kehangatan3

Hipotermia dapat disebabkan oleh karena terpapar dengan lingkungan yang

dingin (suhu lingkungan rendah, permukaan yang dingin atau basah), atau bayi dalam

keadaan basa atau tidak berpakaian. Banyak masalah khusus pada BBL yang terkait

dengan adaptasi yang belum sempurna, misalnya asfiksia, kelahiran prematur,

anomali kongenital serta hipotermia ataupun hipertermia yang dapat berkembang

kearah kegawatan dan menjadi salah satu gejala infeksi pada BBL.3

Infeksi neonatorum memilki insidensi 1-4/1000 kelahiran hidup di negara

maju. Keragaman insidensi dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan

prenatal, proses persalinan, dan kondisi lingkungan di ruang perawatan. Angka

3
kejadian infeksi neonatus meningkat secara bermakna pada bayi dengan BBLR dan

bila ada faktor risiko ibu atau tanda-tanda seperti ketuban pecah dini, demam

intrapartum (37,50C), leukosit ibu (>18.000), pelunakan uterus dan takikardi pada

janin (>180x/menit). Infeksi neonatorum memiliki beragam faktor risiko diantaranya

kelainan bawaan atau kongenital, prematuritas, anomali kongenital, omfalitis dan

bayi kembar.5,6

Infeksi neonatal menyebabkan sekitar 1 juta kematian neonatal per tahun

secara global. Insiden bervariasi dalam kisaran 5-170 / 1000 kelahiran hidup, lebih

umum di negara berkembang. Insiden tertinggi pada bayi dengan berat lahir sangat

rendah. Mayoritas infeksi pada bayi baru lahir terjadi di 24 jam pertama kehidupan.5,6

4
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : By. NR

Umur : 3 Hari

Jenis Kelamin : Laki-laki

BB/PB : 2900 gr / 48 cm

Alamat : Batu Merah

Anak : Ketiga

Tanggal lahir : 24/02/2021

Tanggal dijadikan kasus : 26/02/2021

2.2 Anamnesis

Alloanamnesa (oleh ibu kandung pasien)

Keluhan utama : Bayi tidak menangis pada saat lahir

Riwayat penyakit sekarang : Bayi laki-laki dilahirkan melalui Secio Sesarea (SC)

pukul 09.30WIT dengan indikasi plasenta previa dari ibu usia 34 tahun dengan

G3P2A0. Setelah bayi lahir bayi tidak menangis dan dilakukan RJP 2 siklus setelah

itu bayi menangis kuat, diberikan pemberian oksigen dan dipindahkan ke ruang

NICU. Bayi tampak lemas, sianosis (-), BAB (+)

5
Riwayat Penyakit dan Pengobatan Sebelumnya : (-)

Riwayat Kesehatan Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal

yang sama.

Riwayat Pribadi dan Sosial

a. Riwayat Kehamilan :

Riw keguguran (-), namun anak pertama meninggal dengan persalinan pervagina,

dan mengalami persalinan macet, anak kedua lahir normal dan sekarang sudah

berumur 8 tahun. Ibu pasien rutin kontrol kehamilan di puskesmas (ANC 2x) dan ke

dr.Sp.Og (ANC 3x), saat kunjungan ketiga kali, dokter menyarankan untuk dilakukan

SC karena terdapat plasenta yang mentupi jalan lahir. Riwayat konsumi obat-obatan

(+), pasien batuk-batuk, dan diberikan obat batuk serta pasien pernah diare dan gatal-

gatal ditangan, dan diberikan obat kemudian sembuh, pasien lupa nama obatnya.

Jamu-jamuan (-), ibu merokok (-), ayah merokok (+), ibu konsumsi alkohol (-).

Riwayat menderita penyakit infeksi TORCH (toxoplasmosis, other infection, Rubella,

Cytomegalovirus, Herpes) selama kehamilan (-). HT dan DM (-).

b. Riwayat Persalinan :

Pasien merupakan anak ke tiga dan dilahirkan secara SC pada tanggal 24 Februari

2021 pukul 09.30 WIT dengan indikasi plasenta previa. Setelah bayi lahir bayi tidak

menangis, APGAR Score 1/3, kemudian bayi hangatkan dan dilakukan suction, serta

pemberian O2 5 lpm/Neo puff dan dilakukan RJP 2 siklus

- 30 detik 1 bayi bernapas 1x, tapi belum menangis

6
- 30 detik 2 bayi menangis kuat dengan RR 5x/menit

Setelah itu bayi dipindahkan ke NICU. Berat badan lahir 2900 gram, panjang

badan 48cm. Ibu melahirkan dengan usia kehamilan 40 minggu. Air ketuban hijau

kental/cair/bau.

2.3 Pemeriksaan Fisik

STATUS GENERALIS

- Kesadaran : Compos Mentis

- Keadaan umum : Bayi lemas

- BB : 2900 gr

- PB : 48 cm

- Status Gizi : Gizi Baik (Z-Score-2SD sd +1SD)

VITAL SIGN

- Nadi : 136 x/menit

- Pernafasan : 64 x/menit

- Suhu : 350 C

- Tekanan darah :-

- SpO2 : Tanpa O2 92% ,  O2 0,5lpm : 99%

PEMERIKSAAN FISIK

- Kepala : Normosefal (35cm)

- Rambut : Hitam, tidak mudah di cabut

7
- Mata : Simetris, pupil isokor +|+, cahaya langsung

+|+, cahaya tidak langsung +|+,

palpebra edema +|+ konjungtiva: anemia -|-, ikterik -|-

- Telinga : Sektret (-)

- Hidung : Deviasi septum nasi (-)

- Mulut : Sianosis (-), tampak celah pada palatum, bibir kering

- Dagu : Micrognatia (-)

- Gusi : Bengkak (-)

- Lidah : Retraksi pada lidah, basah (+), pucat (-)

- Leher : Pembesaran KGB (-)

- Thorax : Pengembangan dada simetris

- Kulit : Dalam Batas normal

- Jantung

o Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

o Palpasi : Ictus cordis teraba

o Perkusi : Redup

o Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-),

gallop (-)

- Paru

o Inspeksi : Pengembangan dada simetris kanan-kiri, ada

retraksi subcostal minimal

8
o Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan (-)

o Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

o Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler, bunyi tambahan : rhonki

(+/+), wheezing (-/-)

- Abdomen :

o Inspeksi : Tampak abdomen datar

o Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

o Perkusi : Timpani, asites (-)

o Palpasi : Nyeri tekan (-), pembesaran organ : Hepatomegali (-)

- Ekstremitas : Edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik

- Genitalia : tidak ada kelainan

Pemeriksaan Neurologi :

- Refleks Fisiologis : KPR (+), APR (+), reflex hisap lemah

- Reflex Patologis : (-)

- Nervus Kranialis : tidak dilakukan pemeriksaan

- Tanda Rangsangan Meningeal : Kaku kuduk (-), Kernig sign (-), Brudsinki I-

IV (-)

2.4 Pemeriksaan penunjang (selama pasien dirawat)

(Tanggal 24 Februari 2021)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Darah Rutin
Hemoglobin 17,8 gr/dl 12,0-15,0 gr/dl

9
Hematokrit 56.5 % 37-43%(W)
Jumlah Leukosit 23.66x103/mm3 5,0-10,0 x103/mm3
Jumlah Trombosit 224x103/mm3 150-400x103/mm3

Darah kimia Hasil Nilai Rujukan


IT/Ratio 0,07 <0,2

Anti-SARS-CoV-2 IgG/IgM Non reaktif Non reaktif


(Spesimen : WB/Serum/Plasma)

2.5 Resume

Bayi laki-laki dilahirkan melalui Secio Sesarea (SC) pukul 09.30 WIT dengan

indikasi plasenta previa dari ibu usia 34 tahun dengan G3P2A0. Setelah bayi lahir

bayi tidak menangis dan dilakukan RJP 2 siklus setelah itu bayi menangis kuat, dan

kemudian diberikan oksigen dan dipindahkan ke ruang NICU. Bayi tampak lemas,

sianosis (-), BAB (+). Riwayat kehamilan ibu, anak pertama meninggal, persalinan

pervagina, dan mengalami persalinan macet. Riwayat sakit selama kehamilan (+)

batuk, diare dan gatal-gatal ditangan kemudian sembuh, riw konsumi obat-obatan (+),

obat batuk, obat gatal dan pasien lupa nama obat. Ayah merokok (+). Ibu melahirkan

dengan usia kehamilan 40 minggu. Berat badan lahir 2900 gram, panjang badan 48cm

Air hijau kental/cair/bau. Keadaan umum bayi tampak lemas, tanda-tanda vital nadi

136 x/menit, pernafasan 64 x/menit, suhu: 350 C, saturasi 99% dengan O2, tanpa O2

92%. Pada pemeriksaan fisik didapatkan retraksi subcostal minimal dan ronkhi pada

kedua paru. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hemoglobin 17,8 gr/dl, leukosit

23.66x103/mm3, hematokrit 56.5 %, trombosit 224x103/mm3. IT-ratio 0,07.

2.6. Diagnosis

- Asfiksia neonatorum

10
- Hipotermia

- Infeksi neonatorum

2.7. Diangosis banding

- Sepsis neonatorum

2.8. Tatalaksana

- Rawat Inkubator

- IVFD dextrose 10% 6 tpm

- O2 NS 0,5lpm, pasang CPAP di NICU

- Inj. Ampicillin 2x150 gr/iv

- Inj. Gentamicyn 1x15gr/iv

- Termoregulasi

2.9. Anjuran

- Evaluasi suhu bayi

- Pemeriksaan gula darah

2.10. Prognosis

- Quo Ad functionam: Dubia ad bonam

11
- Quo Ad vitam: Dubia ad bonam

- Quo Ad sanationam: Dubia ad bonam

2.11 Follow up

Hari/Tanggal/
SOA Planning
Tahun
S : Lemas, daya isap lemah, bayi di - Rawat incubator
rawat dalam incubator - IVFD D10% 6 tpm
O : Nadi 121x/menit - CPAP 0,5lpm
Rabu RR 72x/menit - Meropenen 3x100gr/iv (H1)
24/022021 Suhu 38,oC - Sanmol 3x0,3cc/iv
Pukul 18.27 SpO2 99% - Sufor 5-10 cc/2jam/ogt
Lapor dr vivi BB 2900gr (cekresidu)
via WA A:
HP+1 - Asfiksia neonatorum
- Hipertermia
- Infeksi neonatorum

S : Lemas, kembung (+), residu (-) - Rawat incubator


O : Nadi 104x/menit - IVFD D10% 8 tpm
RR 50x/menit - Meropenen 3x100gr/iv (H2)
Suhu 37 oC - Sanmol 3x0,3cc/iv
Kamis SpO2 98% - Interlac 1x5tetes
/25/02/ 2021 BB 2900gr - Sufor 10 cc/2jam/ogt
HP+2 A: (cekresidu)
- Asfiksia neonatorum - Lepas CPAP
- Hipotermia
- Infeksi neonatorum

Jumat S : Lemas, kembung (+), residu (-) - Rawat inkubator


26/02/ 2021 O : Nadi 150x/menit - O2 NS 0,5lpm
HP+3 RR 48x/menit - IVFD D10% 8 tpm
Suhu 36,8oC - Meropenen 3x100gr/iv (H3)
SpO2 98% - Interlac 1x5tetes

12
BB 2900gr - Sufor 10 cc/2jam/ogt
A: (cekresidu)
- Asfiksia neonatorum - Termoregulasi
- Hipotermia
- Infeksi neonatorum

S : Baik, kembung (+), residu (-) - Rawat incubator


O : Nadi 150x/menit - O2 NS 0,5lpm
RR 48x/menit - IVFD D10% 8 tpm
Suhu 37oC - Meropenen 3x100gr/iv (H4)
Sabtu SpO2 98% - Interlac 1x5tetes
27/02/2021 BB 2900gr - Sufor 12-15cc/2jam/ogt
HP4 A: (cekresidu)
- Asfiksia neonatorum - Termoregulasi
- Hipotermia
- Infeksi neonatorum

S : Bayi aktif, kembung (+) - Matikan incubator


residu (-) - O2 NS 0,5lpm
O : Nadi 130x/menit - IVFD D10% 8 tpm
Sabtu RR 46x/menit - Meropenen 3x100gr/iv (H5)
27/02/2021 Suhu 38oC - Sanmol 3x0,3cc/iv
(Pukul 19.15) SpO2 96% - Interlac 1x5tetes
Lapor dr vivi BB 2900gr - Amikasin 2x25mg/iv (H1)
via WA A: - Sufor 12-15cc/2jam/ogt
HP+4 - Asfiksia neonatorum - Termoregulasi
- Hipertermia
- Infeksi neonatorum

Minggu S : bayi lemah, kembung (+), daya - IVFD D10% 8 tpm


28/02/2021 isap baik - O2 NS 0,5lpm
HP+5 O : Nadi 130x/menit - Interlac 1x5tetes
RR 46x/menit - Amikasin 2x25mg/iv (H2)
Suhu 37oC - Sufor 15-20cc/2jam/ogt
SpO2 98% - Termoregulasi
BB 2900gr - Meropenen STOP

13
A:
- Asfiksia neonatorum
- Hipotermia
- Infeksi neonatorum

S : bayi lemah, kembung - IVFD D10% 8 tpm


berkurang, daya isap baik, bintik- - O2 NS 0,5lpm
bintik merah di badan - Interlac 1x5tetes
(ruam makulopapuler eritema - Amikasin 2x25mg/iv (H3)
pada wajah,dan badan) - Sufor 15-20cc/2jam/ogt
O : Nadi 130x/menit - Termoregulasi
Senin RR 46x/menit
1/032/021 Suhu 36,8oC
HP+6 SpO2 98%
BB 2900gr
A:
- Asfiksia neonatorum
- Hipotermia
- Infeksi neonatorum

S : bayi aktif, kembung(-), daya - IVFD D10% 8 tpm


hisap baik - O2 NS 0,5lpm
O : Nadi 130x/menit - Sufor 30-45cc/2jam/ogt
RR 46x/menit - Termoregulasi
Suhu 36,8oC - Interlac STOP
Senin SpO2 98% - Amikasin STOP
2/03/2021 BB 2900gr
H+7

A:
- Asfiksia neonatorum
- Hipotermia
- Infeksi neonatorum

14
S : bayi aktif, kembung (-), daya - Infus dilepas
hisap baik - Pasien Rawat Jalan
O : Nadi 140x/menit
RR 40x/menit
Suhu 36,7 oC
Selasa SpO2 98%
3/03/2021 BB 3150gr
H+8
A:
- Asfiksia neonatorum
- Hipotermia
- Infeksi neonatorum

LAMPIRAN FOTO PASIEN

BAB III

PEMBAHASAN TEORI

15
3.1 ASFIKSIA NEONATORUM

A. Definisi

Berdasarkan WHO asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara

spontan dan teratur segera setelah lahir. Berdasarkan Standar pelayanan medis ilmu

kesehatan anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI 2004) asfiksia neonatorum

adalah kegagalan bayi bernapas spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat

setelah lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis.1,2

Menurut American Academy of Paediatrics (AAP) dan American College of

Obstetric and Gynaecology (ACOG) (2004), asfiksia perinatal pada seorang bayi

menunjukan karakteristik berikut :3

1. Asidemia metabolik atau campuran (metabolik dan respiratorik) yang jelas,

yaitu pH<7, pada sampel darah yang diambil dari arteri umbilical

2. Nilai Apgar 0-3 pada menit ke 5

3. Manifestasi neurologi pada periode BBL segera, termasuk kejang, koma, atau

ensefalopati hipoksik iskemik

4. Terjadi disfungsi sistem multiorgan segera pada periode BBL

B. Epidemiologi

Angka kejadian asfiksia pada masing-masing negara sangat beragam. WHO

melaporkan insidens asfiksia bervariasi antara 2 - 27 per 1000 kelahiran, tergantung

16
pada lokasi, periode, dan kriteria definisi asfiksia yang digunakan. Asfiksia

dilaporkan terjadi pada 1- 4 per 1000 kelahiran hidup di negara maju dan 4 - 9 per

1000 kelahiran hidup di negara berkembang. Keadaan ini diperkirakan menyebabkan

21% kematian bayi, terutama di negara berkembang.1,2

C. Etiologi dan faktor risiko

Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan, atau sesaat

segera setelah lahir. Beberapa faktor risiko yang diperkirakan meningkatkan risiko

asfiksia meliputi faktor ibu (antepartum atau intrapartum) dan faktor janin (antenatal

atau pascanatal) (Tabel 1). Faktor risiko ini perlu dikenali untuk meningkatkan

kewaspadaan terhadap terjadinya asfiksia.2

Tabel 1. Faktor resiko asfiksia neonatorum2

Faktor Ibu Faktor Risiko


Antepartum  Sosioekonomi rendah
 Primipara
 Kehamilan ganda
 Infeksi saat kehamilan

17
 Hipertensi dalam kehamilan
 Anemia
 Diabetes mellitus
 Perdarahan antepartum
 Riwayat kematian bayi sebelumnya

Intrapartum  Penggunaan anestesi atau opiate


 Partus lama
 Persalinan sulit dan traumatic
 Meconium dalam ketuban
(Meconium-stained amniotic fluid/MSAF)
 Ketuban pecah dini
 Induksi oksitosin
 Kompresi tali pusat
 Prolapse tali pusat
 Plasenta previa
 Perdarahan intrapartum
 Trauma lahir

Faktor Janin
Antenatal  Malpresentasi (missal sungsang, distosia bahu)
(intrauterine)  Prematuritas
 Bayi berat lahir rendah (BBLR)
 Pertumbuhan janin terhambat (PJT)
 Anomaly kongenital
 Pneumonia intrauterine
 Aspirasi meconium yang berat

Pacanatal  Sumbatan jalan napas atas


 Sepsis kongenital

D. Patofisiologi

BBL mempunyai karakteristik yang unik. Transisi dari kehidupan janin

intrauterine ke kehidupan bayi ekstrauterin, menunjukan perubahan sebagai berikut.

Alveoli paru janin dalam uterus berisi cairan paru. Pada saat lahir dan bayi

mengambil napas pertama, udara memasuki alveoli paru dan cairan paru di absorbsi

oleh jaringan paru. Pada napas kedua dan berikutnya, udara yang masuk alveoli

bertambah banyak dan cairan paru diabsorbsi sehingga kemudian seluruh alveoli

berisi udara yang mengandung oksigen. Aliran darah paru meningkat secara dramatis.

18
Hal ini disebabkan ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan

tekanan akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru dan tekanan oksigen alveoli

ke duanya menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran

darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai beralih arah yang

kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus. Kegagalan penurunan resistensi

vaskuler paru menyebabkan hipertensi pulmonal persisten pada BBL (Persisten

Pumonary Hypertension of the Neonate), dengan aliran darah paru yang inadekuat

dan hipoksemia relative. Ekspansi paru yang inadekuat menyebabkan gagal napas.3

E. Diagnosis asfiksia pada bayi baru lahir

Fasilitas diagnostik pada sarana pelayanan kesehatan terbatas seringkali

menimbulkan kesulitan dalam mendiagnosis asfiksia sehingga beberapa negara

memiliki kriteria diagnosis asfiksia yang berbeda, disesuaikan dengan kondisi

kelengkapan fasilitas kesehatan masing-masing. Berikut ini merupakan kriteria

diagnosis asfiksia yang sering ditemukan :3,4

 ACOG dan AAP

ACOG dan AAP menyusun suatu kriteria penegakan diagnosis asfiksia

neonatorum, sebagai berikut :

19
1. Bukti asidosis metabolik atau campuran (pH <7,0) pada pemeriksaan darah
tali pusat
2. Nilai Apgar 0-3 pada menit ke 5
3. Manifestasi neurologis, seperti kejang, hipotonia atau koma (ensefalopati
neonates) dan
4. Disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardiovaskualer, gastrointestinal,
hematologi, respirasi, atau renal
Diagnosis asfiksia neonaorum dapat ditegakan apabila minimal 1 dari 4 kriteria

ditemukan pada bayi, namun hal ini sulit dipenuhi pada kondisi berbasis

komunitas dan fasilitas terbatas.

 WHO

WHO dalam ICD-10 menganggap bayi mengalami asfiksia berat apabila nilai

Apgar 0 - 3 pada menit pertama yang ditandai dengan:

1. Laju jantung (LJ) menurun atau menetap (<100kali/menit) saat lahir

2. Tidak bernapas atau mengap-mengap dan

3. Warna kulit pucat, serta tidak ada tonus otot

Kriteria ini disadari memiliki spesifisitas dan nilai prediktif kematian serta

kerusakan neurologis yang cenderung berlebihan (8 kali over diagnosis) bila

dibandingkankan dengan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, WHO juga

memberikan penjelasan diagnostik untuk tingkat pelayanan kesehatan komunitas

berdasarkan kriteria ACOG/AAP berikut ini.

Tabel 2. Kriteria diagnosis asfiksia neonatorum berdasarkan ACOG/AAP


dan standar emas di tingkat pelayanan kesehatan.2

20
No Kriteria Standar baku emas di tingkat pelayanan kesehatan
1 Bukti asidemia Analisis gas darah dengan pH <7,0 dan deficit basa 12 mmol/L
metabolic atau dalam 60 menit pertama
campuran (pH <7,0)
dari darah tali pusat
2 Nilai Apgar 0-3 menit Penilaian Apgar menit ke lima
kelima
3 Manifestasi neurologis Tingkat kesadaran, tonus, reflex isap, reflek primitive, reflex
(ensefalopati batang otak, keang, laju pernapasan
neonatus)
4 Disfungsi multiorgan - Sistem saraf : ensefalopati neonates, kelainan gambaran USG
- Sistem cardiovascular : kelainan LJ dan tekanan daran
(gangguan sirkulasi)
- Sistem pernapasan : apnea atau takipnea, kebutuhan suplemen
oksigen, bantuan napas tekanan positif atau ventilator mekanik
- Sistem urogenital : hematuria, oliguria, anuria, peningkatan
kreatinin serum
- Fungsi hati : peningkatan SGOT/SGPT
- Sistem hematologi : trombositopenis, peningaktan jumlah
retikulosit
Sumber : Lincetto O. Birth asphyxia- summary of the previous meeting and protocol overview; 2007. (dengan modifikasi)

Indonesia, sarana pelayanan kesehatan untuk neonatus bervariasi dari fasilitas

terbatas di daerah terpencil dan fasilitas ideal di kota-kota besar. Penetapan konsensus

definisi asfiksia harus dilakukan agar diagnosis dapat ditegakkan sesegera mungkin

agar mencegah keterlambatan tata laksana di Indonesia. Kriteria yang dipakai untuk

membantu penegakan diagnosis asfiksia neonatorum di Indonesia yang disusun dari

berbagai kepustakaan terlampir pada Tabel 3. Selain itu, beberapa pemeriksaan

laboratorium dasar juga dapat digunakan untuk menunjang diagnosis asfiksia

neonatorum pada fasilitas terbatas. Suatu studi melaporkan bahwa hitung sel darah

merah berinti (nucleated red blood cell /nRBC) dapat dijadikan penanda terjadinya

asfiksia sebelum persalinan dan selama proses kelahiran. Proses persalinan tanpa

komplikasi tidak akan mengubah nilai nRBC. Asfiksia perinatal perlu

21
dipertimbangkan bila ditemukan hitung nRBC/100 hitung sel darah putih (white

blood cell / WBC).2

Tabel 3. Rekomendasi kriteria penegakan diagnosis asfiksia neonatorum di Indonesia. 2

No Fasilitas ideal Fasilitas terbatas


*keempat kriteria harus *minimal kedua kriteria harus terpenuhi dengan
terpenuhi ketidaksediaan pemeriksaan analisis gas darah
1  Bukti asidemia metabolic atau Bukti riwayat episode hipoksia perinatal
campuran (pH <7,0) dari (misal episode gawat janin)
darah tali pusat
atau
 Defisit basa 16mmol/L
adalam 60 menit

2 Nilai Apgar ≤6 pada menit ke 10  Nilai Apgar ≤ 5 pada menit ke-10atau


 Bayi masih memerlukan bantuan ventilasi selama ≥
10 menit

3 Manifestasi neurologis seperti Manifestasi neurologis seperti kejang atau koma


kejang atau koma (ensefalopati (ensefalopati neonatus)
neonatus)

4 Disfungsi multiorgan, seperti Disfungsi multiorgan, seperti gangguan kardiovaskuler,


gangguan kardiovaskuler, gastrointestinal, hematologi, respirasi, atau renal
gastrointestinal, hematologi, - Sistem saraf : ensefalopati neonates, kelainan
respirasi, atau renal gambaran USG
- Sistem cardiovascular : kelainan LJ dan tekanan
daran (gangguan sirkulasi)
- Sistem pernapasan : apnea atau takipnea, kebutuhan
suplemen oksigen, bantuan napas tekanan positif
atau ventilator mekanik
- Sistem urogenital : hematuria, oliguria, anuria,
peningkatan kreatinin serum
- Fungsi hati : peningkatan SGOT/SGPT
- Sistem hematologi : trombositopenis, peningaktan
jumlah retikulosit

F. Tatalaksana

Penilaian pada bayi yang terkait dengan penatalaksanaan resusitasi, dibuat

berdasarkan keadaan klinis. Penilaian awal harus dilakukan pada semua BBL.

22
Penatalaksanaan selanjutnya dilakukan menurut hasil penilaian tersebut. Penilaian

berkala setelah setiap langkah resusitasi harus dilakukan setiap 30 detik.

Penatalaksaan dilakukan terus-menerus berkesinambungan menurut siklus menilai,

menentukan tindakan, melakukan tindakan, kemudian menilai kembali. Diagram alur

resusitasi BBL dapat dilihat pada gambar 1.3

Tujuan resusitasi BBL adalah untuk memperbaiki fungsi pernapasan dan jantung

bayi tidak bernapas.

 Teknik atau cara melakukan resusitasi BBL

Persiapan dan anitsipasi sebelum tindakan dan persipan petugas yang terampil

melakukan resusitasi. Semua petugas yang mendampingi kelahiran bayi harus

dilatih dalam keterampilan resusitasi BBL. Paling sedikit satu orang bertanggung

jawab untuk setiap satu bayi dan petugas ini tidak merangkap tugas lain bila

sedang melakukan asuhan BBL. Bila sudah diantisipasi kebutuhan resusitasi,

maka perlu disipakan petugas terampil resusitasi lebih dari satu orang.2,3

 Pencegahan infeksi dengan melakukan standar pencegahan infeksi

Setiap cairan tubuh harus dianggap sebagai bahan yang berpotensi menyebabkan

infeksi. Petugas harus mencuci tangan, memakai sarung tangan dan alat proteksi

lain seperti kacamata, celemek, dan baju khusus selama prosedur penanganan. 2,3

 Persiapan peralatan dan obat-obatan

Kebutuhan resusitasi tidak selalu dapat diperbaiki atau ditebak, tetapi dapat

diantisipasi. Karena itu peralatan dan obat untuk resusitasi yang lengkap harus

tersedia pada pasien setiap persalinan. Peralatan obat tersebut harus diperiksa

23
secara regular. Pada setiap akan berlangsung persalinan, peralatan untuk

resusitasi BBL harus diperiksa, diuji, dan diyakinan baik fungsinya. Demikian

pula obat untuk resusitasi BBL harus disiapkan dengan baik. 2,3

 Persiapan keluarga

Komunikasi dengan keluarga merupakan hal yang penting. Pada setiap

persalinan resiko tinggi diperlukan komunikasi antara para petugas yang merawat

dan bertanggung jawab terhadap ibu dan bayinya, suami atau keluarga. 2,3

 Persetujuan tindakan medik

Petugas seharusnya mendiskusikan rencana tatalaksana bayi dan memberikan

informasi kepada keluarga. Apabila keluarga sudah menyetujui tatalaksana atau

tindakan yang akan dilakukan, petugas meminta persetujuan tindakan medis

secara tertulis. 2,3

 Persiapan dan antisipasi untuk menjaga bayi tetap hangat

BBL mempunyai resiko mengalami hipotermia yang menyebabkan konsumsi

oksigen dan kebutuhan resusitasi. Karena itu, pencegahan kehilangan panas pada

BBL merupakan hal penting. Lingkungan/ruangan tempat melahirkan harus

dijaga suhunya supaya tidak menyebabkan bayi menderita hipotermia. Bila

resusitasi tidak diperlukan, bayi dapat diletakan ditubuh ibunya, didada atau

perut dengan cara kontak kulit ibu dengan kulit bayi. Bayi akan tetap hangat

karena sumber panas dari tubuh ibunya. 2,3

 Faktor resiko

24
Menilai faktor risiko bayi sangatlah penting, karena asfiksia dapat terjadi

antepartum dan intrapartum. 2,3

Tabel 4. Peralatan untuk resusitasi BBL

a. Perlengkapan penghisap
 Balon penghisap (Bulb syringe), alat pengisap lender
 Penghisap mekanik dengan selangnya
 Kateteter pengisap nomor 5F,6F,8F,10F,12F, dan 14F
 Pipa lambung nomor 8F dan spoit 20cc
 Penghisap meconium/konektor
b. Peralatan balon dan sungkup
 Balon resusitasi yang dapat memberikan oksigen sampai kadar 90%-100%
 Sungkup dengan ukuran untuk bayi cukup bulan dan kurang bulan (dianjurkan yang
memiliki bantalan dipinggirnya)
 Sumber oksigen dengan pengatur aliran (ukuran sampai 10L/menit) dan selang oksigen
c. Peralatan intubasi
 Laringoskop dengan daun lurus no.0 (bayi kurang bulan) dan no.1 (untuk bayi cukup bulan)
 Lampu cadangan dan baterai cadangan laringoskop
 Pipa endotrakeal no 2,5-3,0,3,5,4,0 mm diameter internal
 Stilet (bila tersedia)
 Plester atau alat fiksasi endotrakeal
 Kapas alcohol
 Alat pendeteksi CO2 atau kapnograd
 Sungkup laring (LMA) bila tersedia
d. Alat untuk memberikan oabt-obatan
 Pipa orogastrik no.5F
 Kateter umbilical no 3,5F, 5F
 Spoit 1,3,5,10,20,50ml
 Jarum ukuran 25,21,18 atau alat penusuk lain tanpa jarum
 Sarung tagan steril, scalpel/gunting, larutan yodium, pita/plaster/tape umbilical
e. Lain-lain
 Sarung tangan dan alat pelindung lain
 Alat pemancar panas atau sumber panas lainnya
 Alat resusitasi yang cukup keras
 Jam
 Kain (yang hangat)
 Stetoskop untuk neonates

25
 Plester
 Monitor jantung dan pulse oksimeter dengan probe serta elektrodanya (bila tersedia)
 Oropharingeal airways
f. Untuk bayi kurang bulan (bila tersedia)
 Sumber udara bertekanan
 Blender oksigen untuk mencampur oksigen dan udara tekan
 Pulse oksimeter dan probe oksimeter
 Kantung plastik makanan (1galon) atau pembungkus plastic yang dapat ditutup dan
transparan
 Alat pemanas kimia
 Incubator transport untuk mempertahankan suhu bayi ke ruang perawatan
Sumber : AHA and APP, textbook of Neonatal Resuscitation

Tabel 5. Obat-obatan untuk resusitasi BBL

Nama Obat
 Epinefrin 1 : 10.000 (0,1mg/mL)
 Kristaloid isotonic (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) untuk penambah volume
 Natrium bikarbonat 4,2% (5mEq/10ml)
 Nalokson hidroklorida
 Dekstrosa 10%
 Larutan NaCl 0,9% untuk bila
Sumber : AHA and APP, textbook of Neonatal Resuscitation

26
Gambar 1. Diagram alur resusitasi neonatus. 4

Penilaian BBL

Penilaian awal

Penilian awal dilakukan pada setiap BBL untuk menentukan apakah tindakan

resusitasi harus segera dimulai. Segera setelah lahir, dilakukan penilaian pada semua

bayi dengan cara petugas bertanya pada dirinya sendiri dan harus menjawab segera

dalam waktu singkat.2,3

27
- Apakah bayi lahir cukup bulan ?

- Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium ?

- Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis ?

- Apakah tonus otot baik ?

Bila semua jawab diata “Ya” berarti bayi baik dan tidak membutuhkan tindakan

rusisitansi. Pada bayi ini segera dilakukan Asuhan Bayi Normal. Bila salah satu atau

lebih jawaban “tidak”, berati bayi memerlukan tindakan resusitasi segera dimulai

dengan langkah awal rususitasi. 2,3

Skor Apgar adalah suatu metode sederhana yang digunakan untuk mengetahui

apakah bayi menderita asfiksia atau tidak dan yang dinilai adalah frekuensi jantung

(heart rate), pernafasan (respiratory), tonus otot (muscle tone), warna kulit (colour)

dan refleks ransangan (reflex irritability). 2,3

Skor Apgar, merupakan penilaian objektif kondisi bayi baru lahir, namun

tidak digunakan untuk menentukan kebutuhan, langkah, dan waktu resusitasi pada

bayi baru lahir. Nilai Apgar, yang umumnya ditentukan Resuscitation Program

(NRP), ACOG, dan AAP mengemukakan bila pada menit ke-5 nilai Apgar

ditemukan.pada menit ke-1 dan ke-5, merupakan penilaian respons terhadap

resusitasi. 2,3

28
Gambar 2. Diagram alur resusitasi neonates.2

Bayi yang memerlukan resusitasi

- Bila ada satu atau lebih dari 4 penilaian awal dijawab “tidak”, bayi memerlukan

tindakan resusitasi

- Bayi yang lahir kurang bulan mempunyai kecenderungan untuk lebih memerlukan

resusitasi karena beberapa hal berikut. Bayi kurang bulan mudah mengalami

hipotermia karena risiko luas permukaan dan masa tubuhnya relatif besar, lemak

subkutan sedikit, dan imunitas pusat pengatur suhu.

- Bayi yang lahir dengan ketuban bercampur meconium dan tidak bugar (ditandai

dengan depresi pernapasan, frekuensi jantung <100x/menit, dan tonuss otot

buruk), mungkin memerlukan pengisapan trakea setelah seluruh tubuh lahir.

Setelah penilaian awal dan tindakan yang perlu sudah dilakukan, penilaian bayi

dilakukan secara berkala selama proses resusitasi. Penilaian berkala selama resusitasi

didasarkan pada pernapasan, frekuensi denyut jantung, tonus otot, dan warna.

29
Evaluasi dan intervensi merupakan proses simultan terutama bila lebih dari seorang

resusitator hadir.2,3

Pernapasan

Setelah beberapa usaha pernapasan awal, bayi akan bernapas secara regular

dan mantap sehingga cukup untuk mempertahankan frekuensi jantung >100x/menit.

Bila frekuensi jantung tidak dapat dipertahankan lebih 100 kali/menit, ventilasi

tekanan positif perlu dilakukan. Retraksi atau cekungan didaerah iga bawah dan

sternum merupakan tanda penting bahwa bayi menderita kesulitan mengembangkan

paru. Bila ini terjadi, bayi akan lebih baik bila diberi ventilasi tekanan positif atau

continuous positive airways pressure (CPAP). Apnue yang menetap, terutama

berhubungan dengan hipotonia, dan frekuensi jantung <100x/menit merupakan tanda

serius dan bayi membutuhkan ventilasi tekanan positif.

Evaluasi gangguan napas

Definisi gangguan napas adalah suatu keadaan meningkatnya kerja pernapasan yang

ditandai dengan :

1. Takipnea : frekuensi napas >60-80x/menit

2. Retraksi : cekungan atau tarikan kulit antara iga (intercostal) atau dibawah

sternum (substernal) selama inspirasi

Evaluasi gangguan napas dapat digunakan Downes Score

30
Nilai Downe dapat membantu penolong resusitasi dalam menilai gawat napas dan

kebutuhan bantuan ventilasi pada bayi baru lahir. Interpretasi nilai Downe dapat

dilihat pada Tabel berikut.

Nilai 1-3 : Gawat pernapasan ringan (membutuhkan CPAP)

Nilai 4-5 : Gawat pernapasan sedang (membutuhkan CPAP)

Nilai >6 : Gawat pernapasan berat (pertimbangan intubasi)

Frekuensi denyut jantung

Frekuensi denyut jantung dapat diperiksa dengan mendengarkan pulsasi

jantung dengan memakai stetoskop, atau meraba pulsasi pada pangkal tali pusat. Bila

pulsasi tidak teraba pada pangkal tali, harus diperiksa dengan menggunakan

stetoskop. Oksimetri nadi dapat menunjukan gambaran yang akurat dan

berkesinambungan dari frukuensi denyut jantung dalam satu menit setelah lahir. Ini

merupakan bantuan yang berguna pada penilaian dan penangan BBL sakit.2,3

31
Tonus

Seorang bayi dengan tonus yang baik, yaitu terdapat gerakan ekstremitas

dengan postur fleksi, jarang menjadi buruk, sedangkan bayi yang lemas, yaitu tidak

ada gerakan dan postur ekstensi, lebih sering memerlukan resusitasi aktif. 2,3

Warna

Bayi yang normal secara bertahap warna kulit akan menjadi kemerahan

setelah menit-menit pertama kehidupan. Bayi yang diresusitasi secara efektif dengan

oksigen 100% akan menunjukkan warna kemerahan lebih cepat. Sianosis dapat sulit

dikenali. Sianosis dapat ditentukan dengan memeriksa bibir dan gusi. Tangan dan

kaki yang biru adalah keadaan normal ditemukan segera setelah lahir. Oksimeter nadi

yang dipakaikan pada tangan kanan dapat memberikan gambaran yang akurat dan

berkesinambugnan tentang saturasi oksigen pra duktus satu menit setelah lahir. Pucat

yang parah mungkin menunjukan anemia berat, hipovolemia, dan asidosis. Juga hal

ini terjadi pada bayi yang menderita hipotensi karena syok dan luaran (output)

jantung yang buruk.

Langkah awal resusitasi

 Indikasi

Bila salah satu atau lebih dari penilaian awal mendapat jawaban “tidak” langkah awal

resusitasi harus segera dilakukan

32
Langkah awal resusitasi terdiri dari tindakan berurutan sebagai berikut :

- Memberikan kehangatan

- Memposisikan bayi dan membuka/membersihkan jalan napas

- Mengeringkan, sambil merangsang

- Memposisikan kembali

- Menilai bayi

Memberikan kehangatan

Memberikan kehangatan untuk menghindari hipotermia dilakukan dengan

cara meletakan bayi diatas meja resusitasi dibawah pemancar panas. Tempat ini harus

sudah dihangatkan sebelumnya. Setelah membuka jalan napas dengan mengisap

lender, upaya mencegah kehilangan panas dilanjutkan dengan mengeringkan bayi lalu

menyingkirkan kain basah, dan membungkus bayi dengan kain/selimut yang hangat.

Bayi yang lahir dengan umur gestasi kurang dari 28 minggu dapat dibantu

untuk mempertahankan kehangatannya setelah lahir dengan cara berikut. Segera

setelah lahir, tanpa dikeringkan lebih dahulu bayi diletakan atau dibungkus dengan

kantong plastik polietilen yang tembus pandang, kepala bayi diluar kantong dan

ditutupi topi, sedangkan seluruh tubuh dibungkus plastik. Keadaan ini dipertahankan

selama petugas melakukan tindakan resusitasi yang diperlukan, sampai kemudian

bayi diletakan ditempat yang sesuai. Cara demikian pada saat ini dianjurkan sebagai

asuhan baku. Namun demikian dalam melaksanakan pencegahan hipotermia, harus

dihindari agar bayi tidak menjadi hipertemia. Pada prinsipnya bayi harus dalam

keadaan normotermi, yaitu suhu tubuh 36,5oC-37,5 oC.3

33
Meletakan bayi pada posisi yang benar

BBL harus diletakan terlentang dengan kepala pada psosisi menghidu atau

sedikitnya ekstensi. Bila usaha pernapasan ada tetapi tidak menghasilkan ventilasi

efektif (frekuensi denyut jantung ridak lebih dari 100kali/menit, jalan napas mungkin

tersumbat dan posisi kepala harus diperbaiki.3

Menghisap mulut dan farings

BBL normal tidak membutuhkan penghisapan dari mulut, hidung, atau farings

setelah lahir secara berlebihan. Bayi akan dapat membersihkan jala napasnya dengan

sendirinya secara efektif. Bila terdapat sekresi yang menyumbat jalan napas, secret

dapat dibersihkan dengan kateter pengisap yang mempunyai lubang besar (no.10-

12F). walaupun demikian, pengisapan farings dapat menyebabkan spasme larings,

trauma pada jaringan lunak, bradikardia, dan tertundanya pernapasan spontan. Oleh

karena itu, setiap pengisapan faring harus dilakukan hatihati. Bila dilakukan pada

BCB, lama pengisapan harus dibatasi dalam 5 detik dan tidak lebih dari 5 cm

dalamnya dari bibir bayi. Tekanan negative yang digunakan untuk pengisapan tidak

boleh melebihi 100 mmHg(13kPa;133cmH2O;1,9Psi).3

Tatalaksana jalan napas bayi dengan air ketuban bercampur mekonium

Pengisapan mulut dan faring intrapartum, yaitu setelah kepala lahir sebelum

bahu lahir, tidak membuat perbedaan pada bayi dengan cairan ketuban bercampur

mekonium dan karena itu tidak lagi direkomendasikan sebagai tatalaksana rutin.

Demikian pula intubasi secara rutin pada bayi dengan cairan amnion bercampur

34
mekonium dan bayi tidak bernapas atau mengalami depresi pernapasan dan

penurunan tonus otot, pengisapan meconium dari mulut dan farings harus dilakukan

segera dengan laringoskop langsung dan bila perlu diikuti dengan intubasi dan

pengisapan trakea. 3

Stimulus taktil

Pengeringan dan perangsangan sekaligus merupakan intervensi penilaian dan

resusitasi. Bila bayi gagal mempertahankan pernapasan spontan dan efektif dengan

meningkatkan frekuensi denyut jantung lebih dari 100x/menit, ventilasi tekanan

positif perlu dilakukan. Rangsang taktil dapat pula dilakukan dengan

menepuk/menjentik telapak kai dengan hati-hati, mengosok punggung dan perut.

Tindakan ini akan merangsang sebagain besar BBL untuk bernapas. Melakukan

rangsang taktil terus-menerus pada bayi yang apnea adalah berbahaya dan tidak boleh

dilakukan. Bila bayi tetap tidak bernapas, bantuan ventilasi harus segera dimulai.

Penilaian

Setelah langkah awal selesai dilakukan dan bayi sudah diposisikan kembali,

lakukan penilaian pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit. Bila bayi apneu atau

mengap-mengap atau frekuensi dibawah 100x/menit, lakukan ventilasi tekanan

positif. Bila pernapasan dan frekuensi jantung bayi memadai tetapi bayi sianosis

(sentral), berikan aliran oksigen aliran bebas. Oksigen aliran bebas dapat diberikan

dengan cara meletakkan sungkup oksigen melekat pada wajah bayi dengan pipa

oksigen diletakan didekat wajah bayi, atau dengan sungkup balon tidak mengembang

sendiri diletakan didekat wajah.3

35
Penggunaan Oksigen

Janin didalam rahim mempunyai saturasi oksihemoglobin rata-rata 60%,

sedangkan pada anak dan dewasa 95-100%. Penelitian obsevasional pada BCB

setelah persalinan tanpa komplikasi dan inisiasi bernapas, menunjukan secara normal

kebutuhan waktu beberapa menit, sampai lebih dari 10 menit, untuk mencapai

saturasi 90%. Panduan resusitasi menurut AAP dan AHA masih

memperbolehkan/merekomendasikan penggunaan oksigen 100% tetapi hanya

diberikan saat awal untuk waktu yang tidak lama. Bila resusitasi dilakukan dengan

menggunakan oksigen kadar kurang dari 100%, oksigen perlu dinaikan kadarnya

dapat sampai 100% bila tetap tidak ada perbaikan setelah 90 detik. Penggunaan

oksimeter sangat berguna.3

Tabel 6. Target saturasi sesuai usia bayi

Waktu setelah lahir Saturasi target (%)


untuk bayi baru lahir selama resusitasi
1 menit 60-65
2 menit 65-70
3 menit 70-75
4 menit 75-80
5 menit 80-85
10 menit 85-95
Sumber : Textbook of neonatal resuscitation. Foundations of neonatal resuscitation; 2016.

Kompresi dada

 Indikasi

36
Indikasi kompresi dada adalah LJ kurang dari 60 kali per menit (melalui

auskultasi atau palpasi pada pangkal tali pusat) setelah pemberian 30 detik VTP

yang adekuat.

 Tujuan

Mengembalikan perfusi, khususnya perfusi ke otak, memperbaiki insufisiensi

miokardium terkait asidemia, vasokonstriksi perifer, dan hipoksia jaringan.

 Cara atau teknik melakukan kompresi dada

1. Perlu dua orang yang bekerja sama untuk melakukan kompresi dada efektif, satu

menekan dada dan yang lain melanjutkan ventilasi. Orang yang melakukan

ventilasi mengambil posisi di kepala bayi agar sungkup wajah daapt ditempatkan

secara efektif atau untuk menstabilkan pipa endotrakeal dan memantau gerakan

dada yang efektif.

2. Lokasi kompresi dada

Kompresi dada dilakukan dengan meletakkan jari pada sepertiga bawah sternum,

di bawah garis imajiner yang menghubungkan kedua puting, dengan kedalaman

sepertiga diameter anteroposterior dada. Teknik yang dapat digunakan adalah :

a. Teknik dua ibu jari (two thumb-encircling hands technique) dengan jari-

jari tangan lain melingkari dada dan menyanggah tulang belakang. Teknik

dua ibu jari lebih dianjurkan karena teknik ini dapat memberikan tekanan

puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih baik pada bayi baru lahir.

Bila bayi bradikardia (LJ 60 kali per menit. setelah 90 detik resusitasi

37
menggunakan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen dapat

ditingkatkan hingga 100% sampai LJ bayi normal.2,3

b. Teknik dua jari

Pada teknik dua jari, ujung jari tengah dan telunjuk atau jari manis dari

satu tangan digunakan untuk menekan. Kedua jari tegak lurus didindiing

dada dan penekanan dengan ujung jari. Tangan lain harus digunakan untuk

menopang bagian belakang, dapat dirasakan tekanan dan dalamnya

penekanan dengan lebih mudah. Teknik dua jari lebih melalahkan

disbanding dengan teknik dua ibu jari.2,3

Kompresi dada dan ventilasi harus dilakukan secara sinkron dengan rasio 3:1

yaitu 90 kompresi dan 30 inflasi untuk mencapai 120 kegiatan tiap satu menit.

Kompresi dan inflasi harus terkoordinasi secara sinkron. Dada harus berkembang

penuh diantara dua kompresi. Satu kompresi terdiri dari satu tekanan ke bawah dan

satu pelepasn. Lananya tekanan ke bawah harus lebih pendek dari lamanya pelepasan

untuk memebrikan curah jantung yang maksimal. Ibu jari atau ujung jari jangan

diangkat dari dinding dada, tetapi harus tetap memberikan pengembangan dada

optimal.2,3

38
Gambar 3. Lokasi dan cara memberikan kompresi dada.2

3. Komplikasi

Kompresi dada data menyebabkan trauma pada bayi. Organ vital dibawah tulang

iga adalah jantung, paru, dan sebagian hati. Tulang rusuk juga rapuh dan mudah

patah. Kompresi harus dilakukan dengan hati-hati seupaya tidak merusak organ

dibawahnya.3

Cara Pemberian obat

Pemberian obat dapat diberikan melalui beberapa jalan yaitu :3

1. Vena umbilical. Cara tercepat untuk memberikan cairan dan dapat digunakan

untuk epinefrin, nalokson, dan atau natrium bikarbonat. Sebelum memberikan

obat, kateter diisi salin normal lebih dahulu

2. Pipa endotrakeal. Hanya epinefrin dapat diberikan melalui pipa endotrakeal

3. Vena perifer. Pemasangan vena perifer dapat sulit pada BBL yang syok dan

membutuhkan waktu lama

4. Intramuskuler. Selain melaui intravena, nalokson dapat diberikan intramuskular

39
5. Akses intaosesous. Umummnya jalur intraosesous tidak digunakan pada BBL

karena lebih cepat mengakses vena umbilicus, fragilitas tulang-tulang kecil, dan

kecilnya ruang intraoseus terutama bayi premature. Jalan ini dapat dipakai

sebagai alternative bila akses vena tidak didapat.

Obat yang diberikan

1. Epinefrin

Epinefrin hidroklorida (adrenalin hidroklorida) adalah obat pemicu jantung yang

meningkatkan kekuatan dan kontraksi otot jantung dan mengakibatkan

vasokonstraksi perifer, sehingga akan mengakibatkan meningkatkan aliran darah

melalui arteria koronari dan aliran darah ke otak.

Indikasi

Indikasi pemeberian epinefrin ialah bila frekuensi jantung kurang dari 60x/menit

setelah melakukan ventilasi tekanan positif secara efektif selama 30 detik dan

dilanjutkan ventilasi tekanan positif serta kompresi dada secara terkoordinasi selama

30 detik.

Epinefrin tidak diberikan sebelum ventilasi adekuat, karena :

- Waktu yang digunakan untuk pemberian epinefrin lebih baik digunakan untuk

ventilasi dan oksigenasi yang efektif

- Epinefrin akan meningkatkan beban dan konsumsi oksigen otot jantung, sehingga

bila kekurangan oksigen akan mengakibatkan kerusakan otot jantung

Dosis dan cara pemberian.

40
Epinferin larutan 1:10.000 direkomendasikan untuk BBL, diberikan secara

intravena. Pemberian melalui pipa endotrakeal lebih cepat, tetapi cara ini

mengakibatkan kadar dalam darah lebih rendah dan tidak dapat diprediksi sehingga

mungkin tidak efektif. Beberapa klinis mungkin memilih cara melalui pipa

endotrakeal sementara jalan vena embilikalis sedang disiapkan.3

Dosis epinefrin ialah 0,1-0,3 ml/kg berat badan (setara dengan 0,01-0,03

mg/kg berat badan) larutkan 1:10.000. perkirakan berat lahir. Bila diputuskan untuk

memberikan epinferin melalui pipa endotrakeal sementara jalur intravena sedang

disipkan, pertimbangan pemberian dosis lebih besar (0,3-1ml/kgBB). Beberapa

operator menggunakan kateter agar obat masuk lebih dalam kedalam pipa. Beberapa

ventilasi tekanan positif diberikan untuk mendistribusikan obat ke paru agar

diabsorbsi. Bila obar diberikan secara intravena melalui kateter, harus diikuti dengan

pemberian 0,5-1,0 ml garam fisiologis untuk membilas obat dan memastikan dapat

mencapai sirkulasi darah.3

Setelah pemberian epinefrin, diharapkan frekuensi jantung meningkat lebih

dari 60 kali/menit dalam waktu 30 detik setelah pemberian epinefrin. Bila dengan

dosis ini tidak terjadi peningkatan, epinefrin dapat diulang tiap 3-5 menit. Dosis

ulangan ini diberikan secara intravena, bila memungkinkan, dan pastikan bahwa

ventilasi dan kompresi dada terjadi efektif.3

2. Cairan penambah volume darah (plasma expander)

Indikasi

41
Bila bayi terlihat pucat, ada bukti kehilangan darah dan respon resusitasi baik,

harus dipikirkan kemungkinan kehilangan darah. Pada beberapa kasus dapat

disebabkan karena kehilangan darah ke sirkulasi maternal yang akan menunjukan

tanda-tanda syok tanpa bukti kehilangan darah yang berarti. Bayi yang mengalami

syok akan tampak pucat, pengisian kembali kapiler (CRT) melambat dan nadi lemah.

Dapat terjadi takikardia atau bradikardia persisten dan sering keadaan sirkulasi tidak

membaik. Cairan yang dianjurkan untuk mengobati hipovolemia akut adalah cairan

kristaloid isotonik, yaitu larutan garam fisiologis, larutan RL, atau darah O negatif.3

Dosis dan cara pemberian.

Dosis awal 10mg/kg dengan kecepatan 5-10 menit scara intravena. Bila bayi

menunjukan perbaikan yang minimal setelah pemberian dosis pertama, dapat

diberikan dosis tambahan lagi 10ml/kg.

3. Nalokson

Indikasi

Indikasi pemberian nalokson ialah bila bayi tetap mengalami depresi napas

setelah frekuensi jantung dan warna kulit menjadi normal dan ibu mendapat obat

narkotika pada 4 jam sebelum persalinan. Nalokson tidak dianjurkan diberikan

sebagai bagian dari resusitasi awal BBL dengan depresi pernapasan diruang bersalin.

Nalokson tidak boleh diberikan pada bayi dari ibu yang diduga menggunakan

narkotik karena dapat menimbulkan withdrawal sign.3

42
Dosis dan cara pemberian.

Dosis nalokson 0,1 mg/kg diberikan secara intravena atau intamuskular.

Setiap bayi yang diberikan nalokson karena depresi napas karena narkotik harus

dimonitor ketat untuk beberapa jam.

4. Natrium bikarbonat

Indikasi

Tidak terdapat data yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan

natrium bikarbonat ada resusitasi neonatus. Namun demikian, memperbaiki asidosis

intrakardiak dapat memperbaiki fungsi miokardium dan mendapatkan sirkulasi

spontan. Terdapat teori yang menyebutkan bahwa hiperosmolaritas dan kandungan

yang menghasilkan CO2 dari natrium bikarbonat dapat merusak fungsi miokardial dan

serebral. Obat ini hanya diberikan bila ventilasi dan kompresi dada adekuat tidak

efektif dalam memperbaiki sirkulasi. Penggunaan lebih dari satu dosis natrium

biakrbonat pada asidosis persisten, bila mungkin, digunakan berdasarkan hasil

analisis gas darah tepi.

Dosis dan cara pemberian :

Untuk BBL digunakan natrium bikarbonat 4,2%. Natrium bikarbonat 8,4%

mengandung 1mmol/L (1mEq/ml). cairan ini hyperosmolar dan perlu diencerkan 1:1

dengan air steril untuk membuat 4,2% (0,5mmol/L). larutan inipun masih

hyperosmolar. Dosis 1-2 mEq/kg diberikan secara intravena setelah ventilasi dan

perfusi adekuat dicapai, diberikan dalam kira-kira 2 menit yaitu 1 mEq/kg/menit.3

43
Resusitasi pada BBL pada beberapa kondisi khusus

- Resusitasi pada BKB sangat berisiko mengalami hipotermia. Pengawasan ketat

untuk mempertahankan suhu tubuhnya sangat penting. Beberapa ahli

merekomendasikan intubasi elektif dini, sedangkan beberapa ahli lain

merekomendasikan CPAP melalui sungkup atau nasal progs. Ahli lain lagi

menganjurkan intubasi elektif dan pemberian surfaktan dirunag bersalin untuk

semua bayi kurang dari 30-31 minggu, setelah langkah awal resusitasi dilakukan

secara berhasil. Ini kemudian dilanjutkan dengan ekstubasi dini digantikan dengan

CPAP. Kadar oksigen untuk bayi kurang bulan harus dilakukan secara lebih hati-

hati karena dapat menyebabkan cedera oksigen. Penggunaan oksimeter nadi

dianjurkan untuk memantau saturasi oksigen

- Efusi pleura atau asites (hydrops fetalis)

Efusi pleura dan sites saat lahir berhubungan dengan adanya ekspansi paru.

Ventilasi hamper sellalu dapat dicapai dengan tekanan lebih tinggi. Torakosintesis

lebih baik dilakukan setelah foto rontgen toraks dan atau pemeriksaan USG di

NICU dengan control monitoring ventilasi dan kardiorespirasi

- Pneumonia/sepsis

Pneumonia kongenital mempunyai karakteristik compliance paru yang sangat

buruk, dan membutuhkan tekanan ventilasi tinggi pada resusitasi untuk membuka

paru. Tampak seperti penyakit membrane hialin.

3.2 HIPOTERMIA

44
Termoregulasi adalah kemampuan untuk menyeimbangkan anatara produksi

panas dan hilangnya panas dalam rangka menjaga suhu tubuh dalam keadaan normal,

kemampuan ini sanglah terbatas pada BBL. Berdasarkan (AAP, ACOG, 1997), dan

(WHO, 2003) suhu tubuh normal (axila) adalah antara 36,5oC – 37,5oC. 8

A. Definisi

Berdasarkan WHO, hipotermia pada bayi BBL adalah suhu dibawah 36,5oC,

yang terbagi atas hipotermia ringan-sedang yaitu suhu antara 32-36,4oC, dan

hipotermia berat yaitu suhu tubuh <32oC.3,8

B. Faktor resiko

Bayi yang mempunyai risiko untuk terjadinya gangguan termoregulasi antara lain :3,8

- Bayi preterm dan bayi-bayi kecil lainnya yang dihubungkan dengan tingginya

rasio luas permukaan tubuh dibandingkan dengan berat badannya

- Penurunan lemak subkutan

- Bayi dengan kelainan bawaan khususnya dengan penutupan kulit yang tidak

sempurna, seperti pada menigomielokel, gastrokisis, omfalokel

- BBL dengan gangguan saraf sentral, seperti pada perdarahan intracranial, obat-

obatan, asfiksia

- Bayi dengan sepsis

45
- Bayi dengan tindakan resusitasi yang lama

- Bayi IUGR (Intra Uterine Growth Retardation) atau janin tumbuh lambat

C. Mekanisme kehilangan panas

BBL dapat mengalami hipotermi melalui beberapa mekansime, yang berkaitan

dengan kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan antara produksi panas dan

kehilangan panas.3,8

1. Penurunan produksi panas

Hal ini disebabkan kegagalan dalam sistem endokrin dan terjadi penurunan basal

metabolism tubuh, sehingga timbul proses penurunan produksi pans, misalnya

pada keadaan disfungsi kelenjar tiroid, adrenal ataupun pitutaria

2. Peningkatan panas yang hilang

Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan

panas. Adapun mekanisme tubuh kehilangan panas dapat terjadi secara :

a. Konduksi

Yaitu perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedaan suhu antara

kedua obyek. Kehilangan panas terjadi saat terjadi kontak langsung antara

kulit BBL dengan permukaan yang dingin. Sumber kehilangan panas terjadi

pada BBL yang berada pada permukaan/alas yang dingin, seperti pada waktu

proses penimbangan.

b. Konveksi

Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaan

kulit bayi dan aliran udara yang dingin dipermukaan tubuh bayi. Sumber

46
kehilangan panas disini dapat berupa : inkubator dengan jendela yang

terbuka, atau pada waktu proses transportasi BBL ke rumah sakit.

c. Evaporasi

Panas terbuang akibat penguapan, melalui permukaan kulit dan traktus

respiratorius. Sumber kehilangan panas dapat berupa BBL yang basah setelah

lahir, atau pada waktu dimandikan.

d. Radiasi

Perpindahan suhu dari suatu objek panas ke objek yang dingin, misalnya dari

bayi dengan suhu yang hangat dikelilingi suhu lingkungan yang lebih dingin,

misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat dikelilingi suhu lingkungan

yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu lingkungan

yang dingin atau suhu ikubator yang dingin.

47
Gambar 5. Mekanisme kehilangan panas pada bayi baru lahir.8

3. Kegagalan termoregulasi

Kegagalan termoregulasi secara umum disebabkan kegagalan hipotalamus dalam

menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab. Keadaan hipoksia

intrauterine/saat persalinan/post partum, defek neurologik dan paparan obat

prenatal (analgetik/anestesi) dapat menekan respons neurogik bayi dalam

mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan mengalami masalah dalam

pengaturan suhu tubuh dapat menjadi hipotermi atau hipertermi

D. Patofisiologi

Suhu tubuh diatur dengan mengimbangi produksi panas terhadap kehilangan

panas. Bila kehilangan panas dalam tubuh besar dari pada laju pembentukan panas

maka akan terjadi penurunan suhu tubuh. Begitu juga sebaliknya bila pembentukan

panas dalam tubuh lebih besar daripada kehilangan panas, timbul panas didalam

tubuh dan suhu tubuh akan meningkat.3

Gangguan salah satu atau lebih unsur-unsur termoregulaasi akan meningaktkan

suhu tubuh berubah, menajdi tidak normal. Apabila terjadi paparan dingin, secara

fisiologi tubuh akan memberikan respons untuk mengahasilkan panas berupa:3

1. Shivering thermoregulation/ST

48
Merupakan mekansime tubuh mengigil atau gemetar secara involunter akibat dari

kontraksi otot untuk menghasilkan panas.

2. Non- Shivering thermoregulation/NST

Merupakan mekanisme yang dipengaruhi oleh stimulasi sistem saraf simpatis

untuk menstimulasi proses metabolic dengan melakukan oksidasi terhadap jaringan

lemak coklat akan meningkatkan produksi panas dari dalam tubuh.

3. Vasokontriksi perifer

Mekanisme ini juga distimulasi oleh sistem saraf simpatis, kemudian sistem daraf

perifer akan memicu oot sekitar arteriol kulit untuk berkontraksi sehingga terjadi

vasokontriksi. Keadaan ini efektif untuk mengurangi aliran darah ke jaringan kulit

dan mencegah hilangnya panas yang tidak berguna.

Pada orang dewasa, pengaturan suhu tubuh untuk melawan kehilangan panas

dicapai oleh suatu sistem yang kompleks yaitu hipotalamus, sadangkan pada byi,

respon fisiologi terhadap paparan dingin adalah dengan proses oksidasi dari lemak

coklat atau jaringan adiposa coklat. Pada bayi BBL, NST (proses oksidasi lemak

coklat) adalah jalur yang utama dari suatu peningkatan produksi panas yang cepat,

sebagai reaksi atas paparan dingin. Sepanjang tahun pertama kehidupan, jalur ST

mengalami peningkatan sedangkan untuk jalur NST selanjutnya akan menurun.

Jaringan lemak coklat berisi suatu konsentrasi yang tinggi dari kandungan

trigliserida, merupakan jaringan yang kaya kapiler dan dengan rapat diinervasi oleh

49
syaraf simpatik yang berakhir pada pembuluh-pembuluh darah balik dan pada

masing-masing adiposit. Masing-masing sel mempunyai banyak mitokondria, tetapi

yang unik disini adalah proteinnya terdiri dari protein yang tidak berpasangan yang

mana akan membatasi enzim dalam proses produksi panas. Dengan demikian, akibat

adanya aktifitas dari protein ini, maka apabila lemak coklat dioksidasi akan terjadi

produksi panas, dan bukan energi yang kaya ikatan fosfat seperti pada jaringan

lainnya. Noradrenalin akan merangsang proses lipolisis dan aktivitas dari protein tak

berpasangan, sehingga dengan begitu akan menghasilkan panas.3

Meskipun paparan dingin telah terbukti merupakan salah satu keadaan yang

meniginisiasi timbulnya pernapasan pada saat kelahiran, serta dalam beberapa

penelitian dilaporkan bahwa paparan dingin dapat digunakan untuk mengurangi risiko

terjadinya kerusakan permanen sel-sel otak pada bayi-bayi dengan ensefalopati

iskemik hipoksik, tetapi disisi lain paparan dingin yang berkepanjangan harus

dihindarkan oleh karena dapat menimbulkan efek samping serta gangguan gangguan

metabolic yang berat. Segera setelah lahir, tanpa penangann yang baik, suhu tubuh

bayirata-rata akan turun 0,1-0,3oC setiap menitnya, WHO menyebutkan bahwa BBL

yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat, suhunya akan turun 2-4 oC dalam 10-

20 menit kemudian setelah kelahiran.3

E. Konsekuensi hipotermia pada bayi baru lahir

Mengobati hipotermia pada bayi baru lahir penting dilakukan untuk

menghindari komplikasi yang serius dan berpotensi mengancam nyawa. Peningkatan

50
metabolisme sel terjadi saat bayi baru lahir mencoba untuk tetap hangat, yang

menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen, yang membuat bayi baru lahir berisiko

mengalami hipoksia, komplikasi kardiorespirasi, dan asidosis. Bayi baru lahir ini juga

berisiko mengalami hipoglikemia karena peningkatan konsumsi glukosa yang

diperlukan untuk produksi panas. Komplikasi neurologis, hiperbilirubinemia,

gangguan pembekuan, dan bahkan kematian dapat terjadi jika hipotermia yang tidak

diobati berlanjut. Mengobati hipotermia pada bayi baru lahir adalah penting untuk

menghindari komplikasi yang serius dan berpotensi mengancam nyawa.3

Gambar 6. Efek dari hipotermi pada bayi baru lahir.8

51
F. Tanda dan Gejala

Hipotermi ditandai dengan akral dingin, bayi tidak mau minum, kurang aktif,

kutis mamorata, pucat, takipnea, atau takikardia. Sedangkan hipotermi yang

berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen,

distress respirasi, gangguan kesimbangan asam basa, hipoglikemia, defek koagulasi,

sirkulasi fetal persisten, gagal ginjal akut, enterokolitis nekrotikan, dan pada keadaan

yang berat menyebabkan kematian.3

G. Diagnosis

Dignosis hipotermi ditegakan dengan pengukuran suhu. Pengukuran suhu

bermanfaat sebagai salah satu petunjuk penting untuk deteksi awal adanya suatu

penyakit, dan pengukurannya dapat dilakukan melalui aksila, rektal atau kulit.

Melalui aksila merupakan prosedur pengukuran suhu bayi yang dianjurkan, oleh

karena mudah, sederhana dan aman, tetapi pengukuran melalui rektal sangat

dianjurkan untuk dilakukan pertama kali pada semua BBL, oleh karena sekaligus

sebagai tes skrining untuk kemungkinan adanya anus omperforatus. Pengukuran suhu

rektal tidak dilakukan sebagai prosedur pemeriksaan yang rutin kecuali pada bayi-

bayi sakit.3

52
Tabel 7. Klasifikasi suhu tubuh abnormal.3

53
H. Penatalaksanaan

Kesempatan untuk bertahan hidup pada BBL ditandai dengan keberhasilan

usahanya dalam mencegah hilangnya panas dari tubuh. Untuk itu, BBL haruslah

dirawat dalam lingkungan suhu netral (Neutral Thermal Environment/NTE).3

1. Hipotermia berat

 Segera hangatkan bayi dibawah pemancar panas yang telah dinyalakan

sebelumnya bila mungkin. Gunakan incubator ruangan hangat, bila perlu

 Ganti baju yang dingin dan basa bila perlu. Beri pakaian yang hangat, pakai

topi dan selimut dengan selimut hangat

 Hindari paparan panas yang berlebihan dan psosisi bayi sering diubah

 Bila bayi dengan gangguan napas (frekuensi napas lebih darii 60 atau kurang

30kali/menit, tarikan dinding dada, merintih saat ekspirasi) lakukan

menajemen gangguan napas

 Pasang jalur IV dan beri cairan IV sesuai dengan dosis rumatan, dan infus

tetap terpasnag dibawah pemancar panas, untuk menghangatkan cairan

 Priksa kadar glukosa darah, bila kadar glukosa darah kurang 45 mg/dl

(2,6mmol/L), tangani hipoglikemia

 Nilai tanda kegawatan pada bayi (misalnya gangguan napas, kejang atau tidak

sadar) setiap jam dan nilai juga kemampuan minum setiap 4 jam sampai suhu

tubuh kembali dalam batas normal

 Ambil sample darah dan beri antibiotic sesuai dengan yang disebutkan dalam

penanganan kemungkinan besar sepsis

54
 Anjurkan ibu menyusui segera setelah bayi siap :

- Bila bayi tidak dapat menyusui, beri ASI peras dengan menggunakan

salah atu alternative cara pemberian minum

- Bila bayi tidak menyusu sama sekali, pasang pipa lambung dan beri ASI

peras begitu suhu bayi mencapai 35oC

 Periksa suhu tubuh bayi setiap jam. Bila suhu naik paling tidak 0,5 oC/jam,

berarti upaya menghangatkan berhasil, kemudian lanjutkan dengan memeriksa

suhu bayi setiap 2 jam

 Periksa juga suhu alat yang dipakai untuk menghangatkan dan suhu ruangan

setiap jam

 Setelah suhu tubuh bayi normal

- Lakukan perawatan lanjutan untuk bayi

- Pantau bayi selama 12 jam kemudian, dan ukur setiap 3 jam

 Pantau bayi selama 24 jam setelah penghentian antibiotika. Bila suhu bayi

tetap dalam batas normal dan bayi minum dengan baik dan tidak ada masalah

lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat dipulangkan dan

nasehati ibu bagaimana cara menjaga agar bayi tetap hangat selama dirumah

2. Hipotermia sedang

 Ganti pakaian yang dingin dan basah dengan pakaian yang hangat, memakai

topi dan selimuti dengan selimut hangat

55
 Bila ada ibu/pengganti ibu, anjurkan menghangatkan bayi dengan mealkukan

kontak kulit dengan kulit atau perwatan bayi lekat (PMK : Perwatan Metode

Kanguru)

 Bila ibu tidak ada

- Hangatkan kembali bayi daengan menggunakan alat pemancar panas,

gunakan incubator dan ruangan hangat, bila perlu :

- Periksa suhu alat penghangat dan suhu rungan, beri ASI peras dengan

menggunakan satu alternative cara pemberian minum dan sesuaikan

pengatur suhu

- Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi lebih sering diubah

 Anjurkan ibu untuk menyusui lebih sering. Bila bayi tidak dapat menyusu,

berikan ASI peras menggunakan salah satu alternative cara pemberian minum

 Mintalah ibu untuk mengamati tanda kegawatan (misalnya gangguan napas,

kejang, tidak sadar) dan segera mencari pertolongan bila terjadi hal tersebut)

 Priksa kadar glukosa darah, bila <45mg/dL, tangani hipoglikemia

 Nilai tanda kegawatan, misalnya gangguan napas, bila ada tangani gangguan

napasnya

 Periksa suhu tubuh bayi setiap jam, bila suhu naik minimal 0,5 oC/jam, berarti

usaha menghangatkan berhasil, lanjutkan memeriksa suhu setiap 2 jam

 Bila suhu tidak naik terlalu peran kurang 0,5oC/jam, berarti usaha

menghangatkan berhasil, lanjutkan memeriksa suhu setiap 2 jam

 Bila suhu tidak naik atau terlalu pelan, kurang 0,5 oC /jam, cari tanda sepsis

56
 Setelah suhu normal

- Lakukan perawatan lanjutan

- Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu setiap 3 jam

 Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat minum dengan baik serta

tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat

dipulangkan. Nasihati ibu cara menghangatkan bayi dirumah.

Gambar 7. Metode dekap

Peralatan yang dipakai untuk mengatasi hipotermia:

1. Closed incubator.

Biasanya digunakan untuk bayi yang mempunyai berat kurang dari 1800 gram.

Kerugian pemakaian alat ini adalah kita sulit untuk mengamati dan melakukan

tindakan terhadap bayi. Perubahan suhu yang berhubungan dengan sepsis bisa kabur

karena alat ini. Bayi dikeluarkan dari inkubator bila suhu tubuh dapat bertahan pada

suhu lingkungan lebih dari 30oC (biasanya sewaktu tubuh telah mencapai kira-kira

1800 gram). Inkubator ini biasanya memakai alat-alat berikut: Pengatur suhu sendiri,

57
yang ditaruh di atas perut bayi. Bila suhu tubuh bayi turun, panas akan dihasilkan

sesuai target dan alat akan mati secara otomatis. Kerugiannya adalah bila sensornya

lepas atau rusak dapat terjadi panas yang berlebihan. Air temperatur control device.9

2. Radiant warmer

Khusus dipakai pada bayi yang tidak stabil atau yang sedang mengalami

pemeriksaan. Temperatur dapat diatur dengan memakai skin probe atau manual

mode. Pengaturan suhu tubuh pada bayi cukup bulan yang normal (> 2500 gram)

antara lain tempatkan bayi di bawah pemanas segera setelah bayi lahir, keringkan

seluruh tubuh untuk mencegah kehilangan panas dengan cara penguapan, tutup

kepala dengan cap, bungkus bayi dengan selimut, masukkan dalam tempat tidur bayi.9

Pengaturan suhu tubuh bayi cukup bulan yang sakit, prosedurnya sama dengan

bayi cukup bulan yang sehat, kecuali radiant warmer-nya dengan pengatur suhu

sendiri. Pengaturan panas pada bayi prematur (1000-2500 gr) yaitu untuk berat bayi

1800-2500 gram, tanpa masalah medis, digunakan tempat tidur bayi, cap, dan selimut

biasanya sudah cukup. Juga dapat digunakan cara skin-to-skin (kangaroo). Untuk bayi

1000-1800 gram, bayi yang sehat seharusnya ditempatkan di inkubator tertutup

dengan pengatur suhu sendiri. Sedangkan untuk bayi yang sakit ditempatkan di

bawah radiant warmer dengan pengatur suhu sendiri.9

58
(a) (b)
Gambar 7. (a) closed incubator dan (b) radiant warmer

Pengaturan panas terhadap bayi berat badan sangat rendah (<1000 gr)

1. Closed incubator

- Gunakan servokontrol dengan set suhu pada kulit perut 36,5oC.

- Pergunakan inkubator yang mempunyai dinding dua lapis jika mungkin.

- Tutup kepala dengan cap.

- Pertahankan humidity level pada 40--50% atau lebih tinggi.

- Pertahankan suhu ventilator pada 34--35oC atau lebih tinggi.

- Lapisi inkubator dengan alumunium bila diperlukan.

- Tempatkan matres pemanas (K-pad) di bawah bayi yang telah disesuaikan

suhunya 35-36 oC. Untuk proteksi, panas dapat diatur antara 35-36 oC.

- Untuk bayi hipotermi, dapat dibuat 37--38oC.

- Letakkan pembungkus yang terbuat dari plastik di atas bayi.

59
- Jika suhu tubuh sulit dipertahankan, coba dengan meningkatkan humidity

level.

- Pada penanganan neonatal cold injury, di samping pemberian kehangatan

yang bertahap juga koreksi gangguan metabolisme, terutama hipoglikemia

2. Radiant warmer

- Gunakan pengatur suhu sendiri dengan set temperatur kulit perut 37oC.

- Tutup kepala dengan cap.

- Pergunakan pelindung panas. Humidity level di bawah pelindung panas

seharusnya 40--50%.

- Tempatkan pembungkus yang terbuat dari plastik di atas bayi.

- Pergunakan pembungkus kasur warna hitam untuk menyerap panas.

- Pertahankan suhu udara yang terhirup 34-35oC.

- Tempatkan matras pemanas (K-pad) di bawah bayi yang suhunya telah

disesuaikan sekitar 35-38oC. Untuk mempertahankan proteksi, panas diatur

sekitar 35-38oC. Jika bayi hipotermi, dapat dinaikkan menjadi 37-38oC. Jika

bayi tidak dapat distabilkan, pidahkan bayi ke inkubator tertutup.

60
I. Pencegahan

Sepuluh langkah proteksi termal/Warm Chain, adalah serangkaian tindakan yang

dilakukan pada BBL, dengan tujuan untuk emnghindari terjadinya stress hipotermi

maupun hipertermi, serta menjaga suhu tubuh bayi tetap berada dalam keadaan

normal yaitu antara 36,5oC-37,5 oC.3,8

 Langkah ke 1 :Ruang melahirkan yang hangat

Selain bersih, ruang bersalin tempat ibu melahirkan, harus cukup hangat dengan

suhu ruangan antara 25 oC-28 oC serta bebas aliran arus udara melalui jendela,

pintu ataupun kipas angina. Selain itu sarana resusitasi lengkap yang diperlukan

untuk pertolongan BBL sudah disipakan, serta harus dihadiri paling tidak 1 orang

tenaga terlatih dalam resusitasi BBL sebagai penanggung jawab pada perawatan

BBL.3,8

 Langkah ke 2 : Pengeringan segera

Segera setelah lahir, bayi dikeringkan kepala dan tubuhnya, dan segera

menganggti kain yang basah dengan kain yang hangat dan kering. Kemudian

diletakan dipermukaan yang hangat seperti pada dada atau perut ibunya atau

segerra dibungkus dengan pakaian yang hangat. Kesalahan yang sering dilakukan

adalah konsentrasi penoloong kelahiran terutama pada oksigenasi dan tindakan

pompa jantung pada waktu resusitasi, sehingga melupakan kontrol terhadap

paparan dingin yang kemungkinan besar terjadi segera setelah abyi dilahirkan. 3,8

61
 Langkah ke 3 : Kontak kulit dengan kulit

Kontak kulit dengan kulit adalah cara yang sangat efektif untuk mencegah

hilangnya panas pada BBL, baik pada bayi aterm maupun preterm. Dada atau

perut ibu, merupakan tempat yang sangat ideal bagi BBL untuk mendapatkan

lingkungan suhu yang tepat. Apabila oleh karena sesuatu hal meletakan BBL ke

dada atau perut ibunya tidak dimungkinkan, maka bayi yang telah dibungkus
3,8
dengan kain hangat, dapat diletakkan dalam dekapan lengan ibunya. Metode

perawatan kontak kulit dengan kulit (Skin to skin contact/Kangoro mother

care/KMC/perawatan bayi lekat) dalam perawatan bayi selanjutnya sangat

dianjurkan khususnya untuk bayi-bayi kecil, oleh karena dari beberapa penelitian

dilaporkan adanya penurunan bermaksna angka kesakitan dan angka kematian

bayi-bayi kecil.

 Langkah ke 4 : Pemberian ASI

Pemberian ASI segera mungkin, sangat dianjurkan dalam jam-jam pertama

kehidupan BBL. Pemebrian ASI dini dan dalam jumlah mencukupi akan sangat

menunjang kebutuhan nutrisi, serta akan berperan dalam termoregulasi pada

BBL.3,8

 Langkah ke 5: tidak segera memandikan/menimang bayi

Memandikan bayi dapat dilakukan beberapa jam kemudian (paling tidak setelah 6

jam) yaitu setelah keadaan stabil. Oleh karena tindakan memandikan abyi segera

setelah lahir menyebabkan terjadinya penurunan suhu tubuh bayi. Menimbang

62
bayi dapat ditunda beberapa saat kemudian, timbangan yang digunakan diberi alas

kain hangat. 3,8

 Langkah ke 6 : Pakaian dan selimut bayi yang adekuat

Secara umum BBL memerlukan beberapa lapis pakaian dan selimur lebih banyak

daripada orang dewasa. Pakian dalam hal ini juga meliputi topi, karena sebagaian

besar (kurang lebih 25%) kehilangan panas dapat terjadi melalui kepala bayi.

Pakaian dan selimut seyogyanya cukup longgar, sehingga memungkinkan adanya

lapisan udara diantara permukaannya sebagai penyangga panas tubuh yang cukup

efektif. Bedong (swadding) yang biasanya sangat erat sebaiknya dihindarkan,

selain menghilangkan laposan udara sebagai penyangga panas, juga menaikkan

risiko terjadinya pneumonia dan penyakit infeksi saluran nafas lainnya, karena

tidak memungkinkan paru bayi mengembang sempurna pada waktu bernapas. 3,8

Pada perawatan BKB selain dengan cara perawatan bayi lekat, pakaian dan

selimur hangat, penggunaan plastic sebagai selilmut pelapis, atau meletakkan bayi

dibawah pemancar panas, dilaporkan sangat bermanfaat untuk memeperkecil

proses kehilangan panas. Dalam hal ini temperature harus selalu dimonitor dengan

ketat, untuk menghindarkan terjandinya hipertermi. Bayi yang lahir dari ibu

dengan demam, mempunyai risiko untuk terjadinya depresi pernapasan, kejang,

risiko yang meningkat terjadinya kematian, ataup palsi serebral. 3,8

 Langkah ke 7 : Rawat Gabung

63
Bayi-bayi yang dilahirkan dirumah ataupun yang dilahirkan di rumah sakit,

seyogyanya dijadikan satu, dalam tempat tidur yang sama dengan ibunya, salama

24 jam penuh dalam ruangan yang cukup hangat (minmal 25 oC). hal ini akan

sangat menunjang pemberian ASI on demand, serta mengurangi risiko terjadinya

infeksi nosocomial pada bayi-bayi yang lahir dirumah sakit. 3,8

 Langkah ke 8 : Transpostasi hangat

Apabila bayi perlu segera dirujuk ke rumah sakit, atau kebagian lain dilingkungan

rumah sakit seperti diruang rawat bayi atau NICU, sangat penting untuk selalu

menjaga kehangatan bayi selama dalam perjalanan. Apabila memungkinakan,

adalaha merubjuk bayi bersamaan dengan ibunya dalam perawatan bayi lekat, oleh

karena hal ini merupakan cara yang sederhana dan aman.3,8

 Langkah 9 : Resusitasi hangat

Pada waktu melakukan resusitasi, perlu menjaga agar tubuh bayi tetap hangat. Hal

ini sangat penting oleh karena bayi-bayi yang mengalami asfiksia, tubuhnya tidak

dapat menghasilkan panas yang cukup efiseien sehingga mempunyai risiko tinggi

menderita hipotermia. Pada waktu melakukan resusitasi dirumah sakit,

memberikan lingkungan yang hangat dan kering dengan meletakan bayi dibawah

alat pemancar panas, merupakan salah satu dari rangkain prosedur standar

resusitasi BBL. 3,8

 Langkah ke 10 : Pelatihan dan sosialisasi rantai hangat

64
Semua pihak yang terlibat dalam proses kelahiran serta perawatan bayi (dokter,

bidan, perawta, dukun bayi dan lain-lain), perlu dilatih dan diberikan pemahaman

tentang prinsip-prinsip serta prosedur yang benar tentang rantai hangat. Keluarga

dan anggota masyarakat yang mempunyai bayi dirumah, perlu diberikan

pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya menajga agar bayinya selalu tetap

hangat. 3,8

3.3 INFEKSI NEONATORUM

A. Definisi

Infeksi neonatal mencakup beberapa sindrom infeksius selama periode

neonatal.5,6

Gambar 8. Kemungkinan infeksi bakteri serius (pSBI) dan tumpang tindih


dengan sindrom klinis lain pada neonates

B. Klasifikasi

65
Neonatus, terutama yang lahir prematur, berisiko tinggi terkena infeksi. Infeksi

pada neonatus diklasifikasikan berdasarkan transmisinya yaitu : 5,6,7

 Oleh ibu saat dalam kandungan (sejumlah organisme bisa menyeberang plasenta

selama kehamilan, menyebabkan infeksi bawaan), saat melahirkan dan menyusui

(transmisi vertikal), atau

 Dari lingkungan setelah melahirkan (transmisi horizontal). Dalam periode

neonatal dari lingkungan rumah sakit atau di komunitas. Infeksi yang didapat di

rumah sakit sangat umum di unit perawatan intensif neonatal dan menimbulkan

masalah serius dalam pengendalian infeksi.

Gambar 9. Infeksi kongenital dan neonatal.5

1. Infeksi pada fetus – Infeksi intrauterine

66
Beberapa patogen dapat menginfeksi wanita hamil dan menyebabkan beberapa

penyakit pada fetus pada berbagai stadium pematangan, yang menyebabkan

manifestasi yang beragam. Kematian dini dalam intrauterime yang menyebabkan

keguguran dan dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan, malformasi kongenital

dan infeksi kongenital. Bayi mungkin bergejala di awal kehidupan, atau gejala dan

tanda-tanda lainnya mungkin tidak terlihat sampai di kemudian hari. Manifestasi ini

tergantung pada jenis organisme yang menginfeksi, waktu terjadinya infeksi dalam

kaitannya dengan kehamilan dan status kekebalan tubuh ibu.10,11,12

a. Patogenesis

Agen infeksi dapat mempengaruhi janin yang sedang berkembang dalam beberapa

cara :10,11,12

- Menginfeksi plasenta dan mengganggu nutrisi janin dan pertukaran gas,

menyebabkan kematian intrauterine dan menghambat pertumbuhan intrauterine

(IUGR) (misal, malaria plasenta)

- Menghambat perkembangan organ khusus dimana organisme memiliki tropisme

tertentu (misalnya rubella)

- Menginfeksi janin (misalnya hepatitis B atau HIV)

b. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis dari infeksi kongenital bervariasi. Infeksi selama tahap awal

kehamilan sangat membahayakan embriogenesis dan dapat menyebabkan kematian

janin, malformasi kongenital atau IUGR. Infeksi di kemudian hari selama kehamilan

dapat menyebabkan bayi tanpa gejala saat lahir, yang mana mungkin tetap

67
asimtomatik atau berkembang menjadi tanda-tanda infeksi pada tahap selanjutnya.

Patogen dapat menyebabkan tanda-tanda seperti ruam kulit, limfadenopati,

hepatosplenomegali, penyakit kuning dan kalsifikasi intrakranial.10,11,12

Gambar 10. Penyebab, gejala klinis dan tatalaksana pada infeksi kongenital.5

2. Infeksi pada masa intrapartum atau selama periode neonatal

68
Neonatus mengalami gangguan kekebalan karena sejumlah alasan: kulit dan

selaput lendir mereka tipis dan relatif terjangkau sebagai penghalang yang buruk

terhadap infeksi, dan sistem kekebalan mereka belum matang. Neonatus yang lahir

prematur berisiko lebih tinggi terkena infeksi sebagai tambahan mereka mungkin

kurang terlindungi antibodi turunan secara maternal. Bagian transplasental dari IgG

ibu terjadi sebagian besar pada trimester terakhir kehamilan dan akuisisi IgA ibu

melalui ASI seringkali tidak memungkinkan karena keadaan klinis dapat membatasi

kemampuan neonatus untuk disusui atau menerima ASI. Apalagi mereka akan sering

melakukannya menghabiskan waktu lama di unit perawatan intensif neonatal di mana

mereka harus mendapat prosedur invasif dan terkena infeksi nosokomial.5,6,7

a. Infeksi bakteri dan jamur

Infeksi neonatal menyebabkan sekitar 1 juta kematian neonatal per tahun secara

global. Insiden bervariasi dalam kisaran 5-170 / 1000 kelahiran hidup, lebih umum di

negara berkembang. Di Inggris, Eropa Barat, AS, dan Australia, insidensinya adalah

dilaporkan antara 2 dan 30 per 1000 kelahiran hidup bergantung pada apakah itu

termasuk kemungkinan sepsis serta dibuktikan dengan kultur. Insiden tertinggi pada

bayi dengan berat lahir sangat rendah. Mayoritas infeksi pada bayi baru lahir terjadi

di 24 jam pertama kehidupan. 5,6,7

1) Early-onset infection/ Infeksi onset dini

Infeksi yang terjadi dalam 2-3 hari pertama setelah lahir diklasifikasikan

sebagai onset dini (EO), dan sebagian besar transmisi patogen dari jalan lahir selama

atau hanya sebelum lahir. Insiden infeksi EO bervariasi antara lebih sedikit dari 1-10

69
per 1000 kelahiran hidup tergantung pada apakah termasuk dicurigai (kultur-negatif,

klinis) infeksi juga infeksi yang terbukti secara kultur. Infeksi EO paling sering

terjadi pada bayi cukup bulan. Patogen paling umum yang menyebabkan infeksi EO

di negara maju adalah Streptokokus Grup B (GBS) dan Escherichia coli, diikuti oleh

Staphylococcus aureus dan Listeria monocytogenes.5,6,7

Sejumlah faktor saat melahirkan telah dikaitkan dengan risiko tertular infeksi

EO neonatal: demam maternal, korioamnionitis, persalinan lama setelah ketuban

pecah (lebih dari 18-24 jam), ketuban pecah dini, infeksi saluran kemih maternal,

pertumbuhan GBS dari vagina atau rektal saat usap pada trimester terakhir

kehamilan, bayi sebelumnya dengan penyakit SGB atau kembar dengan GBS. 5,6,7

a. Manifestasi klinis dan diagnosis

Neonatus dengan sepsis EO atau meningitis hadir dengan tanda-tanda non-

spesifik. Pneumonia adalah kejadian langka dan harus dibedakan dengan sindrom

aspirasi mekonium, sindrom gangguan pernapasan, dan takipnea transien pada bayi

baru lahir. Meskipun tanda-tanda umum ini tidak spesifik, patologi lain seperti

asfiksia perinatal, penyakit jantung, metabolik, onkologis, dan neurologis ditemukan

pada neonatus dan juga harus dipertimbangkan. 5,6,7

b. Sign of early onset infection :

 Smelly liquor
 Low APGAR Score

70
 Mendapatkan resusitasi neonates
 Apneu atau takipneu
 Grunting
 Nasal flaring
 Retraksi sub dan intercostal
 Temperatur tidak stabil atau hipotermia
 Letargi
 Penurunan tonus
 Bulging frontanelle
 Poor feeding
 Kejang
 Skin rash
 Jaundice
 Hypotension and shock
 Umbilical cord flare
 Asidosis metabolik

c. Pemeriksaan penunjang dan diagnosis

Pemeriksaan penunjang harus mencakup hitung darah lengkap, serum

C-reactive protein (CRP), elektrolit, tes fungsi hati, dan kultur darah. Pungsi lumbal,

bagaimanapun, penting untuk mendiagnosis meningitis neonatus yang tidak sehat

tetapi stabil karena tanda-tandanya tidak spesifik. Diagnosis meningitis berimplikasi

pada pilihan antibiotik, durasi dan hasil. Sebuah tes PCR untuk GBS telah

dikembangkan dan didemonstrasikan lebih tinggi sensitivitasnya. Rontgen dada

diperlukan jika ada tanda-tanda gangguan pernapasan menonjol. 10,11,12

71
d. Tatalaksana

Manajemen suportif dan pengobatan antibiotik. Pilihan antibiotik empiris

yang paling tepat harus diperhitungkan untuk patogen umum dan profil kerentanan

antibiotiknya. Biasanya, penisilin dan aminoglikosida adalah yang direkomendasikan.

Regimen antibiotik kemudian bisa disesuaikan menurut hasil kultur.5

e. Pencegahan

Pendekatan yang berbeda untuk pencegahan infeksi GBS digunakan di

berbagai negara. Di AS dan sejumlah negara di Eropa, kebijakan skrining secara

universal diikuti di semua wanita hamil pada usia kehamilan 35-37 minggu dengan

usap vagina/rektal. Semua wanita positif kemudian ditawarkan penisilin selama

persalinan untuk mencegah penularan GSB. Skrining berbasis swab ini lebih efektif

tetapi lebih mahal. 5,6,7

2) Late-onset infection/ Infeksi onset lanjut

Late-onset infection adalah infeksi yang terjadi setelah usia 48-72 jam dan

biasanya diperoleh dari sumber nosokomial atau komunitas. Insiden infeksi LO

bervariasi dalam kisaran 20-30 per 1000. Di masyarakat, infeksi yang timbul lambat

sebagian besar disebabkan oleh GBS, E. coli dan virus. Infeksi yang didapat di rumah

sakit (infeksi nosokomial) lebih sering terjadi di unit perawatan intensif neonatal

dibandingkan di lingkungan rumah sakit lainnya. Sebagian besar populasi prematur

yang mengalami infeksi LO karena paparan mereka yang berkepanjangan terhadap

lingkungan rumah sakit dan defisiensi imun. Sejauh ini organisme yang paling umum

72
menyebabkan infeksi nosokomial adalah stafilokokus koagulase-negatif (CoNS),

diikuti oleh S. aureus, E. coli, Klebsiella dan Enterobacteriaceae lainnya. 5,6,7

a. Manifestasi klinis dan diagnosis

Tanda-tanda infeksi LO adalah biasanya tidak spesifik dan termasuk gangguan

pernapasan dengan peningkatan kebutuhan oksigen atau ventilator, ketidakstabilan

suhu, apnoea dan bradikardia, intoleransi makanan, ikterus, kejang, asidosis

metabolik, takikardia, dan hipotensi. Diagnosisnya melibatkan laboratorium dasar

investigasi dan kultur darah, urin dan CSF. 5,6,7

b. Tatalaksana

Manajemen yang optimal melibatkan keduanya yaitu suportif dan terapi

antimikroba. Kombinasi flukloksasilin dan aminoglikosida akan memberikan

perlindungan yang baik untuk yang patogen paling umum. Sefalosporin sering

digunakan sebagai agen tunggal, tetapi dapat meningkatkan resistensi bakteri Gram-

negatif membuat obat ini kurang efektif. Sefalosporin generasi ketiga memiliki peran

penting dalam pengobatan meningitis bakteri. Meskipun CoNS adalah bakteri yang

paling sering diisolasi dari kultur darah, penggunaan vankomisin harus dibatasi untuk

bayi yang telah terbukti infeksi; ini tidak boleh digunakan secara empiris selain pada

bayi risiko tinggi. Perawatan antibiotik harus disesuaikan dengan organisme terisolasi

ketika hasil kultur tersedia. Neonatus yang dirawat di rumah sakit dari komunitas

sering diobati dengan sefalosporin generasi ketiga bersama dengan penisilin, untuk

memastikan perlindungan yang memadai terhadap Listeria. 5,6,7

c. Pencegahan

73
Tindakan higienis, seperti mencuci tangan dan menggunakan secara konsisten

gel tangan, penggunaan bundel perawatan untuk meningkatkan asepsis di pusat

penyisipan dan manajemen akses vena, pengelompokan kolonisasi atau neonatus

yang terinfeksi, pengawasan antibiotik, dan penggunaan sistem yang meningkatkan

standarisasi dan kewaspadaan kebijakan kontrol infeksi. 5,6,7

Gambar 11. Bakteri dan jamur yang sering menyebabkan infeksi neonatal.5

b. Infeksi virus

Virus pernapasan seperti rhinovirus, respiratory syncytial virus, human

metapneumovirus, influenza, parainfluenza and bocavirus yang sering didapat di

komunitas, dapat menyerang semua usia termasuk neonatus. Pada neonatus mungkin

ada tanda-tanda infeksi yang kurang khas dan bahkan mungkin gejalanya mirip

bakteri sepsis. Virus pernapasan juga berpotensi menjadi penyebab wabah pada

neonatus yang dirawat di rumah sakit dan dapat memiliki konsekuensi yang parah,

terutama pada bayi prematur. Diagnosis ditegakkan dengan imunofluoresensi (IF)

74
atau PCR pada aspirasi nasofaring dan lavage broncho-alveolar. Pengobatannya

hanya suportif saja dikarenakan infeksi virus. Enterovirus dan parechovirus, dan lebih

jarang adenoand Coxsackie-virus dapat menyebabkan penyakit parah termasuk

ensefalitis dan meningitis pada neonatus, dengan tanda-tanda yang mungkin tidak

bisa dibedakan dari infeksi bakteri. 5,6,7

Membuat diagnosis membutuhkan indeks kecurigaan yang tinggi dan

penggunaan virus IF / PCR secara tepat, kemungkinan dari beberapa spesimen klinis

seperti darah, CSF, tenggorokan, usap rektal dan tinja. Epidemiologi kurang

dipelajari dibandingkan infeksi bakteri karena teknik PCR tidak secara rutin

digunakan dalam praktek klinis. 1,2,3

c. Diagnosis

Diagnosis infeksi neonatorum ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan

pemeriksaan penunjang. Gejala klinis berdasarkan infeksi yang mendasari baik

bakteri, virus maupun jamur. 10,11,13

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Darah Rutin

Darah rutin, termasuk kadar hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht,)leukosit dan

hitung jenis, serta trombosit. Pada umumnya terdapat neutropeni PMN < 1800/μl,

trombositopenia <150.000/μl (spesifisitas tinggi, sensitivitas rendah), neutrofil

muda meningkat >1500/μl, rasio neutrofil imatur (IT ratio): total > 0,2. Rasio IT

>0,2 dianggap mendukung diagnosis sepsis neonatal. Kondisi yang menyebabkan

75
perubahan abnormal pada rasio IT adalah asfiksia perinatal, hipertensi maternal,

stres persalinan, dan induksi berkepanjangan dengan oksitosin. Studi yang

dilakukan oleh Hornik et al. menunjukkan bahwa jumlah leukosit yang rendah,

absolut neutrophil count (ANC) rendah dan IT ratio tinggi dikaitkan dengan

peningkatan kemungkinan sepsis dan dengan demikian menyimpulkan bahwa

semua penanda ini memiliki spesifisitas tinggi dan negative predictive value

(NPV) dan sensitivitas rendah. Murphy dkk. menunjukkan bahwa dua rasio IT

normal dan kultur darah steril memiliki NPV 100% untuk diagnosis sepsis

neonatal. Neutropenia terbukti lebih dapat memprediksi sepsis neonatal

dibandingkan dengan neutrofilia. Kesimpulannya, rasio WBC, ANC, dan IT

memiliki keterbatasan yang signifikan dalam diagnosis sepsis neonatal. 10,11,13

b. C-Reactive Protein

Protein reaktif C (CRP) adalah yang paling banyak dipelajari, mudah

didapat, dan merupakan tes laboratorium yang paling umum digunakan dalam

diagnosis sepsis neonatal. CRP merupakan protein struktur pentamerik dan

merupakan protein reaktan fase akut. Sumber CRP adalah hepatosit dan

sintesisnya dirangsang oleh sitokin, dengan sitokin stimulasi penting adalah IL6,

IL1, dan tumor necroting factor-α. Waktu paruh CRP adalah 24 hingga 48 jam

dan dibutuhkan sekitar 10 hingga 12 jam untuk meningkatkan level, sehingga

tidak dapat diandalkan untuk diagnosis dini sepsis neonatal (sensitivitas rendah).

Pengukuran CRP secara berurutan pada 24 sampai 48 jam setelah timbulnya

gejala terbukti meningkatkan kepekaannya untuk diagnosis sepsis neonatal dan

76
CRP serial juga digunakan dalam memantau respons terhadap pengobatan pada

neonatus yang terinfeksi, yang menjalani pengobatan antibiotik untuk hal yang

sama. Nilai normal CRP serial merupakan indikator kuat tidak adanya sepsis

neonatal (99% NPV) dan dapat digunakan sebagai pedoman untuk menghentikan

pemberian antibiotik. 10,11,13

c. Highly Sensitive C- Reactive Protein (hs-CRP)

Batas normal yang diterima untuk kadar CRP yang signifikan adalah >

6mg/l. hsCRP lebih sensitif dibandingkan CRP konvensional untuk diagnosis

sepsis neonatal. Uji hs-CRP memiliki nilai cut off yang lebih rendah

dibandingkan dengan uji CRP konvensional, dengan nilai hs-CRP < 1 mg/l

memiliki peningkatan sensitivitas terhadap infeksi neonatal. 10,11,13

d. Prokalsitonin (PCT)

Prokalsitonin (PCT) adalah protein reaktan fase akut dan merupakan

prohormon peptida dari kalsitonin. PCT terdiri dari 116 asam amino dengan berat

molekul 14-kDa dan dikodekan oleh gen Calc-I bersama dengan kalsitonin dan

katacalcin. Kadar PCT tidak dipengaruhi oleh kadar kalsitonin dan sumber PCT

adalah makrofag dan hepatosit. PCT telah terbukti terkait dengan imunomodulasi

dan respons vaskular yang terkait dengan sindrom respons inflamasi sistemik

(SIRS), terutama yang disebabkan oleh infeksi bakteri sistemik. Terjadi

peningkatan yang cepat pada kadarl PCT dalam 2-4 jam setelah paparan

endotoksin bakteri dan kadar puncak dicapai pada 6-8 jam dan tetap meningkat

77
selama 24 jam berikutnya. Waktu paruh PCT adalah 24- 30 jam. 10,11,13

e. Serum Amyloid A (SAA)

Serum amyloid A (SAA) merupakan apolipoprotein reaktan awal fase akut

dan sumber utama SAA adalah hepatosit. Sumber SAA lainnya adalah sel

endotel, monosit, dan sel otot polos. Sintesis SAA diatur oleh IL1, IL6 dan TNFα

dan SAA dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi dan cedera. Tingkat SAA

berubah seiring bertambahnya usia oleh karena itu interpretasi hasil harus

dipertimbangkan setelah memperhatikan usia pasien. Kadar terendah ditemukan

pada darah umbilikalis dengan kadar tertinggi ditemukan pada pasien usia lanjut.

SAA berperan dalam inflamasi dan merangsang sekresi IL- 8 dari neutrofil.10,11,13

2. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang diperlukan ialah foto thorax, abdomen atas

indikasi, dan ginjal. Pemeriksaan USG ginjal, scaning ginjal, sistouretrografi

dilakukan atas indikasi. Pemeriksaan plasenta dan selaput janin dapat menunjukkan

adanya korioamnionitis, yang merupakan potensi terjadinya infeksi pada

neonatus.10,11,13

d. Tatalaksana Spesifik

1. Penisilin atau derivat biasanya ampisilin 100 mg/kg/24 jam intravena tiap 12

jam, apabila terjadi meningitis untuk umur 0-7 hari 100-200mg/kg/ 24jam

intravena/intramuskular tiap 12 jam, umur >7 hari 200-300mg/kg/24jam

intravena/ intramuskular tiap 6-8 jam, maksimum 400mg/ kg/24jam. 10,11,13

78
2. Ampisilin sodium/Sulbaktam sodium (Unasyn), dosis sama dengan ampisilin

+ aminoglikosid 5mg/kg/24jam intravena diberikan tiap 12 jam. Pada sepsis

nosokomial, sebaiknya diberikan vankomisin dengan dosis tergantung umur

dan berat badan: 10,11,13

 < 1,2 kg umur 0-4 minggu: 15 mg/kg/ kali tiap 24 jam

 1,2-2 kg umur 0-7 hari: 15 mg/kg/kali tiap 12-18jam

 1,2-2kg umur > 7 hari: 15 mg/kg/kali tiap 8-12jam

  > 2kg umur 0-7 hari: 15 mg/kg/kali tiap 12 jam

 > 2kg umur > 7 hari: 15 mg/kg/kali tiap 8 jam + aminoglikosid atau

sefalosporin generasi ketiga.

Meropenem merupakan golongan B-laktam yaitu carbapenem efektif terhadap

mikroorganisme gram positif dan negatif. Pada referensi lain meropenem

diindikasikan pada infeksi berat oleh kuman gram negatif yang resisten terhadap

antibiotik turunan penisilin dan sefalosporin generasi ketiga serta resisten terhadap

bakteri yang memproduksi extended spectrum beta lactamase (ESBL). Dosis

20mg/kgBB/dosis (3xsehari). Kalau pada infeksi berat 40 mg/kg/dosis pada

meningitis yang disebabkan oleh Pseusomonas sp. Efek samping diare, mual,

muntah, ruam kulit, kejang, hipotensi. Sediaan yang tersedia di Indonesia, dengan

nama dagang Merofen 500 mg dan 1 gram Vial. 16,17

Regimen Antrimikroba Empiris yang Direkomendasikan

79
` Terapi antimikroba empiris dapat ditargetkan ketika hasil kultur tersedia. Di

negara maju, semua isolat GBS sensitif terhadap penisilin, ampisilin dan vankomisin.

Sembilan puluh enam persen isolat E. coli sensitif terhadap gentamisin atau

sefalosporin, dan 78% isolat E. coli resisten terhadap ampisilin. Dalam kombinasi, ~

94% isolat EOS (GBS, CoNS, streptokokus non-piogenik, dan E. coli) sensitif

terhadap kombinasi penisilin ditambah gentamisin, dan 100% organisme ini sensitif

terhadap kombinasi amoksisilin ditambah sefotaksim. Namun, penggunaan rutin

sefotaksim telah terbukti dengan cepat meningkatkan resistensi bakteri dan

penggunaan jangka panjang meningkatkan risiko infeksi jamur invasif. 10,11,13

Meskipun terapi empiris untuk EOS harus dilakukan secara individual per rumah

sakit atau wilayah, rejimen empiris yang diterima secara luas adalah kombinasi

ampisilin ditambah aminoglikosida. Idealnya, kultur urin harus diulang setelah 48

jam untuk mendokumentasikan sterilisasi. Antimikroba empiris yang

direkomendasikan untuk dugaan meningitis awal adalah ampisilin + aminoglikosida

atau ampisilin plus sefotaksim. Untuk meningitis onset lambat, kombinasi

vankomisin ditambah sefalosporin generasi ketiga, dengan atau tanpa aminoglikosida,

direkomendasikan. Antijamur empiris yang paling umum digunakan adalah

amfoterisin B dan flukonazol, meskipun flukonazol tidak boleh digunakan sebagai

terapi empiris jika telah diberikan sebagai profilaksis jamur. Amfoterisin B adalah

antijamur pilihan untuk meningitis jamur yang dicurigai.Terapi lanjutan disesuaikan

dengan hasil biakan dan uji resistensi. 10,11,13

80
Amikasin adalah antibiotik aminoglikosida semi-sintetik yang digunakan pada

terapi infeksi gram negatif yang resisten terhadap gentamisin. Umumnya digunakan

sebagai kombinasi dengan penisilin atau sefalosporin. Indikasi ISK, bakteremia dan

sepsis, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi intra abdomen, luka bakar, infeksi

pasca operatif, infeksi saluran nafas, infeksi nosokomial. Dosis. Cara pemberian

suntikan IM sigle dose atau IV melalui infus selama 1-2 jam untuk bayi dan 30-60

menit untuk anak. Dosis anak 15 mg/kgBB/hari dibagi dengan interval 8-12 jam,

dosis neonatus 7,5 mg/kgBB/kali. Sediaan yang ada di Indonesia vial untuk injeksi

dalam kemasan 250, 500 gram, dan 1 g. 16,17

BAB IV

DISKUSI KASUS

81
Pada kasus diatas setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta

pemeriksaan penunjang maka dapat ditegakkan diagnosis yaitu asfiksia neonatorum,

hipotermi dan infeksi neonatorum. Asfiksia neonatorum pada kasus ini ditegakan

berdasarkan anamnesis yaitu mencari faktor resiko, dimana didapatkan pada kasus

risiko antepartum yaitu infeksi saat kehamilan berupa ISPA dan gatal-gatal, yang

mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri ataupun jamur. Selain itu faktor risiko

intrapartum yang ditemukan pada bayi terdapatnya plasenta previa. Saat dilakukan

pemeriksaan fisik untuk tanda-tanda vital juga didapatkan adanya distress pernapasan

yaitu takipneu dan retraksi substernal minimal, selain itu APGAR score 1/3 pada

menit 1 dan menit ke 5, serta bayi masih membutuhkan bantuan ventilasi selama >10

menit. Pemeriksaan penunjang belum dapat dilakukan yaitu analasis gas darah,

karena fasilitas belum tersedia. Untuk tatalaksanaan, pasien mendapatkan terapi

oksigen menggunakan CPAP 0,5lpm dan dirawat inkubator. Pada kasus ini sulit

untuk menilai Score Dwonenya karna bayi sudah berumur 3 hari saat diberikan kasus.

Hipotermia pada kasus ini ditegakan berdasarkan kriteria WHO dimana

dikatakan hipotermi bila pada pemeriksaan suhu axila <36,5 oC. Pada pasien temukan

suhu axila 35 oC, dan termasuk dalam hipotermia ringan-sedang. Faktor resiko yang

menyebakan terjadinya hipotermia pada bayi ini yaitu karena terjadinya asfiksia.

Hipotermia menyebabkan activation of Nonshivering Thermogenesis (metabolism

dari Brown Fat) sehingga menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen. Bayi baru

lahir ini juga berisiko mengalami hipoglikemia karena peningkatan konsumsi glukosa

yang diperlukan untuk produksi panas. Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan gejala

82
hipotermia berupa daya hisap yang lemah, pasien tampak lemas, serta napas yang

cepat. Tatalaksana pada pasien ini yaitu pakiannya diganti dengan pakaian yang

hangat, diselimuti. Karena ibu pasien dirawat terpisah sehingga pasien, tidak dapat

melakukan PMK, sehingga pasien dihangatkan menggunakan alat pemancar panas,

yaitu inkubator. Selain itu pemberian minum juga tetap dilanjutkan. Pada kasus ini

juga diberikan terapi D10% yang dimana untuk mengatasi kondisi hipoglikemik yang

sebabkan oleh adanya hipotermia, namun tidak dilakukan evaluasi pemeriksaan

GDSnya. Untuk evaluasi peningkatan suhunya sebaiknya dilakukan setiap jam dan

mengevaluasi peningkatan suhu minimal 0,5oC/jam. Jika terjadi peningkatan maka

dievaluasi tiap 2 jam. Dalam pemantauan suhu, didapatkan juga adanya peningkatan

suhu pada hari perawatan I, hal ini dapat disebabkan karena adanya suatu infeksi

yang terjadi pada bayi tersebut. Namun setelah diterapi suhu bayi kembali stabil dan

pada hari perawatan ke 7 bayi dapat dipulangkan dan tetap memberikan nasihat pagi

ibu cara mengahangatkan bayi di rumah.

Infeksi neonatorum pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien, kita dapat

mendapatkan informasi mengenai adanya riwayat infeksi neonatal dimana ditemukan

faktor resiko berapa adanya demam maternal dengan leukosit ibu 15.690x103/mm3.

Pada pemeriksaan fisik pasien mengalami peningkatan suhu 38 oC, adanya ronki (+),

dan retraksi subkostal minimal. Pemeriksaan penunjang pada pasien ini juga

didapatkan adanya leukositosis 23,66 x103/mm3 yang menunjukan adaanya suatu

proses infeksi yang terjadi dan IT rasio sebesar 0,07 menunjukan bahwa pasien belum

83
masuk pada keadaan sepsis, menurut kepustakaan apabila IT rasio >2.0 maka akan

mendukung diagnosis sepsis. Berdasarkan kepustakaan, pasien ini mengalami Early-

onset infection yang berarti infeksi terjadi sebelum 72 jam dan biasanya diperoleh

dari sebagian besar transmisi patogen dari jalan lahir selama atau hanya sebelum

lahir. Infeksi juga infeksi yang terbukti secara kultur. Infeksi EO paling sering terjadi

pada bayi cukup bulan. Patogen paling umum yang menyebabkan infeksi EO adalah

Streptokokus Grup B (GBS) dan Escherichia coli, diikuti oleh Staphylococcus aureus

dan Listeria monocytogenes.10,11,12 Manifestasi klinis infeksi EO tidak spesifik dan

termasuk gangguan pernapasan dengan peningkatan kebutuhan oksigen atau

ventilator, pada pasien manifestasi yang nampak yaitu mengalami ketidakstabilan

suhu, dan takikardia. Selain itu ditemukan beberapa tanda yang mengarah pada

terjadinya infeksi EO yaitu APGAR Score yang rendah, mendapatkan resusitasi

neonatus, apneu atau takipneu, adanya retraksi subcostal minimal, temperature tidak

stabil.

Untuk tatalaksana pada pasien ini diberikan ampisilin 2 x 150 mg/ IV dan

gentamisin 1 x 14 mg/ IV selama 5 hari. Pemilihan antibiotik dan dosis yang

diberikan pada bayi ini sesuai dengan teori tentang pemberian antimikroba empiris

yang direkomendasikan untuk dugaan sepsis awal yaitu penisilin atau derivatnya 100

mg/kg/24 jam melalui intravena tiap 12 jam ditambah aminoglikosid 5mg/kg/24jam

intravena diberikan tiap 24 jam pada bayi usia 0-4 minggu. Dapat juga diberikan

antibiotik ampisilin + sefotaksim. Golongan penisilin yang diberikan adalah

ampisilin, dan golongan aminogikosida yang diberikan pada kasus ini yaitu

84
gentamisin dan kemudian dilanjutkan dengan amikasin 2x25 mg/IV selama 5 hari.

Pada pasien ini juga diberikan meropenen 3x100mg/IV. Berdasarkan

kepustakaan meropenem yang merupakan golongan B-laktam yaitu carbapenem

efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan negatif. 13 Pada perwatan hari ke 6,

muncul bintik-bintik merah di badan (ruam makulopapuler eritema pada wajah,dan

badan). Ruam ini diduga diakibatkan adanya suatu efek samping dari obat

meropenen. Seperti pada kepustakaan dimana efek samping pada meropenem dapat

menyebabkan diare, mual, muntah, ruam kulit, kejang, hipotensi, namun saya juga

mendiferensial diagnosis dengan adanya suatu alergi susu sapi sebab dari anamnesis,

bayi ini mengkonsumsi susu formula, dan pada pemeriksaan fisik ditemui adanya

skin rash berupa makulapapul dengan dasar eritema yang muncul pada wajah, dan

badan pasien, namun pada pasien tidak ditemui adanya diare. Bila dikaitkan dengan

alergi susu sapi, maka alergi susu sapi merupakan penyebab alergi makanan pada

anak yang paling sering, dan pada bayi sekitar 1%-7% bayi pada umumnya menderita

alergi terhadap protein yang terdapat dalam susu sapi. Gejala yang terjadi pada alergi

usapi adalah ruam kulit, gangguan saluran cerna. Diagnosis alergi susu sapi

didiagnosis klinis berupa anmnesis yang cermat dan pemriksaan fisik. Baku emas

diagnosis alergi susu sapi yaitu menggunakan provokasi makanan (Double Blid

Placebo Control Food Chalenge) dengan melihat hasil IgE spesifik.selain itu juga Uji

temple alergi (Patch Test) dapat dilakukan. 18 Berdasarkan kondisi bayi diatas

disarankan untuk diganti susu formulanya dengan susu soya atau hidrosilat.18

Selain itu pada hari perawatan ke 2 dimana pasien mengalami kembung,

85
sehingga diberikan Interlac 1x5 tetes/oral. Interlac yang mengandung (Lactobacillus

reuteri Protectis) ini merupakan probiotik. bukti saat ini menunjukan bahwa

suplementasi probiotik secara signifikan mengurangi semua morbiditas dan mortalitas

pada neonates. Pengguaaan probiotik juga dibidang neonatologi telah banyak

didapatkan terutama pada bayi yang lahir secara SC. Probiotik ini mencegah EKN

(Enterokolitis nekrotikan) melalui perannya sebagai barrier migrasi bakteri melintasi

mukosa intestinal, kompetitor flora pathogen, mengurangi permeabilitas interstinal,

menciptakan keseimbangan mikrobiota. Efek proteksi mukosa terhadap kolonisasi


15
patogen dan meningkatkan sitokin antiinflamasi. Pada hari perawatan ke 7

kembung pasien dan ruam mulai berkurang, dan pada hari perawatan ke 8 pasien

dipulangkan dengan klinis yang membaik.

DAFTAR PUSTAKA

86
1. WHO (World Health Organization). Asfiksia. 2021

2. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran tatalaksana asfiksia

3. IDAI. Buku Neonatologi. Jilid 1.Jakarta. 2008

4. IDAI. Alur resusitasi neonatus. 18 Mar 2021. Available from :

https://fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2017/05/Buku-PKB-Jaya-XIII-Nov-

2016.pdf

5. Vergano S, Heath P. Fetal and Neonatal infections. Elsevier. 2013.

6. Okomo UA. Neonatal Infections; a hospital-based study in The Gambia

examining aetiology and associated maternal colonisation. London school of

hygiene & tropical medicine. 2017.[Thesis]

7. Cantey JB. Neonatal infecton: Pathophysiology, diagnosis, and management.

Springer. USA. 2018.

8. Champlain Maternal Newborn Regional Program. Newbron Thermoregulation.

Jun 2013.

9. Meyer M, Hutchinson C. A Clinical of radiant Warmer and Incubator Care for

Preterm infants From Birth to 1800 grams. ResearchGate. 2001.

10. Pusponegoro TS. Sepsis Pada Neonatus (Sepsis Neonatal). Jakarta: Badan

Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, 2000; 2(2): 96-102.

11. Sharma D,Farahbakhsh N, Shastri S, et al. Biomarkers for Diagnosis of Neonatal

Sepsis: A Literature Review. San Diego: Public Library of San Diego, 2017;

10(80): 1-38.

87
12. Cote A, et al. Pierre robin sequence: review of diagnostic and treatment

challenges. International journal of pediatric otorhinolaryngology. 2015.

13. Coetzee M, Mbowane NT, de Witt TW. Neonatal sepsis: Highlighting the

Principles of Diagnosis and Management. South Africa: The South African

Journal of Child Heath, 2017; 11(2): 99-103.

14. Hayatullah MK, Tjipta GS, Sianturi P, Azlin E, Libis BM, et al. Terapi

antibiotika empiris pada neonatus. The Journal of Medical School of University

of Sumatra. 2017 Jun 21;50(2): 107-10

15. Savitri TE, Hidajat S. Pengaruh Lactobacilus reuteri DSM 1798 terhadap kadar

Calpraprotectin Feses sebagai penanda inflamasi intertinal pada bayi kurang

bulan. Sari Pediatri. 2018 Oct : 20(3): 171-7

16. IDAI. Formularium Spesialistik Ilmu Kesehatan Anak. 2012

17. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. Faramkologi dan terapi. 5 Ed.

2012

18. Safri M. Alergi Susu Sapi. Jurnal kedokteran Syiah Kuala. 2008 Apr 1:8: 47-55

88

Anda mungkin juga menyukai