Anda di halaman 1dari 41

TELAAH JURNAL

Chlorhexidine versus saline in reducing the risk of catheter associated


urinary tract infection: A cost-effectiveness analysis

KELOMPOK R’19:
Dwi Fitrialesa, S.Kep 1941312026
Hanifa Ikhwati, S.Kep 1941312028
Nadia Qonita, S.Kep 1941312032
Lethievia Adzro.J, S.Kep 1941312037
Muthiah Tri Zuhriani, S.Kep 1941312025

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemasangan kateter merupakan tindakan keperawatan dengan cara


memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan
untuk membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan
bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006). Tindakan pemasangan kateter urin
dilakukan dengan cara memasukkan selang plastic sesuai dengan ukurannya
ke dalam kandung kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang
berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau
klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji
pengeluaran urin per jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil
( Potter dan Perry, 2008).
Tindakan pemasangan kateter merupakan tindakan invasive yang dapat
menimbulkan rasa nyeri, sehingga jika dikerjakan dengan cara keliru akan
dapat menimbulkan kerusakan uretra yang permanen. Tindakan pemasangan
selang kateter ini mempunyai resiko terjadinya infeksi atau trauma pada uretra
(Purnomo, 2008). Infeksi yang dapat timbul karena pemasangan kateter
disebut infeksi saluran kemih atau disingkat dengan ISK.
Infeksi Saluran kemih (ISK) adalah keadaan yang disebabkan karena
adanya invasi bakteri pada saluran kemih. Infeksi saluran kemih disebabkan
oleh bakteri Escherechia coli, Klebsiella pneumonia dan Pseudomonas
aeruginosa. Infeksi saluran kemih dapat mengenai baik pria maupun wanita
dari semua umur baik anak, remaja, dewasa maupun umur lanjut (Tessy,
2001). Dalam suatu penelitian di Eropa, infeksi saluran kemih menyumbang
16% dari semua infeksi yang terkait dengan perawatan kesehatan (HAI’s) dan
pada umumnya terkait dengan penggunaan kateter yang menetap (Magil etc,

1
2014). Infeksi saluran kemih akan memperpanjang hari rawat pasien di rumah
sakit. Dengan demikian akan terjadi peningkatan biaya pengobatan dan resiko
resistensi terhadap antimikroba (Nicolle, 2014).
Pedoman untuk pencegahan dan pengendalian infeksi saluran kemih yang
terkait dengan pemakaian kateter telah dikembangkan dibanyak negara.
Memeinimalkan penggunaan kateter, pemasangan kateter dengan praktik yang
benar, pemeliharaan yang tepat, pengawasan infeksi serta pengangkatan
kateter urin dengan segera merupakan beberapa rekomendasi yang dapat
diterapkan (Lo et all, 2014).
Infeksi saluran kemih dapat dikurangi dengan hygine yang bagus sebelum
pemasangan kateter. Hygiene sebelum pemasangan kateter dapat dilakukan
menggunakan cairan chlorhexidine dan saline. Chlorhexidine merupakan
golongan anti septic yang digunakan untuk membersihkan kulit. Sedangkan
saline merupakan larutan garam yang dapat digunakan untuk membersihkan
luka dan kulit namun tidak tergolong pada antiseptic.
Berdasarkan pengamatan diruangan penyakit dalam pria RSUP
Dr.M.Djamil Padang dari tanggal 20-28 januari 2020 terdapat 24 orang pasien
yang memakai kateter urine. Pada saat pemasangan kateter urine cairan yang
digunakan untuk penis hygine adalah saline. Berdasarkan jurnal yang
didapatkan dikatakan bahwa penggunaan chlorhexidine lebih efektif
mengurangi ISK dari pada saline.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Sistem Perkemihan


Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh
tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan
dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Sistem perkemihan atau biasa juga disebut Urinary System adalah suatu
sistem kerjasama tubuh yang memiliki tujuan utama mempertahankan
keseimbangan internal atau Homeostatis. Fungsi lainnya adalah untuk
membuang produk-produk yang tidak dibutuhkan oleh tubuh dan banyak
fungsi lainnya yang akan dijelaskan kemudian.
Susunan sistem perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang
menghasilkan urin, b) dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika
urinaria (kandung kemih), c) satu vesika urinaria (VU), tempat urin
dikumpulkan, dan d) satu urethra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria.

Gambar 1. Letak Anatomi Ginjal (Sumber : Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh, 2009)

3
B. Anatomi Sistem Perkemihan
1. Ginjal (Ren)
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang
peritoneum pada kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra
lumbalis ke-3.Bentuk ginjal seperti biji kacang.Ginjal kanan sedikit lebih
rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dexter yang besar.
a) Fungsi ginjal :
 Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis
atau racun,
 Mempertahankan suasana keseimbangan cairan, osmotic, dan
ion,
 Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari
cairan tubuh,
 Fungsi hormonal dan metabolisme,
 Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum,
kreatinin dan amoniak.
b) Struktur ginjal.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula
fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna
cokelat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna
cokelat lebih terang dibandingkan cortex.Bagian medulla berbentuk
kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi
menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut
papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai
pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan
nervus..Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang
diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis

4
majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga
calices renalis minores.
Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang
merupakan unit fungsional ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron
dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari :

Gambar 2. Ginjal dan Nefron (Sumber : Fisiologi Ginjal dan Cairan


Tubuh, 2009)
1. Glomerolus
Suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol
afferent yang kemudian bersatu menuju arteriol efferent,
Berfungsi sebagai tempat filtrasi sebagian air dan zat yang
terlarut dari darah yang melewatinya.
2. Kapsula Bowman
Bagian dari tubulus yang melingkupi glomerolus untuk
mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerolus.

5
3. Tubulus, terbagi menjadi 3 yaitu:
 Tubulus proksimal
Tubulus proksimal berfungsi mengadakan reabsorbsi bahan-
bahan dari cairan tubuli dan mensekresikan bahan-bahan ke
dalam cairan tubuli.
 Ansa Henle
Ansa henle membentuk lengkungan tajam berbentuk U.
Terdiri dari pars descendens yaitu bagian yang menurun
terbenam dari korteks ke medula, dan pars ascendens yaitu
bagian yang naik kembali ke korteks. Bagian bawah dari
lengkung henle mempunyai dinding yang sangat tipis
sehingga disebut segmen tipis, sedangkan bagian atas yang
lebih tebal disebut segmen tebal.
Lengkung henle berfungsi reabsorbsi bahan-bahan dari cairan
tubulus dan sekresi bahan-bahan ke dalam cairan tubulus.
Selain itu, berperan penting dalam mekanisme konsentrasi
dan dilusi urin.
 Tubulus distal
Berfungsi dalam reabsorbsi dan sekresi zat-zat tertentu.

4. Duktus pengumpul (duktus kolektifus)


Satu duktus pengumpul mungkin menerima cairan dari delapan
nefron yang berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke
dalam medula untuk mengosongkan cairan isinya (urin) ke
dalam pelvis ginjal.

6
c) Persarafan ginjal.
Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis(vasomotor).
Saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke
dalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah
yang masuk ke ginjal.
1. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari
ginjal ke vesika urinaria. Panjangnya ± 25-30 cm, dengan
penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga
abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari :
 Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
 Lapisan tengah lapisan otot polos.
 Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
 Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan
peristaltic yang mendorong urin masuk ke dalam
kandung kemih.

2. Vesika Urinaria (Kandung Kemih).


Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin.Organ ini
berbentuk seperti buah pir (kendi).letaknya d belakang simfisis
pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat
mengembang dan mengempis seperti balon karet.
Dinding kandung kemih terdiri dari:
 Lapisan sebelah luar (peritoneum).
 Tunika muskularis (lapisan berotot).
 Tunika submukosa.
 Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).

7
3. Uretra
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika
urinaria yang berfungsi menyalurkan air kemih ke luar.
Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari:
 Urethra pars Prostatica
 Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter urethra
externa)
 Urethra pars spongiosa.
Pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm
(Lewis). Sphincter urethra terletak di sebelah atas vagina
(antara clitoris dan vagina) dan urethra disini hanya sebagai
saluran ekskresi.
Dinding urethra terdiri dari 3 lapisan:
 Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari
Vesika urinaria mengandung jaringan elastis dan otot
polos. Sphincter urethra menjaga agar urethra tetap
tertutup.
 Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung
pembuluh darah dan saraf.
 Lapisan mukosa.

4. Air kemih (urine).


Sifat fisis air kemih, terdiri dari:
 Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari
pemasukan(intake) cairan dan faktor lainnya.
 Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan
menjadi keruh.

8
 Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diet obat-obatan
dan sebagainya.
 Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau
amoniak.
 Berat jenis 1,015-1,020.
 Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga
tergantung dari pada diet (sayur menyebabkan reaksi
alkalis dan protein member reaksi asam).
 Komposisi air kemih, terdiri dari:
o Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.
o Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein,
asam urea amoniak ,Elektrolit, natrium, kalsium, NH3,
bikarbonat, fospat dan sulfat.
o Pagmen (bilirubin dan urobilin).
o Toksin
.
C. Fisiologi Sistem Perkemihan
Pada saat vesica urinaria tidak dapat lagi menampung urine tanpa
meningkatkan tekanannya (biasanya pada saat volume urine kira-kira 300
ml)makam reseptor pada dinding vesika urinaria akan memulai kontraksi
musculus detrussor. Pada bayi, berkemih terjadi secara involunter dan dengan
segera. Pada orang dewasa, keinginan berkemih dapat ditunda sampai ia
menemukan waktu dan tempat yang cocok. Walaupun demikian, bila
rangsangan sensoris ditunda terlalu lama, maka akan memberikan rasa sakit.
Dengan demikian mulainya kontraksi musculus detrussor, maka terjadi
relaksasi musculus pubococcygeus dan terjadi pengurangan topangan
kekuatan urethra yang menghasilkan beberapa kejadian dengan urutan sebagai
berikut :

9
1. Membukanya meatus intemus
2. Perubahan sudut ureterovesical
3. Bagian atas urethra akan terisi urine
4. Urine bertindak sebagai iritan pada dinding urine
5. Musculus detrussor berkontraksi lebih kuat
6. Urine didorong ke urethra pada saat tekanan intraabdominal
meningkat
7. Pembukaan sphincter extemus
8. Urine dikeluarkan sampai vesica urinaria kosong

Penghentian aliran urine dimungkinkan karena musculus


pubococcygeus yang bekerja di bawah pengendalian secara volunteer :
1. Musculus pubococcygeus mengadakan kontraksi pada saat urine
mengalir
2. Vesica urinaria tertarik ke atas
3. Urethra memanjang
4. Musculus sprincter externus di pertahankan tetap dalam keadaan
kontraksi.
Apabila musculus pubococcygeus mengadakan relaksasi lahi maka
siklus kejadian seperti yang baru saja diberikan di atas akan mulai lagi secara
otomatis.
Fungsi sistem homeostatis urinaria:
 Mengatur volume dan tekanan darah dengan mengatur banyaaknya air
yang hilang dalam urine, melepaskan eritropoietin dan melepaskan
rennin.
 Mengatur konsentrasi plasma dengan mengontrol jumlah natrium,
kalium, klorida, dan ion lain yang hilang dalam urin dan mengontrol
kadar ion kalsium.

10
 Membantu menstabilkan pH darah, dengan mengontrolkehilanganion
hydrogen dan ion bikarbonat dalam urin.
 Menyimpan nutrient dengan mencegah pengeluaran dalam urin,
mengeluarkan produk sampah nitrogen seperti urea dan asam urat.
 Membantu dalam mendeteksi racun-racun.
 Mekanisme pembentukan urine
Dari sekitar 1200ml darah yang melalui glomerolus setiap menit
terbentuk 120 – 125ml filtrat (cairan yang telah melewati celah
filtrasi).Setiap harinyadapat terbentuk 150 – 180L filtart. Namun dari
jumlah ini hanya sekitar 1% (1,5 L) yang akhirnya keluar sebagai
kemih, dan sebagian diserap kembali.
Transpor urin dari ginjal melalui ureter dan masuk ke dalam kandungan
kemih

Tahap – tahap Pembentukan Urine :


a. Proses filtrasi
Terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferent
lebih besar dari permukaan aferent maka terjadi penyerapan darah,
sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah
kecuali protein, cairan yang tersaring ditampung oleh simpai
bowman yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat,
bikarbonat dll, diteruskan ke seluruh ginjal.
b. Proses reabsorpsi
Terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium,
klorida, fosfat dan beberapa ion karbonat.Prosesnya terjadi secara
pasif yang dikenal dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus
atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali
penyerapan dan sodium dan ion karbonat, bila diperlukan akan

11
diserap kembali kedalam tubulus bagian bawah, penyerapannya
terjadi secara aktif dikienal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya
dialirkan pada pupila renalis.
c. Augmentasi (Pengumpulan)
Proses ini terjadi dari sebagian tubulus kontortus distal sampai
tubulus pengumpul. Pada tubulus pengumpul masih terjadi
penyerapan ion Na+, Cl-, dan urea sehingga terbentuklah urine
sesungguhnya.
Dari tubulus pengumpul, urine yang dibawa ke pelvis renalis lalu di
bawa ke ureter.Dari ureter, urine dialirkan menuju vesika urinaria
(kandung kemih) yang merupakan tempat penyimpanan urine
sementara.Ketika kandung kemih sudah penuh, urine dikeluarkan
dari tubuh melalui uretra.
Urin yang keluar dari kandungan kemih mempunyai komposisi
utama yang sama dengan cairan yang keluar dari duktus koligentes,
tidak ada perubahan yang berarti pada komposisi urin tersebut sejak
mengalir melalui kaliks renalis dan ureter sampai kandung kemih.

D. Proses Miksi (Rangsangan Berkemih)


Distensi kandung kemih, oleh air kemih akan merangsang stres
reseptor yang terdapat pada dinding kandung kemih dengan jumlah ± 250 cc
sudah cukup untuk merangsang berkemih (proses miksi). Akibatnya akan
terjadi reflek kontraksi dinding kandung kemih, dan pada saat yang sama
terjadi relaksasi spinser internus, diikuti oleh relaksasi spinter eksternus, dan
akhirnya terjadi pengosongan kandung kemih.
Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan
relaksasi spinter interus dihantarkan melalui serabut – serabut para simpatis.
Kontraksi sfinger eksternus secara volunter bertujuan untuk mencegah atau

12
menghentikan miksi. kontrol volunter ini hanya dapat terjadi bila saraf – saraf
yang menangani kandung kemih uretra medula spinalis dan otak masih utuh.
Bila terjadi kerusakan pada saraf – saraf tersebut maka akan terjadi
inkontinensia urin (kencing keluar terus – menerus tanpa disadari) dan retensi
urine (kencing tertahan).
Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh torako
lumbar dan kranial dari sistem persarafan otonom. Torako lumbar berfungsi
untuk relaksasi lapisan otot dan kontraksi spinter interna.
Peritonium melapis kandung kemih sampai kira – kira perbatasan
ureter masuk kandung kemih. Peritoneum dapat digerakkan membentuk
lapisan dan menjadi lurus apabila kandung kemih terisi penuh. Pembuluh
darah Arteri vesikalis superior berpangkal dari umbilikalis bagian distal, vena
membentuk anyaman dibawah kandung kemih. Pembuluh limfe berjalan
menuju duktus limfatilis sepanjang arteri umbilikalis.
Jadi, reflex mikturisi merupakan sebuah sikus yang lengkap yang
terdiri dari:
1. Kenaikan tekanan secara cepat dan progresif
2. Periode tekanan menetap
3. Kembalinya tekanan kandung kemih ke nilai tonus basal.
4. Perangsangan atau penghambatan berkemih oleh otak.
Pusat – pusat ini antara lain:
1. Pusat perangsang dan penghambat kuat dalam batang otak, terutama
terletak di ponds, dan beberapa pusat yang terletak korteks serebral yang
terutama bekerja menghambat tetapi dapat menjadi perangsang.
2. Refleks berkemih merupakan dasar penyebab terjadinya berkemih, tetapi
pusat yang lebih tinggi normalnya memegang peranan sebagai
pengendali akhir dari berkenmih sebagai berikut:

13
a) Pusat yang lebih tinggi menjaga secara parsial penghambatan refleks
berkemih kecuali jika peristiwa berkemih dikehendaki.
b) Pusat yang lebih tinggi dapat mecegah berkemih, bahkan jika refleks
berkemih timbul, dengan membuat kontraksi tonik terus menerus
pada sfingter eksternus kandung kemih sampai mendapatkan waktu
yang baik untuk berkemih.
c) Jika tiba waktu berkemih, pusat kortikal dapat merangsang pusat
berkemih sacral untuk membantu untuk mencetuskan refleks
berkemih dan dalam waktu bersamaan menghambat sfingter eksternus
kandung kemih sehingga peristiwa berkemih dapat terjadi.

Berkemih di bawah keinginan biasanya tercetus dengan cara berikut:


Pertama, seseorang secara sadar mengkontraksikan otot – otot abdomennya,
yang meningkatkan tekanan dalam kandung kemih dan mengakibatkan urin
ekstra memasuki leher kandung kemih dan uretra posterior di bawah tekanan,
sehingga meregangkan dindingnya.
a. Urine (Air Kemih)
Mikturisi ( berkemih ) merupakan refleks yang dapat dikendalikan
dan dapat ditahan oleh pusat persarafan yang lebih tinggi dari manusia.
Gerakannya oleh kontraksi otot abdominal yang menambah tekanan di
dalam rongga dan berbagai organ yang menekan kandung kemih
membantu mengosongkannya.Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tetapi
berbeda sesuai dengan jumlah cairan yang masuk. Warnanya bening
oranye, pucat tanpa endapan, baunya tajam, reaksinya sedikit asam
terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.
1. Sifat – sifat air kemih
 Jumlah eksresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari
masuknya (intake) cairan serta faktor lainnya.
 Warna bening muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.

14
 Warna kuning terantung dari kepekatan, diet obat – obatan dan
sebagainya.
 Bau khas air kemih bila dibiarkan terlalu lama maka akan berbau
amoniak.
 Baerat jenis 1.015 – 1.020.
 Reaksi asam bila terlalu lama akan menjadi alkalis, tergantung
pada diet (sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein
memberi reaksi asam).

2. Komposisi air kemih


Urin atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang
diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksreksi urin diperlukan untuk
membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh
ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Namun, ada
juga beberapa spesies yang menggunakan urin sebagai sarana
komunikasi olfaktori.
Urin terdiri dari air dengan bahan terlarut berupa sisa
metabolisme (seperti urea), garam terlarut, dan materi organik.
Cairan dan materi pembentuk urin berasal dari darah atau cairan
interstisial. Komposisi urin berubah sepanjang proses reabsorpsi
ketika molekul yang penting bagi tubuh, misal glukosa, diserap
kembali ke dalam tubuh melalui molekul pembawa. Cairan yang
tersisa mengandung urea dalam kadar yang tinggi dan berbagai
senyawa yang berlebih atau berpotensi racun yang akan dibuang
keluar tubuh. Materi yang terkandung di dalam urin dapat diketahui
melalui urinalisis. Urea yang dikandung oleh urin dapat menjadi
sumber nitrogen yang baik untuk tumbuhan dan dapat digunakan

15
untuk mempercepat pembentukan kompos. Diabetes adalah suatu
penyakit yang dapat dideteksi melalui urin. Urin seorang penderita
diabetes akan mengandung gula yang tidak akan ditemukan dalam
urin orang yang sehat.
Komposisi air kemih :
 Air kemih terdiri dari kira – kira 95 % air
 Zat – zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein asam
urea, amoniak dan kreatinin
 Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fosfat dan sulfat
 Pigmen (bilirubin, urobilin)
 Toksin
 Hormon

E. Chlorhexidine
Chlorhexidine (CHX) adalah suatu antiseptic yang termasuk golongan
bisbiguanide umumnya digunakan dalam bentuk glukonatnya. Chlorhexidine
digunakan sebagai surgical scrub, mouth wash, nenonatal bath, & general
skin antiseptic. Chlorhexidine menyerang bakteri Gram positif dan negative,
bakteri ragi, jamur, protozoa, alga dan virus. Chlorhexidine merupakan
antiseptic dan desinfektan yang mempunyai efek bakterisidal dan
bakteriostatik terhadap bakteri gram (+) dan Gram (-).
Chlorhexidine termasuk jenis obat antiseptik. Obat ini bekerja dengan
cara membunuh bakteri pada luka.
Untuk penyimpanannya, chlorhexidine harus disimpan pada suhu ruangan
serta terhindar dari tempat panas dan lembap. Jangan bekukan obat ini dan
pastikan botolnya tertutup rapat saat tidak digunakan. Kemudian jumlah dosis
chlorhexidine yang diberikan tergantung dari kekuatan obat ini.

16
F. Saline
Cairan salin normal disebut juga cairan isotonik atau infus natrium klorida
(NaCl) 0,9% (Severs, 2015). Dalam beberapa sumber menyatakan bahwa cairan salin
normal tidak dapat disamakan dengan cairan natrium klorida 0,9%.
Cairan salin normal adalah cairan steril, non pirogenik, tidak mengandung
glukosa dan tidak memiliki efek anti mikroba. Cairan infus ini bening, tidak berbau,
tidak memiliki rasa, dan tidak memiliki partikel-partikel di dalamnya. pH cairan 4,5-
7,0.
Bahan aktif yang terdapat pada cairan salin normal adalah natrium dan klorida.
Cairan salin normal adalah cairan kristaloid yang paling banyak digunakan dalam
praktek sehari-hari.
Obat ini digunakan sebagai terapi lini pertama sebagai pengganti cairan dan
elektrolit natrium dan klorida pada kondisi kekurangan cairan misalnya diare,
demam, dan dehidrasi Selain itu, cairan salin normal juga digunakan sebagai cairan
irigasi steril dan sebagai pelarut berbagai jenis obat.

17
PEMASANGAN KATETER URINE PRIA

NO. DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN


RSUP DR. M. SPO-KOM-KEP-47 1 1/2
DJAMIL
PADANG
DITETAPKAN DIREKTUR UTAMA
STANDAR TANGGAL REVISI
PROSEDUR 10 MARET 2014
OPERASION dr. Irayanti, Sp.M
AL NIP 19620123 198901 2001
PENGERTIAN Urutan tindakan dalam pemasangan kateter pria

TUJUAN Sebagai acuan penerapan langkah – langkah untuk


pemasangan kateter pria

KEBIJAKAN 1. Undang – Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit


2. Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1691 tahun 2011 tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 49 tahun 2013 tentang
Komite Keperawatan
5. Keputusan Menteri Kesehatan No. 938/Menkes/SK/VIII/2007
tentang Standar Asuhan Kebidanan
6. Surat Keputusan Direktur Utama RSUP Dr. M. Djamil Padang
No.YM.01.01/II/05/2014 Tentang Penetapan Pemberlakuan
Kebijakan Pelayanan di RSUP Dr. M. Djamil Padang

PROSEDUR 1. Persiapan petugas


a. Pastikan dan identifikasi kebutuhan pasien yang akan
dilakukan tindakan
b. Cuci tangan sesuai prosedur (lihat SPO cuci tangan)
c. Gunakan alat pelindung diri (APD) sesuai kebutuhan

2. Persiapan Pasien
a. Identifikasi pasien (lihat SPO Identifikasi)
b. Jaga privacy dan siapkan lingkungan aman dan nyaman

18
c. Jelaskan tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan

3. Persiapan alat
Baki berisi :
a. Bak instrumen steril berisi :
i. Kassa steril dengan jelly
ii. Doek Lobang
iii. Pinset anatomis
b. Sarung tangan 2 psg (steril 1 psg, bersih 1 psg)
c. Pengalas
d. Poly cateter (ukuran sesuai kebutuhan) dan urine bag
e. Kapas cebok dalam tempatnya
f. Nierbeken 2 buah
g. Spuit sesuai kebutuhan
h. Aqua steril dalam tempatnya
i. Plester
j. Tempat sampah
k. Sampiran

4. Pelaksanaan
a. Cuci tangan dan gunakan APD sesuai kebutuhan
b. Pasang sampiran
c. Gantung urine bag di sisi tempat tidur pasien
d. Buka pakaian bawah pasien (celana / kain sarung)
e. Pasang pengalas dan atur posisi pasien sesuai kebutuhan
f. Dekatkan nierbeken diantara kedua paha dan lakukan penis
hygiene (lihat SPO penis hygiene)
g. Dekatkan nierbeken kedua untuk menampung urine
h. Ganti sarung tangan bersih dengan steril dan pasang doek
lubang
i. Buka dan olesi ujung kateter dengan kassa jelly
j. Masukkan kateter yang sudah diberi jelly ke uretra sampai
batas cabang kateter dengan tangan kanan, tangan kiri
memegang penis, sambil menyuruh pasien membuka mulut
k. Tampung urine dengan menggunakan nierbeken
l. Perhatikan respon pasien
m. Isi balon kateter dengan cairan aquades sesuai dengan
kebutuhan dan selang kateter ditarik sampai ada tahanan
n. Angkat duk lobang, sambungkan kateter ke urine bag,
fiksasikan ke paha kiri/ kanan pasien

19
o. Bereskan alat-alat, lepaskan APD dan cuci tangan
p. Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan

UNIT TERKAIT Seluruh instalasi pelayanan keperawatan di RSUP Dr. M. Djamil


Padang

DAFTAR Wahid Iqbal Mubarak, SKM, Buku Ajar Kebutuhan Dasar


RUJUKAN Manusia, Teori Dan Aplikasi Dalam Praktik, 2008.

20
BAB III
TELAAH JURNAL

1. Judul Jurnal

Setiap jurnal harus memiliki judul yang jelas. Dengan membaca judul
akan memudahkan pembaca mengetahui inti jurnal tanpa harus membaca
keseluruhan dari jurnal tersebut. Judul tidak boleh memiliki makna ganda.
Pada judul jurnal sudah terdapat variabel independen dan dependen, yaitu :
Independen : Chlorhexidine versus saline
Dependen : Resiko infeksi saluran kemih

Kelebihan Jurnal
1. Judul jurnal sudah baik dan terdiri dari 16 kata, dimana syarat
judul jurnal adalah tidak boleh lebih dari 20 kata, singkat dan jelas.
Judul jurnal menjelaskan tentang penggunaan chlorhexidine
versus saline dalam mengurangi resiko infeksi saluran kemih
terkait kateter: analisis efektivitas biaya, dari judul jurnal kita
sudah mengetahui bahwa jurnal ini menjelaskan bagaimana
perbandingan penggunaan chlorhexidine versus saline dalam
mengurangi resiko infeksi saluran kemih terkait kateter dalam
analisis efektivitas biaya
2. Pada jurnal ini nama penulis sudah ditulis dengan benar, tanpa
menggunakan gelar yaitu : Brett G. Mitchell., Oyebola Fasugba,.
Allen C Cheng,. Victoria Gregory,. Jane Koerner,. Petter
Collignon,. Anne Gradner,. Nicholas Graves.
3. Pada judul jurnal juga di paparkan penerbit jurnal sehingga kita
mengetahui jurnal ini diterbitkan dari mananya yaitu “Elsevier”.

21
2. Abstrak

Abstrak sebuah jurnal berfungsi untuk menjelaskan secara singkat tentang


keseluruhan isi jurnal. Penulisan sebuah abstrak terdiri dari sekitar 250 kata
yang berisi tentang latar belakang, tujuan, metode, bahan, hasil, dan
kesimpulan isi jurnal. Terdapat kata kunci juga yang menonjolkan dari judul
jurnal tersebut, sehingga memudahkan dalam penelusuran literatur secara
cepat dan tepat.

Kelebihan Jurnal
1. Jurnal ini memiliki abstrak dengan sangat rinci dan menjelaskan
secara singkat isi jurnal
2. Abstrak pada jurnal ini sudah baik dan berurutan yang terdiri dari
latar belakang sampai hasil kesimpulan penelitian serta kata kunci

Kelemahan Jurnal
Jurnal ini memiliki kata yang berlebih dari abstrak yang seharusnya,
yaitu 283 kata. Penulisan abstrak yang berlebih dapat di tuliskan lebih
rinci kembali, seperti pada background dimana dapat dipersingkat
isinya, sehingga dapat menghemat kata agar sesuai dengan ketentuan
penulisan abstrak yaitu 250 kata.

3. Pendahuluan

Pendahuluan jurnal terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan


penelitian, penelitian sejenis yang mendukung penelitian dan manfaat
penelitian. Pendahuluan terdiri dari 4-5 paragraf, dimana dalam setiap
paragraf terdiri dari 4-5 kalimat.

22
Kelebihan Jurnal
1. Pada jurnal ini, sudah terdapat penelitian lain yang sejenis yang
mendukung penelitian jurnal.
2. Pada jurnal ini fenomena yang dibahas adalah perbandingan
penggunaan chlorhexidine versus saline dalam mengurangi resiko
infeksi saluran kemih terkait kateter dalam analisis efektivitas
biaya (Mitchell et al, 2019).
3. Pada jurnal ini, sudah terdapat penelitian lain yang sejenis yang
mendukung penelitian jurnal.

Kelemahan Jurnal
Pendahuluan pada jurnal ini tidak menjelaskan terkait manfaat dan
penjelasan terkait penggunaan chlorhexidine dan saline dari penelitian
yang dilakukan.

4. Pernyataan Masalah

Dalam jurnal ini terdapat pernyataan masalah yang jelas yaitu


perbandingan penggunaan chlorhexidine versus saline dalam mencegah resiko
infeksi saluran kemih terkait kateter dalam analisis efektivitas biaya.

5. Tujuan Penelitian
Dalam jurnal ini sudah dipaparkan dengan jelas tujuan penelitiannya yaitu
mengevaluasi efektifitas biaya antara penggunaan chlorhexidine dan saline
untuk membersihkan meatus uretra sebelum pemasangan kateter urin dan
mencegah terjadinya resiko infeksi saluran kemih terkait pemasangan kateter.

23
6. Tinjauan Pustaka

Jurnal ini sudah mencantumkan tinjauan kepustakaan sebagai acuan


konsep.

7. Kerangka Konsep dan Hipotesis

Dalam penulisan ini, tidak tercantum kerangka konsep dan hipotesis.

8. Metodologi

Desain dalam penelitian ini adalah penelitian uji coba step wedge studi
acak terkontrol adalah prosedur yang umumnya digunakan pada uji coba obat
atau prosedur medis. Studi acak terkontrol melibatkan proses pemberian
perlakuan kepada subjek secara acak. Studi acak terkontrol dianggap sebagai
bukti ilmiah paling tepercaya dalam perawatan kesehatan karena
menghilangkan kausalitas palsu dan bias. Studi acak terkontrol terutama
digunakan pada penelitian klinis, tetapi juga digunakan untuk sektor lainnya
seperti pengadilan, pendidikan, dan penelitian sosial.

9. Sampel dan instrumen


Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 1642 orang. 697 orang pada
kelompok control dan 945 orang pada kelompok intervensi. Penelitian
dilakukan pada 3 rumah sakit yaitu rumah sakit rujukan tersier besar, rumah
sakit daerah, rumah sakit swasta.
Pada jurnal ini, jumlah sampel pada kelompok kontrol dan intervensi
berbeda. Peneliti tidak mencantumkan alasan kenapa jumlah sampel pada
kelompok kontrol dan intervensi berbeda. Perbedaan jumlah ini dapat
menimbulkan bias dalam penelitian.

24
Sampel dalam jurnal ini adalah semua pasien yang diindikasikan
menggunakan kateter, baik pria maupun wanita.
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah :
a. Pasien yang terpasang kateter selama dirawat di rumah sakit
b. Usia rata-rata 62 tahun
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan 2 metode perawatan kateter
menggunakan chlorhexidine dan saline.
Pembanding :
- Penggunaan 0,1% larutan chlorhexidine untuk membersihkan meatus
sebelum kateterisasi urin
- Penggunaan 0,9% larutan saline untuk membersihkan meatus sebelum
kateterisasi urin

10. Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian dalam penelitian ini sudah jelas, dilengkapi dengan
tabel.
Tabel 3. Hasil pengambilan sampel dari parameter model

Perubahan dalam biaya kesehatan yang beralih dari saline ke 0,1%


chlorhexidine per 100.000 kateter ditampilkan dalam Tabel 3. Rata-rata,

25
penggunaan chlorhexidine per 100.000 kateter akan menghemat sekitar
AUD$387,909 (Rp3.700.000,-) jika menggunakan model akunting dan akan
mengalami kenaikan biaya sebesar AUD$6299 (Rp60.000.000,-) jika
menggunakan metode kesediaan untuk membayar. Penggunaan chlorhexidine
diperkirakan akan mencegah 70 kasus dari Infeksi Saluran Kemih dan
mengurangi hari rawat pasien yaitu 282 bed per hari. Ada sedikit peningkatan
dalam memanfaatkan kesehatan untuk kualitas hidup yang disesuaikan per
tahun.

11. Pembahasan

Jurnal ini sudah menampilkan hasil penelitian yang didapat, pendapat


penulis serta didukung oleh teori-teori yang mendasari atau mendukung
penulisannya
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi efektivitas biaya
pemakaian chlorhxidine 0,1% untuk membersihkan meatus uretra sebelum
pemasangan kateter.
Untuk mewujudkan kualitas hidup yang baik, peneliti sudah
memperkirakan perubahan dalam biaya layanan kesehatan dan dalam QALYs
terkait dengan penggunaan chlorhexidine 0,1% untuk pembersihan meatus
uretra sebelum pemasangan kateter.
Dalam penelitian tersebut, peneliti menunjukkan bahwa penggunaan
chlorhexidine 0,1% dapat mengurangi kejadian Infeksi Saluran Kemih yaitu
sebesar 94% (Fasugba et al, 2019). Pada penelitin ini, peneliti membagi dua
kelompok yang diperlakukan dengan sama. Dimana intervensi yang dilakukan
yaitu penggunaan chlorhexidine 0,1%. Setelah fase konrol selama 2 bulan,
yaitu menggunakan saline 0,9% untuk membersihkan meatus uretra, satu
rumah sakit akan beralih ke intervensi penggunaan chlorhexidine 0,1% setiap
2 bulan.

26
Untuk pembiayaan produk, setiap rumah sakit diperlakukan sama. Dapat
dilihat pada halaman 3 poin 2.11 yang menjelaskan bahwa biaya produk dari
saline dan chlorhexidine diturunkan dari rata-rata harga yang dibayarkan oleh
masing-masing peserta rumah sakit. Dari total biaya produk, didapatkan
peningkatan rata-rata dalam biaya untuk beralih dari saline ke chlorhexidine
yaitu AUD$0,88 (Rp8.000,-) per ampul.
Keterbatasan penelitian ini adalah ketergantungannya pada perkiraan
yang relatif lama untuk kemungkinan infeksi aliran darah sekunder untuk
CAUTIs dan hanya 2 hari terapi IV dengan antibiotik.
Peneliti sebelumnya telah menunjukkan kemanjuran klinis menggunakan
chlorhexidine 0,1% untuk mengurangi risiko CA-ASB dan CAUTI. (Fasugba
et al., 2019) Namun, meningkatkan pengeluaran pasien hanya pada satu
elemen dari layanan kesehatan yang bernilai tinggi, dan mengurangi biaya per
kapita juga penting (Berwick et al., 2008). Temuan dari peneliti ini
memberikan bukti yang jelas kepada administrator sistem kesehatan dan
mereka yang bertanggung jawab untuk menyusun pedoman pencegahan
CAUTI bahwa beralih dari saline ke chlorhexidine tidak hanya efektif secara
klinis tetapi juga keputusan yang masuk akal dalam konteks mengalokasikan
sumber daya perawatan kesehatan yang terbatas.
Penggunaan chlorhexidine bisa digunakan pada semua pasien yang
diindikasikan memakai kateter, termasuk pada ibu yang mau melahirkan.

Kelebihan Pembahasan:
Pada penelitian ini sudah memaparkan hasil dari penelitiannya dan
penelitian lain yang mendukung. Dalam penelitian ini juga dijelaskan
kekurangan penelitiannya, sehingga dapat dipertimbangkan lagi untuk
update ilmu selanjutnya agar lebih pasti.

27
Kelemahan Pembahasan:
Dalam pembahasan, peneliti tidak terlalu menjelaskan manfaat
penggunaan chlorhexidine dan saline dalam mencegah infeksi saluran
kemih tetapi lebih mengacu pada efektivitas biaya rumah sakit dalam
menghemat biaya pengeluaran.

12. Kesimpulan

Kesimpulan yang disampaikan ringkas dan berisi penarikan informasi


penting dari penelitian dan sesuai dengan tujuan penelitian.
Temuan dari penelitian ini memberikan bukti kepada pelayanan sistem
kesehatan dan kepada yang bertanggung jawab untuk menyusun panduan
pencegahan infeksi saluran kemih terkait kateter yang beralih dari saline ke
chlorhexidine tidak hanya efektif secara klinis tetapi juga keputusan yang
masuk akal dalam konteks mengalokasikan sumber daya yang terbatas dalam
perawatan kesehatan.

13. Implikasi dan Hasil

Jurnal ini dapat dijadikan panduan atau acuan bagi perawat di Rumah
Sakit sebagai upaya dalam mengatasi masalah gangguan infeksi saluran kemih
yang dialami pasien yang menggunakan kateter serta efektivitas dalam
menghemat biaya

14. Daftar Pustaka

Penulisan daftar pustaka dalam jurnal ini menggunakan metode APA


Style.

28
Daftar pustaka yang dijadikan referensi pada penelitian ini sebanyah 38
referensi, dan ada beberapa referensi yang menggunakan referensi lebih dari
lima tahun terakhir, yaitu pada tahun 2000.

29
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu infeksi yang paling
umum dijumpai di rumah sakit. Infeksi ini umumnya terkait dengan
penggunaan kateter yang menetap.. Infeksi saluran kemih ini akan
memperpanjang hari rawat pasien di rumah sakit. Dengan demikian akan
terjadi peningkatan biaya pengobatan dan resiko resistensi terhadap
antimikroba. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
ISK, salah satunya yaitu pembersihan meatus uretra sebelum kateterisasi.
Konsep pembersihan daerah meatus uretra yaitu untuk mencegah masuknya
bakteri selama pemasangan kateter.Chlorhexidine (0,1%) dan saline (0,9%)
adalah dua agen umumdigunakan untuk pembersihan meatus uretra. Studi
mendapatkan hasil bahwa penggunaan chlorhexidine 0,1% dapat mencegah
terjadinya ISK jika dibandingkan dengan saline 1,9 % setra lebih hemat dalam
biaya serta memperpanjang usia hidup pertahunnya.

B. Saran
1. Bagi perawat, dapat beralih menggunakan chlorhexidine 0,1 % dalam
membersihkan meatus sebelum pemasangan kateter sehingga infeksi
saluran kemih dapat dihindari
2. Bagi penanggung jawab ruangan Interne Pria RSUP dr.M.Djamil Padang
dapat menjadikan metode atau formula ini sebagai metode terbaru dalam
pemasangan kateter pada pasien yang dapat diaplikasikan di ruangan

30
DAFTAR PUSTAKA

Berawi, K.N. 2009. Fisiologi Ginjal dan Cairan Tubuh. Edisi 2. Bandar
Lampung : Penerbit Universitas Lampung.
Lo, E., Nicolle, L.E., Coffin, S.E., et al., 2014. Strategies to prevent catheter-
associated urinary tract infections in acute care hospitals: 2014 update.
Infect. Control Hosp. Epidemiol. 35 (5), 464–479. Loveday, H.,
Wilson, J., Pratt, R., et
Magill, S.S., Edwards, J.R., Bamberg, W., et al., 2014. Multistate point-
prevalence survey of health care–associated infections. N. Engl. J.
Med. 370 (13), 1198–1208.
Nicolle, L.E., 2014. Catheter associated urinary tract infections. Antimicrob.
Resist. Infect. Control 3 (1), 23.
Pearce , Evelyn C.2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis . Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Sander , Mochamad Aleq . 2004. Patologi Anatomi . Jakarta : Rajawali Pers.
Severs D, Hoorn EJ, Rookmaaker MB. 2015. A critical appraisal of intravenous
fluids: from the physiological basis to clinical evidence. Nephrol Dial
Transplant. 30: 178–187.
Sobotta.Atlas Anatomi Manusia Ed.1.Jakarta : EGC.
Syaifuddin . 2003 . Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan.
Jakarta : EGC.
Wibowo , Daniel S . 2005 . Anatomi Tubuh Manusia . Jakarta : Gramedia
Widiasarana Indonesia.

31
CASP Checklist: 11 questions to help you make sense of a Case Control Study

How to use this appraisal tool: Three broad issues need to be considered when appraising a case
control study:

Are the results of the study valid? (Section A) What


are the results? (Section B)
Will the results help locally? (Section C)

The 11 questions on the following pages are designed to help you think about these issues
systematically. The first three questions are screening questions and can be answered
quickly. If the answer to both is “yes”, it is worth proceeding with the remaining questions. There
is some degree of overlap between the questions, you are asked to record a “yes”, “no” or
“can’t tell” to most of the questions. A number of italicised prompts are given after
each question. These are designed to remind you why the question is important. Record your reasons
for your answers in the spaces provided.

About: These checklists were designed to be used as educational pedagogic tools, as part of a
workshop setting, therefore we do not suggest a scoring system. The core CASP checklists
(randomised controlled trial & systematic review) were based on JAMA 'Users’ guides to the
medical literature 1994 (adapted from Guyatt GH, Sackett DL, and Cook DJ), and piloted with
health care practitioners.

For each new checklist, a group of experts were assembled to develop and pilot the checklist and the
workshop format with which it would be used. Over the years overall adjustments have been
made to the format, but a recent survey of checklist users reiterated that the basic format
continues to be useful and appropriate.

1
Referencing: we recommend using the Harvard style citation, i.e.: Critical Appraisal Skills
Programme (2018). CASP (insert name of checklist i.e. Case Control Study) Checklist. [online]
Available at: URL. Accessed: Date Accessed.

©CASP this work is licensed under the Creative Commons Attribution – Non-Commercial- Share A
like. To view a copy of this license, visit http://creativecommons.org/licenses/by-nc- sa/3.0/
www.casp-uk.net

Critical Appraisal Skills Programme (CASP) part of Oxford Centre for Triple Value Healthcare Ltd www.casp-uk.net

2
Paper for appraisal and reference:............................................................................................................
Section A: Are the results of the trial valid?

1. Did the study address Yes HINT: An issue can be ‘focused’ In terms of
a clearly focused  • the population studied
issue? Can’t  Whether the study tried to detect a
Tell beneficial or harmful effect
• the risk factors studied
No

Comments:

 HINT: Consider
2. Did the authors use an Yes  Is a case control study an
appropriate method appropriate way of answering the
to answer their Can’t question under
question? Tell
the circumstances
No 
 Did it address the study question

Comments:

2
Is it worth continuing?

3. Were the cases recruited  HINT: We are looking for selection bias
in an acceptable way? Yes which might compromise validity of the
findings
Can’t • are the cases defined precisely
Tell • were the cases representative of a
defined population
No (geographically
and/or temporally)
Comments:  was there an established
reliable system for selecting all
the cases
 are they incident or prevalent
 is there something special about the
cases
 is the time frame of the
study relevant to
disease/exposure
 was there a sufficient number of
cases selected
 was there a power calculation

4. Were the controls selected HINT: We are looking for selection bias
in an acceptable way? which might compromise the
Yes  generalisability of the findings
• were the controls representative of
Can’t the defined population
Tell (geographically
and/or temporally)
No  was there something special about
Comments: the controls
 was the non-response high,
could non-respondents be
different in
any way
 are they matched,
population based or
randomly selected
 was there a sufficient number of
controls selected

3
5. Was the exposure accurately Yes HINT: We are looking for measurement,
measured to minimise bias? recall or classification bias
Can’t  • was the exposure clearly defined and
Tell accurately measured
 did the authors use subjective
No or objective
measurements
 do the measures truly reflect
Comments: what they are supposed to measure
Pada jurnal ini, jumlah sampel pada kelompok (have
kontrol dan intervensi berbeda. Peneliti tidak they been validated)
mencantumkan alasan kenapa jumlah sampel pada  were the measurement
kelompok kontrol dan intervensi berbeda. Perbedaan methods similar in the cases
jumlah ini dapat menimbulkan bias dalam penelitian. and controls
 did the study incorporate blinding
where feasible
 is the temporal relation
correct (does the exposure of
interest precede the
outcome)

6. (a) Aside from the HINT: List the ones you think might be
experimental important, that the author may have
intervention, were the missed
groups treated equally? • genetic
 environmental
 socio-economic

List:
Pada penelitian tersebut menggunakan kelompok control dan kelompok intervensi.

6. (b) Have the authors taken Yes HINT: Look for


account of the potential • restriction in design, and techniques
confounding factors in the e.g. modelling, stratified-, regression-,
design and/or in their Can’t
or sensitivity analysis to correct,
Tell
analysis?
 control or adjust for confounding
factors
No

4
Comments:

5
Section B: What are the results?

7. How large was the treatment effect? HINT: Consider


 what are the bottom line
results
 is the analysis appropriate to
the design
Comments:  how strong is the association
peneliti ini memberikan bukti yang jelas kepada between exposure and
administrator sistem kesehatan dan mereka yang outcome (look at the odds
bertanggung jawab untuk menyusun pedoman ratio)
pencegahan CAUTI bahwa beralih dari saline ke  are the results adjusted for
chlorhexidine tidak hanya efektif secara klinis tetapi confounding, and might
juga keputusan yang masuk akal dalam konteks confounding still explain the
mengalokasikan sumber daya perawatan kesehatan association
yang terbatas.  has adjustment made a big
difference to the OR

8. How precise was the estimate of the treatment HINT: Consider


effect?  size of the p-value
 size of the confidence intervals
 have the authors considered all the
important variables
 how was the effect of subjects
refusing to participate evaluated

Comments:

6
9. Do you believe the results? HINT: Consider
Y
 big effect is hard to ignore!
e  Can it be due to chance, bias, or
confounding
s
 are the design and methods of
this study sufficiently flawed to
make the
results unreliable
N  consider Bradford Hills criteria (e.g.
o time sequence, does-response
gradient, strength, biological
plausibility)

Comments:

Section C: Will the results help locally?

10. Can the results be Yes  HINT: Consider whether


applied to the local  the subjects covered in the study
population? could be sufficiently different
Can’t
from your population to cause
Tell
concern
 your local setting is likely to
No
differ much from that of
the study
 can you quantify the local benefits and
harms

Comments:

11. Do the results of this Yes  HINT: Consider


study fit with other  all the available evidence from
available evidence? RCT’s Systematic Reviews, Cohort
Can’t
Studies, and Case Control Studies
Tell
as well, for
consistency
No

Comments:

Remember One observational study rarely provides sufficiently robust evidence to recommend changes to

7
clinical practice or within health policy decision making. However, for certain questions observational
studies provide the only evidence. Recommendations from observational studies are always
stronger when supported by other evidence.

Anda mungkin juga menyukai