Dosen Pembimbing :
Ns. Achmad Vindo Galaresa, M. Kep,
Disususn oleh:
ERMIZA 18010011
PEKANBARU
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga dalam penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan. Dalam penyusunan Makalah ini, penulis mengalami berbagai kendala dan
kesulitan, namun berkat Rahmat Allah SWT yang disertai kesabaran, ketekunan, dan usaha
serta bantuan dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas baik fasilitas tenaga dan pikiran
sehingga makalah yang berjudul “ASKEP HIV PADA IBU HAMIL” dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat konstruktif diharapkan, demi terciptanya tujuanyang
ingin dicapai. Atas bantuan dan kritikan seta saran dari semua pihak, maka penulis
mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan
dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester
pertama. Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu
makan berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat
kondisi klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS.
HIV/AIDS adalah topic yang sangat sensitive dan lebih banyak sehingga banyak
penelitian melibatka anak-anak yang rentan untuk terjangkit HIV. Setiap usaha dilakukan
untuk memastikan bahwa keluarga akan merasa baik. Penyakit AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu syndrome/kumpulan gejala penyakit yang
disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh.
Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang
penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus
AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan
virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983.
Komunikasi seksualitas antara orangtua dan anak telah diidentifikasi sebagai factor
pelindung untuk seksual emaja dan kesehatan reproduksi, termasuk infeksi HIV.
Meningkatkan kesehatan seksual dan reproduksi remaja merupakan prioritas dunia. Intervensi
yang bertujuan untuk menunda perilaku seksual, mengurangi jumlah pasangan seksual dan
meningkatkan penggunaan kondom. Dari penelitian yang dilakukan di negara
berkembang menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas memiliki potensi untuk
memberikan dampak positif pada pengetahuan, sikap, norma dan niat, meskipun mengubah
perilaku seksual sangat terbatas.
Evolusi infeksi HIV menjadi penyakit kronis memiliki implikasi di semua pengaturan
perawat klinis. Setiap perawat harus memiliki perawatan klinis. Setiap perawat harus
memiliki pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan kronisitas dari
penyakit dalam rangka untuk memberikan perawatan yang berkualitas tinggi kepada orang-
orang dengan atau berisiko untuk HIV.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian HIV/AIDS ?
b. Bagaimana epidemiologi HIV/AIDS)?
c. Bagaimana etiologi pada HIV/AIDS?
d. Bagaimana patoghenesis pada HIV/AIDS?
e. Bagaimana manifestasi klinis pada HIV/AIDS?
f. Bagaimana pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS?
g. Bagaimana pengobatan HIV/AIDS?
h. Bagaimana pencegahan HIV/AIDS
i. Bagaimana prognosis pada HIV/AIDS?
j. Bagaimana asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS?
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh, setelah
penyatuan sel telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan berhentinya haid; mual
yang timbul pada pagi hari (morning sickness); pembesaran payudara dan pigmentasi puting;
pembesaran abdomen yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah gerakan janin,
bunyi jantung janin, dan terlihatnya janin melalui pemerikasaan sinar-X, atau USG.
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala penyakit infeksi
oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV
(Human Immunodeficiency Virus) (Fogel, 1996).
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat dari
profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur yang
lebih muda, dalam arti bahwa usia muda lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi,
sedangkan pada usia di atas 45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak menurut
para ahli kebidanan bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih tepat untuk
hamil dan melahirkan. Hasil survey di Uganda pada tahun 2003 mengemukakan bahwa
prevalensi HIV di klinik bersalin adalah 6,2%, dan satu dari sepuluh orang Uganda usia
antara 30-39 tahun positif HIV-AIDS perlu diwaspadai karena cenderung terjadi pada usia
reproduksi.
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada
wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV.
Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar
rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri
sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu
untuk dibicarakan.
Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi untuk
menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan yang
memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang
diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk konseling mengenai
pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anak, tentang pemeriksaan
dan terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa menyusui[12].
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual. Kehamilan pada ibu
dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan penyakit, pilihan penatalaksanaan,
dan kemungkinan transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi infeksi lewat plasenta ke
janin lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta, dan dapat diteliti melalui uji bayi
mereka. Uji antiboti bayi dapat menentukan status HIV ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah
reaksi rantai polimer (polymerase chain reaction, PCR) yang mengidentifikasi virus HIV
neonatus. Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu
hamil untuk melindunginya.
B. Epidemiologi
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia (pandemi),
termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah terdapat
sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang dewasa dan 1,7 juta anak-
anak. Di Indonesia berdasarkan data-data yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan
PLP Departemen Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS
sebanyak 685 orang yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita
HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang
sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung Es“ dimana penderita yang kelihatan
hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik
1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum
diketahui.
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan
masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya
menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan
yang dilakukan semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan
transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV.
Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000 epidemi
tersebut sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
(dengan prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza suntik (penasun), wanita penjaja seks
(WPS), dan waria. Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada
pada tahap concentrated epidemic. Situasi penularan ini disebabkan kombinasi transmisi HIV
melalui penggunaan jarum suntik tidak steril dan transmisi seksual di antara populasi berisiko
tinggi. Di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), keadaan yang meningkat ini
ternyata telah menular lebih jauh, yaitu telah terjadi penyebaran HIV melalui hubungan
seksual berisiko pada masyarakat umum (dengan prevalens > 1%). Situasi di Tanah Papua
menunjukkan tahapan telah mencapai generalized epidemic.
Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari laporan Departemen Kesehatan
(Depkes) tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai konstan di atas 5% pada
beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun
2006 prevalens HIV berkisar 21% – 52% pada penasun, 1%-22% pada WPS, dan 3%-17%
pada waria. Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi Populasi Dewasa Rawan
Tertular HIV pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan 8 juta orang paling
berisiko terinfeksi HIV dengan jumlah terbesar pada sub-populasi pelanggan penjaja seks
(PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,8 juta.
Sekalipun jumlah sub-populasinya paling besar namun kontribusi pelanggan belum sebanyak
penasun dalam infeksi HIV. Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang dengan
HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia tahun 2006, yang jumlahnya berkisar 169.000-217.000,
dimana 46% diantaranya adalah penasun sedangkan PPS (Peria Penjajah Seks)14%.
Namun data terbaru dari Afrika Selatan memperlihatkan bahwa prevalensi HIV
dikalangan wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi, yaitu 29,5% dari seluruh
wanita yang mengunjungi klinik bersalin yang positif terinfeksi HIV ditahun 2004.
Prevalensi tertinggi adalah dikalangan wanita usia 25-34 tahun atau lebih yaitu satu dari tiga
wanita yang diperkirakan akan terinfeksi HIV. Tingkat prevalensi yang tertinggi melebihi
30% dikalangan wanita hamil masih terjadi juga pada empat Negara lain di wilayah
Botswana, Lesotho, Nambia dan Swaziland.
C. Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-
kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA
(Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung
terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor
Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia,
maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar
matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol,
jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar
utraviolet.Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar
tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.
D. Pathogenesis
HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan vagina,
dan ASI. Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu secara; seksual
hubungan seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur perinatal, dan menyusui.
HIV muncul sebagai epidemic global pada akhir tahun 1970. Pada tahun 2007 diperkirakan
33 juta orang diseluruh dunia hidup dengan HIV, 2 juta orang meninggal dari komplikasi
AIDS, dan 15 juta anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan salah satu atau kedua
orang tua mereka karena AIDS.
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit
yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar
kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée). Transmisi human immunodefiency virus
(HIV) terjadi terutama melalui pertukaran cairan tubuh (misalnya darah, semen, peristiwa
perinatal). Depresi berat pada sistem imun selular menandai sindrom immunodefiensi didapat
(AIDS). Walaupu populasi berisiko tinggi telah didokumentasi dengan baik,semua wanita
harus dikaji untuk mengetahui.
Begitu HIV memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10 minggu pertama
pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total asimptomatik, perubahan ini disertai
viremia, respons tipe-influenza terhadap infeksi HIV awal. Gejala meliputi demam, malaise,
mialgia, mual, diare, nyeri tenggorok, dan ruam dan dapat menetap selama dua sampai tiga
minggu.
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai
vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain
adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen,
cairan vagina atau servik dan darah penderita.
PENULARAN HIV DARI WANITA KEPADA BAYINYA
Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual atau
hommoseksual), pemakaian narkoba injeksi dengan jarum bergantian bersama penggidap
HIV, tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat kesehatan yang tidak steril,
serta alat untuk menorah kulit. Menurut CDC penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita
secara berurutan dari yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%,
wanita heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%.
Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui hubungan seksual.
Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke
isterinya sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun
penelitian ain mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi
positif) dalam 1-3 tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami
dianggap sama.
Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan melalui
hubungan seks. Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang menderita HIV atau AIDS
sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi
yang bisa terjadi saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika prevalensi
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan
belum ada gejala AIDS kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan kalau
gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%.
Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau
kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan. Semakin lama proses persalinan semakin besar resiko, sehingga lama persalinan
bisa dicegah dengan operasi section caesarea. Transmisi lain terjadi selama periode post
partum melalui ASI, resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%.
Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau pada
periode intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12 dan
24 minggu dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal terjadi
sebelum persalinan, serta 65% penularan terjadi saat intrapartum. Pembukaan serviks, vagina,
sekresi serviks dan darah ibu meningkatkan risiko penularan selama persalinan. Lingkungan
biologis, dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum Test for
Syphilis) yang positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena adanya luka-luka
merupakan tempat masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor untuk
menangkap HIV akan aktif mencari luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV
tersebut ke dalam peredaran darah.
Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada perubahan uterus,
serviks dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh karena meningkatnya elastisitas
dan penumpukan jaringan fibrous, yang menghasilkan vaskularisasi, kongesti, udem pada
trimester pertama, keadaan ini mempermudah erosi ataupun lecet pada saat hubungan
seksual. Keadaan ini juga merupakan media untuk masuknya HIV. Penularan HIV yang
paling sering terjadi antara pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi HIV mendekati 20%
setelah melakukan hubungan seksual dengan tidak menggunakan kondom.
E. Manifestasi Klinis
Gejala dari infeksi akut HIV terjadi sekitar 50% kepada seseorang yang baru
terinfeksi.
a) Demam
b) Malaise
c) Ruam
d) Myalgia
e) Sakit kepala
f) Meningitis
g) Kehilangan napsu makan
h) Berkeringat
Gejala infeksi HIV pada wanita hamil, umumnya sama dengan wanita tidak hamil atau
orang dewasa. infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan spectrum
yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal sampai pada
gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan
gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbl 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama
lagi.
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun. mereka merasa
sehat dan juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun orang yang terinfeksi HIV akan
menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang lain.
Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif.
pada tahap dini ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara masuknya
HIV disebut window period yang memerlukan waktu antara 15 hari sampai 3 bulan
setelah terinfeksi HIV.
2. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah positif. Keadaan
tanpa gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau lebih.
CDC (Center for Disease Control, USA, 1986) menetapkan klasifikasi infeksi HIV pada
orang dewasa sebagai berikut:
F. Pemeriksaan Diagnostik
Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode
neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah pneumonia
yang disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan ifeksi
HIV adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis, atau
hepatosplenomegali (pembesaran hapar dan lien).
Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes
ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes ini
berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk
mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama diambil
saat bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitive selama periode satu bulan setelah
lahir. CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi
berusia empat bulan. Jika tes ini negative, maka bayi terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut
mendapatkan ASI, maka bayi resiko tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi
disapih. Pada usia 18 bulan, pemeiksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia
sarana pemeriksaan yang lain.
CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung
limfosit CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan derajat
imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini memungkinkan
adanya surveilans serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi klinis dan imunologis
ini bersifat eksklusif, sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu kategori, maka diklasifikasi
ini tidak berubah walaupun terjadi perbaikanstatus karena pemberian terapi atau factor lain.
CDC telah merekomendasikan skrining rutin HIV secara suka rela pada ibu hamil
sejak tahun 2001. Banyak dokter telah mengadopsi kebijakan universal opt-out skrining HIV
(yang berarti bahwa pengujian adalah otomatis kecuali jika wanita secara khusus memilih
untuk tidak di uji) pada wanita hamil selama tes kehamilan rutin dan telah dieliminasi
persyaratan untuk konseling sebelum uji dilakukan dan persetujuan tertulis untuk tes HIV.
Penelitian dianalisis oleh Angkatan US Preventive Services Task mengungkapkan bahwa
pada tahun 1995 tingkat tes HIV di antara wanita hamil di Amerika Serikat adalah 41% 9
(dianjurkan dilakukan tes universal pada tahun pertama kehamilan) dan meningkat menjadi
60% pada 1998. Pada tahun 2005, di negara bagian dan provinsi Kanada yang telah
menerapkan pengujian "opt-out", angka tes HIV di antara perempuan hamil berkisar antara
71% sampai 98%, dibandingkan dengan 15% menjadi 83% dalam keadaan dan provinsi yang
memiliki Kebijakan “opt-in” yang membutuhkan seorang wanita untuk secara khusus
meminta tes HIV.
Jika seorang wanita yang berstatus HIV belum didokumentasikan ketika dia tiba saat
persalinan dan melahirkan, tes cepat HIV harus ditawarkan. Jika hasil tes awal positif, segera
inisiasi ARV profilaksis yang tepat intravena harus direkomendasikan tanpa menunggu
konfirmasi hasil. Jika wanita menolak pengujian, bayi baru lahir harus menerima pengujian
cepat sesegera mungkin setelah lahir sehingga profilaksis antiretroviral dapat ditawarkan jika
terdapat indikas.
G. Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian
makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk pemberian makanan
bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006. Secara khusus, telah
dilaporkan bahwaantiretroviral (ARV) intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV atau janin
yang terpapar HIVsecara signifikan dapat mengurangi risiko penularan HIV pasca kelahiran
melalui menyusui. Bukti ini memiliki implikasi besar untuk bagaimana perempuan yang
hidup dengan HIV mungkin dapat memberi makan bayi mereka, dan bagaimana para pekerja
kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama, intervensi ASI dan ARV memiliki
potensi secara signifikan untuk meningkatkan peluang bayi bertahan hidup sambil tetap tidak
terinfeksi HIV.
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang
ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa
dipilih untuk negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat ibu saat persalinan diberikan
200mg dosis tunggal, sedangka bayi bisa diberikan 2mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir
dosis tunggal. Obat lain yang bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai kehamilan 36
minggu 2x300mg/hari dan 300mg setiap jam selama persalinan berlangsung .
Pengobatan untuk ibu hamil dengan HIV salah satunya dapat menggunakan obat anti-
HIV dimana menurut penelitian dapat mencegah terjadinya transmisi virus HIV kepada janin
dengan cara penggunaan sebagai berikut:
H. Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat hamil,
saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu:
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut
hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus
plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG
,erupakan hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari
antibody ibu. Sebagian besar dari bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti
memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak membentuk sendiri antibody terhadap virus,
yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui
pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA
atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan karena sensitive untuk
mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus.
Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum diketahui
pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak menyusui dan
tidak diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negara-
negara yang sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi
terjadi in utero dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat
terjadi melalui kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15%
penularan perinatal.
Factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup penyakit ibu
yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada
tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan
bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi
penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden
AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997 akibat uji
HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin. Perempuan merupakan
sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari kaum minoritas
(Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh
kasus AIDS.
I. Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian.
*Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
*HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada
bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
*Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.
II. Diagnosa keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan
pola hidup yang beresiko.
2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV,
adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran
oksigen, malnutrisi kelelahan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya
absorbsi zat gizi.
5. Diare berhubungan dengan infeksi GI
6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang
keadaan yang orang dicintai.
III. Intervensi keperawatan.
Diagnosa keperawatan 1
Intervensi Keperawatan :
Rasional :
Kriteria hasil :
Komplikasinya dengan kriteria yanaga tak ada tanda tanda infeksi baru, lab tidak ada infeksi
oportunis,tanda vital dalam batas normal,tidak ada luka atau eksudat.
Diagnosa 2
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya
infeksi nonopportunistik yang dapat ditransmisikan.
Intervensi :
1. Anjurkan pasien atau orang penting lain metode mencegah transmisi HIV dan kuman
patogen lainnya
2. Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien
Rasional :
Kriteria hasil :
Diagnosa 3
Intervensi :
Rasional :
Kriteria hasil :
Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan takikardi
selama beraktifitas.
IV. Implentasi
DX.1
DX.2
DX.3
DX.4
A. Kesimpulan
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang disebabkan oleh
infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan
mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual,
penyalahgunaan obat intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya,
hubungan seksual dari individu yang terinfeksi virus tersebut.
B. Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran
sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartati Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu Hamil dan HIV-AIDS. Gempar:
Jurnal Ilmiah Keperawatan Vol. 2 No.1 Juni 2009.
2. Doku Paul Narh. Parental HIV/AIDS status and death, and Children’s Phychological
Wellbeing. International Journal of Mental Health system 2009;3(26):1-8
3. Siregar FA. Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS. Medan. Universitas Sumatera
Utara, 2004.
4. Heemanides HS, Lonneke AVV, Ralph V, Fred DM, Aimee D, Gerard VO, et all.
Developinh quality indicators for the care of HIV-infected pregnant women in the
Dutch Caribbean. Aids Research and Therapy 2011; 8(32) : 1-9.
5. Wamoyi J, Martin M, Janet S, Josephine B, Shabbar J. Changes in sexual desires and
behaviours of people living with HIV after initiation of ART: Implications for HIV
prevention and health promotion. BMC Public Health 2011; 11(633): 1-11.