Anda di halaman 1dari 11

A.

1.1 Definisi

Gagal jantung diartikan sebagai ketidakmampuan jantung untuk memompa darah

dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen

sehingga metabolisme mengalami penurunan. (M.Bachrudin & Moh.Najib, 2016)

Gagal jantung akut (GJA) adalah kejadian atau perubahan cepat tanda dan gejala

gagal jantung.1 Kondisi ini dapat mengancam jiwa dan harus ditangani segera,

biasanya perlu perawatan di rumah sakit. GJA dapat berupa gambaran klinis gagal

jantung pertama kali (de novo) atau sering merupakan perburukan gagal jantung

kronis; disebabkan disfungsi kardiak primer atau faktor ekstrinsik. (Purwowiyoto,

2018)

1.2 Epidemiologi

Prevalensi gagal jantung pada keseluruhan populasi antara 2-30%. Angka prevalensi

meningkat tajam pada populasi usia 75 tahun sehingga prevalensi pada kelompok usia 70-80

tahun sekitar 10-20%.

Empat puluh persen yang datang ke rumah sakit dengan diagnosis gagal jantung, meninggal

atau mendapat perawatinapan kembali dalam waktu satu tahun pertama.

WHO (2016), mencatat 17,5 juta orang di dunia meninggal akibat gangguan

kardiovaskular. sedangkan di Asia Tenggara menunjukkan Indonesia termasuk

kelompok dengan jumlah kejadian tertinggi yaitu 371 per 100.000 orang lebih tinggi
dibandingkan Timur Leste sebanyak 347 per 100.000 orang dan jauh lebih tinggi

dibandingkan Thailand yang hanya 184 per 100.000 orang (WHO, 2016).

Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita penyakit jantung koroner

terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 375.127. Di RSUD Bangil

Kabupaten Pasuruan sendiri jumlah penderita gagal jantung pada tahun 2016

mencapai 958 orang.(Dewi, P., & Ruliati, 2019)

1.3 Etiologi

Kategori Penyakit Penyakit Penyebab Gagal Jantung


Penyakit jantung koroner
Diseksi arteri koroner
Tromboemboli
Anomali arteri koroner
Penyebab Iskemik Penyakit Kawasaki
Hipertensi
Penyakit katup jantung degeneratif
Penyakit jantung rematik
Penyakit katup kongenital, seperti mitral regurgitasi, dan

regurgitasi aorta
Penyakit katup jantung Endokarditis infektif
Idiopatik
Kardiomiopati dilatasi Familial
Kardiomiopati imbas takikardia
Aritmia Kardiomiopati imbas pacu jantung
Metabolik Diabetes mellitus
Penyakit tiroid
Penyakit Paget
Obesitas
Defisiensi tiamin
Miokarditis viral
Penyakit jantung rematik
Endokarditis
Infeksi HIV
Infeksi Penyakit Chagas
Lupus
Skleroderma
Artritis rheumatoid
Vaskulitis
Sindrom hipereosinofilik
Inflamasi Fibrosis endomiokard
Alkohol
Kokain
Kemoterapi
Radiasi
Toksin Toksin akibat pengobatan lainnya
Perikarditis
Penyakit perikardium Tamponade jantung
Pirau (misalnya pada defek septum atrium, defek septum ventrikel,

fistula arteriovenosa)
Penyakit jantung sianotik
Penyakit katup kongenital
Stenosis subvalvular dan supravalvular
Hipertensi pulmonal
Penyakit jantung Kebocoran konduit

bawaan/kongenital Koarktasio aorta dengan hipertensi sistemik


Neoplasma Kanker jantung primer
Metastasis

1.4 Klasifikasi

Klasifikasi gagal jantung berdasarkan abnormalitas structural jantung (ACC/AHA) atau

berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA)

Klasifikasi gagal jantung menurut Klasifikasi fungsional NYHATingkatan

ACC/AHATingkatan gagal jantung berdasarkan gejala dan aktifitas fisik

berdasarkan struktur dan kerusakan otot

jantung
Stadium AMemiliki resiko tinggi untuk Kelas ITidak terdapat batasan dalam

berkembang menjadi gagal jantung. Tidak melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik

terdapat gangguan structural atau fungsional sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan,

jantung, tidak terdapat tanda atau gejala palpitasi atau sesak napas.
Stadium BTelah terbentuk penyakit struktur Kelas IITerdapat batasan aktifitas ringan.

jantung yang berhubungan dengan Tidak terdapat keluhan saat istirahat,

perkembangan gagal jantung, tidak terdapat namun aktifitas fisik sehari-hari

tanda atau gejala. menimbulkan kelelahan, palpitasi atau

sesak nafas.
Stadium CGagal jantung yang simptomatik Kelas IIITerdapat batasan aktifitas

berhubungan dengan penyakit structural bermakna. Tidak terdapat keluhan saat

jantung yang mendasari istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan

menyebabkan kelelahan, palpitasi atau

sesak
Stadium DPenyakit jantung structural lanjut Kelas IVTidak dapat melakukan aktifitas

serta gejala gagal jantung yang sangat fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat

bermakna saat istirahat walaupun sudah istirahat. Keluhan meningkat saat

mendapat terapi medis maksimal (refrakter) melakukan aktifitas


1.5 Gejala klinis

Pada pasien gagal jantung akan memunculkan gejala yaitu bila gagal jantung dimulai

dari jantung sebelah kiri/gagal jantung kiri maka akan muncul Kongesti paru

menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak mampu memompa darah

yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu 1) Dispnoe/sulit

bernafas,Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran

gas yaitu oksigen dengan carbon dioksida. Selain itu juga dapat terjadi

ortopnu/sesaknafas berjadi akibat perubahan posisi dari duduk ke tidur dan berkurang

bila dari tidur ke duduk. Beberapa pasien dapat mengalami ortopnu pada malam hari

yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea ( PND). 2) Batuk, 3) Mudah lelah,

Terjadi karena curah jantung yang kurang sehinggah metabolisme akan mengalami

penurunan, sehinggah energi akan menurun juga. 4) Kegelisahan dan kecemasan

Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan

pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik. Sedang gejala pada gagal

jantung kanan antara lain : 1) Edema ekstrimitas bawah yang mengakibatkan

penambahan berat badan, 2) Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas

abdomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar, 3) Anorexia dan mual hal ini

terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga abdomen. (M.Bachrudin

& Moh.Najib, 2016)

1.6 Patofisiologi

Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan yang progresif, dapat terjadi dari

kumpulan suatu kejadian dengan hasil akhir kerusakan fungsi miosit jantung atau

gangguan kemampuan kontraksi miokard. Beberapa mekanisme kompensatorik


diaktifkan untuk mengatasi turunnya fungsi jantung sebagai pompa, di antaranya

sistem adrenergik, renin angiotensin ataupun sitokin. Dalam waktu pendek beberapa

mekanisme ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam batas normal,

menghasilkan pasien asimptomatik. Meskipun demikian, jika tidak terdeteksi dan

berjalan seiring waktu akan menyebabkan kerusakan ventrikel dengan suatu keadaan

remodeling sehingga akan menimbulkan gagal jantung yang simptomatik.

1.7 Woc

1.8 Pemeriksaan fisik

1. Anamnesis

Anamnesis yang terarah pada pasien yang dicurigai gagal jantung dapat

mengungkap adanya beragam gejala, faktor risiko, faktor pencetus gejala akut,

yang dapat membantu dalam menentukan tata laksana yang tepat. Gejala gagal

jantung sangat beragam dan tidak sepenuhnya sensitif serta spesifik dalam

membantu mengidentifikasi ada atau tidaknya kongesti. Selain itu, tidak ada
kelompok gejala yang dapat dikenali sebagai gejala spesifik untuk membedakan

gagal jantung dengan fraksi ejeksi menurun maupun normal.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum

Keadaan umum pasien yang perlu dinilai antara lain tingkat kesadaran, perawakan

tubuh, serta ekspresi pasien yang mungkin menunjukkan kesulitan saat bernapas,

menahan nyeri, dan batuk.

b. Pemeriksaan Kulit

Pemeriksaan kulit dapat mengungkap adanya pucat atau sianosis akibat

hipoperfusi, riwayat penyalahgunaan alkohol kronik (misalnya eritema palmar

atau spider angiomata), eritema nodosum akibat sarkoidosis, dan kulit yang

menjadi gelap seperti perunggu pada hemokromatosis yang dapat mengarahkan

pada kemungkinan etiologi.

c. Tekanan Darah

Pasien dengan perfusi sistemik yang buruk biasanya memiliki tekanan darah

sistolik yang rendah, tekanan nadi yang menyempit, dan pulsasi yang lemah.

Namun, banyak pula ditemukan pasien gagal jantung dengan tekanan sistolik di

bawah 90 mmHg  dan perfusi adekuat. Sementara itu, sebagian pasien lainnya

memiliki curah jantung rendah tapi dapat menunjukkan tekanan darah dalam

rentang normal dengan mengorbankan perfusi perifer.

d. Pola Pernapasan

Pada gagal jantung tahap lanjut, pola pernapasan Cheyne-Stokes dapat diamati

pada pasien dan sangat berkaitan dengan curah jantung yang rendah serta

gangguan bernapas saat tidur. Pernapasan Cheyne-Stokes merupakan salah satu

prediktor prognosis yang buruk pada pasien dengan gagal jantung. Selain itu,
pemeriksaan fisis paru juga dapat menunjukkan adanya pekak saat perkusi paru

serta penurunan bunyi napas pada salah satu atau kedua bagian basal paru yang

mengindikasikan suatu efusi pleura. Kebocoran cairan dari kapiler pulmoner ke

dalam alveoli dapat menimbulkan ronki basah halus sedangkan bronkokonstriksi

reaktif bermanifestasi sebagai mengi. Namun, ronki basah halus mungkin tidak

ditemukan pada gagal jantung berat akibat adanya peningkatan drainase limfatik

lokal.

e. Bunyi Jantung

Adanya bunyi jantung ketiga (S3 gallop) merupakan temuan yang penting sebab

hal tersebut berkaitan dengan peningkatan volume pengisian ventrikel. Selain itu,

bunyi jantung ketiga sangat spesifik dalam memprediksi diagnosis gagal jantung

dan mempunyai nilai prognostik khusus. Pasien gagal jantung dengan distensi

vena jugularis dan S3 gallop berisiko lebih tinggi untuk memerlukan perawatan di

RS serta kematian akibat gagal jantung.

f. Status Volume Cairan dan Perfusi

Aspek pemeriksaan fisik lainnya yang juga penting dilakukan setiap melakukan

evaluasi pasien dengan gagal jantung adalah pemeriksaan status volume cairan

dan perfusi. Metode yang tepat untuk menilai status volume adalah dengan

melakukan pemeriksaan tekanan vena jugularis  (jugular venous pressure/JVP).

Peningkatan JVP memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas 79% dalam

mendeteksi peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri. Perubahan JVP pada

pasien yang mendapat terapi gagal jantung biasanya juga berkaitan dengan

perubahan pada tekanan pengisian ventrikel kiri. Oleh sebab itu, JVP tak hanya

baik untuk mendeteksi status volume tapi juga untuk memantau respons

pengobatan.
g. Edema

Edema dapat ditemukan pada pemeriksaan ekstremitas bawah pasien dengan

gagal jantung yang disertai kelebihan volume cairan tubuh. Namun, edema

ekstremitas bawah lebih menggambarkan volume ekstravaskuler dibandingkan

intravaskuler serta dapat ditemukan pada kondisi lain seperti insufisiensi vena,

obesitas, limfedema, sindrom nefrotik, dan sirosis. Adanya kombinasi distensi

vena jugularis dan edema pedis meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal

jantung dibandingkan diagnosis banding lainnya.

1.9 Pemeriksaan diagnostic

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk gagal jantung adalah sebagai berikut:

a. Rontgen Dada

Rontgen dada masih menjadi pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan untuk

mengevaluasi pasien dengan gagal jantung. Temuan klasik pada rontgen dada

yang mengarahkan pada diagnosis edema paru akibat gagal jantung adalah pola

menyerupai kupu-kupu pada interstisial paru dan opasitas alveolar bilateral yang

menyebar dari perifer paru. Selain itu, garis Kerley B (garis lurus horizontal halus

yang memanjang dari permukaan pleura akibat penumpukan cairan di ruang

interstisial), peribronchial cuffing, serta peningkatan corakan vaskuler pada lobus

atas paru juga dapat ditemukan. Namun, pada kasus gagal jantung berat, hasil

pemeriksaan rontgen dada sangat mungkin terlihat normal walaupun pasien sangat

sesak yang mengisyaratkan bahwa nilai prediktif negatif pemeriksaan ini sangat

rendah untuk dengan mudah menyingkirkan diagnosis gagal jantung

b. Elektrokardiogram (EKG) dapat memberikan petunjuk penting tentang etiologi

gagal jantung sekaligus evaluasi penyebab dekompensasi gagal jantung pada

pasien yang pernah terdiagnosis. Pada kasus gagal jantung akut yang dicetuskan
oleh sindrom koroner akut, EKG dapat menunjukkan gambaran elevasi segmen

ST. Sementara itu, EKG juga dapat menunjukkan perubahan irama jantung

(misalnya fibrilasi atrium), gambaran infark miokard lama, memprediksi hipertrofi

ventrikel kiri, serta memantau perubahan interval QT, R-R, dan kompleks QRS

selama pemberian terapi

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada gagal jantung mencakup pemeriksaan darah

perifer lengkap, elektrolit, ureum, kreatinin serum, uji fungsi hati, profil

lipid, thyroid-stimulating hormone (TSH), asam urat, dan urinalisis. Apabila

pasien tertentu memiliki faktor risiko terhadap infeksi human immunodeficiency

virus (HIV), skrining infeksi HIV dapat dipertimbangkan.

d. Pemeriksaan Biomarker

BNP (brain natriuretic peptide) dan NT-proBNP (N-terminal pro-B-type

natriuretic peptide) merupakan biomarker gagal jantung yang muncul sebagai

akibat dari peregangan ventrikel dan stres pada dinding ventrikel.

e. Pemeriksaan Noninvasif

Ekokardiografi, pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance

imaging/MRI), computed tomography (CT) jantung, dan pencitraan nuklir

merupakan metode pemeriksaan noninvasif yang dapat dipertimbangkan dalam

mendiagnosis gagal jantung.(Sunita, 2018)

1.10 Penatalaksaan

1.11 Komplikasi
Gagal jantung dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti aritmia, kejadian

tromboemboli (KTE), komplikasi saluran cerna, dan pernapasan.

B. Asuhan keperawatan

Daftar pustaka

Dewi, S. F., P., M. T., & Ruliati. (2019). ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GAGAL

JANTUNG DENGAN MASALAH KEPERAWATAN GANGGUAN PERTUKARAN GAS

DI RUANG CARDIO VASCULAR CARE UNIT (CVCU) RSUD BANGIL PASURUAN.

M.Bachrudin, & Moh.Najib. (2016). Keperawatan Medikal Bedah 1.

Purwowiyoto, S. L. (2018). Gagal Jantung Akut: Definisi, Patofisiologi, Gejala Klinis, dan

Tatalaksana. 45(4), 310–312.

Sunita, D. (2018). Kardiologi Gagal Jantung. Retrieved from

https://www.alomedika.com/penyakit/kardiologi/gagal-jantung/etiologi

Anda mungkin juga menyukai