PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1) Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengertian KB dan bayi tabung
2) Mahasiswa mengetahui tentang jenis-jenis yang digunakan dalam KB
3) Mahasiswa mengetahui pandangan berbagai agama mengenai KB dan bayi tabung
BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya segala sesuatu / perbuatan itu boleh, kecuali / sehingga ada dalil yang
menunjukkan keharamannya.
Selain berpegangan dengan kaidah hukum islam tersebut di atas, kita juga bisa
menemukan beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang memberikan indikasi bahwa
pada dasarnya islam membolehkan orang islam ber-KB. Bahkan kadang-kadang hukum ber-
KB itu bisa berubah dari mubah (boleh) menjadi sunah,wajib,makruh atau haram seperti
halnya hukum perkawinan bagi orang islam yang hukum asalnya juga mubah. Tetapi hukum
mubah ini bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi individu muslim yang bersangkutan
dan juga memperhatikan perubahan zaman,tempat dan keadaan masyarakat / negara. Hal ini
sesuai dengan kaidah hukum islam yang berbunyi :
Hukum-hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan.
Kalau seorang Muslim melaksanakan KB dengan motivasi yang hanya bersifat
pribadi (individual motivation) misalnya ber-KB untuk menjarangkan kehamilan/kelahiran
atau untuk menjaga kesehatan/kesegaran/kelangsingan badan si ibu, hukumnya boleh saja.
Tetapi kalau seorang ber-KB disamping punya motivasi yang bersifat pribadi seperti untuk
kesejahteraan keluarga juga ia punya motivasi yang bersifat kolektif dan nasional seperti
untuk kesejahteraan masyarakat/negara maka hukumnya bisa sunnah atau wajib.
Tergantung pada keadaan masyarakat dan negara misalnya mengenai kependudukannya
apakah sudah benar-benar terlalu padat penduduknya atau mengenai wilayahnya untuk tanah
pemukiman, tanah pertanian/industri/pendidikan dsb.
Tetapi hukum ber-KB bisa menjadi makruh bagi pasangan suami istri yang tidak
menghendaki kehamilan si istri. Padahal suami istri tersebut tidak ada hambatan/kelainan
untuk mempunyai keturunan. Sebab hal yang demikian itu bertentangan dengan tujuan
perkawinan menurut agama yakni untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia dan untuk
mendapatkan keturunan yang sah yang diharapkan menjadi anak yang saleh sebagai generasi
penerus.
Hukum ber-KB juga menjadi haram (berdosa). Apabila orang melaksanakan KB
dengan cara yang bertentangan dengan norma agama. Misalnya dengan cara vasektomi
(sterilisasi suami) dan tubektomi (sterilisasi istri).
2.1.4 Hukum KB Menurut Pandangan Agama Kristen
Menurut Kejadian 1:28, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada
mereka: “beranak- cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang
yang merayap di bumi “, firman Tuhan menjelaskan dalam ayat ini bahwa manusia diberi
tugas oleh Allah untuk berketurunan dan memenuhi bumi guna menjaga, mengolah,
merawat, mengusahakan, dan berkuasa atas bumi.(band. Juga Kej.2:15).Namun sebelum itu
manusia harus diberkati terlebih dahulu oleh Allah.Ilustrasi diatas adalah contoh keseharian
manusia. Apakah keputusan yang diambil pasangan suami istri itu benar? Mungkin dimata
manusia, itu tindakan yang tepat tapi belum tentu di mata Tuhan. Disinilah kita dapat
melihat perbedaan antara Etika sosial dengan etika Kekristenan.
Etika sosial menonjolkan peran manusia, yakni masyarakat dan hati nurani.Etika
social bersifat humanistik dalam pengambilan keputusan tentang apa yang baik yang harus
dilakukan seseorang.
Secara etika social keputusan untuk ber-KB yang diambil pasangan suami istri itu
adalah tepat, karena mengingat kegiatan sang istri yang sangat padat dan rencana
keselamatan sang buah hati yang belum ada.Mungkin jika sang istri memaksakan diri untuk
hamil, selain aktivitasnya akan terganggu, keselamatan calon anakpun akan
terancam.Namun Etika Kristen berbicara tentang kehendak Tuhan.Ukuran untuk menilai
tindakan atau tingkah laku manusia menurut Etika Kristen harus dilihat dan
dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan.Hal ini penting sebab tindakan
yang dinilai benar adalah tindakan yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Sedangkan mencari
kehendak Tuhan berarti juga mencari Tuhan itu sendiri.Berangkat dari pemahaman ini,
keputusan yang diambil pasangan suami istri itu telah bertentangan dengan kehendak
Tuhan, sebab dalam (Kej 1:28) tadi telah dijelaskan bahwa salah satu tugas manusia adalah
untuk berketurunan,sedangkan pasangan ini belum mau untuk berketurunan walaupun
alasan yang diajukan masuk akal dan sangat manusiawi. Menunda kehadiran anak dalam
keluarga sama juga menolak anugerah Tuhan dalam hidup manusia. Sesuai dengan firman
Tuhan dalam Matius 18:5 “Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam
nama-Ku, ia menyambut Aku”.
Bertitik tolak dari semua ini, apakah kita boleh menyimpulkan bahwa program KB
tidak baik dimata Tuhan? Belum tentu.
Penyelenggaraan Program KB di Indonesia Khususnya, sangatlah bermanfaat untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup.Dalam KB terdapat aspek yang ingin dicapai dalam
bidang pembangunan seperti pembangunan social, kesehatan, pendidikan dan pengetahuan
umum, modernisasi kehidupan, pembangunan melalui ekonomi dan social, serta
kesejahteraan rakyat.Aspek-aspek ini berkaitan erat dengan tugas manusia dalam
pengusahaan. Pemeliharaan,pengolahan dan penguasaan bumi.Sebenarnya program ini
memiliki tujuan yang baik yaitu hanya menunda laju angka pertumbuhan penduduk, bukan
menghentikan manusia untuk bergenerasi.Namun pemanfaatan program ini sering salah
digunakan sehingga citra KB dianggap buruk oleh sebagian masyarakat.
Berdasarkan paham agama-agama yang ada di Indonesia, pada umumnya
menyatakan dapat menerima gagasan Keluarga Berencana. Dengan kata lain prinsip untuk
mensejahterakan umat manusia dari program KB ini tidak dilarang oleh agama manapun
Hanya saja perbedaan pandangan yang masih ada ialah tentang cara-cara
pelaksanaannya atau alat-alat yang boleh dan tidak boleh digunakan dalam KB
Berikut ini adalah beberapa ayat yang menjelaskan anak dari perfektif Allah.
Ø Anak adalah hadiah dari Allah (kejadian 4:1;kejadian 33:5).
· Kejadian 4:1
Kemudian manusia itu bersetubuh dengan hawa, istrinya, dan mengandunglah perempuan
itu, lalu melahirkan kain; maka kata perempuan itu: ” aku telah mendapat seorang anak laki-
laki dengan pertolongan Tuhan.”
· Kejadian 33:5
Kemudian Esau melayangkan pandangannya, dilihatnya perempuan-perempuan dan anak-
anak itu, lalu ia bertanya: “siapakah orang-orang yang beserta engkau itu?: jawab yakub:
“anak-anak yang telah di karuniakan Allah kepada hambamu ini.”
Ø Anak adalah warisan dari Tuhan (Mazmur 127:3-5).
· Mazmur 127:3-5
Ayat 3
banyak orang yang berkata tentang aku: “Baginya tidak ada pertolongan dari pada Allah.”
Ayat 4
tetapi Engkau, TUHAN, adalah perisai yang melindungi aku, Engkaulah kemuliaanku dan
yang mengangkat kepalaku.
Ayat 5
dengan nyaring aku berseru kepada TUHAN, dan Ia menjawab aku dari gunung-
Nya yang kudus.”
Ø Anak adalah berkat dari Tuhan (Lukas 1:42).
· Lukas 1:42
Lalu berseru dengan suara nyaring: “diberkatilah Engkau di antara semua perempuan dan
diberkatilah buah rahimmu.
Ø Anak adalah mahkota orang-orang tua (Amsal 17:6).
· Amsal 17:6
Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang
mereka.
Ø Allah memberkati perempuan-perempuan mandul dengan anak-anak (Mazmur 113:9;
kejadian 21:1-3; 25:21-22; 30:1-2; 1 Samuel 1:6-8; Lukas 1:7,24-25).
Kebahagiaan dalam keluarga adalah adanya hidup harmonis antara suami dan isteri, dan
antara orang tua dengan anaknya.
Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah berusaha menimbulkan dan
memperkembangkan kesejahteraan untuk anak-anaknya. Menurut Sigalovada Sutta, ada lima
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang tua, yaitu :
Jadinya, bila kita perhatikan isi dari Sigalovada Sutta tersebut KB patut kita laksanakan,
karena KB menimbulkan kesejahteraan keluarga.
Untuk melaksanakan KB ada 8 (delapan) cara, yaitu :
a. KB dengan jalan menelan pil anti hamil atau injeksi dengan obat Depo Provera 150,
setiap tiga bulan sekali, hal ini bertujuan untuk mencegah pematangan sel telur di
dalam indung telur.
b. KB dengan jalan memakai kondom, hal ini tertujuan untuk mencegah masuknya
sperma kedalam rahim.
c. KB dengan jalan membunuh sperma, hal ini bertujuan untuk mencegah sperma
menemui sel telur.
d. KB dengan jalan melakukan vasektomi atau tubektomi, hal ini bertujuan untuk
mencegah pertemuan Sperma dengna Ovum.
e. KB dengan jalan sistem kalender/penanggalan, hal ini bertujuan untuk mencegah
matangnya sel telur didalam indung telur.
f. KB dengan jalan melakukan susuk yang berbentuk anak korek api pada lengan kiri
wanita, hal ini bertujuan untuk mencegah pembuahan pada kandungan wanita.
(disebut Susuk KB atau Norplant)
g. KB dengan jalan melakukan abortus/pengguguran, hal ini bertujuan untuk
mengeluarkan janin.
h. KB dengan jalan memakai spiral, hal ini mempunyai 2 tujuan, yaitu :
1. Mencegah tumbuhnya janin didalam rahim setelah terjadi pembuahan.
2. Mencegah sperma menemui sel telur
Patisandhi Vinnana masuk dalam rahim pada saat pertemuan Sperma dan Ovum, dan
keduanya dalam keadaan kuat/memenuhi syarat.
Pada tahap pertama (Uppadakkhana) Patisandhi Vinnana timbul dalam rahim, Kamma Jarupa
ikut timbul pula sebanyak tiga kalapa, yaitu Kayadasakakalapa, Bhavadasakakalapa dan
Vatthudasakakalapa. Kemudian menyusul timbul rupa-rupa yang lain apabila tiba saatnya.
Jadinya, cara KB bentuk (a) s/d (f) yang tersebut diatas dapat dibenarkan dalam agama
Buddha, karena Patisandhi Vinnana (kesadaran/jiwa/roh yang bertumimbal lahir) belum
masuk dalam rahim, hal ini tidak melanggar sila)
Cara KB bentuk (g) yang tersebut diatas, yaitu abortus/pengguruan TIDAK DIBENARKAN
dalam agama Buddha, karena Patisandhi Vinnana telah masuk dalam rahim, hal ini termasuk
pembunuhan penuh dan melanggar sila.
Cara KB bentuk (h) yaitu memakai spiral masih diragukan mengenai keterangannya, karena
para dokter ahli belum mampu memberikan keterangan secara pasti. Bila memakai spiral
tujuannya :
1. Mencegah tumbuhnya janin didalam kandungan setelah terjadi pembuahan, hal ini
TIDAK DIBENARKAN dalam agama Buddha, karena Patisandhi Vinnana telah
masuk dalam rahim, ini termasuk pembunuhan dan melanggar sila.
2. Mencegah Sperma menemui sel telur, hal ini TIDAK DIBENARKAN dalam agama
Buddha, karena Patisandhi Vinnana belum masuk dalam rahim dan tidak melanggar
sila.
Sperma dan Ovum dapat bergerak dan berkembang biak, tetapi keduanya ini tidak dapat
disebut makhluk hidup, sebab menurut agama Buddha Sperma dan Ovum tidak memiliki
nama (jiwa/roh). Dalam Kamma Bhumi 11 tidak ada yang disebut makhluk itu tanpa
memiliki nama.
Sperma dan Ovum merupakan rupa (materi) yang disebut UTUJARUPAKALAPA
(kelompok materi yang bertemperatur) yang timbul dari Lobhacittuppada (gabungan Lobha
Citta dengan Cetasika) kepunyaan pria dan wanita.
Sperma dan Ovum dapat bergerak karena kekuatan Vayo Dhatu (unsur angin/gerak) yang
berada dalam Rupa Kalapa (kelompok materi). Seperti juga dengan cicak yang ekornya
dipotong, ekor tersebut tetap bergerak/bergoyang untuk berapa saat, hal ini bukanlah berati
bahwa ekor tersebut memiliki jiwa/roh (nama), tetapi ekor tersebut dapat bergerak/bergoyang
karena kekuatan Vayo Dhatu (unsur angin/gerak) yang berada dalam Rupa Kalapa (kelompok
materi)
Sperma dan Ovum dapat berkembang biak karena kekuatan Tejo Dhatu (unsur panas) yang
berada dalam Rupa Kalapa (kelompok materi)
Kesimpulan keluarga berencana (KB) dibenarkan dalam agama Buddha. Kita umat Buddha
hanya memilih cara KB yang cocok untuk kita masing-masing.
2.1.6 Hukum KB Menurut Pandangan Agama Hindu
Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan Keluarga Berencana ialah mewujudkan
kesejahteraan sosial pada tiap-tiap keluarga khususnya demi seluruh rakyat dan bangsa pada
umumnya. Dalam hal kesejateraan sosial pada tiap-tiap keluarga lebih ditekankan ialah
keluarga kecil, sehat dan sejahtera.
Kalau tujuan Keluarga Berencana di atas dihubungkan dengan tujuan agama Hindu sangat
identik dan cocok adanya. Dapat dikatakan demikian dengan bertolak dari tujuan agama :
“Moksartham jagathitaya ca iti dharmah“, artinya adalah tujuan agama Hindu mencapai
kesejahteraan jasmani (jagathita) dan kebahagiaan rohani (moksa).
Berkenaan dengan hal tersebut di atas sudah jelas secara prinsip antara tujuan Keluarga
Berencana dengan tujuan agama adalah sama penekanannya untuk mewujudkan kesejateraan
sosial. Hanya saja dari sudut agama Hindu, penekanan kesejahteraan sosial itu lebih dirinci
lagi dengan ketentuan bahwa untuk mendapatkan kesejahtraan sosial harus dilandasi dengan
“Dharma“. Bukan hanya sekedar mencapai kesejahteraan sosial saja. Hal ini dinyatakan
demikian karena keluhuran tujuan akan tetap mempunyai nilai luhur serta utama apabila
diusahakan dengan jalan yang luhur pula yakni ajaran Dharma.
Ajaran tujuan hidup manusia dalam agama Hindu, disebut Catur Purusa Artha atau Catur
Warga. Catur artinya empat; Purusa artinya manusia; Artha artinya tujuan. Catur Purusa
Artha berarti empat tujuan hidup manusia, yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa.
Keempat bagian itu disebut juga Catur Warga, yakni empat tujuan hidup manusia yang
terjalin erat. Dharma adalah kepatutan atau kewajiban hidup. Artha adalah harta benda, yang
meliputi Tri Bhoga, yakni Bhoga, makanan dan minuman (Wareg); Upabhoga, pakaian
perhiasan yaitu sandang (Wastra); Paribhoga, pendidikan (Waras), rumah (Wesma) dan
hiburan (Waskita). Kama adalah keinginan, yakni keinginan mempertahankan hidup dan
keinginan melanjutkan keturunan. Moksa adalah kebahagiaan rohani, baik semasih hidup
maupun nantinya atma/jiwa menyatu dengan sumber-Nya. Apabila keempat itu telah
terpenuhi, maka kesejahteraan dan kebahagiaan tercapai.
Bertitik tolak dari tujuan Keluarga Berencana dan tujuan agama Hindu, prinsip sasaran yang
dituju yang hendak dicapai adalah membangun manusia yang berkualitas, yang sehat jasmani
dan rohani.
Apabila Keluarga Berencana dihubungkan dengan konsepsi ajaran Catur Asrama dan Catur
Purusa Artha, mempunyai arah yang sama agar tercapainya manusia yang sehat, sejahtera,
berbudi pekerti yang luhur serta mulia, mempunyai hubungan yang selaras dengan sesama,
dengan lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Catur Asrama, kehidupan manusia dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu
Brahmacari, Grehastha, Wanaprastha dan Bhiksuka.
Brahmacari, adalah tingkatan hidup manusia dalam masa belajar, yakni yang menjadi fokus
adalah Dharma. Dharma yang dimaksud adalah belajar sopan santun (sila), berkorban (yajna),
mengendalikan diri (tapa), belajar bersedekah (dana), belajar ilmu pengetahuan agama (para
widya), belajar pengetahuan umum (para widya), rajin sembahyang (yoga).
Grehastha, adalah tingkatan hidup berumah tangga, yang menjadi tujuannya adalah Artha dan
Kama. Dalam tingkatan ini diprogramkan untuk membentuk, membangun dan membina
rumah tangga (ingat 5 Wa). Tujuan utama orang berumah tangga adalah untuk mendapat
keturunan yang sehat, sejahtera dan bahagia, hal ini disebut dengan Suputra.
Maka jelaslah hubungan Keluarga Berencana, Catur Asrama, Catur Purusa Artha, adalah
membentuk dan membina rumah tangga ini diatur batas kelahiran, agar dapat terwujud
keluarga sehat, sejahtera dan bahagia.
Keluarga Berencana menegaskan walaupun jumlah anak sedikit, laki perempuan sama saja,
asalkan tercapainya manusia/anak yang berkualitas (suputra), itulah yang merupakan suatu
harapan.
“Hana pwekang wang agawe talaga satus, alah ika dening magawe talaga tunggal,
lewih ikang magawe talaga. Hana pwekangwang gumawe talaga satus, alah ika
phalanya dening wang gumawayaken yajna pisan, atyanta lewihing gumawayaken
yajna. Kunang ikang gumawe yajna ping satus, alah ika phalanya denikang manak
sanunggal, yan anak wisesa”.
(Bila ada orang yang membuat sumur seratus, dikalahkan dengan membuat waduk
satu buah, sungguh mulia orang yang membuat waduk itu. Bila ada orang membuat
waduk seratus, pahalanya lebih sedikit dari pada melakukan yadnya sekali, amat
utama orang yang melakukan yadnya itu. Adapun orang yang melakukan korban
seratus kali, lebih sedikit pahalanya dari pada berputra tunggal, bila putra itu
mulia”.
Jika kehidupan berumah tangga dapat dilakukan dengan baik, maka dapat dilanjutkan dengan
Wanaprastha, suatu kehidupan yang sudah mulai meninggalkan unsur-unsur duniawi, sudah
terfokus dengan peningkatan rohani, yakni persiapan menuju Moksa. Dengan meningkatkan
kerohanian, melakukan tapa, brata, yoga dan samadhi.
Bila kehidupan Wanaprastha sudah mantap, maka kehidupan selanjutnya adalah Bhiksuka,
yakni hidup menjadi orang suci, hanya satu tujuannya adalah moksa.
Jadi jelaslah kehidupan berumah tangga, bukan banyak anak yang dipentingkan namun
walaupun tunggal, yang penting anak yang mulia (suputra)
Demikianlah yang dapat kami sampaikan hubungan Keluarga Berencana dengan ajaran
agama Hindu
2.2 Bayi Tabung
2.2.1 Pengertian Bayi Tabung
In vitro vertilization (IVF) atau yang lebih dikenal dengan sebutan bayi tabung adalah
proses pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita. In vitro adalah bahasa latin yang
berarti dalam gelas/tabung gelas dan vertilization berasal dari bahasa Inggris yang artinya
pembuahan. Maka dari itu disebut bayi tabung.
Proses pembuahan dengan metode bayi tabung dilakukan antara sel sperma suami
dengan sel telur isteri, dengan bantuan tim medis untuk mengupayakan sampainya sel sperma
suami ke sel telur isteri. Bayi tabung adalah suatu istilah teknis. Istilah ini tidak berarti bayi
yang terbentuk di dalam tabung, melainkan dimaksudkan sebagai metode untuk membantu
pasangan subur yang mengalami kesulitan di bidang” pembuahan “ sel telur wanita oleh sel
sperma pria. Secara teknis, dokter mengambil sel telur dari indung telur wanita dengan alat
yang disebut “laparoscop” ( temuan dr. Patrick C. Steptoe dari Inggris ). Sel telur itu
kemudian diletakkan dalam suatu mangkuk kecil dari kaca dan dipertemukan dengan sperma
dari suami wanita tadi. Setelah terjadi pembuahan di dalam mangkuk kaca itu tersebut,
kemudian hasil pembuahan itu dimasukkan lagi ke dalam rahim sang ibu untuk kemudian
mengalami masa kehamilan dan melahirkan anak seperti biasa. Sel sperma tersebut kemudian
akan membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang alami. Setelah itu, sel telur yang telah
dibuahi ini kemudian diletakkan pada rahim isteri dengan cara tertentu sehingga kehamilan
akan terjadi secara alamiah di dalamnya.
2.2.3 Macam-macam Proses Bayi Tabung
a. Pembuahan Dipisahkan dari Hubungan Suami-Istri.
Teknik bayi tabung memisahkan persetubuhan suami – istri dari pembuahan bakal
anak. Dengan teknik tersebut, pembuahan dapat dilakukan tanpa persetubuhan. Keterarahan
perkawinan kepada kelahiran baru sebagaimana diajarkan oleh Gereja tidak berlaku lagi.
Dengan demikian teknik kedokteran telah mengatur dan menguasai hukum alam yang
terdapat dalam tubuh manusia pria dan wanita. Dengan pemisahan antara persetubuhan dan
pembuahan ini, maka bisa muncul banyak kemungkinan lain yang menjadi akibat dari
kemajuan ilmu kedokteran di bidang pro-kreasi manusia.
Masalah ini akan menjadi lebih sulit karena sudah masuk unsur baru, yaitu benih dari
orang lain. Pertama, apakah pembuahan yang dilakukan antara sel telur istri dan sel sperma
dari orang lain sebagai pendonor itu perlu diketahui atau disembunyikan identitasnya. Kalau
wanita tahu orangnya, mungkin ada bahaya untuk mencari hubungan pribadi dengan orang
itu. Ketiga, apakah pria pendonor itu perlu tahu kepada siapa benihnya telah didonorkan.
Masih banyak masalah lain lagi yang bisa muncul.
Tahun 1980 di Amerika sudah ada 9 bank sperma non – komersial. Sementara itu
bank – bank sperma yang komersil bertumbuh dengan cepat. Wanita yang menginginkan
pembuahan artifisial bisa memilih sperma itu dari banyak kemungkinan yang tersedia
lengkap dengan data mutu intelektual dari pemiliknya. Identitas donor dirahasiakan dengan
rapi dan tidak diberitahukan kepada wanita yang mengambilnya, kepada penguasa
atau siapapun.
Untuk mengkaji masalah bayi tabung ini digunakan metode ijtihad yang lazim dipakai
oleh para ahli ijtihad agar ijtihadnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan
Sunah yang menjadi pegangan umat Islam. Sudah tentu ulama yang melaksanakan ijtihad
tentang masalah ini, memerlukan informasi yang cukup tentang tekhnik dan proses terjadinya
bayi tabung dari cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang studi yang relevan dengan
masalah ini, misalnya ahli kedokteran dan ahli biologi. Dengan pengkajian secara
multidisiplioner ini, dapat di temukan hukumnya yang proposional dan mendasar.
Bayi tabung apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan
tidak di transfer embrionya kedalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain
(bagi suami yang berpoligami), maka islam membenarkan, baik dengan cara mengambil
sperma suami, kemudian di suntikkan ke vagina atau uterus istri, kemudian buahnya
(vertilized ovum) di tanam di dalam rahim istri, asal keadaan suami istri benar-benar
memerlukan cara bayi tabung untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami,
suami istri tidak berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fiqih islam.
Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) di perlakukan seperti dalam keadaan terpaksa
(emergency). Padahal kradaan darurat/terpaksa itu membolehkan melakukan hal-hal yang
terlarang.
Sebaliknya kalau bayi tabung itu dilakukan dengan bantuan donor sperma atau ovum, maka
diharamkan. Dan hukumnya sama dengan zina (prostitusi). Dan sebagai akibat hukumnya,
anak hasil bayi tabung tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang
melahirkannya.
Dalil-dalil syar’i yang dapat menjadi landasan hukum untuk untuk mengharamkan bayi
tabung dengan donor ialah sebagai berikut:
1. Al-Quran Surat Al-isra ayat 70:
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.
Dan Surat At-Tin ayat 4:
Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya
(sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain). Hadis riwayat Abu daud, Al-
Tirmidzi, dan Hadis ini di pandang sahih oleh Ibnu Hibban.
Dengan hadis ini para ulama mazhab sepakat mengharapkan seseorang
mengawini/melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari orang lain yang
mempunyai ikatan perkawinan yang sah.
· Menurut mazhab hanbali, wanita tidak boleh dinikahi oleh pria yang menghamilinya
sebelum lahir kandungan nya. Sebab dia itu terkena iddah.
· Menurut mazhab syafi’i membolehkan wanita hamil tersebut dikawini oleh orang yang
tidak menghamilinya tanpa harus menunggu bayi lahirnya, sebab anak yang dikandungnya itu
tidak ada hubungan nasab dengan pria yang berzina yang menghamili ibunya. Karena itu,
adanya si janin itu sama dengan tidak ada, sehingga tidak perlu ada iddah
· Sementara Abu Hanifah membolehkan juga seorang mengawini wanita hamil dari zina
dengan orang lain(sah nikahnya), tetapi dengan syarat si pria yang menjadi suami nya itu
untuk sementara tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya sebelum
kandungan lahir.
Jelaslah, bahwa masalah mengawini wanita hamil karena zina itu merupakan masalah
ijtihadiyah dan di kalangan ulama terdapat 3 pendapat. Pendapat yang paling membawa
masalah pada masyarakat indonesia, ialah pendapat Abu hanifah yang membolehkan seorang
pria menikahi wanita hamil karena zina dengan pria lain yang tidak mau bertanggung jawab,
dengan catatan: si suami tidak boleh mensetubuhi si istri sebelum lahir kandungannya
berdasarkan pertimbangan antara lain sebagai berikut:
1) Fatwa Hukum Abu hanifah telah mengandung unsur hukuman yang bersifat edukatif dan
kuratif terhadap wanita pelaku zina itu.
2) Untuk menjaga kehormatan anak yang tak berdosa yang lahir dari hubungan yanh tidak
sah. Sebab semua anak lahir sebagai anak yang suci, tidak membawa dosa. Yang berdosa itu
adalah pria dan wanita yang menyebabkan kelahirannya sebagai anak zina.
3) Untuk menutup aib pada keluarga wanita itu, sebab kehamilan si wanita dan kelahiran si
anak tanpa memiliki suami/bapak yang formal adalah sangat tercela di masyarakat,
sedangkan islam menganjurkan orang mau menutup aib orang lain.
4) Sesuai dengan hadis nabi saw:
Ingatlah! Tidak boleg di setubuhi wanita-wanita hamil, sehingga mereka
melahirkan, dan tidak boleh pula di setubuhi wanita-wanita tidak hamil, sehingga jelas
bersih rahimnya karena menstruasi.
(hadis ini disampaikan Nabi dalam kasus tawanan perang authas).
3. Kaidah Hukum fiqih Islam berbunyi:
Mengenai status/anak hasil bayi tabung dengan donor sperma dan atau ovum menurut
hukum islam adalah tidak sah dan status nya sama dengan anak hasil prostitusi. Dan kalau
kita perhatikan bunyi pasal 42 UU perkawinan No.1/1974: “anak yang sah adalah yang sah”;
maka tampaknya memberi pengertian bahwa bayi tabung dengan bantuan donor dapat di
pandang pula sebagai anak sah, karena ia pun lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah.
Namun kalau kita perhatikan pasal-pasal dan ayat-ayat lain dalam UU perkawinan ini, terlihat
bagaimana besarnya peranan agama yang cukup besar dalam pengesahan sesuatu yang
berkaitan dengan perkawinan. Misalnya pada pasal 2 (1) tentang pengesahan perkawinan,
pasal 8 (f) tentang larangan kawin antara 2 orang karena agama melarangnya, pasal 29 (2)
tentang sah nya perjanjian perkawinan dan pasal 37 tentang pengaturan harta bersama dalam
perkawinan bila terjadi perceraian, dan lagi negara kita tentunya tidak mengizinkan bayi
tabung dengan sperma/ovum donor, karena tidak sesuai dengan pancasila, UUD 1945 pasal
29 ayat 1, dan bangsa Indonesia yang religious itu. Karena itu, pasal 42 UU perkawinan itu
perlu diberi tambahan penjelasan sehubungan dengan adanya teknologi bayi tabung dengan
donor atau dengan transfer embrio kerahim ibu titipan/kontrakan.
Asumsi menteri kesehatan bahwa masyarakat indonesia termasuk kalangan agama
nantinya bisa menerima bayi tabung seperti halnya KB. Namun harus diingat bahwa kalangan
agama bisa menerima KB karena pemerintah tidak memaksakan alat/cara KB yang
bertentangan dengan agama, seperti sterilisasi, menstrual regulation dan abortus. Karena itu,
diharapkan pemerintah jugahanya mau mengizinkan praktek bayi tabung yang tidak
bertentangan dengan prinsip agama, dalam hal ini islam melarang sama sekali percampuran
nasab dengan penataran sperma dan atau ovum donor.