Anda di halaman 1dari 7

TUGAS KMB

ANALISIS JURNAL

OLEH

NAMA : MILTIADES NATALIA DAHUT


NIM : 191111023
KELAS/SEMESTER : A/III

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS CITRA BANGSA
KUPANG
2020

Analisis Jurnal 1

Sindrom koroner akut adalah suatu kondisi terjadi pengurangan aliran darah ke jantung
secara mendadak. Beberapa gejala dari sindrom ini adalah tekanan di dada seperti
serangan jantung, sesak saat sedang beristirahat atau melakukan aktivitas fisik ringan,
keringat yang berlebihan secara tiba-tiba (diaforesis), muntah, mual, nyeri di bagian
tubuh lain seperti lengan kiri atau rahang, dan jantung yang berhenti mendadak (cardiac
arrest). Umumnya mengenai pasien usia 40 tahun ke atas walau pada saat ini terdapat
kecenderungan mengenai usia lebih muda.

Sindrom koroner akut atau infark miokard akut merupakan salah satu
diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada
SKA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien
mencapai rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2
dekade terakhir, sekitar 1 di antara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal,
meninggal dalam tahun pertama setelah infark miokard akut. 1 miokard naik akan
menaikkan aliran arteri koroner. Suplai oksigen miokard bergantung pada oksigen
content darah dan coronary blood flow. Oksigen content bergantung pada kontinyu
oleh arteri koroner selama aktivitas normal, kebutuhan oksigen miokard naik akan
menaikkan aliran arteri koroner. Suplai oksigen miokard bergantung pada oksigen
content darah dan coronary blood flow. Oksigen content bergantung pada oksigenasi
sistemik dan kadar hemoglobin, sehingga bila tidak anemia atau penyakit paru aliran
oksigen koroner cenderung konstan. Bila ada kelainan maka aliran koroner secara
dinamis menyesuaikan suplai oksigen dengan kebutuhan oksigen sel. perfusi
digambarkan oleh tekanan diastolik sedangkan resistensi arteri korner ditentukan
oleh tekanan external arteri (miokard) atau faktor Coronary blood flow (Q)
berbanding lurus dengan tekanan perfusi (P) dan berbanding terbalik dengan
tekanan arteri koroner (R) sehingga dihasilkan rumus: Q = P/R.1,5,7 intrinsik arteri
(sumbatan dan lain-lain).1
Analisis Jurnal 2

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang
dari normal.

Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang dipengaruhi oleh
pola makanan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan dan status kesehatan. Khumaidi
(1989) mengemukakan bahwa faktorfaktor yang melatarbelakangi tingginya prevalensi
anemia gizi besi di negara berkembang adalah keadaan sosial ekonomi rendah meliputi
pendidikan orang tua dan penghasilan yang rendah serta kesehatan pribadi di
lingkungan yang buruk. Meskipun anemia disebabkan oleh berbagai faktor, namun lebih
dari 50 % kasus anemia yang terbanyak diseluruh dunia secara langsung disebabkan oleh
kurangnya masukan zat gizi besi.

Selain itu penyebab anemia gizi besi dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang
meningkat, akibat mengidap penyakit kronis dan kehilangan darah karena menstruasi
dan infeksi parasit (cacing). Di negara berkembang seperti Indonesia penyakit
kecacingan masih merupakan masalah yang besar untuk kasus anemia gizi besi, karena
diperkirakan cacing menghisap darah 2-100 cc setaip harinya.

Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada


pertumbuhan, baik sel tubuh maupun sel otak. Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat
menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Akibatnya dapat
menurunkan prestasi belajar, olah raga dan produktifitas kerja. Selain itu anemia gizi
besi akan menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi.

Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia yang telah dilakukan selama ini
ditujukan pada ibu hamil, sedangkan remaja putri secara dini belum terlalu diperhatikan.
Agar anemia bisa dicegah atau diatasi maka harus banyak mengkonsumsi makanan yang
kaya zat besi. Selain itu penanggulangan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan
pencegahan infeksi cacaing dan pemberian tablet Fe yang dikombinasikan dengan
vitamin C.

Anemia
Anemia adalah suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari
normal, berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan kehamilan.

Batas normal dari kadar Hb dalam darah dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Batas normal kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin Sumber : WHO, 200
Hemoglobin
Kelompok Umur
(gr/dl)
Anak – anak 6 – 59 bulan 11,0
5 – 11 11,5
tahun 12,0
12 – 14 tahun
Dewasa Wanita > 15 tahun 12,0
Wanita hamil 11,0
Laki-laki > 15 tahun 13,0
Sebagian besar anemia disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih zat gizi
esensial (zat besi, asam folat, B12) yang digunakan dalam pembentukan sel-sel darah
merah. Anemia bisa juga disebabkan oleh kondisi lain seperti penyakit malaria, infeksi
cacing tambang.

Klasifikasi Anemia
Secara morfologis, anemia dapat diklasifikasikan menurut ukuran sel dan
hemoglobin yang dikandungnya.
1. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah
hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik yaitu :

1. Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat dan


gangguan sintesis DNA.
2. Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat dan
peningkatan luas permukaan membran.
2. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh defisiensi besi,
gangguan sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguan metabolisme besi
lainnya.

1. Normositik
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini disebabkan
kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara berlebihan,
penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.

Anemia Defisiensi Besi


Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi
dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena
terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam
darah.

Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang
tersebut mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisiologis.
Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk
selsel darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus
menurun di bawah batas normal, keadaan inilah yang disebut anemia gizi besi.

Menurut Evatt, anemia Defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya saturasi
transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau hemosiderin sumsum tulang. Secara
morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai
penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin.
Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia. Wanita usia subur sering
mengalami anemia, karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan
kebutuhan besi sewaktu hamil.

Patofisiologi Anemia
Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga
diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat dalam
enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan
oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang
khas (asymptomatik) sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi.

Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi
(feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya
kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat
besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang
diubah menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunnya kadar feritin serum.
Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Rb (Gutrie,
186:303)

Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan


konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan keadaan
simpanan zat besi dalam jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum yang rendah
akan menunjukkan orang tersebut dalam keadaan anemia gizi bila kadar feritin
serumnya <12 ng/ml. Hal yang perlu diperhatikan adalah bila kadar feritin serum normal
tidak selalu menunjukkan status besi dalam keadaan normal. Karena status besi yang
berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin.

Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes skrining dengan cara mengukur
kadar Hb, hematokrit (Ht), volume sel darah merah (MCV), konsentrasi Hb dalam sel
darah merah (MCH) dengan batasan terendah 95% acuan (Dallman,1990)

Analisis Jurnal 3

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal
dalam darah tepi. Pada tahun 2006, leukemia berada pada urutan ke-5 dari keseluruhan
penderita kanker di Indonesia. Leukemia kronik merupakan leukemia yang paling sering
terjadi pada dewasa dan lanjut usia. Secara umum leukemia kronik diklasifikasikan atas
Leukemia Granulositik Kronik (LGK) dan Leukemia Limfositik Kronik (LLK). Leukemia
kronik yang perjalanannya lambat dan diiringi oleh gejala yang tidak khas, maka
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran laboratorium leukemia kronik di
bagian Peyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang. Jenis penelitian ini adalah deskriptif
retrospektif. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari Instalasi Rekam Medik RSUP Dr. M. Djamil Padang berupa data pasien
leukemia kronik yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang
sejak 1 Januari 2010 – 31 Desember 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari
16 kasus leukemia granulositik kronik terdapat 37,5% pasien mengalami anemia sedang,
100% leukositosis, jumlah trombosit dapat menurun, normal, dan meningkat dengan
presentase masing-masing 25%, 25%, dan 50%. Gambaran eritrosit sebagian besar
normositik anisositosis. Separuh pemeriksaan darah tepi menunjukkan peningkatan
persentasi mielosit, 31,25% menunjukkan peningkatan persentasi metamielosit dan
eosinofil, serta sebagian besar menunjukkan presentasi blast. Sedangkan gambaran
sumsum tulang hiperseluler, penekanan eritropoetik, mielopoetik hiperaktif, dan
trombopoetik dalam batas normal. Leukemia limfositik kronik yang terdiri dari 1 kasus
menunjukkan gambaran laboratorium berupa anemia sedang, leukositosis,
trombositopenia, gambaran eritrosit nomokrom anisositosis, peningkatan jumlah
leukosit, peningkatan jumlah limfosit, presentasi smudge cell, dan ditemukan presentasi
blast pada darah tepi, tetapi selularitas tidak dapat dinilai.

Leukemia merupakan penyakit keganasan jaringan hematopoetik yang ditandai


dengan penggantian elemen sumsum tulang normal dengan sel darah abnormal
(neoplastik).1 Insiden leukemia di Negara Barat adalah 13 per 100.000 penduduk per
tahun. Leukemia merupakan 2.8% dari seluruh kasus kanker. 2 Pada tahun 2006 di
Indonesia, dari jumlah penderita kanker di rumah sakit, leukemia berada pada urutan
kelima setelah kanker payudara, kanker serviks, kanker hati dan saluran empedu
intrahepatik, serta limfoma non-Hodgkin.3 Diperkirakan, pada tahun 2011, terdapat
44.600 orang (25.320 laki-laki dan 19.280 perempuan) telah terdiagnosis menderita
leukemia dan 21.780 orang akan meninggal dunia akibat leukemia. 4

Berdasarkan maturitas sel dan asal sel, leukemia dibagi menjadi empat
kategori besar, yaitu Leukemia Limfoblastik Akut (LLA), Leukemia Mieloid Akut (LMA),
Leukemia Limfositik Kronik (LLK), dan Leukemia Granulositik Kronik (LGK). 1 LGK
merupakan suatu penyakit mieloproliferatif ditandai dengan adanya peningkatan
proliferasi sel induk hematopoetik seri mieloid pada berbagai tingkat diferensiasi. 5
Dalam hal prevalensi, LGK merupakan keganasan hematologik paling umum di Asia,
walaupun insiden dan umur rata-rata kemungkinan lebih rendah daripada yang diamati
di Amerika Serikat.6 Sebagian besar LGK terdiagnosis pada fase kronik, dimana sepertiga
dari fase ini tidak menunjukkan gejala, tetapi dalam jangka waktu tertentu dapat
berubah ke fase selanjutnya yang lebih agresif. Respon terapi pada fase yg lebih lanjut
( fase akselerasi dan fase krisis blast) kurang memuaskan sehingga tujuan utama dari
pengobatan LGK adalah agar tidak berkembang ke fase ini. 7 LLK adalah keganasan
hematologis yang ditandai dengan akumulasi limfosit B neoplastik dalam darah,
limfonodi, limpa, hepar, dan sumsum tulang. 8

LLK termasuk penyakit yang jarang ditemukan di Indonesia sedangkan di Barat


merupakan leukemia kronik yang paling sering (sekitar 30%). Meskipun demikian,
seperti keganasan pada umumnya, LLK merupakan penyakit yang tidak bisa
sepenuhnya disembuhkan, deteksi dini dan pengobatan dapat mengendalikan
progresifitas dari penyakit ini, sedangkan pasien stadium akhir sering tidak responsif
dengan berbagai pengobatan.9

Penyakit leukemia kronik perjalanannya lambat dan tidak diiringi dengan gejala
yang khas, berbeda dengan leukemia akut yang juga sudah pernah diteliti sebelumnya di
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2000, 2003, dan 2005, maka peneliti ingin
mengetahui tentang gambaran laboratorium leukemia kronik, khususnya di
RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Anda mungkin juga menyukai